Sariputta | Suttapitaka | Vessantara-Jataka Sariputta

Vessantara-Jataka

Ves­santara­jātaka (Ja 547)

“Sepuluh anugerah,” dan seterusnya.

Kisah ini diceritakan Guru ketika berdiam dekat Kapilavatthu di Hutan Banyan, mengenai turunnya hujan mukjizat.
Ketika Guru memutar Roda Dhamma yang berharga lalu kemudian datang ke Rajagaha, tempat la menghabiskan musim dingin, dengan Bhikkhu Udayi Thera memimpin jalan, lalu diikuti dua puluh ribu suciwan, la memasuki Kapilavatthu: tempat para bangsawan Sakya berkumpul bersama untuk melihat pemimpin suku mereka. Mereka memeriksa kediaman Yang Penuh Berkah, mereka berkata, “Hutan Banyan ini tempat yang menyenangkan, layak untuk Sakka.” Kemudian mereka menyiapkan semua persiapan untuk menjaganya; dan bersiap menemui-Nya dengan karangan bunga harum di tangan mereka, pertama mereka mengirimkan anak laki-laki dan perempuan termuda di kota dengan pakaian terbaik, lalu diikuti bangsawan mereka, dan di antara ini ada yang memberikan penghormatan sendiri kepada Guru dengan bunga wangi dan bubuk wewangian, mengiringi Yang Penuh Berkah sampai sejauh Taman Banyan; tempat Yang Penuh Berkah duduk, tempat duduk Buddha yang indah dikelilingi dua puluh ribu suciwan, yang ditujukan kepadanya. Lalu bangsa Sakya memiliki harga diri tinggi dan kaku; dan mereka berpikir di antara mereka sendiri, “Bocah Siddhattha ini lebih muda dari kami; ia adik kami, keponakan kami, cucu kami,” ucap mereka kepada para pangeran muda: “Kalian berikan hormat pada-Nya; kami akan duduk di belakang kalian.” Ketika mereka duduk di sana tanpa memberikan hormat pada-Nya, Yang Penuh Berkah, melihat keinginan mereka, berpikir: “Sanak saudaraku tidak memberikan hormat pada-Ku; baiklah, Aku akan membuat mereka menghormat.” Maka la membuat dalam diri-Nya bangkit kegiuran yang didasarkan pada kemampuan adibiasa, ia melayang di udara, dan seperti menyingkrikan debu dari kakinya di atas kepala mereka, Ia melakukan keajaiban seperti mukjizat ganda di kaki pohon mangga.

Raja, melihat keajaiban ini, berkata, “Tuan, sejak hari kelahiran Anda, ketika saya melihat kaki Anda ditaruh di kepala Brahmana Kaladevala yang telah datang menghormat pada Anda, saya memberikan penghormatan pada Anda, dan itulah kali pertamanya itu terjadi. Pada hari Perayaan Membajak276, ketika Anda duduk di bawah kursi kerajaan di bawah bayangan pohon jambu, ketika saya melihat bayangan pohon itu tidak bergerak, saya bersujud di kaki Anda; dan itulah kali kedua. Dan kini sekali lagi, saya melihat mukjizat yang tak pernah saya lihat sebelumnya, dan bersujud di kaki Anda; inilah kali ketiga hal ini terjadi.” Namun ketika raja telah memberikan penghormatan seperti itu, tidak satu pun kaum Sakya yang bisa duduk diam dan enggan, mereka semua bersama-sama bersujud memberikan hormat.

Yang Penuh Berkah, setelah membuat sanak keluarganya memberi hormat pada-Nya, turun dari udara, dan duduk di kursi yang telah ditentukan; kemudian Yang Penuh Berkah duduk di sana, sanak saudaranya dibuat menjadi bijaksana, dan duduk dengan kedamaian di hati mereka. Kemudian sebuah awan besar muncul, lalu turunlah hujan deras: lalu turunlah hujan merah dengan suara keras, dan mereka yang menginginkan dirinya basah akan menjadi basah, namun jika ia tidak menginginkannya, tidak satu pun tetesan hujan yang jatuh ke tubuhnya. Semua yang menyaksikan mukjizat itu terpukau, lalu berseru satu sama lain, ’’Lihatlah keajaiban ini! Lihatlah mukjizat! Saksikan kekuatan para Buddha, yang kepada sanak saudara-Nya turun hujan seperti ini!” Ketika mendengar ini, Buddha berkata: “Ini bukanlah pertama kalinya, para bhikkhu, hujan besar seperti ini turun ke sanak saudara-Ku;” kemudian setelah diminta mereka, Ia menceritakan kisah masa lalu.

Suatu ketika, seorang raja bernama Sivi bertakhta di Kota Jetuttara dalam Kerajaan Sivi. Ia memiliki seorang putra bernama Sanjaya. Ketika anak itu telah tumbuh dewasa, raja membawakannya seorang putri bernama Phusatl, putri Raja Madda, lalu mewariskan kerajaan itu kepada Sanjaya, yang menjadikan Phusatl sebagai permaisuri utamanya. Hubungan masa lampau putri ini adalah sebagai berikut.

Sembilan puluh satu kalpa yang lalu, seorang Guru Agung muncul di dunia ini bernama Vipassl. Ketika Ia berdiam di taman rusa Khema, di dekat Kota Bandhumatl, seorang raja mengirimkan kepada Raja Bandhumati sebuah karangan bunga emas seharga seratus ribu keping, berikut cendana yang berharga. Raja memiliki dua orang putri; dan karena ingin memberikan hadiah ini ke mereka, ia memberikan cendana kepada yang sulung dan karangan bunga emas kepada yang bungsu. Namun keduanya menolak menggunakan hadiah ini untuk diri mereka sendiri; dan dengan niat mempersembahkannya untuk menghormati Guru, mereka berkata kepada raja: “Ayahanda, kami akan mempersembahkan cendana dan karangan bunga emas ini kepada Dasabala.” Hal ini disetujui raja. Maka putri sulung menumbuk cendana itu menjadi bubuk dan mengisikannya ke kotak emas; sementara yang bungsu membuat karangan bunga emas itu menjadi kalung emas, lalu menaruhnya dalam kotak emas. Kemudian mereka berdua pergi ke pertapaan di taman rusa; lalu putri sulung, dengan penuh hormat menaburkan bubuk cendana itu di tubuh emas Dasabala, lalu menaburkan sisanya di kamarnya, kemudian mengucap doa ini: “Bhagava, pada masa depan, semoga saya menjadi ibu seorang Buddha seperti Anda.” Yang bungsu dengan penuh hormat menaruh di atas tubuh emas Dasabala, kalung beruntai emas yang telah dibuat dari karangan bunga emas, lalu berdoa, “Bhagava, sampai saya meraih kesucian, semoga perhiasan ini tak pernah terpisah dari tubuh saya.” Lalu Guru merestui doa mereka.

Lalu keduanya, setelah kehidupan mereka berlalu, muncul di alam dewa. Saudari sulung, setelah berlalu dari alam dewa, lahir kembali ke alam manusia lalu kembali lagi ke alam dewa, kemudian pada akhir kalpa ke-91 menjadi Ratu Maya, ibu kandung Buddha. Saudarinya pun sama, pada masa Buddha Kassapa menjadi putri Raja Kiki; dan karena terlahir dengan tanda lahir seperti kalung di leher dan bahunya, cantik seakan dilukis oleh pelukis, ia disebut Uracchada. Ketika ia berumur enam belas tahun, ia mendengar pembabaran luhur oleh Buddha, dan mencapai tataran kesucian Pertama, dan pada hari yang sama ia mencapai pencerahan sempurna, kemudian memasuki Sanggha, lalu merealisasi Nibbana.
Raja Kiki memiliki tujuh orang putri, yang nama-namanya adalah: “Samani, Samana, Saudari Suci Gutta, Bhikkhudasika, lalu Dhamma dan Sudhamma, Lalu di antara para saudari, yang ketujuh adalah Samghadasi.”

Dalam kemunculan Buddha ini, saudari-saudari ini adalah, ’’Khema, Uppalavanna, yang ketiga adalah Patacara, Gotama, Dhammadinna, yang keenam adalah Mahamaya, lalu dari kelompok saudari ini, yang ketujuh adalah Visakha.”

Lalu dari saudari-saudari ini, Phusati menjadi Sudhamma; yang melakukan perbuatan bajik dan berderma, dan oleh persembahan cendananya kepada Buddha Vipassi, mendapat buah memiliki tubuh seolah ditaburi cendana pilihan. Kemudian lahir bolak-balik antara alam manusia dan dewa, pada akhirnya ia menjadi permaisuri utama Sakka, raja para dewa. Setelah kehidupannya di sana akan berakhir, muncullah lima pertanda umum terlihat menjelang kematiannya. Sakka raja para dewa, menyadari waktunya telah habis, mengantarnya dengan penuh keagungan ke peristirahatan hutan Nandana; kemudian ketika ia berbaring di dipan yang berhias indah, Sakka, duduk di sisinya, berkata kepadanya: “Phusatl terkasih, sepuluh anugerah akan saya berikan kepada Anda: pilihlah.” Dengan kata-kata ini, Sakka mengucapkan syair pertama dalam Kelahiran Agung Vessantara ini yang memiliki seribu syair:

“Sepuluh berkah saya berikan kepada Anda, Phusati, wahai perempuan indah dan cerah: pilihlah apa pun di bumi yang berharga di mata Anda.”

Demikianlah ia dikukuhkan di alam para dewa sesuai pembabaran dalam kisah Vessantara Agung. Namun ia, karena tak mengetahui kondisi kelahiran ulangnya, merasa lemah, dan mengucapkan syair kedua:
“Jayalah Anda, wahai Raja dewa! Kesalahan apa yang telah saya lakukan, hingga mengirimkanku dari tempat indah ini, seperti angin menumbangkan pohon?”

Lalu Sakka, melihat kegelisahannya mengucapkan dua syair ini:

“Terkasih Anda selalu, dan tiada keburukan yang telah Anda perbuat: saya bicara seperti itu karena jasa kebajikan Anda kini telah habis dan berlalu.

Kini kepergian Anda sudah dekat, jam kematian makin mendekat: saya menawarkan Anda sepuluh anugerah untuk Anda pilih; maka pilihlah, sebelum Anda mati.”

Mendengar kata-kata Sakka ini, dan diyakinkan bahwa ia harus mati, ia berkata, memilih anugerah-anugerahnya:

“Raja Sakka, penguasa semua makhluk, sebuah anugerah Anda telah berikan kepada saya; saya memberkatinya; hasrat saya adalah agar saya lahir di Negeri Sivi.

Semoga saya memiliki mata warna hitam, pupil hitam seperti rusa muda, dengan alis hitam, dan Phusatl adalah nama saya: berkah ini, wahai dermawan, saya inginkan.
Semoga seorang putra lahir kepadaku, dipuja para raja, tersohor, agung, menawan, penderma, tak menaruh dengki, yang siap menolong ketika mendengar permintaan.

Dan selagi bayi ini ada di rahim saya, semoga tubuh saya tidak menyusut, biarlah tetap langsing dan indah seperti busur yang indah.

Lalu, Sakka, semoga dadaku tetap kencang, saya tidak berambut putih; semoga tubuh saya tak bernoda, semoga saya membebaskan yang terhukum mati.
Di antara suara gagak, dan kicauan merak, dengan para pelayan perempuan yang cantik, pujangga dan penyanyi melantunkan pujian kepada kami, dengan selendang melambai di udara,

Ketika mengetuk di pintu berwarna kaum pria berseru lantang, “Dewa memberkahi Raja Sivi! Datanglah padaku!’ Semoga aku dinyatakan menjadi permaisurinya!”

Sakka mengatakan:

“Ketahuilah bahwa anugerah ini, permaisuri yang cerah, telah saya berikan kepada Anda, di Kerajaan Sivi, yang cantik, seluruh sepuluh anugerah ini akan terwujud.”

”Demikian raja dewa berbicara, Sujampati yang agung, yang disebut Vasava, dengan senang hati memberikan anugerah kepada Phusatl.”
Ketika ia telah memilih anugerah-anugerahnya, ia meninggalkan dunia itu, lalu terkandung dalam rahim permaisuri Raja Madda282; dan ketika ia lahir, karena tubuhnya seolah ditaburi oleh wewangian cendana, maka pada hari pemberian namanya dia diberi nama Phusatl. Ia besar di antara rombongan pelayan besar sampai di usia enam belas tahun ia telah mengungguli semua perempuan dalam kecantikan. Pada saat itu, Pangeran Sanjaya, putra Raja Sivi, hendak dinobatkan dengan Payung Putih; putri itu dibawa sebagai pengantinnya, lalu di diangkat menjadi permaisuri utama di atas enam belas ribu selir; sehingga dikatakan,

“Kali berikutnya terlahir sebagai putri, Phusatl dibawa ke Kota Jettuttara, kemudian di sana dinikahkan dengan Sanjaya.”

Sanjaya sungguh mencintai dan menyayanginya. Saat itu, Sakka merenung, ia teringat bahwa sembilan dari sepuluh berkah yang dberikan kepada Phusatl sudah terkabul. “Hanya satu yang belum terkabul,” pikirnya, “putra yang bajik; ini akan aku penuhi untuknya.” Saat itu Bodhisatta berada di Surga Tiga Puluh Tiga Dewa, dan umurnya telah habis; mengetahui Sakka mendekatinya, Sakka berkata, “Yang Mulia, Anda harus memasuki alam manusia; tanpa menunda Anda harus terkandung dalam rahim Phusatl, Permaisuri Utama Raja Sivi.”

Dengan kata-kata ini, lalu setelah meminta persetujuan Bodhisatta dan enam puluh ribu putra dewa yang ditakdirkan terlahir ulang, ia lalu kembali ke kediamannya. Bodhisatta turun dan terlahir ulang di sana, dan enam puluh ribu dewa lahir di keluarga enam puluh ribu pegawai istana. Phusati, ketika Bodhisatta terkandung dalam rahimnya, menyadari dirinya mengandung anak, mendambakan enam balairung derma untuk dibangun, satu di masing-masing empat gerbang, satu di tengah kota, dan satu di pintu rumahnya sendiri; dan setiap hari ia mendermakan enam ratus ribu keping derma. Raja, mengetahui kehamilannya, berkonsultasi dengan peramal nasib, yang berkata, “Raja Agung, dalam rahim istri Anda terkandung makhluk yang berdedikasi kepada berderma, yang tak akan pernah puas dalam berderma.” Mendengar ini ia merasa gembira, lalu turut melakukan praktik derma.

Dari waktu Buddha terkandung, kita bisa mengatakan bahwa tidak ada batas pendapatannya; oleh pengaruh kebajikan raja, raja-raja di seluruh India mengirimkannya hadiah.
Kemudian ratu selagi mengandung anaknya sepuluh bulan, bersama dengan banyak pendampingnya, ia berniat mengunjungi kota. Ia memberitahu raja akan keinginannya, yang memerintahkan kota dihias seperti kota para dewa: ia menempatkan ratunya dalam kereta kencana, lalu melakukan pawai keliling kota searah jarum jam. Ketika mereka mencapai di tengah daerah pemukiman kaum vessa, rasa sakit jelang melahirkan menyerangnya. Mereka memberitahu raja, dan di sana juga ia memerintahkan kamar peraduan dibuat dan memintanya pergi ke sana; dan kemudian ia melahirkan seorang putra; yang kemudian dikatakan, “Sepuluh bulan ia kandung dalam rahimnya; lalu mereka berpawai; PhusatT, di Jalan Vessa, di sanalah saya dilahirkan.”

Bodhisatta muncul dari rahim ibunya, bebas dari noda, bermata terbuka, dan seketika itu juga menjulurkan tangannya kepada ibunya, ia berkata, “Ibu, saya ingin memberikan derma; apakah ada yang bisa diberikan?” Ia menjawab, “Ya, Putraku, dermakanlah seperti yang Anda kehendaki,” dan memberikan kantung berisi seribu keping uang ke tangan yang terjulur itu. Tiga kali Bodhisatta bicara seperti itu ketika ia baru dilahirkan: dalam Ummagga Jataka, Jataka ini, dan dalam kelahiran terakhirnya. Pada hari ia diberi nama, karena ia lahir di Jalan Vessa, mereka memberikan nama Vessantara; sehingga dikatakan:

“Nama saya bukan berasal dari ibu atau ayah saya; karena saya lahir di Jalan Vessa, maka Vessantara adalah nama saya.”

Pada hari lahirnya itu, seekor gajah terbang betina membawa anaknya, yang dianggap sebagai pertanda keberuntungan. Gajah itu berwarna serba putih, lalu meninggalkan anaknya itu di istal kerajaan. Karena makhluk ini datang untuk memenuhi kebutuhan Bodhisatta, mereka memberinya nama Paccaya. Makhluk itu menunjuk empat kali enam puluh285 dayang asuh bagi Bodhisatta, tidak terlalu tinggi atau pendek, bebas dari cela lainnya, dengan air susu yang manis; ia juga menunjuk dayang-dayang bagi enam puluh ribu anak yang lahir bersamanya, dan ia tumbuh dikelilingi rombongan besar enam puluh. Raja meminta kalung untuk pangeran dibuatkan dengan biaya seratus ribu keping, lalu memberinya kepada putranya; namun ia, baru berusia empat atau lima tahun, memberinya kepada dayang-dayangnya, tidak juga ia mengambilnya kembali ketika mereka hendak memberikan lagi kepadanya. Mereka melaporkan ini kepada raja, yang mengatakan, “Apa yang putraku telah berikan sungguh baik diberikan; biarlah itu menjadi pemberian brahmana,” dan menyuruh membuatkan kalung lain. Namun pangeran saat masih kanak-kanak pun memberikan kalung ini lagi kepada dayang-dayangnya, demikian juga sembilan kali hal ini berulang.

Ketika ia berusia delapan tahun, ketika berbaring di dipannya, bocah ini berpikir: “Semuanya yang aku berikan datang dari pemberian orang lain, dan ini tidak memuaskanku; aku ingin memberikan sesuatu yang benar-benar milikku. Jika ada orang hendak meminta jantungku, aku akan membuka dadaku, mengeluarkannya, dan memberinya; jika ada yang meminta mataku, aku akan mencabut keluar mataku, memberinya kepada mereka; jika ada yang mau meminta dagingku, aku akan memotong semua daging di tubuhku dan memberinya.” Dan ketika ia merenungi hal itu dengan segenap semangatnya dan dari lubuk hatinya yang terdalam; bumi ini, dan empat puluh juta triliun yojana jauhnya, dan dua ratus ribu yojana dalamnya, bergetar dan memetir seperti gajah besar yang marah; Sineru, raja dari semua gunung membungkuk seperti pohon kecil dalam uap panas, dan tampak seakan menari, dan berdiri mengarah ke Kota Jetuttara; saat bumi berguncang langit mengguntur petir dan hujan; petir bercabang-cabang merekah; samudra bergolak: Sakka raja para dewa bertepuk tangan, Mahabrahma memberi tanda persetujuannya, sampai setinggi Alam Brahma kehebohan ini; sehingga turut dikatakan pula:

“Ketika saya masih kecil, baru berusia delapan tahun, di serambi, saya merenungkan derma dan pemberian.

Jika ada orang yang hendak meminta darah, tubuh, jantung, atau mata, darah atau tubuh, mata atau jantung, akan saya berikan kepadanya, itulah cetus saya.

Dan ketika dengan segenap batin saya merenungi pemikiran seperti ini, bumi yang tak berguncang menjadi berguncang dan gempa bersama gunung, hutan, dan pepohonan.”

Pada usia enam betas tahun, Bodhisatta mencapai penguasaan atas semua disiplin ilmu. Lalu ayahnya, ingin membuatnya menjadi raja, berkonsultasi dengan ibunya; dari keluarga Raja Madda mereka membawa sepupunya yang bernama Maddi, dengan enam betas ribu pelayan perempuan dan membuatnya menjadi permaisuri utamanya, dan memercikinya dengan air penobatan. Dari sejak ia menerima kerajaan, ia membagikan banyak derma, setiap hari memberi sebanyak enam ratus ribu keping uang.

Kemudian Ratu Maddi melahirkan seorang putra lalu membaringkannya di jala emas, sebab itulah mereka memberinya nama Pangeran Jali. Pada saat ia sudah bisa berjalan, ratu melahirkan seorang anak perempuan, yang mereka baringkan di selembar kulit berwarna hitam, itulah sebabnya mereka memberinya nama Kanhajina. Setiap bulan Bodhisatta akan mengirimkan enam balairung dermanya enam kali, menunggangi gajahnya yang luar biasa.

Kemudian saat itu ada kemarau di Kerajaan Kalinga: gandum tidak tumbuh, ada bencana kelaparan besar, orang-orang yang tak bisa bertahan hidup melakukan perampokan. Tersiksa oleh kekurangan, orang-orang berkumpul di halaman istana dan mencercanya. Mendengar ini, raja berkata, “Ada apakah, rakyatku?” Mereka memberitahukannya. Ia menjawab, “Baiklah, anak-anakku, aku akan menurunkan hujan,” lalu meminta mereka pulang. Raja pun mengabdikan dirinya kepada perbuatan bajik dan melaksanakan hari uposatha, namun ia tak bisa membuat hujan datang; maka ia memanggil para penduduk bersama, dan berkata kepada mereka, “Saya telah mengabdikan diri kepada perbuatan bajik, dan selama tujuh hari saya berpuasa, namun saya tak bisa menurunkan hujan: apa yang harus kita lakukan sekarang?” Mereka menjawab, “Jika Anda tak bisa menurunkan hujan, Baginda, Vessantara di Kota Jetuttara, putra Raja Sanjaya, berdedikasi pada praktik derma; ia memiliki gajah agung berwarna putih, dan ke mana pun gajah itu pergi hujan turun; kirimkanlah para brahmana, mintalah gajah itu, bawalah kemari.” Raja menyetujuinya; dan mengumpulkan para brahmana ia memilih delapan orang brahmana, memberikan mereka bekal untuk perjalanan mereka, dan berkata, “Pergilah dan jemput gajah Vessantara.” Melaksakan tugas ini, para brahmana berangkat menuju Kota Jetuttara; dalam balairung derma mereka mendapatkan pelayanan; memerciki tubuh mereka dengan debu dan melumurinya dengan lumpur; pada hari purnama, untuk meminta gajah raja, mereka pergi ke gerbang timur saat raja hendak datang ke balairung amal. Pagi-pagi sekali, raja, hendak mengunjungi balairung derma, membasuh dirinya dengan enam belas kendi air wangi, kemudian sarapan, lalu menunggangi gajah kerajaannya yang berhias indah, lalu pergi ke gerbang timur. Para brahmana tidak menemukan kesempatan meminta di sana, maka mereka pergi ke gerbang selatan, lalu berdiri di atas gundukan dan mengawasi raja memberi derma di gerbang timur. Ketika ia datang ke gerbang selatan, mereka berseru sambil menjulurkan tangan, “Jayalah Vessantara yang mulia!” Bodhisatta, ketika ia melihat para brahmana, ia mengemudikan gajah ke tempat mereka berdiri, lalu duduk di punggungnya mereka mengucapkan syair pertama: pergi ke gerbang selatan, lalu berdiri di atas gundukan dan mengawasi raja memberi derma di gerbang timur. Ketika “Dengan ketiak berbulu, kepala gondrong, gigi bernoda, dan debu di kepalanya, wahai Brahmana, mengulurkan tanganmu, apakah yang Anda dambakan?”

Brahmana ini menjawab:

“Kita mendambakan hal yang berharga, wahai Pangeran yang bisa menyelamatkan rakyat Anda:

Pilihan itu dan menyelamatkan gajah dengan gading seperti galah apa pun.”

Ketika Bodhisatta mendengar ini, ia berpikir, “Aku akan memberikan apa pun yang kumiliki, dari kepala sampai ke bawah, atau apa yang mereka minta yang bukan diriku; aku akan memenuhi keinginan mereka;” dan dari punggung gajah, ia menjawab:

“Saya akan memberi, dan tak pernah goyah darinya, yang para brahmana inginkan, hewan mulia ini, yang layak dikendarai, gajah bergading yang ganas;”

Sehingga ia mengabulkannya:

“Raja, penyelamat rakyatnya, turun dari punggung gajah, kemudian bergembira dalam berderma, memberikan para brahmana apa yang mereka butuhkan.”

Perhiasan di keempat kaki gajah itu senilai empat ratus ribu, perhiasan di kedua sisi tubuhnya senilai dua ratus ribu, selimut di bawah perutnya senilai seratus ribu, di punggungnya ada jala bertatahkan mutiara, emas, dan permata, tiga jaring senilai tiga ratus ribu, di kedua telinga dua ratus ribu, di punggungnya ada permadani senilai seratus ribu, perhiasan lutut depannya senilai seratus ribu, tiga pembungkusnya senilai tiga ratus ribu, perhiasan kecil di telinganya dua ratus ribu, di kedua gadingnya dua ratus ribu, perhiasan untuk kemujuran di belalainya seratus ribu, di ekornya seratus ribu, apalagi perhiasan tak ternilai di tubuhnya dua juta dua ratus ribu, tangga untuk menaikinya seratus ribu, tempat makanan seratus ribu, yang sejumlah dua juga empat ratus ribu; apalagi perhiasan besar dan kecil di tudungnya, permata di kalung mutiaranya, permata di cambuknya, permata di kalung mutiaranya di lehernya, permata di kedua lutut depannya, semuanya ini tak ternilai, gajah ini pun juga tak ternilai, membuat berikut gajah ini tujuh hal tak ternilai, semua ini ia berikan kepada para brahmana; selain itu berikut lima ratus pelayan dengan pegawai istal: dan dengan pemberian itu, gempa bumi terjadi, dan banyak pertanda lain seperti yang diceritakan di atas.

