Sariputta | Suttapitaka | Kepada Bhaddāli Sariputta

Kepada Bhaddāli

Bhaddāli (MN 65)

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”—“Yang Mulia,”—mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, Aku makan satu kali sehari. Dengan melakukan demikian, Aku bebas dari penyakit dan penderitaan, dan Aku menikmati kediaman yang ringan, kuat, dan nyaman. Marilah, para bhikkhu, makanlah satu kali sehari. Dengan melakukan demikian, kalian juga akan bebas dari penyakit dan penderitaan, dan kalian akan menikmati kediaman yang ringan, kuat, dan nyaman.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Bhaddāli berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Aku tidak mau makan satu kali sehari; karena jika aku melakukan demikian, aku akan merasa cemas dan khawatir akan hal itu.”

“Kalau begitu, Bhaddāli, makanlah pada satu bagian di sana di mana engkau diundang dan bawalah pulang satu bagian untuk dimakan. Dengan memakan demikian, engkau akan memelihara tubuhmu.”

“Yang Mulia, Aku tidak mau makan dengan cara itu juga; karena jika aku melakukan demikian, aku akan merasa cemas dan khawatir akan hal itu.”

Kemudian, ketika aturan latihan ini ditetapkan oleh Sang Bhagavā, ketika Sangha para bhikkhu sedang menjalani latihan, Yang Mulia Bhaddāli menyatakan penolakannya untuk mematuhi peraturan. Kemudian Yang Mulia Bhaddāli tidak menghadap Sang Bhagavā selama tiga bulan masa vassa, seperti yang terjadi pada seseorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.

Pada saat itu sejumlah bhikkhu sedang terlibat dalam pembuatan jubah untuk Sang Bhagavā, dengan berpikir: “Setelah jubah ini selesai, di akhir tiga bulan masa vassa, Sang Bhagavā akan melakukan pengembaraan.”

Kemudian Yang Mulia Bhaddāli mendatangi para bhikkhu itu dan saling bertukar sapa dengan mereka, dan ketika ramah-tamah itu berakhir, ia duduk di satu sisi. Ketika ia telah melakukan hal itu, mereka berkata kepadanya: “Teman Bhaddāli, jubah ini dibuat untuk Sang Bhagavā. Setelah jubah ini selesai, di akhir tiga bulan masa vassa, Sang Bhagavā akan melakukan pengembaraan. Mohon, teman Bhaddāli, perhatikanlah nasihat ini. Jangan biarkan hal ini mempersulitmu kelak.”

“Baik, teman-teman,” ia menjawab, dan ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Yang Mulia, suatu pelanggaran menguasaiku, seperti seorang dungu, bingung, dan bodoh, ketika suatu peraturan latihan ditetapkan oleh Sang Bhagavā, ketika Sangha para bhikkhu menjalani latihan, aku menyatakan penolakanku untuk mematuhi peraturan. Yang Mulia, sudilah Yang Mulia memaafkan pelanggaranku yang terlihat demikian demi pengendalian di masa depan.”

“Tentu saja, Bhaddāli, suatu pelanggaran menguasaimu, seperti seorang dungu, bingung, dan bodoh, ketika suatu peraturan latihan ditetapkan olehKu, ketika Sangha para bhikkhu menjalani latihan, engkau menyatakan penolakanmu untuk mematuhi peraturan.

“Bhaddāli, situasi ini tidak engkau sadari: ‘Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī, dan Sang Bhagavā akan mengenalku sebagai berikut: “Bhikkhu bernama Bhaddāli ini adalah seorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.”’ Situasi ini tidak engkau sadari.

“Juga, situasi ini tidak engkau sadari: ‘Banyak bhikkhu telah menetap di Sāvatthī selama masa vassa, dan mereka juga akan mengenalku sebagai berikut: “Bhikkhu bernama Bhaddāli ini adalah seorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.”’ Situasi ini juga tidak engkau sadari.

“Juga, situasi ini tidak engkau sadari: ‘Banyak bhikkhunī telah menetap di Sāvatthī selama masa vassa, dan mereka juga akan mengenalku sebagai berikut: “Bhikkhu bernama Bhaddāli ini adalah seorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.”’ Situasi ini juga tidak engkau sadari.

