Sariputta | Suttapitaka | ISTANA PEMAKAI ANTING YANG DIPOLES Sariputta

ISTANA PEMAKAI ANTING YANG DIPOLES

Maṭṭha­kuṇḍa­lī­vi­mānavat­thu (Vv 83)

Yang Terberkahi sedang berdiam di Savathi, di Hutan Jeta. Pada waktu itu, di sana hidup seorang brahmana yang amat kaya tetapi tidak memiliki keyakinan. Namun dia tidak pernah memberikan apa pun kepada siapa pun, sehingga dijuluki ‘Yang Tak-Pernah-Memberi’. Putranya yang bernama Mattakundalin dilarang mendekati Yang Terberkahi atau siswa-siswa Beliau. Anak itu pun menurut. Ketika dia jatuh sakit, ayahnya bahkan tidak mau membelikan obat. Akibatnya, penyakit anaknya menjadi lebih parah. Ketika para tabib dipanggil, mereka mengatakan bahwa penyakitnya tidak dapat disembuhkan. Pada saat itu, Yang Terberkahi bangkit dari pencapaian welas asih yang besar. Beliau melihat bahwa Beliau bisa menyelamatkan ayah dan anak itu. Maka Beliau berdiri di dekat rumah mereka dan mengirimkan sinar-sinarnya. Anak itu tergetar. Dengan bersukacita, dia pun memberi hormat dan berbaring kembali. Segera setelah Yang Terberkahi pergi, anak itu meninggal dan terlahir di Istana dua belas yojana di alam Tiga-Puluh-Tiga dewa. Sehari setelah upacara penguburan, si ayah pergi menangisdi kuburan memanggil-manggil nama anaknya. Anak itu, yang telah menjadi dewa-muda, melihatnya. Maka dia pun muncul di hadapan ayahnya sebagai Mattakundalin yang menangis dengan lengan tertangkup (dalam kesedihan), dan berkata: “Ah, rembulan! Ah, matahari!” Kemudian brahmana itu berkata:

1. “Berhias, memakai anting yang dipoles,3 memakai rangkaian bunga, dengan cendana kuning(4) dikulitmu, dengan menangkupkan tanganmu engkau menangis sedih. (Kesedihan) apa yang menyerangmu di tengah hutan?”

2. “Terbuat dari emas dan bersinar muncullah kerangka-keretaku. Saya tidak dapat menemukan sepasang roda untuknya. Karena melalui kesedihan ini, saya akan meninggalkan kehidupan.”

Kemudian brahmana itu berkata kepadanya:

3. “Terbuat dari emas, terbuat dari permata, terbuat dari batu rubi, atau perak, beritahukanlah padaku, brahmana muda tersayang, akan kubuatkan bagimu sepasang roda.”

Brahmana muda itu bermaksud merendahkan brahmana tersebut karena tidak mau mencarikan obat untuk anaknya, maka dia berkata, “Roda-roda itu harus besar seperti rembulan dan matahari”, dan demikian ini dia meminta:

4. Brahmana muda itu berkata kepadanya, “Rembulan dan matahari keduanya terlihat dari sini.5 Keretaku yang terbuat dari emas akan bersinar dengan sepasang roda seperti itu.”

Kemudian brahmana itu berkata:

5. “Tolol benar engkau, brahmana muda. Engkau mencari apa yang tidak dapat diperoleh. Aku berpendapat engkau akan mati karena engkau tidak akan dapat memperoleh bulan dan matahari.”

Brahmana muda itu berkata kepadanya, “Yang mana yang (lebih) tolol, dia yang menangisi sesuatu yang dapat dilihat, atau dia yang menangisi sesuatu yang tidak dapat dilihat?”

6. “Kedatangan dan kepergian rembulan dan matahari dapat dilihat, dengan sufat-sifat alami dan keelokan6 keduanya dalam perjalanan mereka. Tetapi dia yang meninggal dan telah menyelesaikan waktunya tidak akan terlihat. (Dan antara kita) yang menangis di sini, manakah yang lebih tolol?”

Berpikir bahwa brahmana muda itu berbicara masuk akal, brahmana itu pun berkata:

7 “Memang benar apa yang kau katakana, brahmana muda. (Dari antara kita) yang menangis demikian, sesungguhnya sayalah yang lebih tolol. Bagaikan seorang anak yang menangisi rembulan, saya mencari dia yang telah meninggal dan telah menyelesaikan waktunya.”

Berkat syair itu, sang brahmana menjadi tidak lagi sedih. Dia menyampaikan syair-syair ini untuk memuji brahmana muda itu:

8. 7“Sesungguhnya saya tadi menyala bagaikan api yang dituangi ghee, (tetapi) sekarang seolah-olah telah disiram dengan air, semua kesedihanku lenyap.

9. Sesungguhnya engkau telah menarik keluar anak panah dari dalam diriku, kesedihan yang terkunci di dalam hatiku, (dan) menghalaunya untukku, yang dikuasai oleh kesedihan, kesedihan seorang ayah atas anaknya.