Untuk menjelaskan hal ini, Guru berkata:

“Kemudian kengerian besar terasa, hingga rambut berdiri; ketika gajah agung diberikan, bumi menjadi bergetar karena ketakutan.

Seluruh kota bergema dengan raungan perkasa, ketika gajah agung diberikan oleh putra mahkota Sivi.”

Seluruh Kota Jetuttara bergetar. Para brahmana, kita diceritakan, di gerbang selatan menerima gajah itu, menunggangi punggungnya, lalu di tengah-tengah kerumunan rakyat melewati tengah-tengah kota. Kerumunan ini, melihat mereka, berseru, “Wahai brahmana, menunggangi gajah kami, mengapa Anda mengambil gajah kami?” Para brahmana menjawab, “Raja Agung Vessantara telah memberikan gajah ini kepada kami: siapakah Anda?” sehingga dengan sikap sombong dan angkuh kepada keramaian, mereka melewati kota dan keluar lewat gerbang utara dengan bantuan para dewa. Orang-orang kota, marah dengan Bodhisatta, mengucapkan teguran keras.

Untuk menjelaskan hal ini, Guru berkata:

“Mendengar suara yang nyaring dan perkasa, yang terdengar demikian mengerikan, ketika gajah agung diberikan, bumi bergetar karena ketakutan.

Mendengar suara yang nyaring dan perkasa, yang demikian ngeri untuk didengar, ketika gajah agung diberikan, kota gemetar mendengarkannya.

Demikian keras dan perkasa suara serba mengerikan bergema, ketika gajah agung itu diberikan putra mahkota Sivi.”

Para rakyat, gemetar dalam hati mendengar pemberian ini, berkata kepada raja sebelumnya. Demikianlah dikatakan:
“Kemudian pangeran dan brahmana, vessa dan ugga, besar dan kecil, penunggang gajah dan pejalan kaki, penunggang kereta perang dan prajurit, satu dan seluruhnya,

Pemilik tanah di negeri, dan seluruh rakyat Sivi datang. Melihat gajah itu pergi, demikianlah jerit mereka kepada raja tua:

“Kerajaan Anda hancur, Baginda: mengapa Vessantara putra Anda memberikan gajah kami yang dipuja semua orang?

Mengapa memberikan gajah penyelamat kami, yang bergading galah, indah, dan putih, yang setiap kali tahu memilih tempat yang menguntungkan dalam setiap pertempuran?

Dengan permata dan kipas ekor yak; yang menginjak-injak segala lawan; bergading panjang, beringas, putih seperti Gunung Kelasa dengan saljunya; dengan zirah dan payung putih, layak ditunggangi seorang raja, berikut pasukan pengiring dan pengemudinya, ia telah memberikan benda yang berharga ini.”

Setelah mengatakan ini, mereka berkata lagi:

“Siapa pun yang memberikan makanan dan minuman, dengan pakaian, api, dan kendaraan, itulah pemberian yang benar dan pantas, bagi para brahmana itu bisa diterima.

Wahai Sanjaya, sahabat rakyat Anda, katakan mengapa hal ini dilakukan olehnya, pangeran dari silsilah kita sendiri, Vessantara, putramu?

Desakan rakyat Sivi adalah jika Anda menolak melakukannya, maka menurut saya, rakyat akan bertindak, melawan putra Anda dan diri Anda.”

Mendengar ini, raja menyangka bahwa mereka hendak membunuh Vessantara; maka ia berkata:
“Ya, biarkanlah negeri ini lenyap, kerajaan saya sudah tiada lagi, saya tak akan membuang dari kerajaannya pangeran yang bebas dari kesalahan, tidak pula menuruti suara rakyat: karena ialah putra kandung saya.

Ya, biarkanlah negeri ini lenyap, kerajaan saya tiada lagi, saya tak akan membuang dari kerajaannya pangeran yang bebas dari kesalahan, tidak pula menuruti suara rakyat; karena ia adalah putra saya sendiri.

Tidak, saya tak akan melukainya; ia masih sangat mulia; dan akan menjadi hal yang memalukan bagi saya, dan akan sangat melukai saya. Vessantara, putra saya sendiri, bagaimana bisa dengan pedang saya membunuhnya?”

Rakyat Sivi menjawab:

“Bukan hukuman yang layak ia terima, bukan pedang, atau kurungan penjara, namun asingkan dia dari kerajaan, mintalah ia berdiam di Gunung Vamka.”

Raja berkata:

“Dengarkanlah suara rakyat! Dan itu tidak akan saya debat. Namun biarkanlah ia melewatkan satu malam bahagia sebelum ia pergi.

Setelah selang satu malam ini, ketika fajar datang, bersama-sama biarlah rakyat datang dan mengasingkan dirinya.”

Mereka menyetujui usulan raja untuk menunda satu malam. Kemudian ia membiarkan mereka pergi, dan berpikir hendak mengirimkan pesan kepada putranya, ia menyuruh seorang pembantunya, yang pergi ke rumah Vessantara dan menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi.

Untuk menjelaskan hal ini, syair berikut ini diucapkan:
“Bangkitlah, kawan, segeralah bergegas pergi, dan beritahu pangeran kata-kataku.

“Semua orang, dan penduduk, karena murka, sepakat dalam satu hal,

Ugga dan khattiya, vessa dan juga brahmana, putraku, pawang gajah dan pengawal pribadi, sais kereta dan prajurit pejalan kaki, setiap orang, semua penduduk, penduduk desa, telah bersama-sama berlari kemari,

Setelah selang satu malam ini, ketika fajar esok, mereka akan berkumpul bersama dan mengasingkan Anda.”

Orang yang dikirim Raja Sivi ini bergegas melaksanakan tugasnya, menaiki gajah perang, ia memakai wewangian dan pakaian indah,

Kepalanya dibasuh dengan air, dengan giwang bertatahkan permata di telinga, pergilah ia berkendara sampai ke kota indah itu, tempat kediaman Vessantara.

Kemudian ia melihat pangeran bahagia yang tinggal di lahannya, seperti Vasava raja para dewa; di sekitarnya berdiri para pegawai istana.

Bergegas ke sana orang ini pergi, kepada pangeran ia berkata, “Saya membawa kabar buruk, Yang Mulia: Janganlah marah terhadap saya!”

Dengan penghormatan sepantasnya, menangis hingga mata bengkak, ia berkata kepada raja: “Andalah tuanku, Baginda, dan Anda memberikan saya segala hal: kini kabar buruk harus kuberitahu Anda: mohon hiburlah hati Anda.

“Bangkitlah, kawan, segeralah bergegas pergi, dan beritahu pangeran kata-kataku.

“Semua orang, dan penduduk, karena murka, sepakat dalam satu hal,

Ugga dan khattiya, vessa dan juga brahmana, putraku, pawang gajah dan pengawal pribadi, sais kereta dan prajurit pejalan kaki, setiap orang, semua penduduk, penduduk desa, telah bersama-sama berlari kemari,

Setelah selang satu malam ini, ketika fajar esok, mereka akan berkumpul bersama dan mengasingkan Anda.”

Orang yang dikirim Raja Sivi ini bergegas melaksanakan tugasnya, menaiki gajah perang, ia memakai wewangian dan pakaian indah,

Kepalanya dibasuh dengan air, dengan giwang bertatahkan permata di telinga, pergilah ia berkendara sampai ke kota indah itu, tempat kediaman Vessantara.

Kemudian ia melihat pangeran bahagia yang tinggal di lahannya, seperti Vasava raja para dewa; di sekitarnya berdiri para pegawai istana.

Bergegas ke sana orang ini pergi, kepada pangeran ia berkata, “Saya membawa kabar buruk, Yang Mulia: Janganlah marah terhadap saya!”

Dengan penghormatan sepantasnya, menangis hingga mata bengkak, ia berkata kepada raja: “Andalah tuanku, Baginda, dan Anda memberikan saya segala hal: kini kabar buruk harus kuberitahu Anda: mohon hiburlah hati Anda.

Semua orang, dan penduduk, karena murka, sepakat dalam satu hal,

Ugga dan khattiya, vessa dan juga brahmana, putraku, penunggang gajah dan pengawal pribadi, sais kereta dan prajurit pejalan kaki, setiap orang, semua penduduk, penduduk desa, telah bersama-sama berlari kemari.

Setelah selang satu malam ini, ketika fajar esok, mereka akan berkumpul bersama dan mengasingkan Anda.”

Bodhisatta berkata:

“Mengapa orang-orang marah kepada saya? Saya tak melakukan pelanggaran. Beritahu saya, orang baik, mengapa mereka hendak mengasingkan saya?”

Bawahan mengatakan:
“Ugga dan vessa, khattiya, dan brahmana, semua orang, penunggang gajah dan pengawal pribadi, pengendara kereta dan prajurit pejalan kaki, berlari kemari, semuanya marah karena Anda memberikan hadiah kepada Anda, dan karena itu mengasingkan Anda.”

Mendengar ini, Bodhisatta, dengan semua kepuasan hati, berkata:

“Mata saya dan hati saya akan saya berikan: mengapa tidak apa yang bukan milik saya, atau emas atau harta, batu berharga, atau mutiara, atau permata indah?

Jika siapa pun datang bertanya kepada saya, saya akan memberikan tangan saya, tangan kanan saya292, tidak sekejap pun keraguan: kesenangan saya ada dalam berderma.

Biarlah orang-orang mengasingkan saya, biarlah orang-orang membunuh, atau memotong saya menjadi tujuh bagian, karena saya tak akan pernah berhenti berderma.”

Ketika mendengar ini, bawahan ini bicara lagi, bukan menyampaikan pesan raja atau rakyat, namun pesan lain dari batinnya sendiri:

“Inilah kehendak rakyat Sivi; mereka meminta saya mengatakan kepada Anda:

Di Kontimara di samping bukit, Sungai Aranjara mengalir, di sana berangkatlah, tempat orang-orang diasingkan, Tuan yang baik, secara tradisi pergi ke sana.”

Ini ia katakan, menurut kisah kita, terinspirasi oleh sesosok dewa.

Mendengar ini, Bodhisatta menjawab: “Sungguh baik, saya akan pergi melalui jalan yang dilalui orang-orang yang telah bersalah; namun saya yang tidak diasingkan karena kesalahan apa pun, mereka mengasingkan saya karena memberikan gajah. Dalam hal ini saya hendak memberikan derma besar tujuh ratus, dan saya berdoa agar rakyat memberikan saya waktu satu hari untuk itu. Besok saya akan memberikan derma saya, lalu esoknya lagi saya akan pergi.”

“Maka melalui jalan yang sama itu saya akan pergi seperti mereka yang bersalah: Namun pertama-tama saya memberi derma dahulu, sehari semalam saya harap mereka memberikan waktu.”
“Sungguh baik,” kata utusan itu, “Saya akan melaporkan hal ini kepada rakyat,” lalu kemudian ia pergi.

Pria itu pergi, Bodhisatta memanggil salah satu jenderalnya berkata kepadanya, “Besok saya akan memberikan derma yang disebut derma tujuh ratus. Anda harus mempersiapkan tujuh ratus gajah, jumlah kuda, kereta perang, gadis, kerbau, budak pria dan perempuan yang sama, lalu menyediakan setiap jenis makanan dan minuman, bahkan minuman keras, segela yang layak untuk diberikan.” Maka setelah mengatur pemberian besar tujuh ratus, ia menyingkirkan para pegawainya, dan sendirian berangkat ke kediaman MaddI; tempat ia duduk sendiri pada dipan kerajaan, ia mulai menyampaikan kepadanya.

Guru kemudian menjabarkannya:

“Demikianlah raja berkata kepada MaddI, kepada perempuan yang cantik itu:

’Segala yang pernah kuberikan kepadamu, baik barang atau beras, berhati-hatilah, atau emas atau harta karun, batu berharga, dan banyak lagi selain itu, mas kawin dari ayahandamu, temukanlah tempat untuk menyembunyikan semua harta ini.’

Kemudian berbicaralah Maddi, putri yang cantik itu, kepada raja:

“Di mana saya akan menemukan tempat, Baginda, untuk menyembunyikannya? Beritahu saya di mana?”

Vessantara berkata:

“Dalam jumlah yang layak dari kekayaan boleh Anda dermakan, tiada tempat lain yang lebih aman untuk menyimpannya ketimbang ini, saya mengetahuinya dengan baik.”

Ia setuju, dan dengan itu ia mengajarinya dalam kebijaksanaan ini:
“Jadilah baik, wahai MaddI, kepada putra-putra Anda, kepada kedua orang tua suami Anda, kepada suami yang Anda akan layani, janganlah enggan atau menolak.

Dan jika tidak ada laki-laki yang ingin menjadi suami Anda ketika saya pergi, maka pergilah mencari suami untuk diri Anda sendiri, janganlah merana sendirian.”

Kemudian Maddi berpikir, “Kenapa Vessantara mengatakan hal seperti itu kepadaku?” Lalu ia menanyainya, “Baginda, mengapa Anda mengatakan kepada saya apa yang seharusnya tidak Anda katakan?” Bodhisatta menjawab, “Nyonya, penduduk Sivi marah kepada saya karena memberikan gajah. Mereka akan mengasingkan saya dari kerajaan: besok saya akan memberi derma tujuh ratus, lalu keesokannya lagi meninggalkan kota.” Lalu ia berkata:

“Besok saya akan pergi ke hutan yang menyedihkan, dihuni banyak hewan buas: apakah saya bisa bertahan hidup di dalamnya, siapa yang bisa tahu?”

Kemudian putri Maddi, perempuan yang cantik itu, berkata: “Janganlah begitu! Itu kata-kata yang buruk! Mengatakannya pun saya tidak berani!

Itu tidaklah baik dan tepat, rajaku, bahwa Anda sendiri yang pergi: ke mana pun perjalanan Anda, ke sana pula saya akan pergi.

Berikan saya pilihan untuk mati bersama Anda, atau hidup terpisah dari Anda, kematian akan maka pilihan saya, kecuali saya bisa hidup di mana Anda berada.

Nyalakanlah api paling ganas dan mengerikan yang mungkin ada, saya lebih baik menjalani kematian ketimbang hidup terpisah dari Anda.

Seperti sering terlihat pasangan gajah mengikuti dekat dari belakang melintasi gunung atau hutan, lewat dataran yang rata atau terjal, dengan anak-anak saya akan mengikutimu, ke mana pun Anda akan pergi, tidak pula Anda akan menemukan saya membebani atau sulit diberi makan.” Dengan kata-kata ini, ia mulai memuji wilayah Himalaya seolah ia telah melihatnya:
“Ketika Anda akan melihat anak-anak Anda yang cantik, mendengar celoteh mereka bergema di bawah tudung pepohonan, Anda akan lupa bahwa Anda dahulu raja. Melihat anak-anak Anda yang cantik bermain, mendengar celoteh mereka bergema di bawah tudung pepohonan, Anda akan lupa bahwa Anda dahulu raja.

Ketika Anda akan melihat anak-anak Anda yang cantik, mendengar celoteh mereka bergema dalam rumah kita yang indah, Anda akan lupa bahwa Anda dahulu raja. Melihat anak-anak Anda yang cantik bermain, mendengar celoteh mereka bergema dalam rumah kita yang indah, Anda akan lupa bahwa Anda dahulu raja.

Melihat anak-anak Anda semuanya ceria berhias, menyaksikan mereka membawa bunga-bunga dalam rumah kita yang indah, Anda akan lupa bahwa Anda dahulu raja.

Melihat anak-anak Anda bermain serba gembira, menyaksikan mereka membawa bunga-bunga dalam rumah kita yang indah, Anda akan lupa bahwa Anda dahulu raja. Ketika Anda melihat anak-anak Anda menari dengan karangan bunga yang dibawa dalam rumah kita yang indah, Anda akan lupa bahwa Anda dahulu raja.

Ketika Anda melihat mereka menari dan bermain, dengan karangan bunga yang dibawa dalam rumah kita yang indah, Anda akan lupa bahwa Anda dahulu raja.

Gajah berusia enam puluh tahun, berkelana sendirian di hutan, akan membuat Anda lupa bahwa Anda dahulu raja.

Gajah berusia enam puluh tahun, pada malam hari berkelana dan pada pagi hari, akan membuat Anda lupa bahwa Anda dahulu raja

Ketika Anda melihat gajah dan kawanan yang dibawanya, gajah berusia enam puluh tahun, dan mendengarnya bersuara, mendengar suaranya Anda akan lupa bahwa Anda dahulu raja.
Tempat terbuka di hutan, hewan-hewan yang mengaum, dan setiap hal yang diinginkan ketika Anda melihatnya, Anda akan lupa bahwa Anda dahulu raja.

Rusa datang saat senja, berbagai jenis bunga yang mekar, kodok-kodok menari, Anda akan lupa bahwa Anda dahulu raja.

Ketika Anda mendengar suara aliran sungai, makhluk-makhluk peri bernyanyi, percayalah pada saya, Anda akan lupa sama sekali Anda dahulu raja.

Ketika Anda akan mendengar suara kukuk burung hantu dalam gua gunung,

Percayalah pada saya, Anda akan lupa sama sekali Anda dahulu raja.

Badak dan banteng, yang bergema di hutan, singa, dan macan, Anda akan melupakan bahwa Anda dahulu raja.

Ketika di puncak gunung Anda melihat burung merak menari dan melompat di depan merak betina, Anda akan lupa Anda dahulu raja.

Melihat merak yang lahir dari telur menari dan membentangkan sayapnya yang luar biasa di hadapan merak betina, Anda akan lupa bahwa Anda dahulu raja.

Merak jantan dengan lehernya yang ungu, Anda melihatnya menari dan melompat di hadapan merak betina, Anda akan lupa Anda dahulu raja.

Ketika pada musim dingin Anda melihat pepohonan semuanya berbunga, semerbak dengan wangi mereka, Anda akan lupa Anda dahulu raja.
Ketika pada musim dingin Anda melihat semua tanaman berbunga, bimbajala, kutaja, dan teratai294, menyebarkan keluar aroma mereka, Anda akan lupa Anda dahulu raja.

Ketika pada musim dingin Anda melihat hutan bersemi dan teratai mekar, Anda akan lupa Anda dahulu raja.”

Demikianlah MaddT menyanyikan pujian akan Himavat dalam syair-syair ini, seakan ia berdiam di sana. Demikianlah berakhir Pujian Himavat.
Kemudian Ratu Phusati berpikir: “Perintah keras telah dibebankan kepada putraku: apa yang akan ia lakukan? Aku akan pergi dan mencari tahu.” Dalam kereta bertutup ia pergi, lalu menguping di pintu kamar mereka, ia mendengar pembicaraan mereka lalu mengucapkan ratapan pahit.

Menjabarkan ini, Guru berkata:

“Ia mendengar putri raja dan putranya, mendengar pembicaraan yang terjadi, kemudian ratu yang agung dan berjaya itu meratap pilu.

“Lebih baik minum racun, atau lebih baik melompat dari tebing, menurut saya, atau mengikatkan tali pencekik di leher saya lalu mati.

Mengapa mereka mengasingkan Vessantara, putra saya yang tak bersalah?

Begitu rajin dan bebas dari ketamakan, yang memberi kepada semua yang datang, dihormati raja-raja saingannya, memiliki kesohoran besar dan agung, mengapa mereka mengasingkan Vessantara, putra saya yang tak bersalah?

Sandaran orang tuanya, yang menghormati setiap sepuhnya, mengapa mereka mengasingkan Vessantara, putra saya yang tak bersalah?

Dicintai raja dan ratu, oleh semua handai taulannya, dikasihi sahabatnya, dalam kerajaan ini dan seisinya, mengapa mereka mengasingkan Vessantara, putra saya yang tak bersalah?”

Setelah ratapan pilu ini, ia menghibur putra dan istrinya, lalu menghadap raja dan berkata:
“Seperti mangga yang jatuh ke tanah, seperti uang yang habis atau terbuang, demikianlah runtuh kerajaanmu, jika mereka mengasingkan yang tak bersalah.

Seperti belibis liar dengan sayap cacat, ketika seluruh perairan kering, ditinggalkan para pegawaimu, Anda akan hidup dalam duka sendirian.

Saya katakan kepada Anda, wahai Raja perkasa: jangan biarkan kebajikan Anda berlalu, jangan asingkan dia, yang tak bersalah, hanya karena rakyat menuntut.”

Mendengar itu, raja menjawab:

“Putra Anda, panji rakyat, jika saya asingkan ke tempat yang sengsara, maka saya mematuhi tugas kerajaan saya, yang lebih penting ketimbang hidup.”

Mendengar hal ini, ratu meratap:

“Ketika rombongan rakyat mengantarnya, dengan panji-panji indah dikibarkan, seperti hutan penuh dengan pohon berbunga: hari ini ia pergi sendirian.

[500] Jubah kuning cerah, buatan Gandhara, suatu ketika bersinar melibat tubuhnya, atau berkilau merah, ketika ia pergi: hari ini ia pergi sendirian.
Dengan kereta, tandu, gajah, ia dahulu bepergian: hari ini Raja Vessantara harus berjalan kaki menempuh jalan.

Ia dahulu memakai sandal harum, dibangunkan tarian dan nyanyian, bagaimana bisa mengenakan kulit kasar, bagaimana kampak, kuali, dan salju bisa ia bertahan?

Mengapa mereka tidak membawa jubah kuning, mengapa tidak pakaian dari kulit, pakaian dari kulit pohon, yang dengannya ia bisa memasuki hutan rimba?

Bagaimana bisa mengasingkan raja dengan mengenakan kepadanya jubah kulit kayu, mengenakan kulit kayu dan rumput bagaimana Putri MaddI bisa tahan?

MaddI, yang dahulu terbiasa mengenakan kain dan katun Benares, dan kain halus kodumbara, bagaimana ia bisa tahan memakai kulit kayu dan rumput?

Ia yang biasanya bepergian dengan tandu atau kereta, putri raja yang cantik, hari ini ia berjalan kaki, bagaimana ia bisa?

Dengan tangan dan kaki yang halus ia berdiri dalam kebahagiaan: bagaimana bisa putri yang cantik masuk ke dalam hutan dengan gemetar?

Dengan tangan dan kaki yang halus ia hidup dalam keadaan bahagia: sandal terbaik yang ia gunakan terkadang bisa melukai kakinya; hari ini bagaimana yang cantik bisa berjalan pergi?

Dahulu ia berkalung bunga di antara seribu pelayan: bagaimana yang indah kini berjalan sendirian menyusuri beranda hutan?

Ketika ia mendengar suara lolongan anjing hutan ia akan sangat terpukul: bagaimana bisa yang cantik dan pendiam kini menyusuri beranda hutan?

Ia yang berasal dari ras kerajaan Indra tak pernah mengerut ketakutan, gemetar seperti orang kesurupan, mendengar kukuk burung hantu, bagaimana bisa yang cantik dan pendiam kini menyusuri beranda hutan?

Seperti seekor burung melihat sarangnya kosong, semua anaknya telah terbunuh, maka ketika saya melihat tempat kosong ini akan lama saya terbakar dalam rasa sakit.

Seperti seekor burung melihat sarangnya kosong, semua anaknya telah terbunuh, kurus, akan menguning saya melihat putra yang tak akan pernah saya lihat lagi.
Seperti seekor burung melihat sarangnya kosong, semua anaknya telah terbunuh, saya akan berlari hilang akal, jika saya tak pernah bisa melihat putra saya yang tersayang lagi.

Seperti seekor elang melihat sarangnya kosong, semua anaknya telah terbunuh, demikian ketika saya melihat tempat kosong itu saya akan lama hidup dalam derita.

Seperti seekor burung melihat sarangnya kosong, anak-anaknya terbunuh, kurus, akan menguning saya melihat putra yang tak akan pernah saya lihat lagi.

Seperti seekor elang melihat sarangnya kosong, anak-anaknya terbunuh, saya akan berlari hilang akal, jika saya tak pernah melihat putra tersayang saya lagi.

Seperti unggas di sisi kolam yang airnya telah kering, lama saya akan hidup dalam derita, tidak bisa melihat lagi putra kesayangan saya.

Seperti unggas di sisi kolam yang airnya telah kering, kurus, saya akan menguning jika tak lagi bisa melihat putra kesayangan saya.

Seperti unggas di sisi kolam yang airnya telah kering, saya akan terbang hilang akal, jika tak bisa lagi melihat putra kesayangan saya.

Dan jika Anda mengasingkan putra saya yang tak bersalah dari kerajaan ini, meski keluhan pahit saya lagi, saya pikir hidup saya sudah selesai.”

