Sariputta | Suttapitaka | Tempat Tinggal Bhikkhunī Sariputta

Tempat Tinggal Bhikkhunī

Bhikkhunūupassaya (SN 16.10)

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia Mahākassapa sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada suatu pagi, Yang Mulia Ānanda merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubah, ia mendekati Yang Mulia Mahākassapa dan berkata: “Marilah, Yang Mulia Kassapa, kita pergi ke tempat tinggal para bhikkhunī.”
“Engkau pergilah, sahabat Ānanda, engkau adalah orang sibuk dengan banyak tugas.”

Untuk ke dua kalinya Yang Mulia Ānanda berkata kepada Yang Mulia Mahākassapa: “Marilah, Yang Mulia Kassapa, kita pergi ke tempat tinggal para bhikkhunī.”

“Engkau pergilah, sahabat Ānanda, engkau adalah orang sibuk dengan banyak tugas.”

Untuk ke tiga kalinya Yang Mulia Ānanda berkata kepada Yang Mulia Mahākassapa: “Marilah, Yang Mulia Kassapa, kita pergi ke tempat tinggal para bhikkhunī.”

Maka, pada pagi hari itu, Yang Mulia Mahākassapa merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubahnya, pergi ke kediaman para bhikkhunī bersama dengan Yang Mulia Ānanda.

Ketika ia tiba, ia duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian sejumlah bhikkhunī mendatangi Yang Mulia Mahākassapa, memberi hormat kepadanya, dan duduk di satu sisi. Ketika mereka duduk di sana, Yang Mulia Mahākassapa memberikan instruksi, menasihati, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhunī itu dengan khotbah Dhamma, setelah itu ia bangkit dari duduknya dan pergi.

Kemudian Bhikkhunī Thullatissā, karena tidak senang, mengungkapkan ketidak-senangannya sebagai berikut: “Bagaimana mungkin Guru Mahākassapa berpikir untuk membabarkan Dhamma di depan Guru Ānanda, sang bijaksana dari Videhi?—ini bagaikan seorang penjual-jarum yang berpikir untuk dapat menjual jarum kepada seorang pembuat-jarum!”
Pernyataan Bhikkhunī Thullatissā ini terdengar oleh Yang Mulia Mahākassapa dan ia berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Bagaimana ini, Sahabat Ānanda, apakah aku si penjual-jarum dan engkau si pembuat-jarum, atau aku adalah pembuat-jarum dan engkau adalah penjual-jarum?”

“Sabarlah, Yang Mulia Kassapa, perempuan memang dungu.”

“Tunggu dulu, Sahabat Ānanda! Jangan memberi kesempatan pada Saṅgha untuk memeriksamu lebih jauh. Bagaimana menurutmu, Sahabat Ānanda, apakah engkau yang oleh Sang Bhagavā ditampilkan di depan para Bhikkhu Saṅgha, dengan mengatakan: ‘Para bhikkhu, sejauh apa pun Aku menginginkan, dengan terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan pemikiran dan pemeriksaan, dengan sukacita dan kebahagiaan yang timbul dari keterasingan. Ānanda juga, sejauh apa pun ia menginginkan, dengan terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, masuk dan berdiam dalam jhāna pertama.’?”

“Bukan, Yang Mulia.”

“Akulah orangnya, sahabat, yang oleh Sang Bhagavā ditampilkan di depan para Bhikkhu Saṅgha, dengan mengatakan: ‘Para bhikkhu, sejauh apa pun Aku menginginkan … Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama .... Kassapa juga, sejauh apa pun ia menginginkan, dengan terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, masuk dan berdiam dalam jhāna pertama.’

Tanya-jawab yang sama diulangi untuk pencapaian meditatif lainnya dan enam pengetahuan langsung, seperti dalam sutta sebelumnya.

“Akulah orangnya, sahabat, yang oleh Sang Bhagavā ditampilkan di depan para Bhikkhu Saṅgha, dengan mengatakan: ‘Para bhikkhu, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini Aku masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dengan merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Kassapa juga, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dengan merealisasikannya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung.’

“Sahabat, seseorang mungkin saja berpikir bahwa enam pengetahuan langsung yang kumiliki dapat disembunyikan sebagaimana usaha untuk menyembunyikan seekor gajah setinggi tujuh atau tujuh setengah cubit dengan sehelai daun palem.”

Tetapi Bhikkhunī Thullatissā jatuh dari kehidupan suci.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com