Sariputta | Suttapitaka | Ajaran yang Tidak Dapat Dibantah Sariputta

Ajaran yang Tidak Dapat Dibantah

Apaṇṇaka (MN 60)

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di Negeri Kosala bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, dan akhirnya Beliau tiba di desa brahmana Kosala bernama Sālā.

Para brahmana perumah-tangga di Sālā mendengar: “Petapa Gotama, putera Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di Negeri Kosala bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu dan telah sampai di Sālā. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi. Beliau menyatakan dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, kepada generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para pangeran dan rakyatnya, yang telah Beliau tembus oleh diriNya sendiri dengan pengetahuan langsung. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, dan Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan sempurna sepenuhnya.’ Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

Kemudian para brahmana perumah-tangga dari Sālā pergi menemui Sang Bhagavā. Beberapa bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, duduk di satu sisi; beberapa lainnya merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya menyebutkan nama dan suku mereka di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya hanya berdiam diri dan duduk di satu sisi.

Ketika mereka telah duduk, Sang Bhagavā bertanya kepada mereka: “Para perumah-tangga, adakah guru yang kalian sukai yang padanya kalian memperoleh keyakinan yang didukung oleh logika?”

“Tidak, Yang Mulia, tidak ada guru yang kami sukai yang padanya kami memperoleh keyakinan yang didukung oleh logika.”

“Karena, para perumah-tangga, kalian belum menemukan seorang guru yang kalian sukai, maka kalian dapat menjalankan dan mempraktikkan ajaran yang tidak dapat dibantah ini; karena jika ajaran yang tidak dapat dibantah ini diterima dan dijalankan, maka ini akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan kalian untuk waktu yang lama. Dan apakah ajaran yang tidak dapat dibantah ini?

I. Doktrin Nihilis
(A) “Para perumah-tangga, ada beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dipersembahkan, tidak ada yang dikorbankan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’

(B) “Kemudian ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrinnya secara langsung berlawanan dengan doktrin para petapa dan brahmana tadi, dan mereka berkata: ‘Ada yang diberikan, ada yang dipersembahkan, ada yang dikorbankan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini, ada dunia lain; ada ibu, ada ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Bagaimana menurut kalian, perumah-tangga? Apakah para petapa dan brahmana ini menganut doktrin yang saling berlawanan secara langsung?”—“Benar, Yang Mulia.”

(A.i) “Sekarang, para perumah-tangga, dari para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan bahwa: ‘Tidak ada yang diberikan … tidak ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain,’ dapat diharapkan bahwa mereka akan menghindari tiga kondisi bermanfaat ini, yaitu, perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar, dan bahwa mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi tidak bermanfaat, yaitu, perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah. Mengapakah? Karena para petapa dan brahmana itu tidak melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka tidak melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

(A.ii) “Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang menganut pandangan ‘tidak ada dunia lain’ memiliki pandangan salah. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang menghendaki ‘tidak ada dunia lain’ memiliki kehendak salah. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang mengungkapkan pernyataan ‘tidak ada dunia lain’ memiliki ucapan salah. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang mengatakan ‘tidak ada dunia lain’ adalah berlawanan dengan para Arahant yang mengetahui dunia lain. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang meyakinkan orang lain bahwa ‘tidak ada dunia lain’ meyakinkannya untuk menerima Dhamma palsu; dan karena ia meyakinkan orang lain untuk menerima suatu Dhamma palsu, ia memuji diri sendiri dan menghina orang lain. Demikianlah moralitas murni yang manapun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan perilaku buruk menggantikannya. Dan pandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, berlawanan dengan para mulia, meyakinkan orang lain untuk menerima Dhamma palsu, dan memuji diri sendiri dan menghina orang lain ini—beberapa kondisi tidak bermanfaat ini muncul dengan pandangan salah sebagai kondisinya.