Menjelaskan persoalan ini, Guru mengatakan: “Mendengar ratu meratap parau, segera bersama-sama keluar para selir istana, dengan tangan terjulur, ikut meratap bersamanya.
Lalu dalam istana pangeran, semuanya berbaring di sana-sini. Perempuan dan anak-anak seperti pohon tumbang tertiup angin.

Lalu ketika malam telah berakhir, dan mentari terbit keesokan harinya, Raja Vessantara mulai memberikan dermanya.

“Makanan kepada yang lapar, minuman bagi yang membutuhkannya, berikanlah pakaian bagi yang menginginkan pakaian, masing-masing sesuai keinginannya.” “Jangan biarkan satu pemohon pun kembali dengan kecewa, tunjukkan segala penghormatan, biarlah tak seorang pun kekurangan makanan dan minuman untuk dicicipi.”

Demikian mereka berkumpul ramai dan cepat dengan sukacita dan kemeriahan, seperti raja agung pengayom Sivi bersiap hendak pergi.

Mereka menebang pohon perkasa yang berdiri ranum dengan buah, ketika Vessantara yang tak bersalah mereka asingkan dari negeri. Mereka menebang pohon pengabul permintaan, dengan setiap berkah ranum, ketika Vessantara yang tak bersalah mereka asingkan dari negeri.

Mereka menebang pohon pengabul permintaan, dengan anugerah pilihan tersedia, ketika Vessantara yang tak bersalah mereka asingkan dari negeri.

Baik tua dan muda, dan semua di antarnya, menangis dan meratap hari itu, menjulurkan tangan mereka, ketika raja bersiap pergi, yang mengayomi Kerajaan Sivi.

Perempuan bijak, kasim, selir raja, menangis dan meraung hari itu, menjulurkan tangan, ketika raja siap pergi, raja yang mengayomi Kerajaan Sivi.

Lalu semua perempuan dalam kota menangis dan meratap hari itu, ketika raja agung pengayom Sivi siap untuk pergi.

Para brahmana dan petapa pun, dan semua yang memohon, mengulurkan tangan mereka, menjerit keras, “Ini sungguh perbuatan jahat!”

Kepada seluruh kota raja membagikan berkahnya, dan oleh hukuman rakyat, ia kini pergi menuju pengasingannya.

Tujuh ratus gajah ia berikan, dihias dengan megah, dengan tali kekang emas, dihiasi dengan pelana dari emas terang,
Masing-masing ditunggangi pawangnya sendiri, dengan kait pemandu di tangan: lihatlah kini Raja Vessantara diasingkan dari kerajaan!
Tujuh ratus kuda pun ia beri, dalam barisan yang berhias megah, kuda-kuda Sindhu, berketurunan murni, semuanya berkaki kencang,
Masing-masing ditunggangi prajurit yang berani, dengan pedang dan busur di tangan: lihatlah kini Raja Vessantara diasingkan dari kerajaan!

Tujuh ratus kereta semuanya telah dipasangkan ke kuda, dengan panji-panji berkibar bebas, dengan kulit harimau dan macan tutul, sungguh pemandangan luar biasa,

Masing-masing dikemudikan oleh pengemudi kereta berzirah, semuanya dipersenjatai busur di tangan: lihatlah kini Raja Vessantara diasingkan dari kerajaan!

Tujuh ratus pelayan perempuan pun ia beri, masing-masing berdiri dalam kereta, dengan rantai emas dan perhiasan menghias para perempuan ini, dengan baju dan perhiasan indah, dengan pinggang ramping dan kecil, alis melengkung, senyum yang riang dan cerah, berikut dengan pinggul yang elok: lihatlah kini Raja Vessantara diasingkan dari kerajaan!

Tujuh ratus ternak pun ia beri, masing-masing dengan ember susu dari perak: lihatlah kini Raja Vessantara diasingkan dari kerajaan!

Tujuh ratus budak perempuan ia berikan, sebanyak yang dibutuhkan kaum pria: lihatlah kini Raja Vessantara diasingkan dari kerajaan!

Kereta, kuda, perempuan, gajah ia berikan, namun bagaimana pun, lihatlah kini Raja Vessantara diasingkan dari kerajaan!

Itulah hal yang paling buruk, yang membuat rambut berdiri, ketika kini Raja Vessantara diasingkan dari kerajaan!”

Lalu sesosok dewa memberitahukan kabar ini ke raja-raja di seluruh India; bagaimana Vessantara memberikan derma besar gadis-gadis berkasta tinggi dan sejenisnya. Karena itu para khattiya dengan kekuatan surgawi datang dengan kereta, lalu kembali dengan gadis berkasta tinggi dan seterusnya yang telah mereka terima. Sehingga baik khattiya, Brahmana, vessa, dan sudda, semuanya menerima pemberian di tangannya sebelum mereka berangkat. Ia masih membagikan dermanya ketika malam tiba; maka ia kembali ke kediamannya, memberi salam ke orang tuanya dan memberitahu mereka bahwa malam itu ia akan berangkat. Dalam kereta indah ia pergi ke tempat kediaman orang tuanya, dan ia pergi bersama MaddI, agar bisa pamit kepada orang tuanya sambil bersamanya. Bodhisatta memberi salam kepada ayahnya dan mengumumkan kedatangan mereka.
Untuk menjelaskan ini, Guru berkata:

“Berikan salam kepada Raja Sanjaya yang bajik: beritahu dia bahwa karena ia kini mengasingkan saya, saya pergi ke Bukit Vamka.

Raja perkasa, makhluk apa pun akan tahu pada masa depan, bahwa mereka akan pergi menuju kediaman yama dengan nafsu mereka tak terpuaskan.

Karena kesalahan yang saya perbuat kepada rakyat saya, memberikan mustika dari tangan saya, dengan hukuman dari seluruh rakyat, saya diasingkan dari kerajaan.

Kesalahan itu kini akan saya bayar dalam rimba yang dihuni macan kumbang: meski Anda masih berkubang dalam lumpur, saya masih akan melakukan kebajikan.”

Demikianlah empat syair yang diucapkan Bodhisatta kepada ayahnya; kemudian ia berpaling ke ibunya, meminta izin untuk meninggalkan dunia dengan kata-kata ini:

“Ibu, saya mohon pamit: saya adalah orang yang diasingkan. Karena kesalahan yang saya perbuat kepada rakyat saya, memberikan mustika dari tangan saya, dengan hukuman dari seluruh rakyat, saya diasingkan dari kerajaan.

Kesalahan itu kini akan saya bayar dalam rimba yang dihuni macan kumbang: meski Anda masih berkubang dalam lumpur, saya masih akan melakukan kebajikan.”
Phusatl menjawab:

“Saya memberikan izin kepada Anda untuk pergi, dan berkah saya pun bersama Anda: tinggalkan MaddI dan anak-anak, karena ia tak akan mampu; bertubuh indah dan berpinggang langsing, untuk apa ia pergi bersama Anda?”

Vessantara berkata:

“Bahkan seorang budak tak bisa saya paksa melawan kehendaknya: namun jika ia mau, biarkan ia turut; jika tidak, biarkan ia tinggal.”

Ketika mendengar kata-kata putranya, raja lalu menanyai Ratu Maddl.

Menjelaskan ini, Guru berkata:

“Lalu kepada menantunya, raja mulai berkata, ‘Saya mohon, jangan biarkan tubuh Anda yang berbau cendana terkena debu dan lumpur,

Janganlah mengenakan pakaian dari serat kulit kayu, alih-alih pakailah kain Benares; putri terberkahi, janganlah pergi! Kehidupan hutan sungguh sengsara.”

Kemudian Putri Maddi, cantik dan bersinar, berkata kepada ayah mertuanya: “Saya tak akan bisa tanpa

Vessantara.”

Kemudian Raja pengayom Sivi yang perkasa bicara kepadanya lagi: “Marilah, Maddl, dengarkan penjelasanku mengenai derita di rimba.

Gerombolan serangga dan lalat, kumbang dan lebah akan menyengat Anda hidup-hidup dalam hutan itu, membawakan wabah besar bagi Anda. Bagi penghuni tepian sungai mendengar wabah lainnya mengintai: ular boa peremuk (tak berbisa memang, namun kuat dan besar), jika orang atau hewan apa pun mendekat, ia akan mencengkeramnya kuat, lalu menyeretnya ke tempat ia berkeliaran dan membelitnya berkali lingkar.

Kemudian ada banyak hewan lainnya dengan rambut hitam dan bergelombang; mereka bisa memanjat pohon untuk menangkap orang: hewan ini disebut beruang.

Sepanjang aliran Sotumbara berdiam banteng; dengan tanduk tajamnya yang bisa memberikan serudukan maut.

Melihat kawanan ternak perkasa ini berkeliaran di hutan, seperti sapi malang yang mencari anaknya, apa yang akan Maddi lakukan?

Ketika kawanan kera berkumpul di pepohonan, mereka akan menakuti Anda, Maddi, dalam ketidaktahuan ketika melihat mereka yang tidak menyenangkan dilihat.

Sesekali lolongan anjing hutan akan menghadirkan kengerian besar kepada Anda: kini berdam di Bukit Variika, apa yang akan Anda lakukan?

Mengapa Anda mau pergi ke tempat seperti itu? Bahkan di tengah hari, ketika semua burung hening beristirahat, hutan pun masih mengaum.”

Kemudian Maddi yang indah kepada raja menjawab: “Hal-hal yang demikian buruk itu, yang telah Anda coba jelaskan, saya bersedia menanggungnya semua; saya berteguh untuk ikut.

Melalui semua bukit dan rumput hutan, melalui belukar buluh rumbia, dengan dada sendiri saya akan membuka jalan, tidak pula saya akan mengeluh.
Ia yang hendak menjaga seorang suami dengan baik harus melakukan semua tugasnya; siap membuat bola-bola kotoran, siap juga untuk berpuasa,

Ia dengan saksama harus menjagai api, harus mengepel membersihkan air pula, namun mengerikan menjadi janda; raja besar, saya akan pergi.

Yang paling kejam menderanya ke mana saja; ia makan sisa-sisa makanan; karena mengerikan menjadi janda itu, raja besar, saya akan pergi.

Ditumbangkan dan diselimuti debu, diseret kasar dengan rambut, seorang pria bisa melakukan kekerasan apa pun, dan semuanya hanya akan berdiri dan menonton. Sungguh mengerikan menjadi janda! Raja besar, saya akan pergi.

Orang-orang menyiksa putra para janda dengan pukulan keras dan kejam, meski mereka indah dan menawan, seperti gagak akan mematuki burung hantu. Sungguh mengerikan menjadi janda! Raja besar, saya akan pergi.

Bahkan dalam rumah tangga yang sejahtera, cerah dengan perak tiada batas, ucapan kasar tidak pernah berhenti datang dari saudara atau sahabat. Sungguh mengerikan menjadi janda itu! Raja besar, saya akan pergi.

Sungai-sungai tanpa air akan telanjang, kerajaan tanpa raja, seorang janda boleh memiliki sepuluh saudara kandung, namun ia tetap telanjang. Sungguh mengerikan menjadi janda itu! Raja besar, saya akan pergi.

Panji adalah lambang kereta perang, ada api ada asap, kerajaan ditandai raja, istri ditandai oleh suaminya sendiri. Sungguh mengerikan menjadi janda itu! Raja besar, saya akan pergi.

Istri yang berbagi beban suaminya, baik kaya atau miskin, kesohorannya akan dipuji para dewa, saat ia berada dalam kesulitan. Saya akan tetap mengikuti suami saya, mengenakan jubah kuning, menjadi ratu304 seluruh bumi pun saya tidak sudi. Sungguh mengerikan menjadi janda itu! Raja besar, saya akan pergi.

Para perempuan itu tidak memiliki hati sama sekali, mereka keras dan tak bisa merasa, yang ketika suami mereka dalam duka, hendak bersenang-senang.

Ketika penguasa agung Kerajaan Sivi pergi menuju pengasingan, saya akan menyertainya; karena ia memberikan segala sukacita dan kecukupan hati.”

Kemudian berdirilah dan berbicaralah raja perkasa kepada MaddI yang cantik dan cerdas:
“Namun tinggalkanlah dua anak Anda: karena apa yang bisa mereka perbuat di sana, perempuan mulia? Kami akan menjaga dan merawat mereka baik-baik.”

Lalu MaddI, putri yang cantik dan cerdas itu, menjawab raja:“Jali dan Kanhajina sangat saya sayangi: mereka akan tinggal dalam hutan bersama saya, dan mereka akan mengurangi duka saya.”

Demikianlah jawaban dari raja agung, raja pengayom Sivi: “Makanan mereka selama ini nasi bagus dan hidangan lezat: jika mereka harus makan buah liar, apa yang anak-anak itu akan lakukan?
Dengan piring perak yang berhias atau dari emas, mereka makan: namun mereka akan makan beralas daun-daunan, apa yang anak-anak itu akan lakukan?

Kain Benares atau linen pakaian mereka: jika mereka harus memakai baju dari rumput atau kulit kayu, apa yang anak-anak itu akan lakukan?

Dalam kereta atau tandu mereka selama ini bepergian Ketika mereka harus berlari ke sana kemari dengan kaki telanjang, apa yang anak-anak itu akan lakukan?

Dalam kamar beratap miring mereka tidur terkunci aman: di bawah akar pohon mereka berbaring, apa yang anak-anak itu akan lakukan?

Di bantal, permadani, atau pembaringan bersulam mereka beristirahat: mulai sekarang berbaring di pembaringan rumput, apa yang anak-anak itu akan lakukan?

Mereka diperciki wewangian dan parfum: mulai sekarang, ketika tertutup debu dan lumpur, apa yang anak-anak itu akan lakukan?

Ketika bulu merak, kipas ekor yak, yang telah mengipasi mereka hingga kini, sekarang tergigit serangga dan lalat, apa yang anak-anak itu akan lakukan?”

Ketika mereka bercakap-cakap seperti ini, fajar tiba, lalu setelah fajar matahari pun terbit. Mereka membawa kereta kencana ditarik empat kuda Sindhu untuk Bodhisatta, dan menempatkannya di muka pintu. Maddr memberikan hormatnya kepada kedua mertuanya, lalu mengucapkan selamat tinggal kepada para perempuan lainnya, lalu pamit sambil membawa dua putranya ke hadapan Vessantara dan naik ke kereta.

Menjelaskan hal ini, Guru berkata:

“Kemudian Maddr, perempuan yang cantik dan cerdas itu, menjawab raja: ‘Janganlah meratapi kami, Baginda, atau begitu cemas: kedua anak ini akan ikut dengan kami ke mana pun kami pergi.”

Dengan kata-kata ini Maddi berangkat, perempuan yang cantik dan cerdas itu: di sepanjang jalan raya, kedua anak itu mengikutinya.

Kemudian Raja Vessantara sendiri, melaksanakan ikrarnya seperti yang telah ditetapkan, memberikan hormat pada kedua orang tuanya, mengitari mereka searah jarum jam. Kemudian, menaiki keretanya yang kencang, ditarik empat ekor kuda, dengan anak dan istrinya ia melaju ke puncak Vamka yang menjulang.
Lalu mengemudilah Raja Vessantara ke tempat kerumunan orang paling banyak, dan berseru, ’’Kami pergi! Berkah bagi sanak saudara saya, selamat tinggal!”

Bodhisatta mengucapkan kata-kata ini kepada orang-orang yang berkumpul, menegur mereka agar berhati-hati, memberi derma, dan melakukan perbuatan bajik. Ketika ia pergi, ibu Bodhisatta berkata, “Jika putra saya ingin memberi, biarkanlah ia memberi,” lalu mengirimkannya dua kereta, satu di tiap sisi, yang dipenuhi perhiasan, berlimpah dengan tujuh hal berharga. Dalam delapan belas derma ia membagi-bagikannya kepada pengemis yang ia temui di jalan, semua yang ia miliki, bahkan perhiasan yang ia pakai di tubuhnya sendiri. Ketika ia telah keluar dari kota, ia berbalik dan berhasrat melihatnya; kemudian sesuai keinginannya, bumi terbelah sesuai ukuran kereta, lalu berputra, membawa kereta itu menghadap kota, dan ia melihat tempat orang tuanya berdiam. Berikutnya terjadi gempa dan aneka keajaiban lainnya; sehingga dikatakan:

“Ketika dari kota ia keluar, ia berbalik sekali lagi: sehingga, seperti pohon banyan, Gunung Sineru berguncang.” Lalu ketika ia melihat kota itu, ia mengucapkan syair untuk mendorong MaddI agar turut melihat:

“Lihat, MaddT, tempat indah yang dari sana kita berasal, kediaman Raja Sivi dan rumah asal kita!”

Kemudian Bodhisatta melihat ke arah enam puluh ribu pgawai istana, yang terlahir pada saat yang sama dengan dirinya, dan rakyat lainnya, meminta mereka kembali; dan ketika ia mengemudikan kereta, ia berkata kepada MaddT: “Istriku, tengoklah ke belakang dan lihat apakah masih ada peminta-minta yang berjalan di belakang.” Istrinya pun duduk mengawasi. Saat itu, ada empat brahmana, yang tidak bisa hadir saat terjadi Derma Tujuh Ratus, kini telah datang ke kota; dan saat mengetahui pembagian derma telah berakhir, lalu memastikan bahwa pangeran telah pergi, mereka bertanya: “Apakah ia membawa apa pun bersamanya?” “Ya: sebuah kereta.” Maka mereka bertekad meminta kuda-kuda itu. Orang-orang ini terlihat oleh MaddI mendekat. “Pengemis, Tuanku!” katanya; Bodhisatta menghentikan kereta itu. Para brahmana itu mendatanginya dan meminta kuda-kuda itu: Bodhisatta memberinya kepada mereka.
Menjelaskan hal ini, Guru berkata:

“Kemudian empat brahmana berhasil mengejarnya, dan meminta kuda-kuda itu: ia memberikan kuda-kuda itu di sana, setiap peminta satu ekor kuda.”

Setelah kuda-kuda itu diberikan, tali penghubung kereta itu tetap melayang di udara; namun segera setelah para brahmana pergi, empat dewa dalam samaran rusa merah datang dan menangkap tali itu. Bodhisatta, yang mengetahui mereka sebagai dewa mengucapkan syair ini:

“Lihat, MaddT, betapa hal yang menakjubkan, keajaiban, MaddI, lihat! Kuda-kuda pintar ini, dalam bentuk rusa merah, menarik kereta kita!”

Namun kemudian ketika ia menemui brahmana lainnya yang meminta kereta itu, Bodhisatta turun bersama istri dan anak-anaknya, lalu memberinya kereta itu; dan ketika ia memberikan kereta itu, para dewa menghilang.

Untuk menjelaskan pemberian kereta itu, Guru mengatakan:

“Brahmana kelima datang, meminta kereta raja: ini pun ia juga berikan, dan hatinya tidak melekatinya.

Lalu membuat Raja Vessantara dan keluarganya turun, lalu memberikan kereta itu kepada orang yang memintanya.”

Setelah itu, mereka semua berjalan kaki. Kemudian Bodhisatta berkata kepada MaddI:
“MaddI, bawalah Kanhajina, karena ia masih kecil dan ringan, Jali yang berat, maka biarlah saya menggendongnya.” Maka mereka membawa dua orang anak itu, dan menggendong mereka.

Menjelaskan hal ini, Guru berkata:

“Ia membawa putranya, dan istrinya membawa putrinya, lalu mereka pergi, bercakap-cakap bersama sepanjang jalan dengan segala sukacita dan kecukupan hati.”

Ketika mereka menemui siapa pun sepanjang jalan, mereka bertanya ke mana jalan menuju Bukit Varhka, lalu mereka mengetahui bahwa letaknya jauh. Demikianlah dikatakan:

“Kapan pun mereka menemui para pejalan di sepanjang jalan, mereka menanyakan petunjuk arah, dan di mana Gunung Variika terletak.

Para pejalan semuanya menangis keras melihat mereka dalam perjalanan, lalu mengatakan kepada mereka mengenai perjalanan berat: ‘Perjalanannya panjang,’ kata mereka.”

Anak-anak menjerit melihat segala macam buah di pohon-pohon yang tumbuh di kedua sisi jalan. Kemudian, oleh kekuatan Bodhisatta, pohon-pohon membungkukkan buah sehingga tangan mereka bisa mencapainya, lalu mereka memetik yang paling matang dan memberinya kepada anak-anaknya. Kemudian MaddI berseru, “Keajaiban!” Demikianlah dikatakan:

“Kapan pun anak-anak itu melihat pepohonan yang tumbuh di lereng ranum oleh buah, anak-anak karena menginginkan buah mulai menangis.

Namun ketika mereka melihat anak-anak menangis, pohon-pohon tinggi menjadi sedih membungkukkan cabang mereka ke tangan mereka, hingga mereka bisa memetik buah itu.

Kemudian MaddI berseru dalam sukacita, perempuan yang cantik dan cerdas itu, ketika melihat keajaiban, yang bisa membuat rambut berdiri tegak.

Rambut bisa berdiri tegak melihat mukjizat yang ditunjukkan di sini: oleh kekuatan Raja Vessantara, pepohonan sampai merunduk sendiri!”

Dari Kota Jettutara, Gunung Suvannagiritala jaraknya lima yojana; dari sana Sungai Kontimara berjarak lima yojana, dan lima yojana lagi Gunung Aranjaragiri, lima yojana lagi desa brahmana Dunnivittha, kemudian sepuluh yojana lagi ke kota pamannya; demikianlah dari Jettutara perjalanannya tiga puluh yojana. Para dewa mempersingkat perjalanan itu, hingga dalam waktu satu hari mereka sampai ke kota pamannya. Demikianlah dikatakan:
“Para yakkha membuat perjalanan menjadi pendek, kasihan akan kesusahan anak-anak itu, sehingga mereka tiba di Kerajaan Ceta sebelum malam tiba.”

Mereka meninggalkan Jetuttara saat sarapan, dan pada malam hari mereka sampai di Kerajaan Ceta dan masuk ke dalam kota pamannya.

Menjelaskan ini, Guru berkata:

“Mereka pergi menuju Ceta, perjalanan besar dan panjang, kerajaan yang kaya akan makanan dan minuman, makmur, dan kuat.”

Dalam kota pamannya berdiam enam puluh ribu khattiya. Bodhisatta tak memasuki kota, namun duduk di balairung di gerbang kota. MaddT menyeka debu di kaki Bodhisatta, lalu menggosok-gosoknya; kemudian dengan niat mengumumkan kedatangan Vessantara, ia keluar dari balairung, lalu berdiri agar terlihat. Sehingga perempuan yang masuk dan keluar kota melihatnya dan berkumpul.

Melihat ini, Guru menjelaskan:

“Melihat MaddT para perempuan di sekitarnya berkumpul beramai-ramai. ‘Gadis lembut! Kini ia harus berjalan kaki.

Dahulu perempuan bangsawan ini bepergian dengan tandu atau kereta: kini MaddT harus berjalan kaki; dan rimba adalah kediamannya.’”

Kemudian semua orang, melihat MaddT dan Vessantara dan anak-anak tiba dengan cara yang tidak biasa ini, pergi dan memberitahu raja; kemudian enam puluh ribu pangeran datang kepadanya, menangis dan meratap.
Untuk menjelaskan ini, Guru berkata:

“Melihatnya, para pangeran Ceta datang, dengan meratap dan menangis. ‘Salam kepada Anda, Tuanku: kami percaya Anda sejahtera dan baik-baik saja, Anda pasti membawa kabar baik dari ayah Anda dan kerajaannya.

Di manakah pasukan Anda, wahai Raja perkasa? Di mana kereta kencana Anda? Tanpa kereta, tanpa kuda, Anda telah bertualang jauh: apakah Anda dikalahkan musuh hingga Anda kemari sendirian?”

Bodhisatta menceritakan kepada para pangeran sebab kedatangannya:

‘Saya berterima kasih kepada Anda, Tuan-tuan; yakinlah saya sejahtera dan baik-baik saja; lalu mengenai ayah dan kerajaan, saya memiliki berita baik untuk disampaikan.

Saya memberikan gajah penyelamat, bergading galah, sangat putih, yang selalu mengetahui tempat menguntungkan untuk dipilih dalam setiap pertempuran;

Permatanya, kipas ekor yaknya; yang menginjak-injak musuh, beringas, bergading panjang, putih seperti Gunung Kelasa dengan saljunya; dengan pelana dan payung putih, layak dikendarai seorang raja, dengan pasukan pengiring dan pawangnya: ya, saya memberikan benda berharga ini.

Karena itu rakyat murka, ayah saya menganggapnya keliru: karena itu ia mengasingkan saya, dan kini saya pergi ke Bukit Vamka. Saya mohon, beritahu saya tempat yang akan menjadi human saya.”

Pangeran-pangeran itu menjawab:

“Kini selamat datang, selamat datang, raja perkasa, dan tanpa keraguan: jadilah penguasa segala yang bisa ditemukan di sini, gunakanlah sesuka hati Anda.
Ambillah tanaman obat, akar-akaran, madu, daging, dan beras, yang terbaik dan terputih: nikmatilah sesukamu, wahai Raja, dan Anda akan menjadi tamu kami.”