“Juga, situasi ini tidak engkau sadari: ‘Banyak umat awam laki-laki … banyak umat awam perempuan sedang menetap di Sāvatthī, dan mereka juga akan mengenalku sebagai berikut: “Bhikkhu bernama Bhaddāli ini adalah seorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.”’ Situasi ini juga tidak engkau sadari.

“Juga, situasi ini tidak engkau sadari: ‘Banyak petapa dan brahmana sekte lain telah menetap di Sāvatthī selama masa vassa, dan mereka juga akan mengenalku sebagai berikut: “Bhikkhu bernama Bhaddāli ini, seorang siswa senior dari Petapa Gotama adalah seorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.”’ Situasi ini juga tidak engkau sadari.

“Yang Mulia, suatu pelanggaran menguasaiku, seperti seorang dungu, bingung, dan bodoh, ketika suatu peraturan latihan ditetapkan oleh Sang Bhagavā, ketika Sangha para bhikkhu menjalani latihan, aku menyatakan penolakanku untuk mematuhi peraturan. Yang Mulia, sudilah Yang Mulia memaafkan pelanggaranku yang terlihat demikian demi pengendalian di masa depan.”

“Tentu saja, Bhaddāli, suatu pelanggaran menguasaimu, seperti seorang dungu, bingung, dan bodoh, ketika suatu peraturan latihan ditetapkan olehKu, ketika Sangha para bhikkhu menjalani latihan, engkau menyatakan penolakanmu untuk mematuhi peraturan.

“Bagaimana menurutmu, Bhaddāli? Misalkan seorang bhikkhu di sini adalah seorang yang terbebaskan-dalam-kedua-cara, dan Aku berkata kepadanya: ‘Mari, bhikkhu, jadilah papan bagiKu untuk menyeberangi lumpur.’ Akankah ia menyeberang sendiri, atau akankah ia melakukan sebaliknya, atau akankah ia mengatakan ‘Tidak’?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Bhaddāli? Misalkan seorang bhikkhu di sini adalah seorang yang terbebaskan-melalui-kebijaksanaan … seorang saksi-tubuh … seorang yang-mencapai-pandangan … seorang yang-terbebaskan-melalui-keyakinan … seorang pengikut-Dhamma … seorang pengikut-keyakinan, dan Aku berkata kepadanya: ‘Mari, bhikkhu, jadilah papan bagiKu untuk menyeberangi lumpur.’ Akankah ia menyeberang sendiri, atau akankah ia melakukan sebaliknya, atau akankah ia mengatakan ‘Tidak’?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Bhaddāli? Apakah engkau pada saat itu adalah seorang yang terbebaskan-dalam-kedua-cara atau seorang yang terbebaskan-melalui-kebijaksanaan atau seorang saksi-tubuh atau seorang yang-mencapai-pandangan atau seorang yang-terbebaskan-melalui-keyakinan atau seorang pengikut-Dhamma atau seorang pengikut-keyakinan?”

“Bukan, Yang Mulia.”

“Bhaddāli, pada saat itu tidakkah engkau kosong, hampa, dan keliru?”

“Benar, Yang Mulia. Yang Mulia, suatu pelanggaran menguasaiku, seperti seorang dungu, bingung, dan bodoh, ketika suatu peraturan latihan ditetapkan oleh Sang Bhagavā, ketika Sangha para bhikkhu menjalani latihan, aku menyatakan penolakanku untuk mematuhi peraturan. Yang Mulia, sudilah Yang Mulia memaafkan pelanggaranku yang terlihat demikian demi pengendalian di masa depan.”

“Tentu saja, Bhaddāli, suatu pelanggaran menguasaimu, seperti seorang dungu, bingung, dan bodoh, ketika suatu peraturan latihan ditetapkan olehKu, ketika Sangha para bhikkhu menjalani latihan, engkau menyatakan penolakanmu untuk mematuhi peraturan. Tetapi karena engkau melihat pelanggaranmu seperti demikian dan melakukan perbaikan sesuai Dhamma, maka kami memaafkan engkau; karena adalah kemajuan dalam Disiplin Yang Mulia ketika seseorang melihat pelanggaran seperti demikian dan melakukan perbaikan sesuai Dhamma dengan menjalani pengendalian di masa depan.