10. Dengan demikian, karena anak panah telah tertarikkk keluar, saya menjadi sejuk, mereda. Saya tidak lagi sedih, saya tidak menangis karena telah mendengarmu, O, brahmana muda.”

Untuk menanyakan, “Siapakah engkau?”, brahmana itu berkata:

11. “Apakah engkau devata, musisi surgawi, atau Sakka, pendana yang dermawan? Atau siapakah engkau? Atau putra siapa? Bagaimana kami bisa mengenalmu?”8

Maka dia memperkenalkan dirinya kepada brahmana itu:

12. “Saya adalah putra yang engkau kremasikan di kuburan yang kau tangisi dan yang kau sedihkan. Setelah melakukan suatu tindakan yang bajik, saya telah mencapai alam Tiga-Puluh-Tiga dewa”.

Kemudian brahmana itu berkata:

13. “Kita belum pernah melihat sedikit atau banyak pemberian dana di rumah kita, atau menjalankan (hari-hari) Uposatha dan sejenisnya. Dari tindakan apa engkau pergi menuju alam-dewa?”

Kemudian brahmana muda itu berkata:

14 “Saya terserang penyakit, menderita, sakit di rumahku sendiri, sakit keras dalam tubuh. Saya melihat Sang Buddha yang tanpa noda, yang telah melampaui keraguan, yang hidup dengan baik, dengan kebijaksanaan sempurna.

15. Dengan hati gembira, dengan pikiran penuh keyakinan, saya menghormat Sang Tathagata dengan tangan tertangkup. Melalui tindakan bajik ini, saya telah mencapai kelompok alam Tiga-Puluh Tiga dewa.

Ketika dia berbicara demikian, seluruh kerangka fisik brahmana itu dipenuhi semangat, dan dia berkata:

16. “Sungguh luar biasa, sungguh menakjubkan, bahwa ini merupakan buah dari tindakan menangkupkan tangan dalam penghormatan. Dengan hati gembira, dengan pikiran penuh keyakinan, hari ini juga saya pun berpaling kepada Sang Buddha untuk perlindungan.”

Setelah mendorong untuk pergi berlindung dan menjalankan pelatihan moral, dewa-muda itu menyampaikan dua syair ini:

17. “Hari ini juga, dengan pikiran penuh keyakinan, engkau berpaling kepada Sang Buddha untuk perlindungan dan kepada Dhamma serta Sangha. Demikian pula engkau mengambil seluruh lima tahap pelatihan tanpa terputus.

18. Sejak saat ini, jauhkan diri dari membunuh makhluk hidup, hindarilah mengambil di dunia ini apa pun yang tidak diberikan, janganlah minum minuman keras, dan jangan berbicara bohong, serta puaslah dengan istrimu sendiri.”

Setelah dewa-muda itu menghimbau demikian untuk pergi berlindung dan menjalankan pelatihan moral, brahmana itu menyetujui dan berkata:

19. “Engkau menginginkan kebajikan yakkha,9 engkau menginginkan kesejahteraanku, devata. Saya akan melakukan perintahmu, engkau adalah guruku.

20. Saya pergi untuk perlindungan kepada Sang Buddha, kepada Dhamma tertinggi, dan kepada Sangha dari para dewa di antara manusia.

21. Sejak saat ini, saya menjauhkan diri dari membunuh makhluk hidup, saya menghindar mengambil di dunia ini apa pun yang tidak diberikan, saya tidak minum minuman keras, dan saya tidak berbicara bohong, serta saya puas dengan istriku sendiri.”

Catatan :

Bandingkan Ja No. 449 dan DhA. I. 25 dst. Di situ cerita ini juga terjadi, kadang-kadang dengan lebih mendetil. Lihat BL. I. 159, n. 1 yang mengatakan bahwa versi-versi VvA. Berasal dari versi DhA. Dan bukan dari versi Ja. Cerita juga ada di Pv. II. 5 tetapi tidak ada syairnya. Referensinya mengacu pada Vv. Tema yang sama, yaitu tidak ada manfaat berkabung untuk yang sudah meninggal, juga merupakan pokok di Ja. No. 454.
Vv. Terbaca Matta-; di VvA. Dan di versi-versi lain cerita, Mattha-seharusnya merupakan bentuk yang benar.
mattakundali, julukan untuk namanya.
VvA. 324 menjalankan hari-sebagai ratta-, merah atau diwarnai.
Ja. Iv. 61, DhA. I. 29 dan v.i. yang terdapat di VvA. 325 terbaca bhataro, saudara-saudara laki, untuk dissare di Ee dan Be. Y.M. Y. Dhammapala, yang berdiskusi dengan saya mengenai syair ini, tidak mengetahui referensi lain untuk rembulan dan matahari yang bersaudara-demikian juga saya. Mungkinkah itu merupakan kesalahan awal untuk bhasare, bersinar?
vannadhatu, seperti di Pv. I. 3. 1.
Syair 8, 9, 10 sama seperti Pv. I. 8. 5, 6, 7.
Bandingkan 62.2.
“Peri” mungkin bisa digunakan sebagai terjemahan di sini, tetapi tidak selalu sesuai.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com