(A.iii) “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Jika tidak ada dunia lain, maka ketika hancurnya jasmani, orang ini telah membuat dirinya cukup aman. Tetapi jika ada dunia lain, maka ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Sekarang apakah kata-kata para petapa dan brahmana itu benar atau salah, biarlah aku mengasumsikan bahwa tidak ada dunia lain: tetap saja orang ini di sini dan saat ini dicela oleh para bijaksana sebagai seorang yang tidak bermoral, seorang dengan pandangan salah yang menganut doktrin nihilisme. Tetapi sebaliknya, jika ternyata ada dunia lain, maka orang ini telah melakukan lemparan yang tidak beruntung pada kedua sisi: karena ia dicela oleh para bijaksana di sini dan saat ini, dan karena ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Ia telah secara keliru menerima dan menjalankan ajaran yang tidak dapat dibantah ini sedemikian sehingga hanya mencakup satu sisi dan tidak mencakup alternatif yang bermanfaat.’

(B.i) “Sekarang, para perumah-tangga, dari para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan bahwa: ‘Ada yang diberikan … ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain,’ dapat diharapkan bahwa mereka akan menghindari tiga kondisi tidak bermanfaat ini, yaitu, perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah, dan bahwa mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi bermanfaat, yaitu, perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar. Mengapakah? Karena para petapa dan brahmana itu melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

(B.ii) “Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang menganut pandangan ‘ada dunia lain’ memiliki pandangan benar. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang menghendaki ‘ada dunia lain’ memiliki kehendak benar. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang mengungkapkan pernyataan ‘ada dunia lain’ memiliki ucapan benar. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang mengatakan ‘ada dunia lain’ adalah tidak berlawanan dengan para Arahant yang mengetahui dunia lain. Karena sesungguhnya ada dunia lain, maka seseorang yang meyakinkan orang lain bahwa ‘ada dunia lain’ meyakinkannya untuk menerima Dhamma sejati; dan karena ia meyakinkan orang lain untuk menerima suatu Dhamma sejati, ia tidak memuji diri sendiri dan tidak menghina orang lain. Demikianlah perilaku buruk apapun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan moralitas murni menggantikannya. Dan pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, tidak berlawanan dengan para mulia, meyakinkan orang lain untuk menerima Dhamma sejati, dan menghindari memuji diri sendiri dan menghindari menghina orang lain ini—beberapa kondisi bermanfaat ini muncul dengan pandangan benar sebagai kondisinya.

(B.iii) “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Jika ada dunia lain, maka ketika hancurnya jasmani, orang ini akan muncul kembali di alam tujuan kelahiran yang bahagia, bahkan di alam surga. Sekarang apakah kata-kata para petapa dan brahmana itu benar atau salah, biarlah aku mengasumsikan bahwa tidak ada dunia lain: tetap saja orang ini di sini dan saat ini dipuji oleh para bijaksana sebagai seorang yang bermoral, seorang dengan pandangan benar yang menganut doktrin penegasan keberadaan. Dan di pihak lain, jika ternyata ada dunia lain, maka orang ini telah melakukan lemparan yang beruntung pada kedua sisi: karena ia dipuji oleh para bijaksana di sini dan saat ini, dan karena ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di alam berbahagia, bahkan di alam surga. Ia telah secara benar menerima dan menjalankan ajaran yang tidak dapat dibantah ini sedemikian sehingga mencakup kedua sisi dan tidak mencakup alternatif yang tidak bermanfaat.’

II. Doktrin Tidak-Berbuat
(A) “Para perumah-tangga, ada beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Ketika seseorang melakukan atau menyuruh orang lain melakukan, ketika seseorang melukai atau menyuruh orang melukai, ketika seseorang menyiksa atau menyuruh orang lain menjatuhkan siksaan, ketika seseorang menyebabkan dukacita atau menyuruh orang lain menyebabkan dukacita, ketika seseorang menindas atau menyuruh orang lain melakukan penindasan, ketika seseorang mengintimidasi atau menyuruh orang lain mengintimidasi, ketika seseorang membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, mendobrak masuk ke rumah, merampas kekayaan, melakukan perampokan, penyerangan di jalan raya, menggoda istri orang lain, mengucapkan kebohongan—maka tidak ada kejahatan yang dilakukan oleh si pelaku. Jika, dengan roda berpisau, seseorang mengubah makhluk-makhluk hidup di bumi ini menjadi sekumpulan daging, menjadi gunung daging, tidak ada kejahatan atau akibat kejahatan yang disebabkan oleh hal tersebut. Jika seseorang berjalan di sepanjang tepi selatan sungai Gangga membunuh dan membantai, melukai dan menyuruh orang lain melukai, menyiksa dan menyuruh orang lain menjatuhkan siksaan, tidak ada kejahatan dan tidak ada akibat kejahatan yang disebabkan oleh hal tersebut. Jika seseorang berjalan di sepanjang tepi utara sungai Gangga memberikan persembahan dan menyuruh orang lain memberikan persembahan, tidak ada jasa kebajikan dan tidak ada akibat dari jasa kebajikan yang disebabkan oleh hal tersebut. Dengan memberi, dengan menjinakkan diri sendiri, dengan pengendalian, dengan mengucapkan kebenaran, tidak ada jasa kebajikan dan tidak ada akibat dari jasa kebajikan.’

