Sariputta | Suttapitaka | PENJELASAN MENGENAI CERITA PETA KANHA Sariputta

PENJELASAN MENGENAI CERITA PETA KANHA

Kaṇ­hapeta­vatthu (Pv 18)

[93] ‘Bangkitlah, Kanha, kenapa engkau berbaring?’ Sang Guru yang sedang berdiam di hutan Jeta menceritakan hal ini sehubungan dengan seorang umat awam yang putranya telah meninggal.
‘Dikatakan bahwa di Savatthi, putra seorang umat awam telah meninggal. Karena tertusuk anak panah kesedihan, dia tidak mau mandi, makan, mengurusi usahanya, dan tidak juga dia mau pergi dan melayani Sang Buddha. Dia hanya berbicara sendiri dengan bingung, mengatakan, ‘Di mana engkau, putraku tersayang? Ke mana engkau pergi secepat itu, meninggalkan aku?’ dll. Sang Guru, yang sedang mengamati dunia ketika fajar menyingsing, melihat potensinya untuk mewujudkan buah sotapatti. Pada hari berikutnya Sang Guru pergi ke Savatthi untuk mengumpulkan dana, dengan dikelilingi oleh Sangha bhikkhu. Setelah selesai makan, Beliau membubarkan para bhikkhu dan pergi dengan pendamping Beliau, Ananda Thera, ke pintu rumah umat awam itu. Para pelayan umat awam itu memberitahukan kedatangan Sang Guru dan mengatur agar Sang Guru duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian mereka mencari umat awam itu dan mengajaknya ke hadapan Sang Guru. Setelah melihatnya dia duduk di satu sisi, Beliau bertanya, ‘Ada apa, wahai perumah-tangga, apakah engkau sedang berkabung?’ Ketika dia menjawab, ‘Ya, Bhante’, Beliau berkata, ‘Wahai umat awam, para bijaksana dari masa lalu mendengar sebuah cerita dari para bijaksana dan tidak meratapi anaknya yang telah meninggal.* Ketika dimohon oleh umat awam itu, Sang Guru pun menceritakan (cerita) dari masa lalu itu.

Dikatakan bahwa dahulu kala di kota Dvaravati ada sepuluh bersaudara di kerajaan: Vasudeva, Baladeva, Candadeva, Suriyadeva, Aggideva, Varunadeva, Ajjuna, Pajjuna, Ghatapandita dan Ankura. Suatu hari putra yang disayangi oleh raja besar Vasudeva meninggal. Raja pun dikuasai oleh kesedihan mengenai hal ini, sehingga segala tugasnya terbengkalai. Raja memberi hormat dengan berañjali ke ranjangnya1 dan berbaring sambil berbicara sendiri dengan bingung. Pada waktu itu Ghatapandita berpikir, ‘Selain aku, tidak ada seorang pun yang dapat menghalau kesedihan saudaraku. Akan kuhalau kesedihannya dengan satu tipuan.’2 Maka dia mengubah penampilannya menjadi orang gila, dan dengan memandangi langit dia berkelana ke seluruh kota sambil mengatakan, ‘Beri aku kelinci itu!3 Beri aku kelinci itu!’ Seluruh kota terkejut dengan berita bahwa Ghatapandita telah menjadi gila. Pada waktu itu, penasihat khusus (raja) yang bernama Rohineyya, menghadap raja Vasudeva [94] dan mengucapkan syair ini untuk membuka percakapan dengan raja tersebut:

1. ‘Bangkitlah, Kanha, mengapa engkau berbaring? Apakah gunanya bermimpi bagimu?4 Dia yang merupakan saudaramu sendiri, jantung hati dan mata kananmu, telah dikuasai oleh angin5 – dia merindukan kelinci itu,6 Kesava!’
1 Di sini, Kanha (Kanha): dia menyapa Vasudeva dengan nama keluarganya. Apakah gunanya bermimpi bagimu (ko attho supinena te): keuntungan apa yang sesungguhnya ada bagimu dalam bermimpi ? Saudaramu sendiri (sako bhata): saudara laki dari ibu yang sama. Jantung hati dan mata kananmu (hadayam cakkhuñ ca dakkhinam): berarti orang yang bagaikan jantung hati dan mata kananmu. Telah dikuasai oleh angin (tassa vata baliyanti): angin kegilaan yang terus-menerus muncul di dalam dirinya telah menguat, meningkat dan menguasainya. Dia merindukan (jappati): dia berbicara sendiri dengan bingung, mengatakan, ‘Beri saya kelinci itu!’ Kesava (Kesava) dikatakan bahwa dia disebut ‘Kesava’ karena rambutnya yang indah; penasihat itu menyapa raja dengan nama ini.

