Sariputta | Suttapitaka | ISTANA PERAHU, KETIGA Sariputta

ISTANA PERAHU, KETIGA

Tatiya­nāvāvi­mānavat­thu (Vv 8)

Ketika yang terberkahi sedang bepergian di provinsi dengan sejumlah besar kelompok bhikkhu, Beliau tiba di sebuah desa brahmana yang bernama Thuna di negeri Kosala. Para perumah tangga brahmana dari Thuna mendengar, “Kabarnya, petapa Gotama telah tiba di lading desa kita.” Para perumah-tangga brahmana – yang tidak memiliki keyakinan, yang memiliki pandangan salah, dan yang bersifat tamak- berkata, “Jika Petapa Gotama memasuki desa ini dan tinggal selama dua atau tiga hari, dia akan memantapkan semua orang dalam Ajarannya sendiri. Kemudian agama1 brahmana tidak akan memiliki penopang lagi.” Maka mereka berusaha menghalangi Yang Terberkahi agar tidak berhenti di sana , dengan cara menyingkirkan perahu-perahu dari tempat perhentian dan membuat agar jembatan-jembatan serta jalan pintas tidak dapat digunakan. Semua sumur-kecuali satu – mereka timbun dengan rumput-rumput liar dan sebagainya. Mereka menyembunyikan tempat-tempat perairan, rumah-rumah istirahat, dan lumbung-lumbung. Demikianlah yang diceritakan di dalam Udana.2

Sang Buddha mengetahui tindakan salah mereka. Karena berbelas kasih terhadap mereka, Beliau menyeberangi sungai melalui udara dengan sekelompok para Bhikkkhu, melanjutkan perjalanan, dan pada saatnya sampai di desa brahmana Thuna itu. Beliau meninggalkan jalan dan duduk di kaki sebuah pohon Pada saat itu, banyak perempuan yang lewat di dekat Yang Terberkahi sambil membawa air. Di desa itu telah di buat satu kesepakatan, “ Jika Pertapa Gotama dating kemari, kepadanya tidak boleh ada sambutan atau semacamnya, dan jika Petapa Goatama dating ke suatu rumah, kepadanya atau siswa-siswanya tidak boleh ada makanan yang diberikan.” Pada saat itu, ada seorang budak perempuan seorang brahmana yang sedang berjalan dengan tempayan air. Melihat Yang Terberkahi yang dikelilingi kelompok para bhikkhu, dia menyadari bahwa mereka kelelahan dan kehausan. Karena memiliki pikiran yang penuh keyakinan, dia berniat memberikan air kepada mereka. “Memang orang-orang3 desa ini telah memutuskan bahwa sama sekali tidak boleh ada apa pun yang diberikan kepada Petapa Gotama, bahkan tidak boleh ada penghormatan yang dilakukan,” katanya kepada dirinya sendiri.”Tetapi, kini aku telah menemukan lading-ladang jasa yang amat tinggi ini serta penerima-penerima yang pantas menerima dana kebajikan ini. Jika aku tidak membuat topangan bagi diriku sendiri melalui sekadar memberi air, kapan lagi aku akan bisa terbebas dari kehidupan yang menderita? Dengan senang hati, biarlah tuan dan siapa pun di desa itu memukuli atau mengikatku, tetapi aku tetap akan memberikan dana air ke ladang-jasa seperti ini.” Setelah membuat keputusan ini –walaupun perempuan-perempuan lain yang membawa air mencoba melarangnya-tanpa memperdulikan kehidupannya, dia menurunkan tempayan air dari kelapanya, dan menaruhnya di satu sisi. Kemudian dia menghampiri Yang Terberkahi dengan penuh sukacita dan kebahagiaan, menyapa Beliau dengan penghormatan berunsur-lima, dan menawarkan air kepada Beliau. Yang Terberkahi mengenali keyakinan pikirannya dan karena ingin membantunya, Beliau mencuci tangan dan kakinya dan meneguk air itu. Namun air di dalam tempayan itu tidak berkurang. Gadis itu melihat hal ini. Maka, dengan keyakinan di dalam pikirannya, dia lalu memberikan air kepada para bhikkhu satu demi satu, dan kemudian kepada semuanya. Air itu tetap saja berkurang. Dengan amat bersukacita dan gembira dan dengan tempayan yang tetap penuh seperti sedia kala, 4dia pun pulang.

Brahmana yang merupakan majikan budak itu mendengar berita bahwa budaknya memberikan air minum.”Dia telah melanggar peraturan desa dan aku dijadikan bahan ejekan,”katanya. Terbakar kemarahan, dengan emosi yang meledak-ledak dia menbanting budak itu ke tanah dan memukulinya dengan tangan dan kakinya. Karena siksaan itu, perempuan itu meninggal dan terlahir lagi di alam Tiga-Puluh-Tiga dewa. Sebuah Istana muncul baginya seperti di dalam cerita Perahu Pertama.

Yang Terberkahi berkata kepada Y.M. Ananda, “Ananda. Ambilkan saya air dari sumur.”Thera itu berkata,”Sumur di sini, Bhante yang terhormat, telah dikotori oleh orang-orang Thuna. Saya tidak dapat mengambil air.” Tetapi untuk kedua dan ketiga kalinya Yang Terberkahi menyuruh lagi. Kali ketiga, sang Thera mengambil mangkuk Yang Terberkahi dan pergi ke sumur. Sementara dia berjalan, air di dalam sumur itu terisi sampai ke permukaan, meluap, dan mengalir ke segala sisi.