(B) “Sekarang, ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrinnya secara langsung berlawanan dengan doktrin para petapa dan brahmana tadi, dan mereka berkata: ‘Ketika seseorang melakukan atau menyuruh orang lain melakukan, ketika seseorang melukai atau menyuruh orang melukai … mengucapkan kebohongan—maka kejahatan dilakukan oleh si pelaku. Jika, dengan roda berpisau, seseorang mengubah makhluk-makhluk hidup di bumi ini menjadi sekumpulan daging, menjadi gunung daging, ada kejahatan atau akibat kejahatan yang disebabkan oleh hal tersebut. Jika seseorang berjalan di sepanjang tepi selatan sungai Gangga membunuh dan membantai, melukai dan menyuruh orang lain melukai, menyiksa dan menyuruh orang lain menjatuhkan siksaan, ada kejahatan dan ada akibat kejahatan yang disebabkan oleh hal tersebut. Jika seseorang berjalan di sepanjang tepi utara sungai Gangga memberikan persembahan dan menyuruh orang lain memberikan persembahan, ada jasa kebajikan dan ada akibat dari jasa kebajikan yang disebabkan oleh hal tersebut. Dengan memberi, dengan menjinakkan diri sendiri, dengan pengendalian, dengan mengucapkan kebenaran, ada jasa kebajikan dan ada akibat dari jasa kebajikan.’ Bagaimana menurut kalian, perumah-tangga? Apakah para petapa dan brahmana ini menganut doktrin yang saling berlawanan secara langsung?”—“Benar, Yang Mulia.”

(A.i) “Sekarang, para perumah-tangga, dari para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan bahwa: ‘Ketika seseorang melakukan atau menyuruh orang lain melakukan … maka tidak ada jasa kebajikan dan tidak ada akibat dari jasa kebajikan,’ dapat diharapkan bahwa mereka akan menghindari tiga kondisi bermanfaat ini, yaitu, perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar, dan bahwa mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi tidak bermanfaat, yaitu, perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah. Mengapakah? Karena para petapa dan brahmana itu tidak melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka tidak melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

(A.ii) “Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang menganut pandangan ‘tidak ada perbuatan’ memiliki pandangan salah. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang menghendaki ‘tidak ada perbuatan’ memiliki kehendak salah. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang mengungkapkan pernyataan ‘tidak ada perbuatan’ memiliki ucapan salah. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang mengatakan ‘tidak ada perbuatan’ adalah berlawanan dengan para Arahant yang menganut doktrin bahwa ada perbuatan. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang meyakinkan orang lain bahwa ‘tidak ada perbuatan’ meyakinkannya untuk menerima Dhamma palsu; dan karena ia meyakinkan orang lain untuk menerima suatu Dhamma palsu, ia memuji diri sendiri dan menghina orang lain. Demikianlah moralitas murni yang manapun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan perilaku buruk menggantikannya. Dan pandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, berlawanan dengan para mulia, meyakinkan orang lain untuk menerima Dhamma palsu, dan memuji diri sendiri dan menghina orang lain ini—beberapa kondisi tidak bermanfaat ini muncul dengan pandangan salah sebagai kondisinya.