Sang Guru yang telah menjadi Buddha Yang Sempurna lalu mengatakan syair ini untuk melukiskan bagaimana raja bangkit dari ranjangnya ketika mendengar kata-kata penasihat itu:

2. ‘Ketika mendengar kata-kata Rohineyya, Kesava dengan tergesa-gesa bangkit, tercekam kesedihan untuk saudara lakinya.’
Raja bangkit dan dengan cepat turun dari istana untuk pergi menemui Ghatapandita. Dengan kedua tangannya dia mencengkeram Ghatapandita kuat-kuat, dan berbicara kepadanya lewat tiga syair berikut ini:

3. ‘Mengapa engkau, bagaikan orang gila, menggumam “Kelinci, kelinci!” di seluruh Dvaraka ini? Kelinci macam apa yang engkau inginkan?
4. Kelinci yang terbuat dari emas? Yang terbuat dari permata? Yang terbuat dari tembaga? Atau bahkan yang terbuat dari perak? Atau yang terbuat dari batu-batu berharga? (Bukan masalah,) saya akan menyuruh agar kelinci itu dibuat untukmu.
5. Juga ada kelinci-kelinci kecil lain yang berkelana di hutan kecil dan belantara- saya akan membawa mereka untukmu juga. Kelinci macam apa yang engkau inginkan?’
3 [95] Di sini, bagaikan orang gila (ummattarupo): seperti orang yang gila. Seluruh (kevalam): segenap. Dvaraka (Dvarakam): berkelana kian kemari mengelilingi kota Dvaravati. Bergumam, ‘Kelinci, kelinci!’ (saso saso ti lapasi): berkomat-kamit, ‘Kelinci, kelinci!’

4 Yang terbuat dari emas: sovannamayam=suvannamayam (bentuk tata bahasa alternatif). Yang terbuat dari tembaga (lohamayam): yang terbuat dari perunggu. Yang terbuat dari perak (rupiyamayam): yang terbuat dari mata uang perak.

5 Dia membujuk Ghatapandita dengan kelinci dengan maksud (mengetahui) kebutuhannya akan seekor kelinci, dengan mengatakan, ‘Katakan apakah yang engkau inginkan. Mengapa bersedih hati? Ada juga kelinci-kelinci kecil lain yang berkelana di hutan kecil dan belantara – saya akan membawakan mereka untukmu, jika engkau mau mengatakan, sahabatku yang terhormat7, jenis kelinci apa yang engkau inginkan.’

Ketika mendengar hal ini, Ghatapandita mengucapkan syair ini:

6. ‘Saya tidak menginginkan kelinci-kelinci itu, kelinci-kelinci yang menghuni bumi. Saya ingin kelinci dari bulan. Ambilkan yang itu untukku, Kesava!’
6 Di sini, ambilkan: ohara=oharehi (bentuk tata bahasa aternatif).

Ketika mendengar hal ini, raja menjadi sedih. Dia berpikir, ‘Tak diragukan lagi saudaraku telah menjadi orang yang gila’, dan mengucapkan syair ini:

7. Kalau demikian8, saudaraku, pasti engkau akan menyia-nyiakan kehidupanmu yang manis. Engkau merindukan apa yang seharusnya tidak dirindukan9 bila engkau menginginkan kelinci dari bulan itu.’
7 Di sini, saudaraku (ñati): dia menyapa adik laki-lakinya. Beginilah artinya di sini: ‘Saudaraku tercinta, saya pikir engkau akan menyia-nyiakan kehidupanmu yang luar biasa manis bila engkau merindukan apa yang seharusnya tidak dirindukan.’