Vessantara berkata:

“Pemberian Anda saya terima, dengan rasa terima kasih atas niat baik Anda. Namun raja telah mengasingkan saya; saya akan pergi ke Bukit Vamka. Saya mohon, beritahu saya tempat yang akan menjadi hunian saya.”

Pangeran-pangeran berkata:

“Tinggallah di Ceta, raja perkasa, sampai pesan dikirim untuk mengabarkan raja kerajaan Sivu tentang apa yang telah kami dengar.”

Kemudian di belakangnya dengan iring-iringan banyak orang mengantarnya, semuanya penuh sukacita dan keyakinan: inilah yang saya ingin Anda ketahui.”

Bodhisatta berkata:

“Saya tidak menginginkan Anda mengirimkan pesan dan memberitahu raja saya ada di sini: la bukanlah raja dalam urusan ini: saya takut ia tak memiliki pengaruh.

Orang istana dan kota semuanya berkumpul bersama dalam amarah, semuanya bertekad karena diri saya mereka mungkin menghancurkan raja.”

Para Pangeran berkata:
“Jika dalam kerajaan itu terjadi hal demikian mengerikan, maka dikelilingi rakyat Ceta tinggallah di sini, dan jadilah raja kami.

Kerajaan ini makmur dan kaya, orang-orangnya kuat dan besar: pertimbangkanlah, Tuan, tinggallah bersama kami dan perintahlah kerajaan kami.”

Vessantara berkata:

“Dengarkanlah saya, wahai putra-putra Kerajaan Cetta! Saya tak berkehendak untuk tinggal, karena saya pergi sebagai orang yang diasingkan, ataupun di sini untuk memikat perhatian kerajaan.

Semua rakyat Sivi akan tidak senang mengetahui bahwa Anda telah menobatkan saya, karena saya pergi sebagai yang diasingkan.

Jika Anda hendak melakukannya, maka itu akan menjadi hal paling tak menyenangkan, yakni bertengkar dengan rakyat Sivi: saya tidak menyukai pertengkaran.

Pemberian Anda saya terima, dengan rasa terima kasih atas niat baik Anda. Namun raja telah mengasingkan saya; saya akan pergi ke Bukit Variika. Saya mohon, beritahu saya tempat yang akan menjadi human saya.”

Demikianlah Bodhisatta, meski begitu banyak permintaan, menolak kerajaan itu. Lalu para pangeran memberinya penghormatan besarl namun ia tak mau memasuki kota; maka mereka menghias balairung tempat ia berada, dan mengelilinginya dengan tirai, dan mempersiapkan peraduan besar, mereka menjaga sekelilingnya dengan saksama. Satu hari dan satu malam ia berdiam dalam balairung yang terjaga ketat itul dan keesokan harinya, pagi-pagi sekali, setelah sarapan hidangan segala jenis makanan lezat, dilayani oleh para pangeran, ia meninggalkan balairung, dan enam puluh ribu khattiya mengantarnya sampai lima belas yojana, kemudian berdiri di jalan memasuki hutan, mereka menceritakan lima belas yojana yang tersisa dari perjalanannya.

“Ya, kami akan memberitahukan Anda bagaimana seorang raja bisa meninggalkan dunia. Bajik, damai oleh api sucinya, dan bening.

Raja perkasa, gunung karang itu adalah Gandhamadana, tempat anak dan istri Anda bisa tinggal bersama.

Penduduk Ceta, dengan wajah menangis dan berlinang air mata, menasihatkan Anda untuk pergi langsung ke utara tempat puncaknya menjulang tinggi.

Di sana Anda akan melihat Gunung Vipula (dan semoga berkah bersama Anda), menyenangkan dengan banyak pohon yang memberikan keteduhan sejuk.

Ketika Anda mencapainya, Anda akan melihat (semoga berkah tetap bersama Anda) Ketumati, sungai yang dalam dan bersumber dari bukit.

Penuh ikan, tempat yang aman, dengan arusnya yang dalam mengalir: di sana Anda bisa minum, lalu mandi, lalu bersama anak-anak Anda bermain.

Dan di sana, di atas bukit yang menyenangkan, teduh, Anda akan melihat, ranum oleh buah seperti madu manis, pohon banyan luhur.

Kemudian Anda akan melihat Gunung Nalika, yang merupakan tempat berhantu: di sana burung-burung bernyanyi bersama dan peri-peri hutan berkeliaran.

Lebih jauh lagi ke utara adalah Danau Mucalinda, tempat teratai biru dan putih menutupi permukaannya.

Kemudian rimba tebal, seperti awan, dengan permukaan dari lumut hijau tebal, pohon-pohon dipenuhi bunga dan buah, semuanya teduh di atasnya, masukilah: seperti seekor singa mencari mangsa yang dengannya ia bisa makan.

Lalu di sana ketika hutan berbunga, hujan lagu terdengar, kicauan di sini dan di sana dari banyak burung bersayap warna terang.

Dan jika Anda mengikuti air terjun gunung itu sampai ke mata airnya, Anda akan menemukan danau tertutup teratai dengan kuncup-kuncup bermekaran,

Penuh ikan, tempat yang aman, dengan air dalam tiada batas, bersergi empat dan damai, wangi, tanpa bau yang mengusik: di sana dirikanlah gubuk daun, sedikit ke utaranya, dan dari gubuk itu Anda bisa mencari makanan.”

Demikianlah para pangeran menceritakan kepadanya mengenai perjalanan lima belas yojana, dan membiarkannya pergi. Namun untuk mencegah abhaya apa pun menimpa Vessantara, dan dengan niat agar tidak meninggalkan peluang bagi bahaya apa pun, mereka memberikan petunjuk kepada seseorang di kerjaan mereka, yang bijak dan piawai, untuk mengawasi kepergian dan kegiatannya; yang mereka tinggalkan di tempat masuk ke rimba, lalu mereka kembali ke koa mereka sendiri.
Lalu Vessantara bersama istri dan anak-anaknya pergi ke Gandhamadana; hari itu ia berdiam di sana, mengarahkan wajahnya ke utara ketika ia melewati kaki Gunung Vipula, dan beristirahat di tepian Sungai Ketumatl, untuk makan yang disediakan oleh perambah hutan itu, lalu di sana mereka mandi dan minum, memberikan tusuk rambut emas kepada pemandu mereka. Dengan batin penuh ketenangan ia menyeberangi sungai, lalu beristirahat sebentar di bawah pohon banyan yang berdiri di sebuah tempat yang datar di gunung itu, lalu setelah makan buah pohon itu, ia bangkit dan pergi menuju bukit yang disebut Nalika. Masih melakukan perjalanan, ia melewati tepian Danau Mucalinda sampai ke sudut sebelah timur lautnya; tempat sebuah jalan sempit ia memasuki309 hutan lebat, dan melewatinya, ia mengikuti arus sungai yang berasal dari gunung hingga ia sampai ke danau bersegi empat.

Saat itu, Sakka, raja dewa melihat ke bawah dan menyaksikan apa yang terjadi. “Bodhisatta,” pikirnya, “telah memasuki Himavat, ia hams memiliki tempat kediaman.” [520] Maka ia memberikan perintah kepada Vissakamma: “Pergilah, dan mohon, dalam ceruk Gunung Vamka, bangunlah tempat pertapaan di tempat yang menyenangkan.” Vissakamma pergi dan membangun dua tempat pertapaan dengan jalan setapak beralas, ruangan untuk malam hari dan siang hari; di sepanjang jalan setapak ia menanam barisan pohon bunga dan rumpun pohon pisang, dan menyiapkan segala kebutuhan untuk petapa. Kemudian ia menuliskan prasasti, “Siapa pun yang ingin menjadi petapa, semua ini tersedia untuknya,” lalu mengusir semua makhluk bukan manusia berikut hewan dan unggas bersuara keras, ia lalu kembali ke kediamannya sendiri.

Bodhisatta, ketika ia melihat sebuah jalan setapak, merasa yakin bahwa jalan itu membawa menuju kediaman para petapa. Ia meninggalkan MaddT dan kedua anaknya di pintu masuk pertapaan, lalu masuk; ketika melihat prasasti itu, ia menyadari bahwa Sakka memperhatikannya. Ia membuka pintu lalu masuk, menanggalkan busur dan pedangnya, dengan pakaian yang ia kenakan, ia memakai jubah petapa, mengambil tongkat, lalu keluar melalui jalan setapak beralas dan berjalan bolak-balik, dan dengan keheningan seorang Pacceka Buddha mendekati istri dan anak-anaknya. Maddi segera bersujud dengan air mata berlinang; kemudian bersama dengannya memasuki pertapaan, ia masuk ke kamarnya sendiri dan mengenakan pakaian petapa. Setelahnya, anak-anak mereka pun melakukan hal yang sama. Demikianlah empat petapa mulia berdiam di tempat terpencil di Gunung Vamka.

Kemudian MaddT meminta berkah Bodhisatta. “Tuanku, tinggallah di sini bersama anak-anak, alih-alih pergi mencari buah-buahan liar; biarkan saya saja yang pergi.” Sejak saat itu ia biasanya memetik buah-buahan liar dari hutan dan memberi makan mereka bertiga. Bodhisatta pun juga meminta anugerah kepada MaddT. “MaddT, kini kita adalah petapa; dan perempuan adalah rintangan bagi kehidupan suci. Sejak saat ini, janganlah mendekati saya pada saat yang tidak tepat.” Maddi menyetujuinya.

Dengan kekuatan kewelasan Bodhisatta, bahkan hewan-hewan liar, segala yang berada dalam jarak tiga yojana dari pertapaan mereka, saling mengasihi. Setiap hari kala fajar, Maddi bangun, menyediakan air untuk minum dan makanan untuk dimakan mereka, membawa air dan sikat gigi untuk membersihkan mulut, menyapu pertapaan, meninggalkan dua anak untuk dijaga ayahnya, lalu dengan keranjang, galah pengait, dan sekop bergegas ke hutan mencari akar-akaran dan buah-buahan, yang dimasukkannya ke dalam keranjangnya: pada malam hari ia kembali, meletakkan buah-buahan liar di kamar, memandikan anak-anak; kemudian mereka berempat duduk di serambi kamar dan makan buah-buahan. Lalu Maddi membawa dua anaknya, lalu beristirahat di kamarnya sendiri. Demikianlah mereka hidup di tempat terpencil di gunung itu selama tujuh bulan.

Pada saat itu, di Kerajaan Kalinga, dalam desa brahmana yang bernama Dunnivittha, hiduplah brahmana Jujaka. Ia saat meminta-minta, setelah mendapatkan seratus rupee, ia menyimpan uang itu kepada keluarga brahmana tertentu, lalu pergi keluar untuk mencari lebih banyak uang. Karena ia sering pergi lama, keluarga itu menghabiskan uangnya; ketika brahmana itu kembali, ia mencerca mereka, namun mereka tak bisa mengembalikan uangnya, maka ia memberi brahmana itu anak perempuan mereka bernama Amittatapana. Ia membawa gadis itu bersamanya ke Dunnivittha, di Kalinga, dan berdiam di sana. Amittatapana merawat brahmana itu dengan baik. Beberapa brahmana lainnya yang masih muda, melihat kecermatannya, mencerca istri mereka sendiri: “Lihat bagaimana cermatnya ia merawat pria tua, sementara kalian lalai merawat suami kalian yang masih muda!” Ini membuat istri-istri lainnya bertekad mengusirnya keluar dari desa. Maka mereka berkerumun di tepian sungai atau di tempat-tempat lain, mengecamnya.

Menjelaskan hal ini, Guru berkata:

“Suatu ketika di Kalinga, Jujaka, seorang brahmana hidup, yang memiliki Amittatapana, gadis yang belia, sebagai istrinya.

Perempuan-perempuan dengan kendi air datang ke tepian sungai, mencercanya, berkerumun, dan bersama-sama mengutuk namanya.

“Sungguh menjadi ‘musuh’ bagi ibu Anda, juga bagi ayah Anda, membiarkan orang tua renta menikahi istri belia seperti Anda.

Orang tua Anda merancang rencana rahasia, rencana yang jahat, keji, dan kejam, membiarkan gadis cantik belia dinikahkan dengan pria tua renta.

Hidup Anda pastilah menyedihkan, karena Anda masih muda, dengan menikahi suami renta, kematian sungguh jauh lebih baik.
Pastinya, wahai yang cantik, orang tua Anda tidaklah bajik jika bagi gadis muda dan cantik mereka tak bisa menemukan suami lain.

Pemujaan api dan ritual kesembilan Anda semuanya dipersembahkan sia-sia jika oleh pria tua renta begitu istri begitu muda tertangkap.

Beberapa brahmana atau petapa suatu ketika pasti pernah mencerca Anda, sebagian orang bajik dan terpelajar, beberapa petapa tak bernoda, jika oleh pria tua renta begitu istri demikian muda tertangkap.

Sungguh menyakitkan tusukan tombak, penuh derita gigitan ular ganas: namun pria tua renta merupakan pemandangan yang lebih menyakitkan.

Dengan suami tua seperti itu tidak akan ada sukacita dan kegembiraan, tidak ada perbincangan menyenangkan: tertawanya buruk dilihat.

Ketika pria dan wanita, muda dengan muda, berhubungan mesra, mereka mengakhiri semua kesedihan yang bersarang dalam hati.

Anda adalah gadis yang didambakan kaum pria, Anda muda dan cantik: bagaimana orang tua bisa memberi Anda sukacita? Pulanglah dan berdiamlah di sana!”

Ketika ia mendengar hinaan mereka, ia pulang kerumah membawa kendinya, lalu menangis. “Mengapa engkau menangis?” tanya suaminya; dan ia menjawab dengan syair ini:

“Saya tak bisa mengambil air, perempuan lain begitu menghina saya: karena suami saya tua mereka mencerca saya ketika saya pergi.”
Jujaka berkata:

“Engkau tak perlu mengambil air, engkau tak perlu melayani saya demikian: jangan marah, istri: karena saya sendiri yang pergi mengambil air”

Perempuan itu berkata:

“Engkau mengambil air? Sungguh, jangan! Itu bukan kebiasaan kita. Saya bicara sejujurnya, jika engkau melakukannya, saya tak akan tinggal bersama Anda. Kecuali Anda membeli budak atau pelayan yang bisa mengerjakan hal seperti ini, Saya bicara sejujurnya, saya akan pergi dan tak akan tinggal bersama Anda.”

Jujaka berkata:

“Bagaimana saya bisa membeli budak? Saya tak punya keterampilan, ladang, atau uang: marilah, jangan marah, istriku: saya akan melakukan pekerjaan Anda sendiri.” Perempuan itu berkata:

“Dengarlah, dan biarkan saya memberitahu Anda apa yang telah saya dengar mereka bicarakan.

Di sana, di Bukit Varhka, hiduplah Raja Vessantara: Pergilah, suamiku, menemui Vessantara dan mintalah seorang budak; pangeran itu pasti akan setuju memberikan apa yang Anda dambakan.”

Jujaka berkata:

“Saya pria tua renta; perjalanannya jauh dan berat; namun janganlah cemas, janganlah menangis, saya sudah jauh dari kuat: namun janganlah marah, istriku: saya akan mengerjakan pekerjaan Anda sendiri.”

Perempuan itu berkata:
“Anda seperti prajurit yang menyerah sebelum berperang: mengapa begitu? Lalu apakah engkau mengaku kalah sebelum engkau pergi dan mencobanya?

Kecuali Anda membelikan saya budak atau pelayan yang mengerjakan pekerjaan seperti ini,

Sejujurnya saya bilang, saya akan pergi, tak akan hidup bersama Anda. Itu akan maka hal paling tidak menyenangkan dan duka bagi Anda. Engkau akan segera melihat saya bahagia bergandengan dengan tangan orang lain, berpakaian semarak kala perubahan musim atau siklus rembulan.

Dan ketika engkau dalam tahun-tahun uzur Anda akan meratapi kehilangan saya, keriput dan rambut putih Anda akan berlipat-lipat ganda.”

Menjelaskan hal ini, Guru berkata:

“Kini brahmana itu berlinang air mata mengalah pada keinginan istrinya; begitu tersiksa ia karena cintanya, hingga Anda bisa mendengarnya berkata:

‘Berikan saya bekal untuk perjalanan: buatkan saya kue madu, siapkan juga roti datar, dan pangganglah roti gandum.

Maka sepasang budak yang setara315 akan saya bawa bersama saya, yang tanpa kenal lelah akan melayani Anda siang dan malam.”

Segera ia menyiapkan bekal, dan memberitahunya bahwa itu sudah rampung. Sementara itu brahmana itu memperbaiki tempat-tempat yang mulai rapuh di rumahnya, memalang pintu, membawa kayu bakar dari hutan, mengambil air dalam kendi, mengisi semua gentong dan kuali, lalu memakai pakaian petapa, ia meninggalkan istrinya dengan kata-kata, “Pastikan jangan keluar rumah pada saat yang tidak sesuai, dan berhati-hatilah sampai saya kembali.” Kemudian mengenakan sepatunya, ia menaruh kantung bekalnya di pundaknya, lalu berjalan mengitari istrinya searah jarum jam, lalu berangkat dengan air mata berlinang.

Menjelaskan ini, Guru berkata:
“Usai melakukannya, brahmana memakai sepatunya; kemudian kini bangkit, lalu berjalan mengitarinya ke sebelah kanannya, ia mengucapkan selamat tinggal kepada istrinya.

Demikianlah ia pergi, berpakaian suci, dengan air mata menggenang di matanya: bergegas ia menuju Ibukota Sivi yang kaya untuk mencari budak.”

Ketika ia sampai ke kota itu, ia bertanya kepada orang-orang yang berkumpul di mana Vessantara berada.

Menjelaskan ini, Guru berkata:

“Ketika ia telah datang dari jauh, ia menanyai orang-orang yang berkumpul, ‘Permisi, di mana Raja Vessantara? Di mana Pangeran bisa ditemukan?’ Orang-orang yang berkumpul itu menjawabnya:

‘Karena orang seperti Andalah ia hancur; karena memberi, dan terus memberi, ia diasingkan dari kerajaan dan kini berdiam di Bukit Vamka.

Karena orang seperti Andalah ia hancur; karena memberi, dan terus memberi, ia membawa istri dan anak-anaknya dan kini berdiam di Bukit Vamka.”

‘Maka Anda telah menghancurkan raja kami dan kini datang lagi! Berdiri tegak, jangan lari,” dan dengan tongkat dan galah, tendangan dan kepalan, mereka mengusirnya. Namun ia dipandu para dewa menuju jalan yang benar menuju Bukit Variika.

Menjelaskan ini, Guru berkata:

“Maka, dicerca istrinya, dalam pengaruh nafsu tamak, membayar kesalahannya dalam rimba tempat hewan-hewan dan macan kumbang berkeliaran.

Membawa tongkat dan mangkuk mengemisnya dan sendok upacara, ia mencari hutan tempat kediaman sang pemberi setiap anugerah.

Ketika berada dalam hutan, datanglah kawanan serigala mengelilinginya: ia melompat ke sisi, lalu kebingungan dan tersesat dari jalan.

Brahmana dengan ketamakan tak terkendali, menyadari dirinya tersesat, jalan ke Vamka tak bisa ditemukan, ia mulai mengucapkan kalimat ini.

‘Siapa yang bisa memberitahuku soal Vessantara, pangeran yang menaklukkan segalanya, pemberi damai di kala takut, raja agung dan perkasa?
Pernaungan para peminta, seperti semua makhluk bernaung kepada bumi, siapa yang akan memberitahuku soal Vessantara, raja yang agung dan perkasa?

Semua yang hendak meminta bantuan pergi kepadanya seperti sungai mengalir ke laut: Siapa yang akan memberitahuku soal Vessantara, raja yang agung dan perkasa?

Seperti telaga yang aman dan menyenangkan, dengan air sejuk dan segar, dengan bunga teratai tersebar, yang batang-batangnya menutupi telaga hening itu: siapa yang akan memberitahuku soal Vessantara, raja yang agung dan perkasa?

Seperti pohon ara besar di jalan, yang dengan tumbuh di sana menjadi tempat beristirahat bagi para pejalan yang bergegas menuju kerindangannya: siapa yang akan memberitahuku soal Vessantara, raja yang agung dan perkasa?

Seperti pohon banyan, sala, mangga, yang di jalan menjadi tempat beristirahat bagi para pejalan yang bergegas menuju kerindangannya: siapa yang akan memberitahuku soal Vessantara, raja yang agung dan perkasa?

Siapa yang akan mendengarkan permohonan saya, dengan rimba di sekeliling? Sungguh gembira saya, jika siapa pun bisa memberitahu di mana bisa menemukannya!

Siapa yang akan mendengarkan permohonan saya, dengan rimba di sekeliling? Sungguh berkah besar, jika siapa pun bisa memberitahu di mana bisa menemukannya!”

Lalu orang yang telah disuruh mengawasi di sana, ketika sedang menjelajah hutan sebagai perambah, mendengar ratapan keras ini; dan ia berpikir, ’’Ada brahmana yang menjerit mencari tahu tempat kediaman Vessantara; ia tak mungkin ada di sini untuk tujuan yang baik. Tak diragukan lagi, ia akan meminta MaddT atau anak-anak. Nah, aku akan membunuhnya.” Maka ia mendekati pria itu, dan ketika menarik busurnya, mengancamnya dengan kata-kata, ’’Brahmana, saya tak akan ampuni nyawamu!”
Menjelaskan ini, Guru berkata:

“Pemburu ketika menjelajahi hutan mendengar ratapan ini dan berkata: ‘Karena orang seperti Andalah ia hancur; karena memberi, dan terus memberi, ia diasingkan dari kerajaan dan kini berdiam di Bukit Vamka.

Karena orang seperti Andalah ia hancur; karena memberi, dan terus memberi, ia membawa istri dan anak-anaknya dan kini berdiam di Bukit Vamka.

Anda orang dungu tak berguna, jika meninggalkan rumah Anda berharap mencari pangeran dalam hutan seperti bangau mencari ikan.

Karena itu, pria buruan, saya tak akan mengampuni nyawa Anda; sehingga anak panah saya kini akan mencecap darah Anda ketika ditembakkan dari busur.

Saya akan membelah kepala Anda, mengeluarkan jantung dan hati Anda seketika, seperti unggas kepada para penunggu jalan, saya akan mengurbankan Anda.

Saya akan mengambil daging Anda, lemak Anda, kepala dan jantung Anda, dan Anda akan menjadi kurban persembahan setelah Anda mati.

Anda akan menjadi kurban yang baik, pengorbanan yang besar; dan saat itu Anda tak akan menghancurkan istri dan anak-anak raja.”

Pria itu, ketika mendengar kata-kata ini, ketakutan setengah mati dan menjawab dengan kebohongan.
“Seorang utusan tak boleh dilukai, dan tiada yang boleh membunuhnya: inlah hukum sejak zaman kuno; maka dengarkan, jika Anda bersedia. Orang-orang telah memaafkan mereka, ayahnya merindunya, ibunya menyusut dalam dukanya, matanya makin redup.

Saya datang sebagai utusan mereka, untuk membawa kembali Vessantara: dengar saya dan beritahu jika Anda mengetahui di mana saya bisa menemukan raja.”

Kemudian pemburu itu merasa senang mendengar bahwa brahmana ini datang untuk menjemput Vessantara; ia mengikat anjing-anjingnya, memanggil agar brahmana itu turun, lalu mendudukkannya di setumpuk ranting ia melafalkan syair ini:

“Saya menyukai mencintai utusan dan pangeran; mari saya memberikan kepada Anda hadiah selamat datang, kaki rusa berikut kendi madu; saya akan memberitahu Anda bagaimana cara menemukan penolong kita.”

Berkata seperti itu, ia memberikan brahmana itu makanan, dengan sekendi madu dan kaki rusa panggang, lalu mengantarnya, mengangkat tangan kanannya untuk menunjukkan tempat Bodhisatta hidup: dan ia berkata,

“Tuan brahmana, gunung karang di sana adalah Bukit Gandhama, tempat Raja Vessantara hidup bersama istri dan anak-anaknya.

Dengan baju brahmana, dengan galah pengait318 dan sendok, rambut liar petapa, terbungkus kulit ia berbaring di tanah dan menjagai api dengan saksama.

Lihatlah di sana, pepohonan dengan banyak buah, hijau di sisi gunung, sementara puncak gunung yang gelap menjulang sampai di angkasa sampai tertutup awan.

Semak-semak dan tanaman menjalar, pohon horsear, sala, dan banyak pohon lainnya* terlihat setiap orang bergoyang dalam angin seperti orang mabuk.

Jauh di atas barisan pepohonan unggas bernyanyi secara konser, najjuha, burung tekukur, sepasukan mereka, terbang dari pohon ke pohon.

Berkumpul di antara ranting berdaun lebat mereka menyambut orang asing untuk datang, menyambut tamu, menggembirakan semua yang menjadikan hutan rumah mereka, tempat Raja Vessantara kini berdiam bersama anak-anaknya.
Dengan baju brahmana, dengan galah pengait dan sekop, rambut terurai petapa, berbalut kulit ia berbaring di tanah, dan menjagai api dengan saksama.”