(A.iii) “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Jika tidak ada perbuatan, maka ketika hancurnya jasmani, orang ini telah membuat dirinya cukup aman. Tetapi jika ada perbuatan, maka ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Sekarang apakah kata-kata para petapa dan brahmana itu benar atau salah, biarlah aku mengasumsikan bahwa tidak ada perbuatan: tetap saja orang ini di sini dan saat ini dicela oleh para bijaksana sebagai seorang yang tidak bermoral, seorang dengan pandangan salah yang menganut doktrin tanpa-perbuatan. Tetapi sebaliknya, jika ternyata ada perbuatan, maka orang ini telah melakukan lemparan yang tidak beruntung pada kedua sisi: karena ia dicela oleh para bijaksana di sini dan saat ini, dan karena ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Ia telah secara keliru menerima dan menjalankan ajaran yang tidak dapat dibantah ini sedemikian sehingga hanya mencakup satu sisi dan tidak mencakup alternatif yang bermanfaat.’

(B.i) “Sekarang, para perumah-tangga, dari para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan bahwa: ‘Ketika seseorang melakukan atau menyuruh orang lain melakukan … maka ada jasa kebajikan dan ada akibat dari jasa kebajikan,’ dapat diharapkan bahwa mereka akan menghindari tiga kondisi tidak bermanfaat ini, yaitu, perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah, dan bahwa mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi bermanfaat, yaitu, perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar. Mengapakah? Karena para petapa dan brahmana itu melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

(B.ii) “Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang menganut pandangan ‘ada perbuatan’ memiliki pandangan benar. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang menghendaki ‘ada perbuatan’ memiliki kehendak benar. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang mengungkapkan pernyataan ‘ada perbuatan’ memiliki ucapan benar. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang mengatakan ‘ada perbuatan’ adalah tidak berlawanan dengan para Arahant yang menganut doktrin bahwa ada perbuatan. Karena sesungguhnya ada perbuatan, maka seseorang yang meyakinkan orang lain bahwa ‘ada perbuatan’ meyakinkannya untuk menerima Dhamma sejati; dan karena ia meyakinkan orang lain untuk menerima suatu Dhamma sejati, ia tidak memuji diri sendiri dan tidak menghina orang lain. Demikianlah perilaku buruk apapun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan moralitas murni menggantikannya. Dan pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, tidak berlawanan dengan para mulia, meyakinkan orang lain untuk menerima Dhamma sejati, dan menghindari memuji diri sendiri dan menghindari menghina orang lain ini—beberapa kondisi bermanfaat ini muncul dengan pandangan benar sebagai kondisinya.

(B.iii) “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Jika ada perbuatan, maka ketika hancurnya jasmani, orang ini akan muncul kembali di alam tujuan kelahiran yang bahagia, bahkan di alam surga. Sekarang apakah kata-kata para petapa dan brahmana itu benar atau salah, biarlah aku mengasumsikan bahwa tidak ada perbuatan: tetap saja orang ini di sini dan saat ini dipuji oleh para bijaksana sebagai seorang yang bermoral, seorang dengan pandangan benar yang menganut doktrin ada perbuatan. Dan sebaliknya, jika ternyata ada perbuatan, maka orang ini telah melakukan lemparan yang beruntung pada kedua sisi: karena ia dipuji oleh para bijaksana di sini dan saat ini, dan karena ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di alam berbahagia, bahkan di alam surga. Ia telah secara benar menerima dan menjalankan ajaran yang tidak dapat dibantah ini sedemikian sehingga mencakup kedua sisi dan tidak mencakup alternatif yang tidak bermanfaat.’

III. Doktrin Non-Kausalitas
(A) “Para perumah-tangga, ada beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Tidak ada sebab atau kondisi bagi kekotoran makhluk-makhluk; makhluk-makhluk terkotori tanpa sebab atau kondisi. Tidak ada sebab atau kondisi bagi pemurnian makhluk-makhluk; makhluk-makhluk dimurnikan tanpa sebab atau kondisi. Tidak ada kekuasaan, tidak ada tenaga, tidak ada kekuatan fisik, tidak ada ketahanan fisik. Semua makhluk, semua benda hidup, semua makhluk hidup, semua jiwa adalah tanpa kekuasaan, kekuatan, dan tenaga; dibentuk oleh takdir, situasi, dan alam, mereka mengalami kenikmatan dan kesakitan dalam enam kelompok.’