Ketika Ghatapandita mendengar apa yang dikatakan raja itu, dia berdiri di sana tanpa bergerak, dan berkata, ‘Saudaraku, engkau mengetahui bahwa merupakan penyia-nyiaan kehidupan bagi orang yang merindukan kelinci dari bulan dan tidak memperolehnya. Mengapa engkau meratapi putra yang telah meninggal,10 yang tidak bisa engkau peroleh?’ Kemudian dia mengucapkan syair ini untuk menjelaskannya.

8. [96] ‘Jika engkau, Kanha, mengetahui cara menasihati orang lain, maka mengapa engkau, bahkan hari ini pun,11 meratapi putra yang telah meninggal di masa lalu?’
8 Di sini, jika engkau, Kanha, mengetahui (evañ ce Kanha janasi): jika engkau mengetahui demikian, saudaraku, raja agung Kanha, bahwa sesuatu yang tidak bisa diperoleh memang seharusnya tidak dirindukan. Cara (engkau menasihati) orang lain (yath’aññam): dan (walaupun) mengetahui hal ini, tetap saja engkau tidak menjalankan nasihatmu pada orang lain. Mengapa (engkau meratapi) putra yang telah meninggal di masa lalu? (kasma pure matam puttam) berarti kalau demikian, mengapa engkau, bahkan hari ini pun, meratapi putra yang telah meninggal lebih dari empat bulan yang lalu? Dengan demikian, sementara masih berdiri di tengah jalan, Ghatapandita mengatakan, ‘Setidak-tidaknya saya hanya merindukan apa yang dapat dilihat, sedangkan engkau menangisi orang yang tidak dapat diihat lagi’. Kemudian dia mengucapkan dua syair untuk mengajarkan Dhamma:

9. ‘Tetapi hal ini tidak bisa diperoleh, baik oleh manusia maupun oleh yang bukan-manusia, bahwa “Seorang anak yang terlahir dariku tidak boleh meninggal”. Kapankah hal yang tidak bisa diperoleh dapat diperoleh?
10. Tidak lewat mantra, tidak lewat akar tanaman obat, tidak lewat obat-obatan, tidak juga lewat kekayaan bisa membawa kembali peta yang engkau ratapi, Kanha.’
9 Di sini, bahwa (yam) berarti tetapi hal yang kau rindukan ini, bahwa ‘Seorang anak yang terlahir dariku tidak boleh meninggal’, tidak dapat diperoleh. Maka tidaklah mungkin ada yang memperoleh hal ini, baik deva maupun manusia, saudaraku: Jadi, kapankah hal ini dapat dicapai, dengan cara apa hal ini dapat dicapai, karena hal yang tidak dapat dicapai ini tidak akan dapat dicapai.

10 Lewat mantra (manta): dengan sarana mantra. Lewat akar tanaman obat: mulabhesajja = mulabhesajjena (bentuk tata bahasa alternatif). Lewat obat-obatan (osadhehi): dengan berbagai jenis obat. Tidak juga lewat kekayaan (dhanena va): bahkan tidak juga lewat kekayaan yang mencapai seratus koti. Inilah yang dikatakan: ‘Tidaklah mungkin untuk membawa kembali, dengan sarana mantra ini dan sebagainya, peta yang kau ratapi.’

Kemudian, dengan menunjukkan kepada saudaranya bahwa tidaklah mungkin mencegah (hal) yang disebut kematian ini, baik lewat kekayaan maupun kelahiran atau pengetahuan, moralitas atau meditasi,12 maka Ghatapandita [97] mengajarkan Dhamma kepada raja itu melalui lima syair ini:

11. ‘Mereka yang memiliki kekayaan besar, harta benda besar, bahkan para ksatria yang memiliki kerajaan – bahkan mereka yang berlimpah dalam kekayaan dan perolehan ini pun, tidak akan terbebas dari usia tua dan kematian.
12. Para ksatriya, brahmana, vaisya, sudra, candala, dan pukhusa – bahkan mereka dan yang lain pun -melalui kelahiran- tidak akan bisa terbebas dari usia tua dan kematian.
13. Mereka yang mengulang mantra-mantra cerita berunsur enam yang dibuat oleh Brahma – bahkan mereka ini dan yang lain pun -melalui pengetahuan itu- tidak akan terbebas dari usia tua dan kematian.
14. Dan bahkan para resi, para petapa yang tenang dan yang memiliki pengendalian diri – bahkan pertapa-pertapa ini pun harus meninggalkan tubuh ini jika waktunya tiba.
15. Para Arahat,13 mereka yang dirinya telah berkembang, yang telah melakukan apa yang harus dilakukan dan telah bebas dari asava – (bahkan) mereka pun harus meninggalkan tubuh ini ketika tindakan-tindakan mereka yang berjasa dan yang jahat telah habis.’
11 Di sini, mereka yang memiliki kekayaan besar (mahaddhana): luar biasa kaya karena kekayaan besar yang mereka kumpulkan. Mereka yang memiliki harta benda besar (mahabhoga): memiliki harta milik yang luar biasa hebat, yang mirip dengan harta milik para dewa. Memiliki kerajaan (ratthavanto): mempunyai seluruh kerajaan. Melimpah dalam kekayaan dan perolehan (pahutadhanadhaññase): mereka memiliki kekayaan dan perolehan tanpa batas, yang telah mereka sisihkan untuk digunakan sehari-hari sesudah menaruh (cukup) untuk kebutuhan mereka selama tiga atau empat tahun. Bahkan mereka pun tidak akan terbebas dari usia tua dan kematian (te pi no ajaramara): bahkan ksatria-ksatria dengan kemakmuran yang besar -seperti misalnya Mahamandhatu14 dan Mahasudassana15 dll.- tidak bebas dari usia tua dan kematian. Artinya, mereka sudah tentu pasti masuk ke mulut kematian.

12 Ini (ete): para ksatria dan sebagainya yang disebutkan sebelumnya. Yang lain (aññe): mereka yang masuk ke dalam kelompok itu seperti misalnya Ambattha dan sebagainya.16 Melalui kelahiran (jatiya) artinya mereka tidak bebas dari usia dan kematian karena kelahiran mereka.

13 Mantra-mantra (mantam): dari kitab Veda. Mengulang (parivattenti): mengulang dan melakukan; atau pilihan lain, mengulang (parivattenti): bergumam sambil melakukan persembahan keagamaan dan puja (anuparivattenta). Cerita berunsur enam (chalangam): berhubungan dengan enam cabang yaitu fonetik, peraturan-peraturan ritual upacara dan kurban, etimologi, tata bahasa, astronomi, dan ilmu persajakan dan sebagainya. Dibuat oleh Brahma (brahmacintitam): diciptakan, diucapkan, oleh Brahma demi para brahmana. [98] Melalui pengetahuan itu (vijjaya) berarti mereka tidak bebas dari usia tua dan kematian walaupun memiliki pengetahuan yang mirip dengan pengetahuan Brahma.

14 Para resi (isayo): mereka adalah resi (isayo) karena usaha mereka berjuang untuk (esana) pengendalian dan kontrol diri dan sebagainya.17 Tenang (santa): memiliki sifat yang tenang dalam tubuh dan ucapan. Yang memiliki kendali diri (saññatatta): yang memiliki pikiran yang dikendalikan oleh terkendalinya nafsu birahi dll.18 Para petapa (tapassino): mereka mempraktekkan kekerasan tapa (tapo) yang dilandasi penyiksaan (tapana) tubuh. Petapa (tapassino): mereka yang terkendali.19 Ini menunjukkan walaupun mereka telah menjadi orang-orang yang bergantung pada latihan keras dengan cara ini dan ingin mencapai kebebasan lewat sarana tubuh, (bahkan walaupun demikian) mereka yang terkendali19 dll. harus meninggalkan tubuh ini. Atau pilihan lain, para resi (isayo): mereka resi (isayo) karena usaha mereka berjuang untuk (esana) keluhuran moral yang lebih tinggi dan pelatihan-pelatihan yang lebih tinggi dll.17 Dalam pengertian ini mereka tenang karena berhentinya keadaan-keadaan jahat yang berlawanan dengannya. Mereka memiliki pengendalian diri dengan cara mengendalikan pikiran menuju satu objek20 saja. Mereka adalah petapa karena energi membakar yang mereka terapkan untuk (empat) usaha benar.21 Mereka adalah petapa karena mereka membakar habis nafsu dan sebagainya melalui usaha benar22 -beginilah hal ini harus ditafsirkan.