“Di sini, Bhaddāli, seorang bhikkhu tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru. Ia merenungkan sebagai berikut: ‘Misalkan aku pergi ke tempat tinggal terpencil: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, pekuburan, belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami—mungkin aku dapat mencapai kondisi melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia.’ Ia pergi ke tempat-tempat tinggal tersebut. Sewaktu ia menetap di sana dengan terasing demikian, Sang Guru mencelanya, teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci yang telah melakukan penyelidikan mencelanya, para dewa mencelanya, dan ia mencela dirinya sendiri. Karena dicela demikian oleh Sang Guru, oleh teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci, oleh para dewa, dan oleh dirinya sendiri, ia tidak mencapai kondisi melampaui manusia, tidak mencapai keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Mengapakah? Itu adalah bagaimana seseorang yang tidak memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.

“Di sini, Bhaddāli, seorang bhikkhu memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru. Ia merenungkan sebagai berikut: ‘Misalkan aku pergi ke tempat tinggal terpencil: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, pekuburan, belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami—mungkin aku dapat mencapai kondisi melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia.’ Ia pergi ke tempat-tempat tinggal tersebut. Sewaktu ia menetap di sana dengan terasing demikian, Sang Guru tidak mencelanya, teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci yang telah melakukan penyelidikan tidak mencelanya, para dewa tidak mencelanya, dan ia tidak mencela dirinya sendiri. Karena tidak dicela demikian oleh Sang Guru, oleh teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci, oleh para dewa, dan oleh dirinya sendiri, ia mencapai kondisi melampaui manusia, mencapai keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia.

“Dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Mengapakah? Itu adalah bagaimana seseorang yang memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.

“Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Dengan meluruhnya sukacita … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … Mengapakah? Itu adalah bagaimana seseorang yang memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.

“Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni dan cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau … seperti pada MN 51, §24 … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau. Mengapakah? Itu adalah bagaimana seseorang yang memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.

“Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni dan cerah … mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk … (seperti pada Sutta 51, §25) … Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Mengapakah? Itu adalah bagaimana seseorang yang memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.

“Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni dan cerah … mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … (seperti pada Sutta 51, §26) … ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

“Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda ketidak-tahuan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’ Mengapakah? Itu adalah bagaimana seseorang yang memenuhi latihan dalam Pengajaran Sang Guru.”

Kemudian Yang Mulia Bhaddāli bertanya: “Yang Mulia, apakah penyebab, apakah alasan, mengapa mereka mengambil tindakan pada seorang bhikkhu di sini dengan berulang-ulang menegurnya? Apakah penyebab, apakah alasan, mengapa mereka tidak mengambil tindakan pada seorang bhikkhu di sini dengan berulang-ulang menegurnya?”

“Di sini, Bhaddāli, seorang bhikkhu adalah seorang pelanggar peraturan yang melanggar peraturan secara rutin dengan banyak pelanggaran. Ketika ia dikoreksi oleh para bhikkhu, ia berbicara berputar-putar, mengalihkan pembicaraan, menunjukkan ketergangguan, kebencian, dan ketidak-senangan; ia tidak melanjutkan dengan benar, ia tidak menurut, ia tidak membersihkan diri, ia tidak mengatakan: ‘Aku akan bertindak sedemikian sehingga Sangha puas.’ Para bhikkhu, dengan mempertimbangkan hal ini, berpikir: ‘Baik sekali jika para mulia memeriksa bhikkhu ini sedemikian sehingga jalannya perkara terhadapnya tidak diselesaikan terlalu cepat.’ Dan para bhikkhu memeriksa bhikkhu ini sedemikian sehingga jalannya perkara terhadapnya tidak diselesaikan terlalu cepat.

“Tetapi di sini seorang bhikkhu adalah seorang pelanggar peraturan yang melanggar peraturan secara rutin dengan banyak pelanggaran. Ketika ia dikoreksi oleh para bhikkhu, ia tidak berbicara berputar-putar, tidak mengalihkan pembicaraan, dan tidak menunjukkan ketergangguan, kebencian, dan ketidak-senangan; ia melanjutkan dengan benar, ia menurut, ia membersihkan diri, ia mengatakan: ‘Aku akan bertindak sedemikian sehingga Sangha puas.’ Para bhikkhu, dengan mempertimbangkan hal ini, berpikir: ‘Baik sekali jika para mulia memeriksa bhikkhu ini sedemikian sehingga jalannya perkara terhadapnya diselesaikan dengan cepat.’ Dan para bhikkhu memeriksa bhikkhu ini sedemikian sehingga jalannya perkara terhadapnya diselesaikan dengan cepat.

“Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang pelanggar peraturan yang melanggar peraturan secara tidak sengaja dengan sedikit pelanggaran. Ketika ia dikoreksi oleh para bhikkhu, ia berbicara berputar-putar …(ulangi bagian §23 sampai akhir) … Dan para bhikkhu memeriksa bhikkhu ini sedemikian sehingga jalannya perkara terhadapnya tidak diselesaikan terlalu cepat.

“Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang pelanggar peraturan yang melanggar peraturan secara tidak sengaja dengan sedikit pelanggaran. Ketika ia dikoreksi oleh para bhikkhu, ia tidak berbicara berputar-putar …(ulangi bagian §24 sampai akhir) … Dan para bhikkhu memeriksa bhikkhu ini sedemikian sehingga jalannya perkara terhadapnya diselesaikan dengan cepat.

“Di sini seorang bhikkhu maju selangkah dalam keyakinan dan cinta kasih. Dalam hal ini para bhikkhu mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Teman-teman, bhikkhu ini maju selangkah dalam keyakinan dan cinta kasih. Jangan sampai ia kehilangan kemajuan dalam keyakinan dan cinta kasih itu, seperti yang akan terjadi jika kita berulang-ulang menegurnya.’ Misalkan seseorang hanya memiliki satu mata; maka teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan menjaga matanya, dengan berpikir: ‘Jangan sampai ia kehilangan mata satu-satunya.’ Demikian pula, seorang bhikkhu maju selangkah dalam keyakinan dan cinta kasih … Jangan sampai ia kehilangan kemajuan dalam keyakinan dan cinta kasih itu, seperti yang akan terjadi jika kita berulang-ulang menegurnya.

“Ini adalah penyebab, ini adalah alasan, mengapa mereka mengambil tindakan terhadap para bhikkhu di sini dengan berulang-ulang menegurnya. Ini adalah penyebab, ini adalah alasan, mengapa mereka tidak mengambil tindakan pada seorang bhikkhu di sini dengan berulang-ulang menegurnya.”

“Yang Mulia, apakah penyebab, apakah alasan, mengapa sebelumnya terdapat lebih sedikit aturan latihan dan lebih banyak bhikkhu yang mencapai pengetahuan akhir? Apakah penyebab, apakah alasan, mengapa sekarang terdapat lebih banyak aturan latihan dan lebih sedikit bhikkhu yang mencapai pengetahuan akhir?”

“Demikianlah, Bhaddāli. Ketika makhluk-makhluk merosot dan Dhamma sejati memudar, maka terdapat lebih banyak aturan latihan dan lebih sedikit bhikkhu yang mencapai pengetahuan akhir. Sang Guru tidak menetapkan aturan latihan untuk para siswa hingga hal-hal tertentu yang menjadi landasan bagi noda-noda terbentuk di sini di dalam Sangha; tetapi ketika hal-hal tertentu yang menjadi landasan bagi noda-noda telah terbentuk di sini di dalam Sangha, maka Sang Guru menetapkan aturan latihan bagi para siswa untuk menghalau hal-hal tersebut yang menjadi landasan bagi noda-noda.

“Hal-hal tersebut yang menjadi landasan bagi noda-noda tidak terbentuk di sini di dalam Sangha hingga Sangha telah membesar; tetapi ketika Sangha telah membesar, maka hal-hal tersebut yang menjadi landasan bagi noda-noda terbentuk di sini di dalam Sangha, dan kemudian Sang Guru menetapkan aturan latihan bagi para siswa untuk menghalau hal-hal tersebut yang menjadi landasan bagi noda-noda. Hal-hal tersebut yang menjadi landasan bagi noda-noda tidak terbentuk di sini di dalam Sangha hingga Sangha telah mencapai puncak perolehan duniawi … puncak kemasyhuran … banyak belajar … kemasyhuran karena telah lama berdiri; tetapi ketika Sangha telah mencapai kemasyhuran karena telah lama berdiri, maka hal-hal tersebut yang menjadi landasan bagi noda-noda terbentuk di sini di dalam Sangha, dan kemudian Sang Guru menetapkan aturan latihan bagi para siswa untuk menghalau hal-hal tersebut yang menjadi landasan bagi noda-noda.