(B) “Sekarang, ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrinnya secara langsung berlawanan dengan doktrin para petapa dan brahmana tadi, dan mereka berkata: ‘Ada sebab atau kondisi bagi kekotoran makhluk-makhluk; makhluk-makhluk terkotori karena sebab atau kondisi. Ada sebab atau kondisi bagi pemurnian makhluk-makhluk; makhluk-makhluk dimurnikan karena sebab atau kondisi. Ada kekuasaan, ada tenaga, ada kekuatan fisik, ada ketahanan fisik. Tidak mungkin semua makhluk, semua benda hidup, semua makhluk hidup, semua jiwa adalah tanpa kekuasaan, kekuatan, dan tenaga, atau dibentuk oleh takdir, situasi, dan alam, mereka mengalami kenikmatan dan kesakitan dalam enam kelompok.’—Bagaimana menurut kalian, perumah-tangga? Apakah para petapa dan brahmana ini menganut doktrin yang saling berlawanan secara langsung?”—“Benar, Yang Mulia.”

(A.i) “Sekarang, para perumah-tangga, dari para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan bahwa: ‘Tidak ada sebab atau kondisi bagi kekotoran makhluk-makhluk … mereka mengalami kenikmatan dan kesakitan dalam enam kelompok,’ dapat diharapkan bahwa mereka akan menghindari tiga kondisi bermanfaat ini, yaitu, perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar, dan bahwa mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi tidak bermanfaat, yaitu, perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah. Mengapakah? Karena para petapa dan brahmana itu tidak melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka tidak melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

(A.ii) “Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang menganut pandangan ‘tidak ada kausalitas’ memiliki pandangan salah. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang menghendaki ‘tidak ada kausalitas’ memiliki kehendak salah. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang mengungkapkan pernyataan ‘tidak ada kausalitas’ memiliki ucapan salah. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang mengatakan ‘tidak ada kausalitas’ adalah berlawanan dengan para Arahant yang menganut doktrin kausalitas. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang meyakinkan orang lain bahwa ‘tidak ada kausalitas’ meyakinkannya untuk menerima Dhamma palsu; dan karena ia meyakinkan orang lain untuk menerima suatu Dhamma palsu, ia memuji diri sendiri dan menghina orang lain. Demikianlah moralitas murni yang manapun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan perilaku buruk menggantikannya. Dan pandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, berlawanan dengan para mulia, meyakinkan orang lain untuk menerima Dhamma palsu, dan memuji diri sendiri dan menghina orang lain ini—beberapa kondisi tidak bermanfaat ini muncul dengan pandangan salah sebagai kondisinya.

(A.iii) “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Jika tidak ada kausalitas, maka ketika hancurnya jasmani, orang ini telah membuat dirinya cukup aman. Tetapi jika ada kausalitas, maka ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Sekarang apakah kata-kata para petapa dan brahmana itu benar atau salah, biarlah aku mengasumsikan bahwa tidak ada kausalitas: tetap saja orang ini di sini dan saat ini dicela oleh para bijaksana sebagai seorang yang tidak bermoral, seorang dengan pandangan salah yang menganut doktrin non-kausalitas. Tetapi sebaliknya, jika ternyata ada kausalitas, maka orang ini telah melakukan lemparan yang tidak beruntung pada kedua sisi: karena ia dicela oleh para bijaksana di sini dan saat ini, dan karena ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Ia telah secara keliru menerima dan menjalankan ajaran yang tidak dapat dibantah ini sedemikian sehingga hanya mencakup satu sisi dan tidak mencakup alternatif yang bermanfaat.’

(B.i) “Sekarang, para perumah-tangga, dari para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan bahwa: ‘ada sebab atau kondisi bagi kekotoran makhluk-makhluk … mereka mengalami kenikmatan dan kesakitan dalam enam kelompok,’ dapat diharapkan bahwa mereka akan menghindari tiga kondisi tidak bermanfaat ini, yaitu, perilaku jasmani salah, perilaku ucapan salah, dan perilaku pikiran salah, dan bahwa mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi bermanfaat, yaitu, perilaku jasmani benar, perilaku ucapan benar, dan perilaku pikiran benar. Mengapakah? Karena para petapa dan brahmana itu melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