15 Mereka yang dirinya telah berkembang (bhavitatta): mereka yang pikirannya telah berkembang lewat meditasi23 dengan Empat Kebenaran (Mulia) sebagai subjek meditasi.24

Ketika mendengar penjelasan Dhamma oleh Ghatapandita ini, sang raja terbebas dari panah kesedihan. Dengan bakti di hatinya, dia kemudian mengucapkan syair-syair berikut ini untuk memuji Ghatapandita:

16. ‘Tadinya saya benar-benar menyala terbakar, bagaikan api yang disiram mentega; tetapi sekarang semua kesedihanku telah padam, seolah-olah saya diguyur air.
17. Sesungguhnya anak panah kesedihan yang telah menusuk hatiku itu telah tercabut keluar. Engkau telah menghalau kesedihan itu, kesedihan untuk putraku yang telah menguasai diriku.
18. Dengan anak panah yang tercabut keluar, saya menjadi tenang dan sejuk; karena mendengar kata-katamu saya tidak lagi bersedih atau meratap.
19. Persis seperti Ghata yang mengalihkan saudara tuanya dari kesedihan – begitu juga tindakan para bijaksana yang memiliki belas kasihan.
20. [99] Seperti Ghata yang mengikuti saudara tuanya dengan nasihat yang baik, (begitu juga) orang yang memiliki penasihat-penasihat dan pembantu-pembantu seperti itu (juga mengikuti).
19 Di sini, persis seperti Ghata (mengalihkan) saudara tuanya (Ghato jettham va bhataram) berarti seperti halnya Ghatapandita memakai sarana-sarana yang terampil25 dan nasihat Dhamma untuk mengalihkan saudara tuanya yang dikuasai kesedihan karena putranya yang telah meninggal, dari kesedihan untuk putranya itu, demikian pula orang-orang bijaksana lain yang memiliki belas kasihan bertindak untuk melayani sanak saudara mereka.

20 Orang yang memiliki seperti itu (yassa etadisa honti): ini adalah syair dari Buddha Yang Sempurna. Beginilah artinya: persis seperti cara Ghatapandita mengikuti (anvesi=anudesi, bentuk tata bahasa alternatif) raja Vasudeva -yang dikuasai oleh kesedihan karena putranya- dengan nasihat yang baik, dengan tujuan untuk menghalau kesedihan itu, (begitu) juga siapa pun yang telah memperoleh penasihat-penasihat26 bijaksana seperti itu (juga mengikuti): bagaimana bisa ada kesedihan baginya?

Bagian lain syair-syair ini memiliki arti27 yang sama seperti yang diberikan di atas.28

Ketika Sang Guru itu telah membabarkan Ajaran Dhamma, Beliau berkata, ‘Begitulah, wahai umat awam, orang-orang bijaksana pada masa lalu menghalau kesedihan mereka untuk putranya ketika mereka mendengar cerita dari para bijaksana.’ Beliau kemudian menjelaskan (Empat) Kebenaran (Mulia) dan menerapkan suatu Jataka (ke sana). Pada akhir penjelasan, si perumah-tangga itu menjadi mantap dalam buah-sotapatti.

Catatan:

* J iii 155

1 Terbaca atanim pariggahetva pada Be, yang berarti memegangi kaki (ranjang).

2 upaya; bandingkan PvA 20

3 sasam, kelinci yang terlihat -lebih jelas di timur- di permukaan rembulan. Lihat khususnya Sasapandita Jataka (No. 316). Di situ dikatakan bahwa Sakka melukis gambar di bulan sebagai penghormatan yang berkalpa-kalpa untuk mengingat keluhuran Bodhisatta yang pernah menjadi seekor kelinci. Ini sama saja dengan peribahasa kami, ‘Berikan kepadaku orang di rembulan itu!’