“Beberapa kali engkau hadir, Bhaddāli, ketika Aku mengajarkan penjelasan Dhamma melalui perumpamaan kuda muda dari keturunan murni. Ingatkah engkau akan hal itu, Bhaddāli?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Karena alasan apakah?”

“Yang Mulia, aku telah lama menjadi seorang yang tidak memenuhi latihan di dalam Pengajaran Sang Guru.”

“Itu bukan sebab satu-satunya atau alasan satu-satunya. Tetapi, dengan pikiranKu melingkupi pikiranmu, aku telah tahu sejak lama sebagai berikut: ‘Ketika Aku sedang mengajarkan Dhamma, orang sesat ini tidak menyimak, tidak memperhatikan, tidak mencurahkan segenap pikirannya, tidak mendengarkan Dhamma dengan sungguh-sungguh.’ Namun, Bhaddāli, Aku akan tetap mengajarkan kepadamu penjelasan Dhamma melalui perumpamaan kuda muda dari keturunan murni. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.”

“Baik, Yang Mulia.” Yang Mulia Bhaddāli menjawab.

Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Bhaddāli, misalkan seorang pelatih kuda yang cerdas memperoleh seekor kuda muda dari keturunan murni yang baik. Pertama-tama ia membuatnya terbiasa mengenakan tali kekang. Sewaktu kuda muda itu dibiasakan mengenakan tali kekang, karena ia melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, ia memperlihatkan perlawanan, menggeliat, dan memberontak, namun melalui pengulangan terus-menerus dan latihan secara bertahap, ia menjadi tenang dalam tindakan tersebut.

“Ketika kuda muda itu telah menjadi tenang dalam tindakan itu, sang pelatih kuda lebih jauh membuatnya terbiasa mengenakan perlengkapan kuda. Sewaktu kuda muda itu dibiasakan mengenakan perlengkapan kuda, karena ia melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, ia memperlihatkan perlawanan, menggeliat, dan memberontak, namun melalui pengulangan terus-menerus dan latihan secara bertahap, ia menjadi tenang dalam tindakan tersebut.

“Ketika kuda muda itu telah menjadi tenang dalam tindakan itu, sang pelatih kuda lebih jauh membuatnya terlatih dalam melangkah, dalam berlari berputar, dalam mengangkat kedua kaki depannya, dalam menderap, dalam menyerang, dalam kualitas-kualitas kerajaan, dalam budaya kerajaan, dalam kecepatan tertinggi, dalam ketangkasan tertinggi, dalam kelembutan tertinggi. Sewaktu kuda muda itu dibiasakan melakukan hal-hal ini, karena ia melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, ia memperlihatkan perlawanan, menggeliat, dan memberontak, namun melalui pengulangan terus-menerus dan latihan secara bertahap, ia menjadi tenang dalam tindakan tersebut.

“Ketika kuda muda itu telah menjadi tenang dalam tindakan-tindakan itu, sang pelatih kuda lebih jauh menghadiahinya dengan pijatan dan perawatan. Ketika seekor kuda muda jantan dari keturunan murni memiliki sepuluh faktor ini, ia layak menjadi milik raja, layak melayani raja, dan dianggap sebagai salah satu faktor seorang raja.

“Demikian pula, Bhaddāli, ketika seorang bhikkhu memiliki sepuluh kualitas, ia layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, ladang menanam jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah sepuluh ini? Di sini, Bhaddāli, seorang bhikkhu memiliki pandangan benar seorang yang melampaui latihan, kehendak benar seorang yang melampaui latihan, ucapan benar seorang yang melampaui latihan, perbuatan benar seorang yang melampaui latihan, penghidupan benar seorang yang melampaui latihan, usaha benar seorang yang melampaui latihan, perhatian benar seorang yang melampaui latihan, konsentrasi benar seorang yang melampaui latihan, pengetahuan benar seorang yang melampaui latihan, dan kebebasan benar seorang yang melampaui latihan. Ketika seorang bhikkhu memiliki sepuluh kualitas, ia layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, ladang menanam jasa yang tiada taranya di dunia.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Bhaddāli merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com