(B.ii) “Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang menganut pandangan ‘ada kausalitas’ memiliki pandangan benar. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang menghendaki ‘ada kausalitas’ memiliki kehendak benar. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang mengungkapkan pernyataan ‘ada kausalitas’ memiliki ucapan benar. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang mengatakan ‘ada kausalitas’ adalah tidak berlawanan dengan para Arahant yang menganut doktrin kausalitas. Karena sesungguhnya ada kausalitas, maka seseorang yang meyakinkan orang lain bahwa ‘ada kausalitas’ meyakinkannya untuk menerima Dhamma sejati; dan karena ia meyakinkan orang lain untuk menerima Dhamma sejati, ia tidak memuji diri sendiri dan tidak menghina orang lain. Demikianlah perilaku buruk apapun yang sebelumnya ia miliki telah ditinggalkan dan moralitas murni menggantikannya. Dan pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, tidak berlawanan dengan para mulia, meyakinkan orang lain untuk menerima Dhamma sejati, dan menghindari memuji diri sendiri dan menghindari menghina orang lain ini—beberapa kondisi bermanfaat ini muncul dengan pandangan benar sebagai kondisinya.

(B.iii) “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Jika ada kausalitas, maka ketika hancurnya jasmani, orang ini akan muncul kembali di alam tujuan kelahiran yang bahagia, bahkan di alam surga. Sekarang apakah kata-kata para petapa dan brahmana itu benar atau salah, biarlah aku mengasumsikan bahwa tidak ada kausalitas: tetap saja orang ini di sini dan saat ini dipuji oleh para bijaksana sebagai seorang yang bermoral, seorang dengan pandangan benar yang menganut doktrin ada kausalitas. Dan sebaliknya, jika ternyata ada kausalitas, maka orang ini telah melakukan lemparan yang beruntung pada kedua sisi: karena ia dipuji oleh para bijaksana di sini dan saat ini, dan karena ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di alam berbahagia, bahkan di alam surga. Ia telah secara benar menerima dan menjalankan ajaran yang tidak dapat dibantah ini sedemikian sehingga mencakup kedua sisi dan tidak mencakup alternatif yang tidak bermanfaat.’

IV. Tidak Ada Alam Tanpa Materi
“Para perumah-tangga, ada beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Pasti tidak ada alam tanpa materi.’

“Sekarang, ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrinnya secara langsung berlawanan dengan doktrin para petapa dan brahmana tadi, dan mereka berkata: ‘Pasti ada alam tanpa materi.’ Bagaimana menurut kalian, perumah-tangga? Apakah para petapa dan brahmana ini menganut doktrin yang saling berlawanan secara langsung?”—“Benar, Yang Mulia.”

“Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana ini menganut doktrin dan pandangan “Pasti tidak ada alam tanpa materi,” tetapi itu belum pernah terlihat olehku. Dan para petapa dan brahmana lainnya menganut doktrin dan pandangan “Pasti ada alam tanpa materi,” tetapi itu belum diketahui olehku. Jika, tanpa mengetahui dan tanpa melihat, aku menganut satu pihak dan menyatakan: “Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,” itu adalah tidak tepat bagiku. Sekarang sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “pasti tidak ada alam tanpa materi,” jika kata-kata mereka benar maka adalah mungkin aku dapat muncul kembali setelah kematian di antara para dewa bermateri-halus yang terdiri dari batin. Tetapi sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “pasti ada alam tanpa materi,” jika kata-kata mereka benar maka adalah mungkin aku dapat muncul kembali setelah kematian di antara para dewa di alam tanpa materi yang terdiri dari persepsi. Penggunaan tongkat pemukul dan senjata, pertengkaran, percekcokan, perselisihan, tuduh-menuduh, kedengkian, dan kebohongan terjadi berdasarkan pada bentuk materi, tetapi ini tidak ada sama sekali dalam alam tanpa materi.’ Setelah merenungkan demikian, ia mempraktikkan jalan menuju kekecewaan pada bentuk-bentuk materi, menuju peluruhan dan lenyapnya bentuk-bentuk materi.

V. Tidak Ada Lenyapnya Penjelmaan
“Para perumah-tangga, ada beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Pasti tidak ada lenyapnya penjelmaan.’

“Sekarang, ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrinnya secara langsung berlawanan dengan doktrin para petapa dan brahmana tadi, dan mereka berkata: ‘Pasti ada lenyapnya penjelmaan.’ Bagaimana menurut kalian, perumah-tangga? Apakah para petapa dan brahmana ini menganut doktrin yang saling berlawanan secara langsung?”—“Benar, Yang Mulia.”

“Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana ini menganut doktrin dan pandangan “Pasti tidak ada lenyapnya penjelmaan,” tetapi itu belum pernah terlihat olehku. Dan para petapa dan brahmana lainnya menganut doktrin dan pandangan “Pasti ada lenyapnya penjelmaan,” tetapi itu belum diketahui olehku. Jika, tanpa mengetahui dan tanpa melihat, aku menganut satu pihak dan menyatakan: “Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,” itu adalah tidak tepat bagiku. Sekarang sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “pasti tidak ada lenyapnya penjelmaan,” jika kata-kata mereka benar maka adalah mungkin aku dapat muncul kembali setelah kematian di antara para dewa tanpa-materi yang terdiri dari persepsi. Tetapi sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “pasti ada lenyapnya penjelmaan,” jika kata-kata mereka benar maka adalah mungkin bahwa aku dapat di sini dan saat ini mencapai Nibbāna akhir. Pandangan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin “pasti tidak ada lenyapnya penjelmaan” adalah mendekati nafsu, mendekati belenggu, mendekati kenikmatan, mendekati cengkeraman, mendekati kemelekatan; tetapi pandangan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin “pasti ada lenyapnya penjelmaan” adalah mendekati tanpa-nafsu, mendekati tanpa-belenggu, mendekati tanpa-kenikmatan, mendekati tanpa-cengkeraman, mendekati tanpa-kemelekatan; Setelah merenungkan demikian, ia mempraktikkan jalan menuju kekecewaan pada penjelmaan, menuju peluruhan dan lenyapnya penjelmaan.

Empat Jenis Orang
“Para perumah-tangga, terdapat empat jenis orang di dunia ini. Apakah empat ini? Di sini jenis orang tertentu menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya. Di sini jenis orang tertentu menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain. Di sini jenis orang tertentu menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain. Di sini jenis orang tertentu tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lain. Karena ia tidak menyiksa dirinya dan makhluk lain, maka ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah dirinya sendiri menjadi suci.

“Orang jenis apakah, para perumah-tangga, yang menyiksa dirinya sendiri dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri? Di sini seseorang tertentu bepergian dengan telanjang, melanggar kebiasaan … (seperti pada Sutta 51, §8) … Demikianlah dalam berbagai cara ia berdiam dengan menjalankan praktik menyiksa dan menyakiti tubuhnya. Ini disebut jenis orang yang menyiksa dirinya dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri.

“Orang jenis apakah, para perumah-tangga, yang menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain? Di sini seseorang tertentu adalah seorang penyembelih domba … (seperti pada Sutta 51, §9) … atau seorang yang menekuni pekerjaan berdarah itu. Ini disebut jenis orang yang menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain.

“Orang jenis apakah, para perumah-tangga, yang menyiksa dirinya sendiri dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri dan juga menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain? Di sini seseorang yang adalah raja mulia yang sah atau seorang brahmana kaya … (seperti pada Sutta 51, §10) … Dan kemudian para budak, kurir, dan pelayannya membuat persiapan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, karena didorong oleh ancaman hukuman dan oleh ketakutan. Ini disebut jenis orang menyiksa dirinya sendiri dan melakukan praktik menyiksa dirinya sendiri dan juga menyiksa makhluk lain dan melakukan praktik menyiksa makhluk lain.

“Orang jenis apakah, para perumah-tangga, yang tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lain—seorang yang, karena tidak menyiksa dirinya dan orang lain, ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah dirinya sendiri menjadi suci?

“Di sini, para bhikkhu, seorang Tathāgata muncul di dunia ini … seperti pada MN 51, §§12–27 … Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

“Ini, para perumah-tangga, disebut jenis orang yang tidak menyiksa dirinya dan tidak melakukan praktik menyiksa dirinya, dan ia juga tidak menyiksa makhluk lain dan tidak melakukan praktik menyiksa makhluk lain—seorang yang, karena tidak menyiksa dirinya dan orang lain, ia di sini dan saat ini tidak merasa lapar, padam, dan sejuk, dan ia berdiam dengan mengalami kebahagiaan, setelah dirinya sendiri menjadi suci.”

Ketika hal ini dikatakan, para brahmana perumah-tangga dari Sālā berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Kami berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama menerima kami sebagai umat-umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com