4 Bandingkan S i 198 = Sn 331.

5 tassa vata baliyanti, secara harfiah, angin-angin telah menjadi kuat baginya, yaitu, angin-angin tubuh yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan, -baik secara fisik maupun emosi. Bandingkan penggunaan kata ‘uap air’ kami dahulu. Di sini, kelihatannya berarti dia telah kehilangan akal sehatnya. Syair dan episode ini muncul lagi di J iv 84 dst.

6 Terbaca sasam dengan Se Be untuk Ghato pada teks.

7 bhaddamukha, secara harfiah berwajah mujur; lihat M ii 53 dan KS i 100 n. 3.

8 Terbaca nuna dengan Se Be untuk nanda pada teks, lihat Gehman (39 n. 3) dan PED sv nanda.

9 Terbaca apatthiyam dengan Be untuk Se apatthayam pada teks, bandingkan PED sv pattheti.

10 Terbaca alabhitva jivitakkhayo bhavissati ti jananto kasma matam puttam dengan Se Be untuk alabhitvajivitakkhayam patto ti jananto kasma tava puttam matam pada teks.

11 Terbaca ajja’pi dengan Se Be untuk ajapi pada teks.

12 bhavanaya.

13 Terbaca arahanto dengan Be untuk Se viharanta pada teks; vv. 11-15 muncul kembali pada Vv 6313, 15-18

14 Mungkin suatu acuan untuk raja Mandhata; lihat Jat 258 dan DPPN ii 444 dst.

15 Cakkavattin yang dikenal karena kekayaannya yang melimpah – lihat D ii 169 dst., Jat 95 dan DPPN ii 575 dst.

16 Yaitu kelas brahmana (vanna), walaupun jelas ada ironi karena Dhammapala memilih Ambattha sebagai contoh, sedangkan di Ambattha Sutta (D i 87 dst.) Sang Buddha menelusuri nenek moyang Ambattha yang menikah dengan seorang gadis budak. Lihat juga DPPN i 151 dst. dan 153. Di situ muncul: ‘Tidak juga para Ambattha adalah brahmana lewat kelahiran; beberapa dari mereka adalah petani dan pedagang dan bahkan beberapa menjual anak perempuan mereka untuk emas’. Di situ ditambahkan catatan bahwa ‘Mereka disebut “brahmana” karena sopan santun, voharavasena. Menurut Manavadhammasastra (demikian) mereka bukannya terlahir dari ayah ksatria dan ibu budak (mungkin sudra), seperti yang terdapat di Ambattha Sutta, melainkan dari ayah brahmana dan ibu Vaisya.’ Sebagai contoh dari vanna campuran, mereka sebetulnya dianggap rendah, terutama jika dibandingkan dengan ksatria yang dipuji Sang Buddha, sehubungan dengan brahmana yang melakukan inses untuk mempertahankan kemurnian keturunan (D i 92).

17 Bandingkan PvA 163, 265 untuk yang sama.

18 Dikatakan bahwa Sariputta membuat ‘pikirannya berputar sesuai keinginannya dan Sariputta berputar bukan lewat keinginan pikirannya’ (A iv 34; bandingkan dengan M i 214 dst., Sv 70 dst.).

19 Terbaca samvarakã dengan Se Be untuk samvarãkã pada teks.

20 Terbaca ekarammane dengan Se Be untuk ekarammana pada teks.

21 Terbaca sammappadhana dengan Se Be untuk sama- pada teks; yang keenam dari Jalan Mulia Berunsur Delapan- lihat M iii 251 dan A ii 15-17.

22 sammayoga ragadinam santapanena tapassino ti -demikian Se Be; teks menghilangkan seluruhnya.

23 bhavana; bandingkan PvA 139.

24 Ini tidak muncul di antara empat puluh yang disebutkan di PvA 42 di atas.

25 upayakosallena; bandingkan pengertian Mahayana tentang upaya-kausalya

26 Terbaca aññassapi etadisa pandita amacca patiladdha assu tassa dengan Se Be untuk aññassa etadisa pandita amacca santi samvijjamanassa tassa pada teks.

27 Terbaca vuttattha dengan Be untuk vuttatta pada teks.

28 PvA 41 dst.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com