Lebih lanjut ia memuji pertapaan itu:

“Mangga, jambu, nangka, sala, segala jenis buah ceri, ara, labu emas, dan banyak lagi, termasuk buah banyan; Banyak ara, semuanya tumbuh pendek, semuanya matang, manis, kurma, anggur menawan, dan sarang lebah, sebanyak yang bisa Anda makan.

Pohon mangga sebagian sedang berbunga, sebagian dengan buah baru muncul, sebagian matang dan hijau seperti katak, sebagian masih belum matang.

Orang bisa berdiri di bawah pohon-pohon itu dan memetik mereka ketika tumbuh: cita rasa, warna, aroma, baik yang matang maupun belum menunjukkan mutu terbaik.

Membuatku berseru nyaring melihat pemandangan agung dan ajaib itu, seperti surga tempat para dewa berdiam, taman plesir. Palem, kurma, kelapa tumbuh tinggi di hutan, kalung bunga ketika panji-panji berkibar, kuncup bunga segala warna dan gradasi seperti taburan bintang di angkasa.

Eboni, lidah buaya, bunga terompet, dan banyak pohon lain, akasia, buah beri, kacang-kacangan, dan semuanya setebal dan sebesar yang mereka bisa. Di dekat sana membentang danau berisi teratai biru dan putih, seperti di taman para dewa, taman plesir.
Lalu di sana tekukur membuat bukit bergema ketika mereka berkicau, tergiur oleh bunga-bunga yang mekar dalam musim mereka.

Lihatlah di bunga teratai tetes demi tetes sari bunga jatuh, dan rasakan angin sepoi-sepoi yang bertiup bebas dari selatan dan barat, sampai benang sari bunga-bunga menyebar di sana-sini.

Berlimpah beras dan buah beri matang berjatuhan di danau, tempat ikan dan ketam dan kura-kura berenang mencari-cari makan dengan riang, dan madu menetes seperti susu atau mentega dari seluruh bunga.

Angin sepoi-sepoi yang seriup bertiup menembus pohon tempat setiap aroma ditemukan, tampaknya membuai dengan bunga-bunga di sekeliling hutan.

Lebah-lebah berkumpul di sekitar bunga-bunga wangi berterbangan dengan dengung mereka. Di sana beterbangan bersama burung aneka warna, seluruhnya dan sebagian, berkicau dan bergumam riang, mereka datang masing-masing dengan pasangannya. “Unggas yang cantik, kawan yang bahagia!” mereka berkicau dan mencicit, wahai yang saling mesra, sayang tersayang, si kecil manisku!”

Rangkaian bunga dibuat menjadi kalung saat panji-panji berkibar, bunga dalam setiap warna dan terang, bau wangi semerbak, tempat bersama anak-anaknya kini berdiam Raja Vessantara. Dengan baju brahmana, dengan galah pengait dan sekop, rambut liar petapa, berjubah kulit ia berbaring di tanah dan menjagai api dengan saksama.”

Demikianlah pemburu itu menjabarkan tempat Vessantara hidup; dan Jujaka dengan bergembira memberi hormat padanya dalam syair ini:
“Terimalah sepotong roti gandum yang dicelupkan dengan madu manis, dan lempengan kue madu masak: saya memberinya kepada Anda untuk makan.”

Mendengar ini, pemburu itu menjawab:

“Terima kasih, namun saya tidak perlu: tetap simpan ransum Anda; dan ambillah ransummu; lalu pergi, Brahmana, ke tempat yang Anda kehendaki.

Langsung menuju ke pertapaan, jalan itu menuju ke sana, tempat Accata si pertapa berdiam, bergigi hitam, dengan kepala kotor, dengan baju brahmana, dengan galah pengait, dan sekop, petapa berambut liar, berbalut kulit ia berbaring di tanah dan merawat api dengan saksama: pergilah ke sana, tanyakan jalannya kepadanya, dan ia akan memberi Anda arah.”
Ketika ia mendengar hal ini, brahmana berjalan mengitari Ceta searah jarum jam, lalu pergi mencari Accata, hatinya sangat bersukacita.

Kemudian Bharadvaja326 pergi mengikuti jalan sampai ia mendekat ke tempat petapa itu, yang kepadanya ia berbicara dengan sopan:

“Wahai orang suci, saya percaya Anda sejahtera dan sehat, dengan gandum untuk dikumpulkan, dan akar-akaran serta buah berlimpah tempat Anda berdiam.

Apakah Anda banyak terganggu oleh lalat, serangga, dan hewan melata, atau menikmati kebebasan dari binatang buas?”

Petapa berkata: “Saya berterima kasih kepadamu,

Brahmana, ya, saya sejahtera dan sehat, dengan rumput untuk dimakan, akar-akaran dan buah berlimpah tempat saya tinggal.

Saya tak menderita gangguan dari lalat, serangga, dan hewan melata, juga dari binatang buas saya menikmati kebebasan dari gangguan.

Dalam seluruh tahun-tahun tak terkira saya telah menjalani hidup di tanah ini, tidak ada penyakit menyakitkan yang saya tahu pernah ditemukan di sini.

Selamat tinggal, wahai Brahmana! Terberkahilah kesempatan yang mengarahkan Anda hingga kemari, masuklah dengan berkah, marilah, saya mohon basuhlah kakimu.

Buah labu dan daun-daun piyal, lalu buah kasumari manis, lalu buah-buah seperti madu, Brahmana, ambillah yang terbaik yang saya punya, lalu makanlah, lalu air sejuk dari gua yang tersembunyi tinggi di bukit, wahai Brahmana mulia, minumlah, sesuka Anda.”

Jujaka berkata:

“Diterima persembahan dan derma Anda, Tuan.
Saya mencari putra Sanjaya, yang pernah diasingkan jauh oleh rakyat Sivi: jika Anda tahu tempat ia berdiam, mohon katakan.”

Petapa berkata:

“Anda mencari Raja Sivi, Tuan, bukan dengan niat baik: saya pikir hasrat yang mulia ini berasal dari kehendak istrinya:

Kanhajina untuk pelayan perempuan, Jali untuk pelayan laki-laki, atau Anda hendak menjemput serta ibu berikut anak-anaknya, jika Anda bisa, Sahabat, pangeran tidak memiliki kenikmatan di sini, kekayaan, dan makanan.”

Mendengar hal ini, Jujaka berkata:

“Saya tidak menginginkan celaka bagi siapa pun, tidak ada anugerah yang saya hendaki: namun sungguh manis melihat yang bajik, menyenangkan bersama dengan mereka. Saya tak pernah melihat raja ini, yang diasingkan rakyatnya: saya datang menemuinya: jika Anda mengetahui tempat ia tinggal, mohon katakan.

Saya datang menemuinya: jika Anda tahu tempat ia tinggal, mohon katakan.”

Petapa itu memercayainya. “Baik, saya akan memberitahu Anda; mohon tinggal di sini bersama saya hari ini.” Maka ia menjamunya dengan banyak buah liar dan akar-akaran; keesokan harinya, menjulurkan tangannya, ia menunjukkan jalan. (Ia kemudian mendaraskan syair yang disebutkan di atas, yang dimulai dari “Tuan Brahmana, dengan saksama,” lalu menambahkan:)

“Rerimbunan pohon lada di tempat yang indah itu terlihat, tiada debu yang pernah tertiup ke atas, rumputnya senantiasa hijau.
Rerumputan seperti leher merak, selembut kapas jika disentuh, tak pernah tumbuh lebih dari empat inci, namun selalu demikian banyak.

Kapittha, mangga, jambu, dan buah ara matang yang bergelantungan rendah, semua pepohonan yang buahnya enak dimakan dalam rimba indah yang rimbun.

Ada aliran sungai yang manis, bersih, dan harum, biru seperti batu beryl, yang melaluinya melompat naik dan turun kawanan ikan.

Sebuah telaga di tempat yang indah, dengan teratai biru dan putih, kaku, seperti yang ada di surga dalam taman plesir.

Tiga jenis teratai terlihat dalam danau itu bagi mereka, dengan macam-macam warna: sebagian biru, merah darah, yang lainnya putih.”

Demikian ia memuji telaga teratai berbentuk kotak itu, lalu terus memuji Danau Mucalinda:

“Sehalus kain linen bunga-bunganya, teratai biru dan putih itu, lalu tanaman obat lainnya tumbuh di sana: danau Mucalinda di sana.

Kemudian terdapat dalam tak terhingga jumlahnya bunga-bunga yang mekar sempurna, pada musim panas dan pada musim semi keduanya setinggi lutut.

Bunga beraneka warna selalu menyebarkan aroma wangi kala tertiup angin, dan Anda bisa mendengar dengung lebah-lebah itu terpikat oleh aroma bunga.

Semuanya berdiri dalam barisan di seluruh tepian air eboni, bunga terompet, dan pohon kadamba yang tinggi.
Kelopak enam dan banyak pohon lain dengan seluruhnya mekar berbunga, lalu kita bisa melihat batang-batang tanaman berdiri mengitari danau.

Di sana pepohonan dalam segala bentuk dan ukuran, berbunga dalam segala jenis warna, segala semak dan perdu, tinggi dan rendah membentang di pemandangan: angin sepoi-sepoi meniupkan semerbak wangi dari bunga-bunga putih, biru, dan merah, yang tumbuh di sekitar pertapaan tempat api dijaga.

Dekat dengan tepian air tumbuh banyak tanaman dan pohon, yang bergetar ketika mereka menggema dengungan lebah-lebah.
Aroma semua kuncup indah yang mekar di tepian itu akan langgeng jika Anda menjaganya selama satu, dua minggu, atau lebih.

Tiga jenis labu, semuanya berbeda, tumbuh dalam danau ini, dan beberapa memiliki buah sebesar kendi air, yang lainnya sebesar gendang.

Sesawi, bawang hijau, teratai biru untuk dipetik, dan bunga-bunga yang mekar sempurna: melati, cendana,

tumbuhan menjalar yang tumbuh melingkari pepohonan.

Melati harum, kapas, indigo, berbagai jenis tanaman, sawi, bunga terompet, semuanya tumbuh di sekitar seperti lidah api emas.
Ya, setiap jenis bunga yang tumbuh dalam air atau di darat,
di dalam dan sekitar telaga indah ini lihatlah mereka berdiri.
ada buaya dan segala jenis hewan air,
rusa merah dan hewan-hewan lainnya yang mencari air.

Kunyit, kamper, alang-alang, liquorice, dan sebagainya,
sebagian besar biji-bijian wangi dan rumput tumbuh dengan batang sangat tinggi.

Ada singa, harimau, gajah, mencari pasangan,
rusa merah dan bertotol, anjing hutan, anjing, dan rusa yang bisa berlari kencang,

Yak, antelop, tikus terbang, dan kera besar dan kecil,
Beruang, banteng, dan hewan-hewan buas lainnya datang berkumpul bersama:
Badak, mongoose, tupai, celeng, anjing, anjing hutan, banteng, lori, kelinci, macan kumbang, serigala, dan kadal, mereka berkeliaran.
Laba-laba dan ular dan hewan-hewan berbulu, dan segala jenis unggas, yang ketika mereka berkicau dan bercuit membuat suara mereka terdengar.

Rajawali, ayam hutan, gagak, piper, burung hantu, dan tekukur dengan siul mereka, ayam hutan, angsa, alap-alap, bangau, unggas, bangau, dan burung berpunggung merah ikut bersuara.

Di sana bernyanyi merdu kepada pasangan mereka yang berwarna-warni luar biasa, merak yang berjambul putih berleher biru, mengepakkan sayapnya yang indah.
Mengapa saya harus menyebutkan seribu nama mereka dengan terperinci? Bayangkan setiap jenis unggas, dan tambahkan ke syair saya.

Di sana dengan kawanan penuh melodi, menyanyikan ribuan lagu mereka, lalu mengisi udara dengan suara menyenangkan di sekitar Danau Mucalinda.

Hutan penuh gajah, antelop, dan rusa, tanaman merambat besar menggantung dari seluruh pepohonan. Di sana biji sesawi tumbuh, lalu tebu, dan berbagai biji-bijian, lalu kacang-kacangan dan tanaman serta rempah obat lain, semua yang datang akan terpenuhi.

Di jalan setapak itu akan membawa Anda langsung menuju tempat kediaman tempat tiada kelaparan, kehausan, dan ketidaknyamanan ditemukan, tempat Raja Vessantara kini berdiam bersama anak-anaknya.

Dengan jubah brahmana, dengan galah pengait, dan sekop, dengan rambut liar petapa, terbungkus kulit ia berbaring di tanah, menjagai api dengan saksama.”

Ketika mendengar ini, brahmana berjalan mengitarinya searah jarum jam, lalu pergi mencari Vessantara dengan hati yang sangat gembira.
Jujaka melanjutkan perjalanan dengan menempuh jalan yang ditunjukkan kepadanya oleh Accata si Petapa, lalu sampai di danau segi empat. “Kini sudah petang,” ia pikir, “MaddI saat ini pasti telah kembali dari hutan, dan perempuan selalu menghalangi. Besok, ketika ia telah pergi ke dalam hutan, saya akan menemui Vessantara, dan meminta anak-anaknya, lalu sebelum istrinya kembali, saya sudah pergi.” Maka ia mendaki sebuah bukit datar tak jauh dari sana, lalu berbaring di tempat yang nyaman.

Lalu di kala fajar esoknya, MaddI bermimpi, dan mimpinya adalah sebagai berikut: Ada orang berkulit hitam yang memakai dua jubah kuning, dengan bunga merah di kedua telinganya, datang dan memasuki gubuk daun, lalu merenggut rambut MaddI dan menyeretnya keluar, melemparkannya ke tanah sampai telentang, lalu di antara teriakannya, orang itu mencungkil kedua matanya, memotong kedua lengannya, melubangi dadanya, dan mencabut dan membawa pergi jantungnya yang bertetesan darah.

Ia terbangun ketakutan, berpikir, ”Aku telah melihat mimpi buruk; Aku tak melihat seorang pun di sini selain Vessantara yang bisa menafsirkan mimpiku, maka aku akan menanyainya.” Kemudian kala pergi ke gubuk Bodhisatta, ia mengetuk pintunya. “Siapa itu?” “Saya, MaddI, Tuan.” “Istriku, mengapa engkau datang kemari pada waktu yang tidak tepat, dan melanggar perjanjian kita?” “Tuanku, bukan karena nafsu saya datang; namun saya mendapat mimpi buruk.” “Ceritakan kepada saya kalau begitu, MaddI.” Ia menceritakan seperti yang terjadi: Bodhisatta memahami apa makna mimpi itu. “Kesempurnaan berdanaku,” ia pikir, “akan dipenuhi: hari ini seorang pemohon akan datang meminta anak-anakku. Aku akan menghibur MaddI dan membiarkannya pergi.” Maka ia mengatakan, “Batin Anda pasti terusik tidur yang tak nyenyak atau gangguan pencernaan; janganlah cemas.” Dengan dusta ini ia menghiburnya, dan membiarkannya pergi. Dan ketika malam beralih menjadi fajar, ia melakukan segala urusan yang harus dikerjakan, memeluk dan mencium anak-anaknya, dan berkata, “Ibu mendapat mimpi buruk; berhati-hatilah, anak-anakku sayang!” Kemudian ia memberikan mereka untuk dijaga Bodhisatta, memohon agar ia memperhatikan mereka, lalu mengambil keranjang dan peralatannya, menghapus air matanya, lalu pergi ke hutan mencari buah dan akar-akaran.

Namun Jujaka, berpikir bahwa Maddi kini pasti sudah pergi, turun dari bukit lalu menaiki jalan setapak menuju pertapaan. Lalu Bodhisatta keluar dari gubuknya, dan duduk di atas batu datar seperti patung emas. “Kini seorang pemohon akan datang!” pikirnya, seperti seorang pemabuk yang mendambakan minuman, lalu duduk mengawasi jalan tempat ia akan datang, dengan anak-anaknya bermain di sekitar kakinya. Dan ketika ia melihat jalan itu, ia melihat brahmana itu datang; menganggapnya sebagai beban untuknya memberi, selama tujuh bulan tersimpan, ia berseru dalam sukacita, ’’Brahmana, mohon mendekatlah!” dan kepada Jali ia mengucapkan syair ini:

“Jali, bangkitlah berdiri: lihat brahmana dalam penglihatan saya!
Kala yang lama kembali lagi, dan mengisi saya dengan sukacita!”

Mendengar ini, bocah itu berkata:

“Ya, ya, ayah, saya melihat brahmana yang engkau lihat; ia datang seakan hendak meminta sesuatu; tamu kita pasti memerlukan sesuatu.”
Dengan kata-kata ini, bocah itu bangkit dari tempat duduknya, lalu pergi menemui brahmana itu, menawarkan untuk membawakan bawaannya. Brahmana melihatnya lalu berpikir, “Ini pasti Jali, putra Vessantara: dari sejak awal sekali aku akan bicara kasar terhadapnya.” Maka ia menjentikkan jarinya kepada Jali, sambil berteriak, ’’Pergi, pergi!” Bocah itu berpikir, “Orang ini pastilah kasar!” lalu melihat tubuhnya, ia melihat delapan belas cacat dalam diri orang itu. Namun brahmana itu mendekati Bodhisatta dan dengan sopan menyapanya, lalu berkata:

“Wahai orang suci, kami percaya bahwa Anda sejahtera dan sehat, dengan gandum untuk dikumpulkan dan akar-akaran serta buah berlimpah di tempat Anda tinggal.

Apakah Anda banyak terusik oleh lalat, serangga, dan hewan melata, ataukah menikmati kebebasan dari binatang buas?”

Bodhisatta menjawab dengan sopan.

“Saya berterima kasih kepadamu, Brahmana, dan jawabannya adalah: kami sejahtera dan sehat, dengan gandum untuk dikumpulkan dan akar-akaran serta buah berlimpah di tempat kami tinggal.

Kami tidak terusik oleh lalat, serangga, dan hewan melata, dan kami di sini menikmati kebebasan dari binatang buas.

Kami hidup bahagia di hutan ini selama tujuh bulan, dan belum sekali pun melihat brahmana, seperti saat ini melihatmu, yang seperti dewa, saya lihat, dengan tongkat vilva dan batu api, dengan kendi.

Selamat datang, wahai Brahmana! Terberkahilah yang memandu Anda ke jalan ini; datanglah, masuklah dengan berkah, kami mohon, datanglah dan cucilah kakimu.

Dengan daun labu dan piyal, buah manis kasumari, dan buah-buahan seperti madu, Brahmana, ambillah yang makanan terbaik yang kumiliki dan makanlah.

Lalu air sejuk dari gua yang tersembunyi tinggi di bukit, wahai Brahmana mulia, minumlah, sepuasmu.”

Setelah mendengar kata-kata ini, Bodhisatta berpikir: “Bukanlah tanpa sebab brahmana ini datang ke rimba raya ini; aku akan menanyakan alasan kedatangannya tanpa menunda;” lalu ia melafalkan syair ini:

“Kini beritahu saya apa sebabnya, apa alasan, yang membawa Anda ke rimba lebat ini? Saya mohon beritahukanlah kepada saya.”
Jujaka berkata:

“Seperti banjir bandang ketika penuh, dan tidak akan gagal kapan pun, maka Anda, dari Anda saya datang untuk meminta, mohon berikanlah anak-anak Anda!”

Ketika mendengar hal ini, Bodhisatta bergembira dalam hatinya; dan berkata, seperti ia yang mengulurkan kantung berisi seribu keping ke tangan yang meminta:

“Saya memberi dan tak undur; Anda akan menjadi tuan mereka. Namun permaisuri saya pergi keluar pagi ini mencari makanan kami; pada malam hari ia akan kembali.

Tinggallah di sini malam ini: pada pagi hari Anda baru berangkat. Ia akan memandikan dan menaburkan wewangian kepada mereka berdua dan mengalungi mereka dengan bunga-bunga.

Tinggallah di sini malam ini: pada pagi hari Anda baru berangkat. Terhias dengan bunga-bunga mereka berdua, dengan wewangian harum; ambillah mereka, dan ambillah banyak akar-akaran dan buah untuk dimakan.”

Jujaka berkata:

“Tidak, raja perkasa, saya akan pergi; saya tidak mau tinggal: saya akan pergi, kecuali berbagai rintangan menghalangiku di jalan.
Perempuan bukanlah pemberi yang dermawan, mereka selalu berusaha menggagalkan, mereka mengetahui segala macam sihir licik, dan selalu membuat kacau. Biarlah ia yang memberikan hadiah tak melihat wajah ibunya, atau ia akan menemukan berbagai halangan; wahai Raja, saya akan menonton dari jauh. Berikanlah anak-anak Anda; biarkanlah mereka tak melihat wajah ibunda mereka: Karena ia yang memberikan pemberian dalam keyakinan, kebijaksanaan mereka bertumbuh cepat.

Berikanlah anak-anak Anda; jangan biarkan mereka melihat wajah ibunda mereka: la yang memberikan kekayaan kepada orang sepertiku, ia akan cepat masuk ke surga.”

Vessantara berkata:

“Jika Anda tidak ingin melihat istri saya, betapa ia istri yang setia! Biarlah Jali dan Kanhajina pergi melihat kakek mereka.

Ketika anak-anak cantik ini, dengan ucapan manis, datang ke hadapannya, ia akan memberi Anda banyak kekayaan, penuh sukacita dan kegembiraan.”

Jujaka berkata:

“Saya takut merusak barang-barang saya: wahai pangeran, saya mohon dengar! Saya takut, raja boleh memberikan saya hukuman, boleh membunuh, atau menjual; tanpa kekayaan dan pelayan, betapa istri saya akan melecehkan dan menghina saya!”

Vessantara berkata:
Ketika anak-anak cantik ini, dengan ucapan manis, datang ke hadapannya, raja pengayom rakyat Sivi, yang selalu melakukan hal yang benar, ia akan memberi Anda kekayaan berlimpah, penuh sukacita dan kegembiraan.”

Jujaka berkata:

“Tidak, tidak, saya tak akan melakukan hal yang Anda sarankan: saya akan membawa anak-anak ini, dan mereka akan menjadi pelayan istri saya.”

Anak-anak, ketika mendengar ucapan keras ini, segera bersembunyi di belakang hutan, lalu mereka melarikan diri dari sana, lalu bersembunyi dekat semak-semak. Bahkan di sana pun mereka tampaknya melihat diri mereka ditangkap Jujaka: gemetar, mereka tak bisa diam di mana pun, namun berlari ke sana kemari sampai mereka tiba di tepian danau bujursangkar itu; di mana, sambil memakai baju kulit kayu, mereka terjun ke air dan berdiri di sana, sembunyi, dengan kepala mereka tersembunyi di bawah daun teratai. Menjelaskan ini, Guru berkata:

“Maka Jali dan Kanhajina berlari ke sini dan ke sana, Dalam kesedihan mendalam mendengar suara orang yang mengejar.”

Lalu Jujaka, ketika tidak melihat anak-anak itu, mencerca Bodhisatta: “Hoi, Vessantara! Ketika Anda baru saja memberi saya anak-anak, segera setelah saya memberitahu Anda bahwa saya tak akan pergi ke Kota Jetuttara namun akan membuat anak-anak Anda menjadi pelayan istri saya, Anda memberikan mereka isyarat dan menyuruh mereka melarikan diri, lalu duduk di sana pura-pura tak bersalah! Saya pikir tiada pembohong seperti ini di dunia.”

Bodhisatta tergerak hatinya, “Tak diragukan lagi, mereka telah melarikan diri,” pikirnya dan ia berseru, “Janganlah cemas, Tuan, saya akan menjemput mereka.” Maka ia bangkit dan pergi ke balik gubuk; melihat bahwa mereka pasti telah kabur ke dalam hutan, ia mengikuti jejak kaki mereka ke tepian danau, dan melihat jejak kaki tempat mereka turun ke dalam air, ia mengira mereka pasti telah masuk ke dalam air; maka ia memanggil. “Jali, Putraku!” ia melafalkan dua syair ini:

“Kemarilah, Putraku terkasih, penuhilah kesempurnaan saya;

Kemarilah kini dan murnikan hati saya, dan ikutilah kehendak saya. Jadilah engkau bahtera untuk menyeberangkan saya melewati samudra eksistensi, melampaui kelahiran di alam-alam dan para dewa, saya akan menyeberang dan terbebas.”

“Kemarilah, Jali, Putraku!” serunya; dan bocah itu ketika mendengarnya berpikir seperti ini: “Biarlah brahmana itu melakukan apa pun kepadaku yang ia suka, aku tak akan menentang ayahku!” Ia mengangkat kepalanya, melepaskan daun teratai, keluar dari air, dan bersujud di kaki kanan Bodhisatta, memeluk pergelangan kakinya ia menangis. Kemudian Bodhisatta berkata: “Anakku, di mana saudarimu?” Ia menjawab, “Ayah, semua makhluk menyelamatkan diri mereka sendiri kala bahaya tiba.” Bodhisatta mengetahui bahwa anak-anak itu telah membuat kesepakatan bersama, dan ia berseru, “Kemarilah, Kanha!” lalu melafalkan dua syair:

“Kemarilah, putriku terkasih, penuhilah kesempurnaan saya; kemarilah kini dan murnikan hatiku, dan ikutilah kehendak saya. Jadilah engkau bahtera untuk menyeberangkan saya melewati samudra eksistensi, melampaui kelahiran di alam-alam dan para dewa, saya akan menyeberang dan angkatlah saya hingga terbebas!”