Semua sampah mengapung di permukaan dan tersisih. Dengan naiknya air itu, tempat-tempat pengaioran lainnya menjadi penuh dan desa itu terkepung, sedangkan daerah sekitar desa itu terbenam. Ketika para brahmana melihat keajaiban itu, dengan hati yang dipenuhi kekaguman dan ketakjuban mereka minta maaf. Yang Terberkahi memaafkan mereka. Segera banjir air lenyap. Maka mereka menyediakan tempat tinggal bagi Yang Terberkahi dan kelompok para bhikkhu dan mengundang mereka untuk makan keesokan harinya. Pada hari berikutnya, setelah menyiapkan dana yang melimpah, mereka menyajikan makanan lunak dan padat yang lezat kepada kelompok para bhikkhu dengan Sang Bhuddha sebagai pemimpinnya. Setelah Yang Terberkahi selesai makan dan menarik tangan dari mangkuknya, semua orang Thuna duduk menghormat di sekeliling Beliau.

Tepat pada saat itu, devata tersebut telah merenungkan pencapaiannya itu. Dia menyadari bahwa penyebabnya adalah dana air minum. Dipenuhi dengan kegembiraan dia berkata, “Bagus, sekarang aku akan memberikan penghormatan kepada Yang Terberkahi. Akan kuperkenalkan kepada dunia manusia buah yang besar dari tindakan-tindakan, bahkan dari yang sepele, jika dilakukan kepada mereka yang melangkah pada jalan yang benar.” Dipenuhi dengan semangat, diikuti seribu peri, bersama taman hiburannya dsb. Dan Istananya, dia tiba dengan keagungan-dewa yang besar dihadapan kelompok orang banyak itu. Dia turun dari Istananya, menghampiri Yang Terberkahi, menghormat Beliau, dan berdiri dengan sikap menhormat. Kemudian Yang Terberkahi- karena ingin menjelaskan buah dari tindakan – jasa kepada banyak orang yang ada dihadapan beliau- bertanya kepadanya :

1.”O, putri, engkau berdiri diatas perahu dengan atap keemasan; engkau mencebur ke dalam kolam-teratai, engkau memetik teratai dengan tanganmu.

2. Tempat kediamanmu merupakan rumah-rumah berpinakel, berpartisi dan direncanakan dengan proporsi yang baik. Rumah-rumah itu memukau dan bersinar ke empat penjuru.

3. Karena apakan maka keelokanmu sedemikian rupa ? Karena apakah engkau sejahtera di sini, dan di sana muncul apa pun yang merupakan kesenangan sesuai dengan hatimu ?

4. “ Saya bertanya kepadamu, dewi dengan keagungan yang besar, tindakan jasa apakah yang telah engkau lakukan ketika terlahir sebagai manusia ? Karena apakah maka keagunganmu cemerlang sedemikian rupa dan keelokanmu menyinari segala penjuru ?”

5. Devata tersebut, karena gembira ditanya oleh Yang Terberkahi sendiri, ketika diberi pertanyaan menjelaskan perbuatan apa yang menghasilkan buah iti.5

6. “Ketika di dalam kehidupan lampau saya terlahir sebagai manusia di antara manusia di dunia manusia, saya melihat para bhikkhu6 yang kehausan dan kelelahan. Dengan bersemangat saya memberi mereka air untuk diminum.

7. Sesungguhnya, orang yang bersemangat memberikan air untuk diminum oleh mereka yang kehausan dan kelelahan – bagi dia akan ada sungai dengan air yang sejuk, yang dihiasi berbagai bunga, dan banyak teratai putih.

8. Di sisinya air mengalir, sungai-sungai – dengan air yang sejuk dan tepian berpasir – mengalir sepanjang masa. Ada pohon-pohon mangga dan pohon-pohon sala, tikala dan apel-mawar, kasia dan bunga terompet yang sedang bermekaran.

9. Untuknyalah, dengan keelokan yang diperindah lingkungan seperti itu, terdapat Istana yang paling bagus, yang bersinar terang. Inilah buah dari tindakan itu sendiri. Mereka yang melakukan tindakan jasa menerima seperti ini.

10. 7Tempat kediamanku merupakan rumah-rumah berpinakel, berpartisi dan direncanakan dengan proporsi yang baik. Rumah-rumah itu memukau dan bersinar ke empat penjuru.

11. Karena inilah maka keelokanku sedemikian rupa, karena inilah saya sejahtera di sini, dan di sana muncul apa pun yang merupakan kesenangan sesuai dengan hatiku.

12. Karena inilah maka keagunganku yang cemerlang sedemikian rupa dan keelokanku menyinari segala penjuru Inilah buah dari perbuatan (-ku)8 itu, ketika dengan bersemangat, yang Telah Tercerahkan meminum air (yang saya berikan ).”9

Sang Buddha kemudian mengajarkan Dhamma dan menjelaskan kebenaran-kebenaran. Pada saat khotbah berakhir, devata itu mantap di dalam buah Pemasuk-Arus.

Catatan :

Brahmana – dhamma
Ud.Vii.9
Terbaca ime (‘me) untin me. VvA.46.
Terbaca yathapunnena, dan bukannya yatha punnena. Bandingkan Ja. 1. 101, 23 dst., panca sakatasatani yathapuritan’ eva atthamsu : “ lima ratus kereta berdiri dan selalu penuh.”[Edisi ke-1]
Para pengulang menucapkan syair ini, VvA.49.
Di sini perempuan itu memberikan air kepada Sangha para bhikkhu dengan Sang Buddha sebagai pemimpinnya, VvA.50. Dengan demikian para bhikkhu ini dibedakan dari mereka yang diceritakan di syair-syair identik di 6, syair 6-11.
Lihat No. 6. 10. catatan.
Kata mama, milikku, harus dipahami, VvA.50.
maya dinnam udakam apayi, idem.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com