Ia juga berpikir, “Aku tak akan menentang ayahku;” dan sejenak kemudian ia datang, bersujud di kaki kiri ayahnya, memeluk pergelangan kakinya dan menangis. Air mata mereka berjatuhan di kaki Bodhisatta, berwarna seperti daun teratai; dan air mata Bodhisatta jatuh di punggung mereka, berwarna seperti batangan emas. Kemudian Bodhisatta membangunkan anak-anaknya dan menghibur mereka, dengan berkata, “Putraku Jali, apakah engkau tahu bahwa saya telah memberikanmu kepada orang lain dengan sukacita? Maka lakukanlah agar keinginan saya terpenuhi.” Lalu di sana juga ia memberikan harga bagi anak-anaknya, seperti orang memberikan harga kepada ternak. Kepada putranya ia berkata: “Putraku Jali, jika engkau hendak bebas, engkau harus membayar brahmana itu seribu keping emas. Namun saudarimu sangat cantik; jika ada orang berkasta rendah hendak memberikan hanya sangat sedikit untuk membebaskannya, itu akan melanggar kehormatan kastanya. Tiada seorang pun melainkan seorang raja yang bisa memberikan segala hal dengan kelipatan seratus; karena itu jika saudarimu hendak bebas, biarlah ia membayar brahmana itu seratus budak laki-laki dan perempuan, dengan gajah, kuda, kerbau, dan keping emas, semuanya masing-masing seratus.” Demikianlah ia memberikan harga kepada anak-anak itu, lalu menghibur mereka, lalu membawa mereka kembali ke pertapaan. Kemudian ia mengambil air di kendi, memanggil brahmana itu agar mendekat, lalu menuangkan air, berdoa agar ia mencapai pencerahan sempurna. “Pencerahan sempurna lebih berharga seratus kali, seribu kali, seratus ribu kali ketimbang putraku!” serunya, membuat bumi bergetar, dan kepada brahmana itu ia memberikan persembahan berharga berupa anak-anaknya.

Menjelaskan hal ini, Guru berkata:

“Raja pengayom Kerajaan Sivi kemudian membawa kedua anaknya, lalu memberikan persembahan paling berharga ini kepada brahmana, dengan sukarela.

Kemudian terjadi keguncangan dan kengerian, dan bumi raya berguncang, saat raja dengan tangan terangkap memberikan kedua anaknya; kemudian ada keguncangan dan kengerian, bumi raya berguncang, ketika Raja Sivi memberikan anak-anaknya kepada brahmana, dengan sukarela.”

Ketika Bodhisatta memberikan persembahan itu, ia bersukacita, memikirkan betapa baiknya pemberian yang ia lakukan, ketika ia berdiri melihat anak-anak itu. Lalu Jujaka masuk ke dalam rimba, menggigit putus tanaman merambat, lalu dengannya ia mengikat tangan kanan bocah itu ke tangan kiri gadis itu, lalu membawa mereka pergi dengan memukuli mereka dengan menggunakan ujung batang tanaman merambat.
Menjelaskan hal ini, Guru berkata:

“Brahmana kejam menggigit tanaman merambat hingga putus; yang kemudian dilakukan, ia mengikat tangan mereka dengan tanaman merambat, dan menyeret anak-anak itu335.

Lalu kemudian brahmana itu, dengan tongkat di tangan, memegang tanaman merambat itu erat-erat, memukuli mereka dan menyeret mereka di depan ayah mereka.”

Di tempat ia memukuli mereka, hingga kulit tergores, darah mengucur, ketika dipukul mereka terhuyung hingga berbenturan punggung dengan punggung. Namun di jalan yang kasar brahmana itu terpeleset dan jatuh: dengan tangan halus mereka, anak-anak terlepas dari ikatan mereka yang longgar, lalu berlari kembali sambil menangis kepada Bodhisatta.

Menjelaskan hal ini, Guru berkata:

“Demikianlah anak-anak saat terbebas melarikan diri dari brahmana; bocah itu melihat wajah ayahnya, air mata berlinang di wajahnya.

Kemudian seperti daun ara tertiup angin, bocah kecil gemetar, merangkul kaki ayahnya dan berkata:

“Ayah, akankah engkau membuang kami ketika ibu sedang pergi? Jangan berikan kami sampai ia datang! Mohon tinggallah sampai ia kembali!

Dan pada saat itu, akankah engkau membuang kami ketika ibu sedang pergi?

Tunggullah sampai ia kembali, lalu pada saat itu, berikanlah kami jika engkau mau!

Kemudian biarkan brahmana itu menjual kami berdua, biarkan brahmana itu membunuh kami!

Telapak kakinya besar, kuku-kukunya pecah, dagingnya menggelantung turun, dengan bibir bawah panjang, dan hidung patah, bergeletar, berwarna cokelat tanah, berperut buncit, bungkuk, dengan mata yang menyipit buruk, berbintik dan berkerut, berambut kuning, dengan janggut bernoda darah, kuning, lunglai, kejam, besar, terbalut kulit kambing, makhluk yang licik dan bukan manusia, penampakan yang paling mengerikan;

Manusia, atau kanibal keji? Dan bisakah Anda diam saja menyaksikan siluman ini masuk ke dalam hutan dan meminta anugerah ini dari Anda?
Lalu apakah hati Anda berupa batu yang terpancang dengan baja, tidak peduli ketika manusia tamak, yang tidak mampu merasakan kasihan, mengikat kami dan menggebah kami seperti ternak? Setidaknya saya memohon agar adikku Kanha, yang belum mengenal derita, boleh tetap tinggal, ia kini menangis seperti anak rusa terpisah dari kawanannya.”

Mendengar ini Bodhisatta tidak menjawab satu kata pun. Kemudian anak laki-laki itu berkata, meratapi orang tuanya:
“Saya tidak memedulikan derita kematian, itu adalah takdir semua orang: tidak pernah lagi melihat wajah ibu saya, inilah yang membuat saya menderita.

Saya tidak memedulikan derita kematian, itu adalah takdir semua orang: tidak pernah lagi melihat wajah ayah saya, inilah yang membuat saya menderita.

Akan lama orang tua saya meratap dan menangis, lama mereka akan melipur duka mereka, di tengah malam dan fajar air mata mereka akan mengalir seperti sungai, tak lagi melihat Kanhajina, yang begitu mereka cintai.

Rumpun pohon jambu yang merunduk di sekeliling danau, dan semua pohon buah dari hutan hari ini kita tinggalkan.

Pohon ara dan nangka, banyan lebat dan setiap pohon yang tumbuh, ya! Semua buah-buahan di hutan hari ini kita tinggalkan.

Mereka berdiri seperti taman plesir, tempat sungai sejuk mengalir, tempat kita dahulu biasanya bermain, hari ini kita tinggalkan.

Buah yang dahulu biasanya kita makan, bunga-bunga yang biasanya kita kenakan, yang tumbuh di bukit sebelah sana, kita tinggalkan.

Dan semua mainan kecil cantik yang dahulu kita mainkan di sana, kuda, lembu, gajah, kita tinggalkan.”

Meski mendengar semua ratapan ini, Jujaka datang dan menyeretnya bersama saudarinya.
Menjelaskan hal ini, Guru berkata:

“Anak-anak berkata kepada ayah mereka ketika mereka dibawa pergi: ’Wahai Ayah! Semoga ibu kami sehat, dan bahagia hidup Anda!

Lembu, kuda, dan gajah mainan kami biasanya,

Berikanlah kepada ibu, mereka akan meredakan dukanya.

Lembu, kuda, dan gajah mainan kami biasanya,

Ketika ia melihat mereka, akan sebentar saja meredakan dukanya.”

Kini derita luar biasa bangkit dalam diri Bodhisatta karena anak-anaknya, dan hatinya menjadi panas dalam dirinya: ia berguncang keras, seperti gajah yang direnggut singa jantan, seperti rembulan ditelah rahang Rahu. Tidak cukup kuat menanggungnya, ia masuk ke dalam gubuk, air mata mengalir dari matanya, dan menangis dengan pilu.

Menjelaskan ini, Guru mengatakan:

“Pangeran khattiya Vessantara memberikan hadiah ini lalu pergi, lalu dalam gubuk daunnya ia meratap lara.”

Berikut ini adalah syair-syair ratapan Bodhisatta.

“Ketika pagi atau malam anak-anak saya menangis minta makanan, terdera lapar dan haus, siapa yang memenuhi kebutuhan mereka?

Bagaimana kaki kecil mereka yang gemetar melangkah di sepanjang jalan, tanpa alas? Siapakah yang akan menggandeng tangan mereka dan menuntun mereka dengan lembut?
Bagaimana bisa brahmana ini tidak merasa malu, ketika saya berdiri di sisinya, ia memukul anak-anak saya yang tak bersalah? Sungguh pria yang tidak memiliki malu!

Tiada orang dengan rasa malu akan memperlakukan orang lain seperti itu, baik itu pelayan dari budakku, dan berstatus sangat rendah.

Aku tak bisa melihatnya, namun ia mencaci dan memukuli anak-anakku tersayang, sementara seperti ikan terperangkap dalam pukat aku berdiri tanpa daya di sini.”

Pemikiran ini muncul dalam batin Bodhisatta karena kasih sayangnya kepada anak-anak: ia tidak bisa mengelak dari duka ketika memikirkan bagaimana brahmana itu dengan kejam memukuli anak-anaknya, dan ia bertekad mengejar orang itu, dan membunuhnya, untuk membawa anak-anaknya kembali. Namun tidak, ia pikir: itu adalah kesalahan; untuk memberikan sesuatu, kemudian menyesalinya karena duka anak-anak sangat besar, itu bukanlah jalan orang yang benar. Lalu dua syair berikutnya mengandung perenungan yang menerangi masalah itu.

“Ia mengikatkan pedang di sisi kirinya, ia mempersenjatai dirinya dengan busur; aku akan membawa anak-anakku kembali; kehilangan mereka sungguh duka besar.

Namun bahkan jika anak-anakku mati adalah buruk untuk merasa sakit338: siapa yang mengetahui adat orang baik, namun meminta kembali hal yang sudah diberikan?”

Sementara Jujaka memukuli anak-anak itu ketika ia memaksa mereka bergerak. Kemudian bocah itu meratap:
“Betapa benarnya ucapan itu yang orang-orang itu tidak akan katakan: ia yang tak memiliki ibu juga sekaligus tak memiliki ayah.

Hidup tiada artinya lagi bagi kita: biarkan kami mati; kini kami adalah budaknya, orang yang keji, tamak, dan kasar ini, yang menghela kami seperti ternaknya.

Rumpun pohon jambu ini, yang melengkung rendah di sekitar danau, dan seluruh kerimbunan hijau hutan ini, wahai Kanha, kita tinggalkan.

Pohon ara dan nangka, pohon banyan, dan setiap pohon yang tumbuh, ya, segala jenis buah, wahai Kanha, kita tinggalkan.

Di sana mereka berdiri seperti taman plesir, tempat sungai sejuk mengalir; tempat kita dahulu biasanya bermain, wahai Kanha, kita tinggalkan.

Buah yang dahulu biasanya kita makan, bunga-bunga yang biasanya kita kenakan, yang tumbuh di bukit sebelah sana, wahai Kanha, kita tinggalkan.

Dan semua mainan kecil cantik yang dahulu kita mainkan di sana, kuda, lembu, gajah, wahai Kanha, kita tinggalkan.”

Sekali lagi brahmana itu terjatuh di tempat yang tidak rata: tali pengikat jatuh dari tangannya, dan anak-anak itu, sambil gemetar seperti unggas terluka, melarikan diri tanpa berhenti dan kembali ke ayah mereka.

Menjelaskan hal ini, Guru berkata:

“Saat itu Jali dan Kanhajina, demikian dipaksa berjalan oleh brahmana itu, entah bagaimana terlepas, kemudian mereka meloloskan diri dan berlari tanpa henti.”

Namun Jujaka cepat-cepat bangkit, dan mengikuti mereka, dengan tali dan tongkat di tangan, murka sampai dunia rasanya meledak; “Sungguh pintar kalian,” katanya, “dalam melarikan diri;” dan ia mengikat tangan mereka dan membawa mereka kembali.
Menjelaskan hal ini, Guru berkata:

“Sehingga brahmana itu mengambil talinya, berikut juga tongkatnya, lalu membawa mereka kembali sambil memukuli mereka, sementara sang raja dipaksa melihatnya.”

Ketika mereka dibawa pergi, Kanhajina berbalik, dan meratap kepada ayahnya. Menjelaskan ini, Guru berkata:

“Kemudian bicaralah Kanhajina dan berkata: ‘Ayah, mohon lihatlah, seperti budak yang terlahir di rumah, brahmana ini memukuli say a!

Para brahmana adalah laki-laki dengan kehidupan bajik: ia pasti bukan brahmana. Seekor siluman pastinya ia dalam wujud brahmana, yang membawa kami untuk dimakan. Dan bisakah Anda diam dan melihat kami dibawa untuk menjadi makanan siluman?”

Ketika putrinya yang masih kecil meratap, gemetar ketika dibawa pergi, duka teramat sangat muncul dalam batin Bodhisatta: hatinya menjadi panas bersamanya; hidungnya tidak cukup besar, maka dari mulutnya ia terengah-engah panas; air mata seperti tetesan darah turun dari matanya. Kemudian ia berpikir: “Semua derita ini muncul dari rasa sayang, dan bukan dari sebab lain; aku harus mengheningkan kasih sayang ini dan menjadi tenang.” Demikianlah oleh pengetahuannya ia menyingkirkan perasaan itu dengan deraan kesedihan luar biasa, lalu duduk bergeming sepert biasa.

Sebelum mereka mencapai jalan masuk gunung, gadis itu terus meratap:

“Sungguh nyeri kaki kecilku, jalan yang kami lalui sulit, brahmana ini memaksa kami berjalan terus-menerus, matahari mulai tenggelam.

Di bukit dan hutan, lalu mereka yang berdiam di dalamnya, kami berseru, kami dengan hormat bersujud untuk menyapa makhluk halus ini, bersama-sama yang menghuni telaga ini; tumbuhan, akar-akaran, dan tanaman merambat, dan kami berdoa untuk kesehatan ibu kami; namun kami dibawa brahmana ini menjauh. Jika ia hendak mengejar kami, semoga ia tidak menunda.
Jalan lurus menuju pertapaan jalan yang kami lalui ini; dan jika ia mengikuti jalan ini, ia pun akan segera menemukan kita.

Engkau pengumpul buah liar dan akar-akaran, engkau yang berambut liar, jika melihat pertapaan kosong akan menyebabkanmu keputusasaan besar.

Lama ibu kami berada dalam pencariannya, pasti banyak buah yang telah ia temukan, ia tidak tahu bahwa ada orang yang keji dan tamak merantai kita, orang yang sangat kejam, yang kini menggebah kita seperti ternak.

Ah, seandainya ibu kita datang saat malam, dan mereka kebetulan bertemu, jika ia memberinya hidangan berupa buah bercampur madu untuk dimakan, ia tak akan memaksa kita begitu keji, ketika ia telah mendapat makanannya: kejam ia menggebah kami, dan kaki kami bergema nyaring ketika kami berjalan!” Maka anak-anak ini meratap karena sangat merindukan ibu mereka.

Sementara ketika raja memberikan anak-anaknya yang sangat dikasihinya kepada brahmana, bumi bergema dengan guncangan besar yang mencapai bahkan surga brahma dan menembus hati para dewa yang berdiam di Himavat: yang, ketika mendengar ratapan anak-anak ketika brahmana itu memaksa mereka berjalan, berpikir, “Jika MaddT datang tepat waktunya ke pertapaan, lalu tak melihat anak-anaknya, ia akan bertanya kepada Vessantara mengenainya; sungguh besar kerinduannya ketika ia mendengar bahwa mereka telah diberikan; ia akan mengejar mereka, dan akan masuk dalam kesulitan besar: maka mereka memerintahkan tiga dewa yang menyaru menjadi singa, harimau, dan macan tutul, dan diminta menghalangi jalannya, agar tidak membiarkannya kembali meski ia memohon-mohon sampai matahari terbenam, supaya ia hanya bisa kembali saat malam, lalu menjaganya agar aman dari serangan singa dan binatang buas lainnya.
Menjelaskan ini, Guru berkata:

“Seekor singa, harimau, dan macan tutul, tiga hewan penghalang, yang mendengar ratapan keras ini, lalu saling berkata satu sama lain:

‘Jangan biarkan putri kembali pada malam hari dari mencari makanan, jika tidak binatang liar akan membunuhnya di kerajaan hutan kita.

Jika singa, macan tutul, atau harimau hendak membantai ibu yang mulia itu, maka ke mana nanti Pangeran Jali, ke mana Kanhajina, orang tua dan anak keduanya Anda jaga hari ini.”

Mereka setuju, mematuhi kata-kata para dewa. Menjadi singa, harimau, dan macan tutul, mereka berbaring di dekat jalan yang harus ia lalui. Saat itu MaddI merenung, “Kemarin malam aku melihat mimpi buruk; aku akan mengumpulkan akar-akaran dan buah-buahanku dan segera pulang ke pertapaan.” Bergetar ia mencari akar-akaran dan buah-buahan: sekop jatuh dari tangannya, keranjang dari bahunya, mata kanannya berkedut, pohon-pohon buah tampak tak berbuah dan pohon tak berbuah tampak ranum, ia tak bisa membedakan apakah ia berada di muka atau belakang. “Apa maksudnya,” ia pikir, “akan keanehan hari ini!” dan ia berkata,

“Jatuh sekopku, berkedut mata kananku,

Pohon yang ranum tampak tidak berbuah, dan sekelilingku tampak berputar-putar!”

Lalu ketika ia hendak kembali pada malam hari, kegiatan hari itu tuntas, hewan liar menghalangi jalannya pulang saat matahari terbenam.

“Pertapaan jauh, saya pikir, matahari terbenam lalu seluruh makanan yang harus mereka makan adalah apa yang kubawa, saya tahu. Lalu di sana pangeranku duduk sendirian dalam gubuk berdaun, menghibur anak-anak lapar; dan aku tidak kembali.

Inilah waktunya makan malam, oh malangnya aku! Aku terlambat: dahaga akan air atau susu anak-anakku menanti; mereka datang menyambutku, berdiri seperti anak sapi melihat induknya; seperti anak-anak angsa liar di danau, betapa menyedihkannya aku!

Inilah satu-satunya jalan, dengan telaga dan lubang-lubang di sekeliling: lalu aku tak bisa melihat jalan lain saat aku kini berjalan pulang.

Penguasa hutan yang perkasa, wahai hewan ningrat, saya berseru, jadilah saudara dalam kebajikan, dan biarkan saya lewat dengan aman!

Saya adalah istri pangeran yang diasingkan, pangeran dengan kejayaan agung; seperti STta lakukan untuk Rama, demikian saya merawat suami saya.

Ketika Anda kembali pada malam hari, anak-anak Anda bisa melihat: demikian pula Jali dan Kanhajina diberikan sekali lagi kepada saya!

Di sini berlimpah akar-akaran dan buah, banyak makanan yang harus saya kunyah: separuhnya kini saya berikan kepada Anda: biarkan saya pergi dengan selamat!

Ayahanda saya adalah raja, ibunda saya adalah ratu, dengarkan permohonan saya! Jadilah saudara dalam kebajikan, biarkan saya pergi dengan selamat!”
Kemudian para dewa, melihat saatnya tiba untuk membiarkannya pergi; mereka bangkit dan pergi. Guru menjelaskannya sebagai berikut:

“Hewan-hewan yang mendengar luapan kesedihan dalam ratapannya, dengan suara merdu dan lembut, pergi dan membiarkannya lewat.”

Ketika hewan-hewan itu sudah pergi, ia kembali ke pertapaan. Saat itu adalah malam purnama; dan ketika ia sampai di ujung jalan setapak yang beralas, tempat ia biasanya melihat anak-anaknya, dan ia tak melihat mereka, ia berseru:

“Anak-anak, berdebu, hampir sampai, tidak bertemu denganku di sini seperti anak sapi mencari induknya, seperti burung di permukaan telaga.
Seperti rusa kecil, dengan telinga berdiri, mereka bertemu dengan saya di jalan: dengan sukacita dan kebahagiaan mereka melompat dan bermain-main dalam permainan mereka:

Namun Jali dan Kanhajina tak saya lihat hari ini.

Seperti kambing dan singa betina meninggalkan anak-anak mereka, burung meninggalkan sangkarnya untuk mencari makan, demikian yang kuperbuat untuk meredakan lapar mereka:

Namun Jali dan Kanhajina tak saya lihat hari ini.

Di sini ada jejak mereka, dekat rumah, seperti ular di bukit,

Gundukan tanah kecil mereka buat di sana-sini masih ada:

Namun Jali dan Kanhajina tak saya lihat hari ini.

Meski tertutup debu anak-anakku biasa berlari ke arah saya,

Terciprat lumpur, namun kini saya tak melihat satu pun dari mereka.

Seperti anak-anak berlari menyambut ibu mereka dari jauh

Ketika saya kembali dari hutan: saya tak melihat mereka hari ini.

Di sini mereka bermain, di sini buah vilva kuning mereka jatuhkan:

Namun Jali dan Kanhajina tak saya lihat hari ini.

Dada saya ini penuh dengan air susu, namun hati saya akan hancur tanpanya:

Namun Jali dan Kanhajina saya tak bisa menemui mereka hari ini.

Mereka biasanya melekat di pinggang saya, satu bergantungan di dadaku:

Bagaimana mereka menyambutku, yang berselimut debu, saat istirahat malam hari!

Namun Jali dan Kanhajina saya tak bisa melihat mereka hari ini.

Sekali kala pertapaan ini menjadi tempat kami bertemu: Namun kini saya tak melihat anak-anak di sini, seluruh tempat ini kini berputar-putar.

Anak-anakku pasti mati! Tempat ini telah menjadi begitu sunyi, gagak-gagak tidak berbunyi, unggas-unggas itu diam.”
Meratapi dengan cara ini, ia datang menemui Bodhisatta, dan menaruh keranjang buah. Melihatnya duduk dalam diam, lalu anak-anak tidak ada bersamanya, ia berkata:

“Mengapa engkau diam? Betapa mimpi itu muncul dalam batinku lagi: unggas dan gagak tidak bersuara, anak-anakku pasti terbunuh!

Wahai Tuan, apakah Anda digondol binatang buas?

Atau dalam hutan rimba terpencil mereka tersesat?

Atau para penceloteh cantik itu tidur? Atau dalam urusan apa mereka pergi?
Wahai apakah mereka berkelana jauh dalam senang atau bermain?

Saya tak bisa melihat tangan dan kaki mereka, saya tidak bisa melihat rambut mereka: apakah burung yang

menyambar? Yang menggondol mereka?”

Bodhisatta tidak menjawab kata-kata ini. Kemudian MaddI bertanya, “Baginda, mengapa tidak bicara denganku? Apa kesalahan saya?” dan berkata:

“Ini seperti luka terkena panah, dan masih makin nyeri (namun Jali dan Kanhajina saya tak bisa melihat mereka hari ini!)

Inilah luka kedua yang telah engkau tusukkan ke hati saya, bahwa saya tak melihat anak-anakku, bahwa engkau tidak mengucapkan apa pun.

Demikian pula, pangeran! Malam ini karena engkau tidak akan menjawab, saya merasa hidupku telah selesai, engkau akan melihat saya mati.”

Bodhisatta berpikir bahwa ia bisa meredam dukanya akan anak-anaknya dengan ucapan keras, lalu melafalkan syair ini:

“MaddI, putri kerajaan, yang keagungannya begitu besar, engkau pergi mencari makanan pagi-pagi: mengapa pulang demikian terlambat?”
Ia menjawab:

“Tidakkah engkau mendengar suara raungan singa dan harimau ketika di tepian danau dahaga mereka terpuaskan mereka berdiri di tepian?

Ketika dalam hutan saya beralan, muncul pertanda yang saya ketahui begitu baik: sekopku jatuh dari tanganku, dan dari lenganku keranjang saya jatuh.

Kemudian terluka, kaget, saya memberikan sujud ke segala arah, satu demi satu, berharap ada hal baik yang bisa datang, tanganku terjulur dalam doa:

Sehingga tidak ada singa, macan tutul, anjing hutan, serigala atau beruang, mungkin menyobek-nyobek atau melukai atau menghancurkan putri atau putraku.
Singa, harimau, dan macan tutul, tiga hewan buas, berbaring menunggu menghalangi jalan saya kembali: itulah sebabnya saya terlambat.”

Hanya inilah yang dikatakan Bodhisatta kepadanya sampai matahari terbit: yang setelah mendengarnya MaddI mengeluarkan ratapan keras:

“Suami dan anak-anak yang saya rawat siang dan malam, seperti siswa yang merawat seorang guru, ketika ia melakukan hal yang benar.
Dengan berpakaian kulit kambing, saya membawa akar-akaran dan buah-buahan liar dari hutan,

Lalu setiap siang dan malam saya mengupayakan kenyamanan Anda.

Saya membawakan Anda buah vilva kuning, putra dan putri kecil saya, lalu banyak buah-buahan hutan yang matang, untuk Anda bermain dan bersukaria.

Akar dan batang teratai ini, berwarna kuning emas, begabunglah dengan anak-anak Anda, wahai pangeran, dan makanlah bagian Anda.

Berikan teratai putih itu kepada putri Anda, berikan yang biru kepada Jali, dan lihatlah mereka menari dengan kalung bunga di leher mereka: panggillah mereka Sivi, panggillah!

Wahai raja perkasa! Dengarkanlah sebentar suara menyenangkan Kanhajina bernyanyi merdu, kemudian memasuki tempat kediaman kita.

Sejak kita diasingkan, suka dan duka telah kita tanggung bersama: Jawablah! Kanhajina dan Jaliku, apakah telah engkau lihat?

Berapa banyak brahmana suci yang pasti telah tersinggung oleh saya, yang menjalani kehidupan suci, bajik, dan penuh pengetahuan keramat, hingga Jali dan Kanhajina tidak bisa saya temukan hari ini!”

Terhadap ratapan ini Bodhisatta tidak menjawab sepatah kata pun. Ketika ia tak mengatakan apa pun, dengan gemetar MaddI mencari anak-anaknya di bawah penerangan rembulan; dan di mana pun mereka biasanya bermain, di bawah pohon jambu atau di tempat lain, ia mencari mereka, sambil menangis dan berkata:
“Di rumpun pohon jambu ini, yang membungkuk turun di sekitar sini, dan seluruh pohon buah di hutan, anak-anakku tidak di sini!

Pohon ara dan nangka, pohon banyan jalan, dan setiap pohon yang tumbuh, ya, semua pohon buah di hutan, anak-anakku tidak di sini!

Di sana mereka berdiri seperti di taman plesir, tempat sungai sejuk mengalir, tempat di mana mereka dahulu bermain, namun kini mereka tidak ada di sini.

Buah yang biasanya mereka makan, bunga-bunga yang biasanya mereka kenakan yang tumbuh di bukit itu, anak-anak tidak ada di sana!

Lalu semua mainan kecil yang dahulu mereka mainkan, ada di sana, kerbau, kuda, gajah, anak-anak tidak ada di sana!

Di sini tempat banyak kelinci dan burung hantu, rusa berkulit gelap dan bertotol, yang dengannya anak-anak biasanya bermain, namun mereka tidak ada di sini!

Merak dengan sayap mereka yang indah, gagak, dan belibis, yang dengannya anak-anak biasanya bermain, namun mereka tidak ada di sini!”

Tidak menemukan anak-anak tersayangnya di pertapaan, ia memasuki rumpun tanaman bunga dan mencari di sana-sini, seraya berkata:

“Rerimbunan hutan, penuh bunga yag tertiup setiap musim, tempat anak-anak biasanya bermain, namun mereka tidak ada di sini!

Telaga indah yang mendengarkan, ketika belibis liar berseru, ketika teratai putih dan biru dan pohon-pohon seperti pohon koral tumbuh, tempat anak-anak dahulu bermain, namun tiada anak-anak di sana sama sekali.”

Namun tidak di mana pun ia melihat anak-anaknya. Kemudian saat kembali menemui Bodhisatta, yang ia lihat wajahnya sangat sedih, ia berkata kepadanya:
“Kayu bakar belum engkau belah, api belum engkau nyalakan, air belum dibawa seperti biasanya: mengapa engkau duduk diam saja?

Ketika kembali ke rumahku setelah menyelesaikan tugasku, namun Jali dan Kanhajina tidak saya lihat hari ini!” Namun Bodhisatta masih tetap diam saja; dan ia, bersedih melihat diamnya Bodhisatta, gemetar seperti unggas terluka, ia pergi lagi berkeliling ke tempat-tempat yang telah ia cari sebelumnya, lalu kembali lagi dan berkata:

“Wahai suamiku, saya tak bisa melihat oleh siapa kematian mereka menjemput: gagak-gagak tidak bersuara, unggas-unggas itu diam.”

Masih saja Bodhisatta tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dan ia, karena kerinduannya akan anak-anaknya, untuk ketiga kalinya mencari-cari di tempat yang sama secepat angin: dan dalam satu malam, jarak yang ia tempuh untuk mencari mereka adalah lima belas yojana. Kemudian ketika malam menjelang fajar, dan saat mentari terbit, ia kembali ke Bodhisatta, dan berdiri di hadapannya meratap. Guru menjelaskannya sebagai berikut:

“Ketika ia telah menempuh jarak kala mencari di setiap hutan dan bukit, kembali ke suaminya, ia berdiri diam dan meratap.

“Di bukit, hutan, gua, saya tak bisa melihat oleh apa kematian mereka tiba: gagak tidak bersuara, unggas-ungas itu diam.”
Lalu Maddi, ratu tersohor, putri berdarah biru, merapat dengan tangannya terjulur di atas bumi.”

“Ia mati!” pikir Bodhisatta, dan gemetar, “Ah, ini bukanlah tempat untuk mati bagi Maddi! Jika ia meninggal di Kota Jetuttara, kemegahan besar akan diadakan, dua kerajaan akan berguncang. Namun saya sendirian dalam hutan, dan apakah yang bisa saya perbuat?” Keresahan besar melingkupinya; kemudian setelah mampu menguasai dirinya, ia bertekad melakukan apa yang ia bisa. Bangkit, ia menangkupkan tangan di jantungnya, dan merasakan bahwa tubuh istrinya masih hangat: ia membawa air dalam kendi, dan meski selama tujuh bulan ini ia belum menyentuh tubuh istrinya, dalam kesedihannya ia tak mampu lagi menjaga ikrar petapanya, namun dengan air mata berlinang ia mengangkat kepalanya dan menaruhnya di pangkuannya, memercikinya dengan air, lalu menggosok-gosok wajah dan dadanya sambil duduk. Kemudian selang beberapa saat Maddi siuman, lalu bangkit dalam kebingungan, ia memberi hormat pada Bodhisatta dan bertanya, “Tuanku Vessantara, ke mana anak-anak pergi?” “Saya telah memberinya kepada seorang brahmana,” katanya. Demikianlah Guru menjelaskannya sebagai berikut:

“Ia memercikinya dengan air ketika istrinya jatuh pingsan seakan mati, lalu ketika ia siuman, ia berkata”:

Ia menanyainya, “Sayangku, jika engkau telah memberikan anak-anak ini kepada seorang brahmana, mengapa engkau membiarkanku menangis selamalaman tanpa mengatakan sepatah kata pun?”
Bodhisatta menjawab:

“Saya tidak langsung bicara, sebab saya takut menyebabkan duka bagimu. Seorang brahmana tua yang papa datang memintanya, maka, dengan sukarela berderma, saya memberikan anak-anak itu: jangan takut, wahai MaddT! Bernapaslah lagi.

Wahai Maddi, janganlah meratap begitu pilu, namun pandanglah saya: kita akan mendapatkan mereka kembali hidup-hidup, dan kita akan bahagia lagi.

Orang bajik seharusnya senantiasa memberi ketika dimintai, anak, ternak, harta, dan gandum. MaddT, bersukacitalah! Tiada pemberian Iain melebihi pemberian anak.”

Maddi menjawab:

“Saya bersukacita! Tiada pemberian lain melebihi memberikan anak. Dengan memberi batin Anda menjadi tenang; mohon lakukanlah itu lagi. Bagimu, penguasa dan pengayom seluruh Kerajaan Sivi, di antara dunia yang penuh manusia yang mementingkan diri, Anda memberi dengan tangan yang sangat dermawan.”

Mendengar ini Bodhisatta menjawab: “Mengapa engkau mengatakan begitu, Maddi? Jika saya belum bisa mendamaikan batin saya dengan memberikan anak-anak saya, mukjizat-mukjizat ini tak akan terjadi pada saya;” kemudian ia menceritakan kepadanya seluruh peristiwa bumi berguncang dan hal-hal lain yang terjadi. Lalu MaddI bersukacita saat menjabarkan mukjizat itu dengan kata-kata ini:

“Bumi memang bergetar, suaranya mengisi hingga surga tertinggi, kilat menyambar, guntur bergema di bukit-bukit.

Saat Narada dan Pabbata mendengar suara perkasa ini, ya, seluruh penghuni Surga Tiga Puluh Tiga Dewa bersukacita melihat perbuatan sulit ini346.

Demikianlah Maddi, ratu berdarah biru, putri berkelahiran tinggi, bersukacita bersamanya; tiada pemberian yang melebihi pemberian anak.”

Demikianlah Bodhisatta menjabarkan pemberiannya sendiri; dan demikianlah MaddI mengulang kisah itu, meneguhkan bahwa Bodhisatta telah memberikan derma yang mulia, dan ia duduk di sana bersukacita dalam pemberian itu: yang dalam kejadian itu Guru mengulang syair itu kembali “Demikianlah MaddI, dan seterusnya.

Ketika mereka berbincang bersama seperti itu, Sakka berpikir, “Kemarin Vessantara memberikan anaknya kepada Jujaka, dan bumi bergetar kembali. Seandainya ada makhluk buruk rupa datang dan meminta MaddI, yang tiada tara, bajik, dan membawanya, meninggalkan raja sendirian: ia akan tak berdaya dan papa. Kalau begitu, aku akan menyamar sebagai seorang brahmana dan meminta Maddl. Dengan demikian saya akan memungkinkannya meraih puncak kesempurnaan tertinggi; saya akan mengatur agar mustahil ia diberikan kepada siapa pun lainnya, lalu saya akan mengembalikannya.” Maka, kala fajar, pergilah Sakka. Guru menjelaskannya sebagai berikut.

Lalu ketika malam hendak berakhir, ketika fajar mengintip, Sakka dalam wujud brahmana mendatangi mereka pagi-pagi.

“Wahai orang suci, saya berharap Anda sejahtera dan sehat, dengan gandum untuk dikumpulkan, akar-akaran dan buah berlimpah tempat Anda tinggal348.
Apakah Anda telah banyak diganggu lalat dan serangga dan hewan melata, ataukah Anda menikmati kebebasan dari binatang buas?”

Bodhisatta menjawab:

“Terima kasih, Brahmana, ya, saya sejahtera dan sehat, dengan gandum untuk dikumpulkan, akar-akaran dan buah berlimpah tempat saya tinggal.

Dari serangga dan lalat dan binatang melata saya tak mengalami gangguan, lalu saya menikmati kebebasan dari binatang buas.

Saya telah hidup di sini selama tujuh bulan yang menyedihkan, dan Anda adalah brahmana kedua yang saya temui, memegang tongkat gembala di tangan, mencapai hutan ini.

Selamat datang, wahai Brahmana! Terberkahilah kemujuran yang memandu Anda ke jalan ini; masuklah dengan berkah, mari, dan saya mohon, cucilah kakimu.

Buah labu dan daun piyal, buah manis kasumari, dan buah-buahan seperti madu, wahai Brahmana, ambillah yang terbaik yang kumiliki dan makanlah.

Lalu air sejuk dari gua tinggi dan tersembunyi di bukit, wahai Brahmana mulia, ambillah, minumlah jika Anda mau.

Ketika mereka berbincang menyenangkan seperti itu, ia menanyai soal kedatangannya:

“Lalu apa alasan atau sebab apa yang membawa Anda kemari? Mengapa mencari hutan rimba ini? Mohon jawablah saya.”

Kemudian Sakka menjawab: “Wahai Raja, saya sudah uzur, namun saya datang kemari untuk meminta istri Anda MaddI; mohon berikanlah dia kepada saya,” dan ia mengulangi syair ini:

“Seperti arus banjir bandang yang penuh dan tidak akan gagal kapan pun, demikian pula Anda, yang saya datangi untuk meminta, mohon berikanlah istri Anda.”

Mendengar ini, Bodhisatta tidak menjawab, ’’Kemarin aku memberikan anak-anakku kepada seorang brahmana, bagaimana aku bisa memberikan MaddI dan tertinggal sendirian dalam hutan!” Namun tidak, seperti seakan ia meletakkan kantung berisi seribu keping di tangannya: tenang seimbang, tak melekat, tanpa batin yang melekat, ia membuat gunung bergema dengan syair ini:

“Saya lelah, tidak juga saya menyembunyikannya: namun meski sangat menyetujuinya, saya memberi, dan tak undur: karena dalam memberi hati saya bersukacita.”
Berkata seperti ini, ia dengan cepat mengambil air dalam kendi, lalu menuangkannya di tangannya, lalu memberikan MaddT kepada brahmana itu. Pada saat itu, semua pertanda yang telah terjadi sebelumnya terlihat dan terdengar lagi. Guru menjelaskan sebagai berikut:

“Kemudian ia, Raja Kerajaan Sivi, mengambil kendi air, Lalu membawa Maddr, langsung menyerahkannya ke tangan brahmana itu.

Lalu muncul kengerian dan kegemparan, saat itu juga bumi raya berguncang, saat ia menyerahkan MaddT untuk diambil tamunya.

Wajah MaddT tak kesal, tidak juga ia marah atau menangis, namun hanya melihat dalam diam, berpikir, ‘Suamiku yang paling tahu mengapa.’

“Baik Jali dan Kanhajina kubiarkan orang lain mengambil, demikian pula MaddT, istri saya yang berbakti, dan semuanya demi kebijaksanaan.

Tidak marah istriku yang setia, namun anak-anak saya marah, namun pencerahan sempurna, bagi saya, adalah sesuatu yang jauh lebih berharga.”

Kemudian Bodhisatta menatap wajah Maddi untuk melihat bagaimana reaksi MaddT; dan istrinya, bertanya mengapa suaminya melihatnya, berseru lantang dengan suara singa:

“Dari sejak gadis sampai saya menjadi istrinya, hingga kini ia masih tuanku: biarkanlah ia kepada siapa pun yang menginginkannya, memberinya, menjualnya, atau membunuhnya.”

Kemudian Sakka, melihat keteguhan mengagumkan MaddI, memujinya; dan Guru menjelaskannya sebagai berikut:
“Mendengar itu, berbicaralah Sakka, melihat bagaimana arah keinginannya: takluklah setiap rintangan, baik manusia maupun dewa.

Bumi memang bergetar, suaranya mengisi hingga surga tertinggi, kilat menyambar, guntur bergema di bukit-bukit.

Saat Narada dan Pabbata mendengar suara perkasa ini, ya, seluruh penghuni Surga Tiga Puluh Tiga Dewa bersukacita melihat perbuatan sulit ini.

Sungguh sulit dilakukan seperti yang dilakukan orang bajik, memberi apa yang mereka bisa berikan, orang jahat tak bisa menirukan kehidupan yang dijalani orang baik.

Sehingga, ketika yang baik dan jahat berlalu dari bumi, yang jahat terlahir di neraka di bawah, lalu yang baik terlahir di surga.

Inilah Kendaraan Mulia: baik istri maupun anak diberikan, sehingga biarlah ia merosot lagi, namun meraih buah ini di surga.”

Ketika Sakka telah mengungkapkan pujiannya seperti itu, ia berpikir, “Kini, aku harus tak menunda lagi, namun mengembalikan istrinya lalu pergi;” lalu ia berkata:

“Tuan, kini kuberikan kembali MaddI kepadamu, istrimu yang cantik dan indah, pasangan yang sepadan, sesuai bagi kehidupan yang sangat harmonis.
Seperti ikatan tak terpisahkan antara kerang dan airnya, demikian juga Anda dan MaddT: batin dan hati keduanya selaras. Setara kelahiran dan keluarga di kedua sisi orang tua. Tinggal bersama dalam pertapaan hutan ini, supaya Anda bisa terus melakukan kebajikan di hutan tempat Anda berdiam.”

Ini dikatakan, ia melanjutkan dan menawarkan anugerah: “Akulah Sakka, raja para dewa, di sini mendatangimu untuk memastikan: pilihlah berkah, wahai bangsawan bijak, delapan anugerah kuberikan kepadamu.”

Ketika ia bicara, ia melayang ke udara dengan bersinar seperti mentari pagi. Kemudian Bodhisatta berkata, memilih anugerahnya:

“Sakka, penguasa seluruh bumi, telah memberiku anugerah.

Semoga berdamai kembali dengan ayah saya, semoga ia cepat memanggil saya kembali dan mendudukkan saya di kursi takhta: inilah anugerah pertama yang saya damba.

Semoga saya tidak menghukum orang menuju kematiannya, meski betapa bersalahnya ia: jika bersalah, semoga saya membebaskannya dari kematian: inilah anugerah kedua yang saya damba.

Semoga semua orang yang menginginkan bantuan hanya mencarinya kepada saya, yang berusia muda, tua, menengah: inilah anugerah ketiga yang saya damba.

Semoga saya tidak mencari istri tetangga, berpuas hati dengan pasangan saya, pun tak tunduk kepada keinginan perempuan: inilah anugerah keempat yang saya damba.

Saya mohon, Sakka, berikanlah umur panjang kepada putra saya tercinta, agar ia menaklukkan dunia dalam kebajikan: inilah anugerah kelima yang saya damba.

Kemudian pada akhir setiap malam, kala fajar, semoga makanan surgawi terlihat: inilah anugerah keenam yang saya damba.

Semoga memberi tak pernah lalai, dan saya selalu memberi dengan hati berkecukupan dan riang: inilah anugerah ketujuh yang saya damba.

Sehingga terbebas, semoga saya langsung menuju ke surga, sehingga saya tak lagi terlahir di bumi: inilah anugerah kedelapan yang saya damba.”
Ketika, Sakka, raja para dewa, mendengar ucapannya ini, ia berkata demikian:

“Sebelum lama, ayah yang Anda cintai, akan ingin melihat putranya.”

Dengan ucapan ini, Sakka kembali ke kediamannya. Guru menjelaskan ini:

“Yang Perkasa, raja para dewa, mengatakan ini, ‘Sujampati, setelah memberikan berkah akan kembali langsung ke surga.”

Lalu Bodhisatta dan MaddI hidup bahagia bersama dalam pertapaan yang diberikan Sakka kepada mereka; namun Jujaka, menempuh perjalanan sejauh enam puluh yojana. Para dewa menjagai anak-anak itu; ketika matahari terbenam Jujaka biasanya mengikat mereka dengan rotan dan membiarkan mereka berbaring di tanah, namun ia sendiri, karena takut akan hewan buas dan liar, memanjat pohon dan duduk di antara cabang-cabangnya. Kemudian sesosok dewa datang kepada anak-anak itu dalam wujud Vessantara, dan sesosok dewi dalam wujud MaddT; mereka membebaskan anak-anak itu, dan menggosok-gosok tangan dan kaki mereka, memandikan dan memakaikan mereka baju, lalu memberi makan mereka dan menidurkan mereka di dipan surgawi:

kala fajar, mereka akan terbaring lagi dalam keadaan terikat, dan para dewa akan lenyap. Sehingga, dengan bantuan para dewa anak-anak menempuh perjalanan tanpa terluka. Jujaka pun dipandu para dewa, sehingga berniat pergi ke Kerajaan Kalinga, dalam waktu lima belas hari, ia sampai ke Kota Jetuttara. Pada malam itu juga, Sanjaya, Raja Sivi, mendapat mimpi, dan mimpinya adalah seperti ini:
Ketika ia duduk di singgasana istana, seorang pria datang dan memberinya dua kuntum bunga ke tangannya, dan ia menyematkan mereka di masing-masing telinga; dan benang sari buga itu jatuh ke dadanya. Ketika ia terbangun pagi itu, ia menanyai para brahmananya mengenai apa artinya. Mereka mengatakan, “Beberapa khattiya Anda, Baginda, yang telah lama pergi akan kembali.” Maka keesokan paginya, setelah sarapan banyak hidangan lezat, ia duduk di singgasananya, dan para dewa membawakan brahmana ini dan menaruhnya di halaman istana. Dalam sekejap melihat anak-anak ini dan berkata:

“Wajah siapa ini yang bersinar kuning, kering seakan dilalap api, seperti gelang emas, yang seakan berkerut-kerut dibakar obor?

Keduanya serupa tubuhnya, serupa marka-markanya, siapakah anak-anak ini gerangan?

Seperti Jali yang putra, dan seperti Kanhajina yang putri.

Mereka seperti dua anak singa kecil yang turun dari gua mereka, dan seperti satu sama lain; mereka tampak bersinar keemasan ketika mereka berdiri.”

Setelah memuji mereka dalam tiga syair, raja mengirim utusan kepada mereka, dengan perintah membawa mereka menghadapnya. Segera ia membawa mereka; dan raja berkata kepada brahmana itu:

“Bharadvaja yang baik, beritahu saya dari mana anak-anak Anda bawa?”

Jujaka berkata:

“Sudah setengah bulan berlalu sejak ia memberikannya kepada saya, merasa senang dengan apa yang telah ia kerjakan.”

Raja berkata: “Dengan ucapan halus atau kata-kata kebenaran apa Anda membuatnya percaya? Dari siapakah anak-anak ini, yang terunggul dari segala pemberian, Anda terima?
Jujaka berkata:

“Dari Raja Vessantara, yang hidup di rimba,
Memberikan mereka sebagai budak, yang seperti bumi berikan kepada semua pemintanya dengan lapang.

Adalah Raja Vessantara yang memberikan anak-anaknya kepada saya sebagai budak, tempat semua peminta pergi, seperti semua sungai mengalir ke laut.”

Mendengar ini, para pegawai istana berbicara mencela Vessantara:

“Jika ia berada di rumah, ini adalah keburukan yang dilakukan raja mana pun yang bajik:

Bagaimana bisa ia memberikan anak-anaknya ketika diasingkan dalam hutan?

Dengarkan saya, orang-orang bajik, yang berkumpul di sini, bagaimana bisa raja memberikan anak-anaknya untuk melayani orang lain?

Budak laki-laki atau perempuan boleh ia berikan, kuda, keledai, atau kereta, atau gajah; namun bagaimana bisa ia memberikan anak-anaknya sendiri?”

Namun bocah itu ketika mendengar hal ini, tak bisa menahan diri mendengar ayahnya dicela; ia berdiri mengangkat tangannya seperti Gunung Sineru terhantam deru angin357, ia melafalkan syair ini :

“Bagaimana, Kakek, bisa ia memberi, ketika ia tak memiliki budak laki-laki atau perempuan, gajah, kuda, keledai, atau kereta?”

Raja berkata:

“Anak-anak, saya memuji pemberian ayah kalian: tiada celaan yang saya katakan, namun bagaimana perasaannya ketika ia memberikan kalian?”
Bocah itu menjawab:

“Penuh keresahan hatinya, dan terbakar panas pula,

Matanya merah seperti RohinI, dan bercucuran air matanya.”

Kemudian Kanhajina bicara:

“Ayahanda, dengarlah, brahmana ini, dengan rotan senang memukuli punggung saya, seperti kepada budak di tempat asalnya. Ini bukanlah brahmana, Ayahanda tersayang! Karena brahmana seharusnya bajik; seekor siluman dalam wujud brahmana, yang mengusir kami untuk makan. Bagaimana Anda bisa melihat kami terusir dengan kekejaman ini?”

Raja, melihat brahmana itu tak melepaskan mereka pula, melafalkan syair:

“Kalian putra raja dan ratu, orang tua Anda yang mulia:

Pernah kalian naik di pangkuan saya; mengapa kalian kini berdiri jauh?”

Bocah itu menjawab:

“Kami adalah putra raja dan ratu, orang tua kami mulia,

Namun sebagai budak seorang brahmana, kami berdiri dari jauh.”

Raja menjawab:

“Anak-anakku tersayang, janganlah bicara demikian; hatiku terbakar oleh panas, tubuhku menyala seperti bara api, gelisah takhta ini.

Anak-anakku tersayang, janganlah bicara demikian; kalian membuatku pilu oleh kesedihan. Mari, saya akan membeli kalian dengan harga, kalian tak akan menjadi budak lagi.

Marilah beritahu aku sejujurnya, aku akan membayar brahmana itu, apa harga yang diberikan ayah kalian ketika ia memberikan kalian?”
Bocah itu menjawab:

“Seribu keping adalah harga saya: untuk membebaskan saudari saya, gajah dan benda-benda lainnya358, masing-masing seratus, inilah yang ayah saya tetapkan.”

Raja menyuruh membayar harga untuk anak-anak itu. “Cepat, juru hukum, bayarkan kepada brahmana itu, dan biarlah harga ini dinyatakan: seratus budak pria dan perempuan, dan ternak dari kandangnya, seratus gajah dan banteng, seribu pon emas.’ Juru hukum itu segera membayar brahmana itu dengan harga yang dinyatakan:

Seratus budak pria dan perempuan, dan ternak dari kandangnya, seratus gajah dan banteng, seribu pon emas.” Demikianlah ia memberikan kepadanya istana tujuh tingkat; besar kemegahan brahmana itu! Ia menyimpan semua hartanya, lalu naik ke istananya, kemudian berbaring di dipannya yang indah, menikmati makanan pilihan.

Anak-anak itu kemudian dimandikan, diberi makan, dan dipakaikan baju; kakeknya memangku seorang, lalu neneknya memangku yang satunya. Untuk menjelaskan hal ini, Guru berkata:

“Anak-anak dibeli, dimandikan dan dipakaikan baju, dihias dengan megah, dan diberi makan, lalu ditaruh di pangkuan kakek dan neneknya, raja kemudian bicara dan berkata:

“Jali, orang tuamu kami rasa sejahtera dan sehat,

Dengan gandum untuk dikumpulkan, akar-akaran dan buah-buahan berlimpah ke tempat mereka berdiam.

Apakah mereka banyak terusik lalat dan serangga kecil dan hewan-hewan melata, apakah kebebasan dari hewan buas mereka nikmati?”

Bocah itu menjawab:

“Saya berterima kasih kepada Anda, Raja, dan jawabannya adalah ini: kedua orang tua saya sehat, dengan gandum untuk dikumpulkan, akar-akaran dan buah-buahan berlimpah di tempat mereka berdiam.

Dari lalat dan serangga, hewan melata mereka tidak terganggu, dan mereka menikmati kebebasan dari binatang buas.

Umbi liar dan lobak ia gali, herbal dan mint kucing ia cari, dengan jujube, kacang-kacangan, buah vilva ia selalu menemukan makanan.

Lalu ketika ia membawakan buah-buahan liar dan akar-akaran, apa pun itu, kami semua berkumpul dan makan saat malam dan bertahan untuk hari itu.

Ibu kami menjadi kurus dan kuning karena mencari makanan kami, terpapar panas, terdera angin dalam rimba yang dihuni binatang buas.

Seperti bunga teratai lembut di tangan yang layu: rambutnya menipis360 karena berkelana di antara bukaan hutan.

Bagian bawah ketiaknya ternoda lumpur, rambutnya disanggul ke atas, ia menjagai api, dan mengenakan hanya kulit ketika ia tidur di permukaan tanah.”

Demikianlah setelah menjabarkan kesulitan yang dialami ibunya, ia menegur kakeknya dengan kata-kata ini:

“Merupakan adat di dunia bahwa setiap orang mencintai putranya; namun dalam kasus ini tampaknya kehormatan Anda belum dilakukan.”

Raja mengakui kesalahannya:
“Sungguh kelalaian saya hingga menghancurkan yang tak bersalah, ketika oleh suara rakyat saya memaksa putra saya ke pengasingan.

Kalau begitu biarlah semua kekayaan yang saya miliki, semua yang saya punya di tangan, menjadi miliknya: dan biarlah Vessantara datang dan memerintah di Kerajaan Sivi.”

Bocah itu menjawab: “Bukan karena kata-kata saya, ia akan kembali, Penguasa Sivi; jika demikian, pergilah dan penuhilah putra Anda dengan berkah dari tangan Anda sendiri.”

Kemudian kepada panglima tertingginya, Raja Sanjaya berkata seperti demikian:

“Siapkan kuda, kereta, gajah, dan pasukan saya, dan biarkan orang-orang berkumpul, juga seluruh brahmana hadir. enam puluh ribu khattiya bersenjata dan berhias begitu indah, berpakaian biru, cokelat, atau putih, dengan segel merah darah, hadir di sana.

Seperti bukit yang dihuni hantu, tempat banyak pohon-pohon tumbuh, begitu cerah dan wangi dengan tanaman surgawi, demikian pula di sini angin sepoi-sepoi bertiup.

Bawakan empat belas ribu gajah, dengan pelana dari emas murni, dengan sais memegang tombak dan pecut kait: lalu kuda sebanyak yang tadi disebut.

Kuda-kuda Sindhu, semuanya berketurunan murni dan sangat kencang, masing-masing dikendarai penunggang yang berani, memegang pedang dan busur361.

Biarkan empat belas ribu kereta perang dihubungkan dengan kuda dan dibariskan dengan rapi, roda-rodanya dibuat dengan indah dari gelang besi, dan semuanya berlapis emas.
Biarkan mereka mempersiapkan panji-panji di sana, perisai, dan zirah, berikut dengan busur, para prajurit perang yang memukul dan tidak gagal.”

Demikianlah raja menjabarkan pembagian pasukannya; dan ia memberikan perintah untuk meratakan jalan dari Jetuttara sampai ke Gunung Varirka selebar delapan galah362, lalu menghiasnya. Ia mengatakan:

“Sebarkan bunga laja di atasnya, dan tebarkan bunga-bunga wangi, lakukan persembahan agung di sepanjang jalan yang akan ia lalui.

Masing-masing desa membawa seratus kendi anggur bagi mereka yang menginginkannya, dan menaruhnya di samping jalan yang akan dilewati putra saya.

Biarkan daging dan kue disiapkan di sana, sup yang dihias dan ikan, lalu letakkan mereka di sisi jalan yang akan dilewati putra saya.

Anggur, minyak, dan mentega, susu, gandum, beras, dan dadih dalam banyak hidangan, biarkan mereka ditaruh di sisi jalan yang akan dilewati putra saya.

Juru masak dan pembuat kue hadir di sana, pria bernyanyi dan menari, penari dan akrobat, pemain gendang kecil, untuk menyingkirkan kebosanan.

Kecapi bersuara, sangkakala dibunyikan lantang, dan biarkan orang-orang berdendang, pada tamborin, tambur, dan segala jenis gendang.”

Demikianlah raja menjelaskan persiapan jalan itu.
Namun Jujaka makan terlalu banyak dan tidak bisa mencernanya, maka ia meninggal di tempat. Raja mengatur pemakamannya: berita diumumkan di seluruh kota, namun tak ada sanak saudara yang bisa diumumkan, maka harta milik brahmana itu kembali jatuh ke tangan raja.

Pada hari ketujuh, seluruh rombongan berkumpul. Raja dalam upacara besar berangkat dengan Jali sebagai pemandunya. Inilah yang Guru jelaskan sebagai berikut:

“Demikian pasukan perkasa berangkat, pasukan kerajaan, dan pergi menuju Bukit Varhka, sementara Jali memimpin rombongan.

Gajah berumur enam puluh tahun menerompet363, menerompet nyaring hewan perkasa itu saat tali kekangnya terpasang.

Kemudian berderak kencang roda kereta, lalu kuda meringkik keras, ketika pasukan besar berjalan, debu naik bagaikan awan.

Karena setiap kebutuhan disediakan dengan baik maka rombongan berjalan dengan semangat, dan Jali memimpin pasukan sebagai pemandu menuju Bukit Varhka.

Mereka memasuki hutan lebat, penuh dengan unggas dan pepohonan, dengan segala jenis tumbuhan berbunga dan buah apa pun yang Anda sukai.

Di sana ketika hutan tengah berbunga, hujan lagu kicauan terdengar, kicau burung-burung bersayap warna terang di sana sini.

Siang dan malam mereka berjalan, dan akhirnya sampai ke akhir jalan mereka yang panjang, lalu memasuki daerah tempat Vessantara berdiam.”

Di tepian Danau Mucalinda, Pangeran Jali meminta mereka membuat perkemahan: empat belas ribu kereta ia pasang menghadap jalan tempat mereka dayang, dan penjagaan diatur di sana sini untuk menghalau singa, macan, badak, dan hewan-hewan liar lainnya. Ada suara riuh gajah-gajah dan lainnya: ini didengar Bodhisatta, dan ketakutan sekali ia berpikir, ’’Apakah mereka telah membunuh ayahku dan datang mengejarku?” Membawa MaddT bersamanya, ia mendaki bukit dan mengawasi pasukan itu. Menjelaskan ini, Guru berkata:
“Vessantara mendengar suara pasukan yang mendekat ini; ia mendaki bukit dan melihat ke pasukan itu, penuh ketakutan.

Dengarkan, Maddi, hutan dipenuhi suara meraung, ringkik kuda bisa didengar, panji-panji melambai di sekitarnya.

Mungkinkah mereka pemburu, yang dengan lubang perangkap atau jala atau pisau hendak mencari hewan liar di hutan dengan teriakan-teriakan hendak membunuh mereka?

Maka kami, yang diasingkan meski tak bersalah, dalam rimba liar ini, mengira kematian kejam, kala kita telah jatuh ke tangan musuh.”

Ketika ia mendengar kata-kata ini, ia melihat ke arah pasukan, menjadi yakin bahwa itu adalah pasukan kerajaan mereka sendiri, MaddT melafalkan syair ini untuk menghiburnya:

“Segalanya akan baik-baik saja: lawan-lawan tak bisa melukai Anda, seperti nyala api apa pun bisa menaklukkan lautan.”
Sehingga Bodhisatta menjadi yakin, dan bersama MaddI turun dari bukit dan duduk di depan gubuknya. Ini Guru jelaskan sebagai berikut:

“Kemudian Raja Vessantara menuruni bukit, lalu duduk di depan gubuk daunnya dan hatinya berdegup kencang hingga hening.”

Saat itu, Sanjaya memanggil ratunya, dan berkata kepadanya: “Phusatl tersayang, jika kita semua pergi bersama pasti akan menjadi kegegeran besar, maka saya akan pergi dahulu sendirian. Ketika engkau merasa bahwa mereka telah tenang dan diam, engkau boleh datang dengan rombongan.” Selang beberapa lama ia memberitahu Jali dan Kanhajina untuk datang. Ia memutar keretanya hingga menghadap ke jalan tempat ia datang, lalu memasang penjagaan di sana sini, menunggangi gajahnya yang berzirah, lalu pergi mencari putranya. Guru menjelaskannya sebagai berikut:

“Ia mengatur pasukannya dalam barisan, keretanya ia arahkan ke jalan, lalu mencari hutan tempat putranya berdiam dalam kesendirian.

Menunggangi gajahnya, dengan jubahnya terselempang di satu pundak, merangkapkan tangannya ke atas, ia pergi untuk memberikan takhta kepada putranya.

Kemudian ia melihat pangeran yang indah, tanpa kenal takut, lalu tenang terkendali, duduk di depan gubuk daunnya dan bersemadi hening.

Kemudian ayahnya itu menyapa Vessantara dan MaddI, ketika melihatnya mendekat, ingin melihat putranya. Lalu MaddI memberikan hormat, menaruh kepalanya di kaki raja, kemudian ia memeluk mereka; tangannya mengusap-usap mereka dengan menyenangkan.”
Kemudian menangis dan meratap sedih, raja bicara dengan ramah kepada mereka, “Saya berharap dan percaya, Putraku, bahwa engkau baik-baik saja dan sehat, dengan gandum untuk dikumpulkan, akar-akaran dan buah-buahan berlimpah di tempat engkau berdiam.

Apakah engkau banyak terusik lalat dan serangga kecil dan hewan-hewan melata, apakah kebebasan dari hewan buas engkau nikmati? “

Bodhisatta menjawab ayahnya:

“Baginda, kehidupan yang kami jalani sungguh menyedihkan; kami harus hidup semampu kami, makan apa yang bisa kami kumpulkan.

Kesulitan menjinakkan seseorang, sama seperti sais menjinakkan kuda: kesulitan, wahai Raja, telah menjinakkan kami di sini.

Namun adalah ketidakhadiran orang tua kami yang membuat tubuh kami kurus, pengasingan, wahai Raja, berikut dengan hutan dan rimba sebagai tempat tinggalnya.”

Setelah ini, ia bertanya akan nasib anak-anaknya.

“Namun Jali dan Kanhajina, keturunan Anda yang malang, yang kini dihela seperi kerbau oleh brahmana yang kejam dan tanpa ampun,

Jika Anda mengetahui apa pun mengenai anak-anak raja ini, mohon beritahu, seperti tabib berupaya menyembuhkan orang yang terkena gigitan ular.”
Raja berkata: “Baik Jali dan Kanhajina, anak-anakmu, kini sudah dibeli: aku membayar brahmana itu: sebab itu tenanglah, Putraku, janganlah takut.”

Bodhisatta terhibur mendengar hal ini, lalu bercakap-cakap dengan menyenangkan.

“Saya harap, Ayah tercinta, Anda sejahtera, dan masalah tidak datang lagi, lalu ibu saya tidak menangis sampai matanya bengkak.”

Raja menjawab:

“Terima kasih, Putraku, aku baik-baik saja, dan masalah tidak datang lagi, begitu pula ibumu tidak menangis sampai matanya bengkak.”

Bodhisatta berkata:

“Saya harap kerajaan baik-baik saja, pedesaan damai, hewan-hewan kuat bekerja, dan awan pembawa hujan senantiasa datang.”

Raja menjawab:

“Oh ya, kerajaan baik-baik saja, pedesaan damai, hewan-hewan semuanya kuat bekerja, awan pembawa hujan senantiasa datang.”

Ketika mereka berbincang bersama seperti itu, Ratu Phusatl, merasa yakin mereka semua telah terbebas dari kecemasan, datang menemui putranya bersama rombongan besar.

Guru menjelaskannya sebagai berikut:
“Ketika mereka bicara bersama-sama seperti itu, ibu mereka terlihat mendekati pintu dengan berjalan tanpa alas kaki meski ia seorang ratu.

Kemudian Vessantara dan MaddT menyambut ibu mereka, lalu Maddi berlari dan bersujud, menaruh kepalanya di kaki ibunya.

Anak-anak, aman dan baik-baik saja dari jauh terlihat oleh Maddi, seperti anak-anak sapi melihat ibunya mereka pun berseru.

Lalu Maddi saat melihat mereka selamat dan sehat: seperti kerasukan ia berlari, gemetar, dan merasakan seluruh air susu yang pernah ia berikan kepada mereka.”

Saat itu bukit-bukit bergema, bumi berguncang, samudra luas bergolak, Sineru, raja semua gunung, membungkuk: di enam alam dewa semuanya terdengar satu suara perkasa. Sakka, raja dewa, mengetahui bahwa enam bangsawan ini berikut para pelayan mereka terbaring tak sadarkan diri di tanah, dan tak seorang pun dari mereka yang bisa bangkit dan memerciki yang lainnya dengan air; maka ia bertekad menurunkan hujan. Ini ia lakukan, sehingga mereka yang menginginkan basah menjadi basah, dan mereka yang tidak ingin basah, tak setetes pun hujan menjatuhi mereka, namun air terus turun seperti tetesan jatuh dari daun teratai. Hujan itu seperti hujan yang jatuh dari rumpun teratai. Enam orang kerajaan itu siuman, dan semua orang berseru melihat keajaiban itu, bagaimana hujan jatuh ke keluarga itu, dan bagaimana bumi berguncang. Ini Guru jelaskan sebagai berikut:

“Ketika keluarga ini berkumpul, terdengar suara perkasa, yang bergema di seluruh bukit, dan sungguh bumi raya berguncang.

Dewa membawa awan besar yang darinya ia menurunkan hujan, ketika Raja Vessantara bertemu keluarganya lagi.

Raja, ratu, putra, dan mertuanya, dan cucunya, semuanya ada di sana, ketika mereka bertemu mereka merinding dengan rambut mereka berdiri. Orang-orang bertepuk tangan keras dan mengucapkan doa kepada raja:

Mereka memanggil Vessantara dan MaddI, semuanya: “Jadilah kalian penguasa kami, jadilah raja dan ratu, dan dengarkan panggilan kami365!”

Kemudian Bodhisatta berkata kepada ayahnya:

“Ayahanda dan rakyat, penduduk desa dan kota, mengasingkan saya, ketika saya masih menduduki singgasana dan memerintah dengan bajik.”

Raja menjawab, untuk meredakan kekesalan putranya: “Sungguh kesalahanku sampai menghancurkan yang tak bersalah, ketika oleh desakan rakyat aku memaksa putraku menuju pengasingan.”

Setelah melafalkan syair ini, ia menambah syair lain, meminta pengampunan dari kesedihannya sendiri:

“Derita ayah atau ibu, atau saudari, untuk meredakannya, seorang pria seharusnya tak pernah ragu memberikan hidupnya.”

Bodhisatta berniat mendapatkan kembali ningratnya, namun memantang mengatakan demikian agar bisa mengilhami rasa hormat, kini menyetujuinya; sementara enam puluh ribu pegawai istana, sahabat-sahabat lahirnya, berseru, “Sekarang waktunya membilas diri, wahai Raja perkasa, membersihkan debu dan kotoran!”
Namun Bodhisatta menjawab, “Tunggulah sebentar.” Kemudian ia memasuki gubuknya, dan melepaskan pakaian petapanya, lalu menyimpannya. Kemudian ia keluar dari gubuknya, dan berkata, “Inilah tempat saya menghabiskan sembilan setengah bulan menjalani pertapaan, tempat saya meraih puncak kesempurnaan dalam memberi, dan tempat bumi sungguh bergoyang;” tiga kali ia pergi mengitari gubuk itu searah jarum jam, lalu bersujud hingga lima bagian tubuhnya menyentuh tanah di hadapannya366. Kemudian mereka membersihkan rambut dan jenggotnya, lalu menuang air keramat di atas kepalanya, sementara ia bersinar dengan segala kemegahannya seperti raja para dewa. Demikianlah dikatakan,

“Kemudian Raja Vessantara membasuh bersih semua debu dan lumpur.”

Sungguh agung kejayaannya: setiap tempat yang dipandangnya berguncang, mereka yang piawai dalam kata-kata mujur mengucapkannya, mereka tersita dalam segala jenis alat usik; di atas samudra luas ada suara seperti petir; gajah berharga mereka bawa dengan berzirah lengkap, dan membawa pedang pusaka ia menunggangi gajah nan berharga, sementara enam puluh ribu pegawai istana, teman-teman sekelahirannya, mengelilinginya dengan barisan yang menakjubkan.

Maddi juga mandi dan berhias dan memercikkan air suci, dan ketika mereka menuang air mereka berseru, “Semoga Vessantara melindungi kalian!” dengan kata-kata bajik lainnya. Guru menjelaskan sebagai berikut:

“Dengan kepala terbasuh dan jubah indah dan perhiasan kerajaan, memasang pedang mengerikannya ia menunggangi gajah, sahabatnya.

Lalu kemudian enam puluh ribu kepala, begitu indah disaksikan, teman-teman lahirnya, semuanya mendatangi tuan mereka dan memberikan hormat sebagaimana layaknya.

[589] Para perempuan kemudian memandikan Maddi, dan semuanya berdoa bersama, ’’Semoga Vessantara dan Sanjaya selalu menjaga Anda!”
Demikianlah dikukuhkan kembali, dan mengingat kesulitan lampau mereka, di sana di kerajaan asal mereka yang menyenangkan mereka mengumandangkan seruan gembira.

Demikianlah dikukuhkan kembali, dan mengingat kesulitan lampau mereka, bahagia dan gembira perempuan itu pergi dengan anak-anaknya yang tersayang.”

Maka dalam kebahagiaan, ia berkata anak-anaknya:

“Saya hanya makan sekali sehari, saya tidur di tanah, itulah ikrar saya akan cinta saya kepada kalian sampai kalian ditemukan.

Namun kini ikrar saya telah terpenuhi, dan sekali lagi saya berdoa, agar kebajikan apa pun yang telah kita lakukan selalu melindungi kalian berdua, dan semoga Raja Agung Sanjaya senantiasa melindungi kalian berdua, apa pun kebajikan yang telah dilakukan oleh ayah kalian atau oleh saya, dengan kebenaran itu semoga kalian tidak pernah menua, semoga kalian kekal.”

Ratu PhusatT pun mengatakan: “Mulai sekarang biarlah menantu saya dipakaikan jubah ini dan mengenakan perhiasan ini!” Barang-barang ini ia kirimkan dalam peti-peti. Inilah yang dijelaskan Guru sebagai berikut:
“Pakaian katun dan sutra, linen dan kain yang begitu halus dikirimkan mertuanya kepada MaddT yang membuat kecantikannya bersinar.

Kalung dan gelang, gelang lengan, kaki, sabuk permata mertuanya kirimkan kepada Maddi, yang dengannya kecantikannya bersinar.

Lalu ketika putri nan indah itu menyelidiki perhiasannya, ia bersinar, sama bersinarnya dengan barisan dewi-dewi Nandana.

Dengan kepala terbasuh dan perhiasan dan pakaian elok dilihat, ia bersinar, seperti, seperti dewi surgawi di hadapan penghuni Surga Tiga Puluh Tiga Dewa. Seperti saat berada dalam Hutan Cittalata368 angin menggoyangkan pohon kelapa, bibir cantik putri terlihat indah seperti pohon itu.

Seperti burung berbulu kemilau yang terbang mengarungi udara, ia dengan bibirnya cemberut dan keindahannya memukau.

Mereka membawa gajah muda yang indah, perkasa, dan kuat, yang tak takut akan tombak atau gegap gempitanya pertempuran, bergading panjang.
Ia menunggangi gajah itu, yang begitu perkasa dan kuat, yang tak takut akan tombak atau gegap gempitanya pertempuran, bergading panjang.”

Maka mereka berdua dalam kemegahan besar menuju perkemahan itu. Raja Sanjaya dan tak terhingga rombongannya369 tengah bersenang-senang dengan huburan bukit dan hutan selama sebulan penuh. Selama waktu itu, karena keagungan Bodhisatta, tak satu pun kerusakan terjadi dalam hutan rimba itu oleh hew an liar atau unggas. Guru kemudian menjelaskannya sebagai berikut:

“Oleh keagungan Vessantara, di seluruh hutan rimba itu, tiada hewan atau unggas yang saling melukai, semuanya bajik.

Dan ketika ia hendak pergi, mereka semua sepakat, unggas, hewan, dan semua makhluk hutan, semuanya datang bersama: namun sunyilah dari semua suara menyenangkan ketika ia meninggalkan rimba.”

Setelah sebulan berpesta, Sanjaya memanggil panglima perangnya, dan berkata, “Kami telah tinggal lama dalam hutan: apakah jalan sudah siap untuk kepulangan anakku?” Panglima itu menjawab, “Ya, Baginda, sudah saatnya pergi.” Ia mengirimkan kabar kepada Vessantara, lalu dengan pasukannya berangkat, lalu mengikuti dengan seluruh rombongannya jalan yang telah dipersiapkan dari jantung Bukit Vamka sampai ke Kota Jetuttara. Inilah yang Guru jelaskan sebagai berikut:
“Jalan kerajaan dipugar baru, dengan bunga-bunga dan panji-panji berbaris rapi dari tempat ia hidup di dalam hutan hingga ke Kota Jetuttara.

Enam puluh ribu pengiringnya di sekitarnya, serta bocah dan perempuan terlihat di mana-mana, para brahmana dan vessa, beriringan kembali ke Kota Jetuttara.

Ada banyak penunggang gajah, kereta, dan prajurit, dengan semua pengawal kerajaan menuju Jetuttara. Para khattiya yang memakai perhiasan tengkorak dan kulit, atau tentara berzirah dengan pedang lengkap, berangkat menjaga pangeran sebelum sampai ke Kota Jetuttara.”

Raja menempuh perjalanan enam puluh yojana dalam waktu dua bulan. Ia kemudian memasuki Jetuttara, yang dihias untuk menyambutnya, dan pergi ke istana. Inilah yang Guru jelaskan:

“Kemudian mereka memasuki kota nan indah, dengan tembok dan gerbang lengkung tinggi, dengan nyanyian dan tarian, makanan dan minuman berlimpah.

Gembira rakyat desa dan kota menyambut kembali pangeran tersohor mereka ke Negeri Sivi.

Semua melambaikan sapu tangan mereka ke udara saat melihat sang pemberi tiba; lalu dengan pukulan gendang pembebasan tahanan dinyatakan.”

Kemudian Raja Vessantara membebaskan semua makhluk, sampai ke kucing-kucing; dan pada hari ia memasuki kota, pada malam hari, ia berpikir: “Ketika fajar tiba, para pemohon yang telah mendengar aku kembali akan datang, apa yang akan aku berikan kepada mereka?” Pada saat itu, takhta Sakka menjadi panas; ia merenung dan memahami alasannya. Sakka menghadirkan hujan tujuh jenis permata seperti hujan badai, memenuhi depan dan belakang istana setinggi pinggang, dan di seluurh kota setinggi lutut. Keesokan harinya, ia membagi tempat ini atau tempat itu ke berbagai keluarga dan membiarkan mereka mengambil permata; sisanya ia kumpulkan dan taruh di tempat kediamannya sendiri bersama dengan hartanya; dan dalam gudang hartanya ia memiliki cukup untuk selalu berderma pada masa depan. Inilah yang Guru jelaskan sebagai berikut: “Ketika Vessantara, raja pelindung Sivi, kembali, dewa menghujani emas berharga di atas tempat itu.
Maka ketika Vessantara sang pangeran telah memberi derma berlimpah; ia akhirnya meninggal, dan bijak sempurna, ia lahir lagi ke surga.”

Ketika Guru telah mengakhiri pembabaran Vessantara, dengan seribu syairnya, ia mengidentifikasi kelahiran, “Saat itu, Devadatta adalah Jujaka, Cinca adalah Amittatapani, Channa adalah Cetaputta, Sariputta adalah Petapa Accuta, Anuruddha adalah Sakka, Raja Suddhodana adalah Raja Sanjaya, Mahamaya adalah Phusati, Ibu Rahula’s adalah Ratu Maddi, Rahula adalah Pangeran Jali, Uppalavanna adalah Kanhajina, para pengikut Buddha adalah rakyat lainnya, dan Raja Vessantara adalah Saya.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com