Sariputta | Suttapitaka | Vidhurapandita-Jataka Sariputta

Vidhurapandita-Jataka

Vidhurajātaka (Ja 546)

“Anda pucat, kurus, dan lemah,” dan sebagainya.

Guru menceritakan kisah ini selagi berdiam di Jetavana, berkaitan dengan Penyempurnaan Kebijaksanaan. Suatu hari Persamuhan Bhikkhu sedang membahas mengenai Balairung Kebenaran, seraya mengatakan, “Sahabat, Guru memiliki kebijaksanaan besar dan luas, Beliau sigap dan cerdas, Beliau tajam dan teguh dan mampu menghancurkan argumen lawan-lawannya, dengan kekuatan kebijaksanaannya ia menjungkalkan pertanyaan-pertanyaan halus yang diajukan oleh petapa khattiya dan membuat mereka terdiam, dan setelah meneguhkan mereka dalam Tiga Perlindungan dan praktik moralitas, menyebabkan mereka memasuki jalan yang membawa menuju kekekalan.” Guru kemudian datang dan bertanya apa topik yang tengah diperbincangkan Persamuhan saat mereka duduk bersama; dan ketika mendengar topiknya, Ia mengatakan, “Tidaklah luar biasa, para bhikkhu, bahwa Tathagata, setelah mencapai Penyempurnaan Kebijaksanaan bisa menjungkalkan argumen lawan-lawannya dan mengalihyakinkan para khattiya dan yang lainnya. Karena pada zaman lampau, ketika Ia masih mencari Pencerahan Sempurna, Ia bijaksana dan mampu menghancurkan argumen lawan-lawan-Nya. Ya, sungguh pada waktu Vidhurakumara, di puncak Gunung Hitam yang berjarak enam puluh yojana tingginya, dengan kekuatan kebijaksanaan, Saya mengalihyakinkan jenderal yakkha, Punnaka, dan membuatnya terdiam dan memberikan hidupnya sebagai pemberian;” dan mengatakan demikian ia menceritakan kisah masa lampau.

Suatu ketika di Kerajaan Kuru di Kota Indapatta, berkuasalah seorang raja bernama Dhananjaya-korabba. Ia memiliki menteri Vidhurapandita yang memberinya nasihat mengenai masalah duniawi dan spiritual; dan memiliki kefasihan dan keahlian bicara dalam membabarkan Dhamma, ia menawan hati semua raja Jambudipa dengan pembabaran manisnya mengenai Dhamma seperti gajah-gajah terkagum-kagum oleh suara kecapi kesukaannya, ia pun tidak membuat mereka berlelah pergi ke kerajaan mereka masing-masing, namun berdiam dalam kota itu dalam kejayaan besar, mengajarkan Dhamma kepada rakyat dengan seluruh kekuatan seorang Buddha. Pada saat itu, ada empat perumah-tangga brahmana kaya di Benares, saling bersahabat, yang setelah melihat penderitaan dalam nafsu indra, pergi ke Himalaya dan menjalani kehidupan petapa, dan setelah menembusi kemampuan adibiasa dan meditasi mistis, mereka terus berdiam di sana untuk waktu yang lama, bertahan hidup dengan akar-akaran dan buah-buahan hutan, dan kemudian, ketika mereka berjalan untuk mencari garam dan manisan asam, mereka meminta-minta di Kota Kalacampa di Kerajaan Anga. Ada empat perumah-tangga yang bersahabat, yang merasa senang dengan perilaku mereka, setelah memberikan hormat pada mereka dan mengambil mangkuk derma mereka, melayani mereka dengan makanan pilihan, di rumah mereka masing-masing, dan setelah meminta restu dari mereka mengatur kediaman bagi mereka di taman mereka. Maka empat petapa itu setelah mengkonsumsi makanan di rumah empat perumah-tangga pergi dari sana untuk melewatkan hari, yang satu pergi ke alam Surga Tiga Puluh Tiga Dewa, yang satu ke alam para naga, yang satu ke alam supanna, dan yang keempat ke Taman Migacira yang dimiliki Raja Koravya.

Lalu, ia yang menghabiskan harinya di alam para dewa, setelah melihat keagungan Sakka, menjabarkannya dengan terperinci kepada pelayannya, demikian pula ia yang melewatkan waktu di alam naga dan supanna, dan demikian pula ia yang menghabiskan harinya di taman Raja Koravya yakni Dhananjaya; masing-masing menjabarkan keagungan lengkap raja itu. Maka empat perumah-tangga itu yang menginginkan kediaman surgawi itu, setelah memberikan persembahan dan perbuatan bajik lainnya, pada akhir kehidupan mereka, salah satu terlahir sebagai Sakka, yang lain sebagai istri dan anak di alam naga, yang lain sebagai raja supanna di istana Danau Simbali, dan yang keempat dikandung permaisuri utama Raja Dhananjaya; sementara empat petapa lahir di alam brahma. Pangeran Koravya tumbuh, dan saat ayahnya mangkat, ia mewarisi kerajaannya dan memerintah dalam kebajikan, namun ia terkenal akan kepiawaiannya dalam permainan dadu. Ia mendengarkan ajaran Vidhurapandita dan memberikan derma dan menjaga aturan moralitas dan menjalani puasa. Suatu hari ketika ia telah menjalani puasa, ia pergi ke dalam taman, bertekad mempraktikkan semadi khusyuk, dan setelah duduk di tempat yang menyenangkan, ia melaksanakan tugas seorang petapa. Sakka pun, setelah menjalani puasa, menemukan bahwa ada banyak rintangan di alam dewa, maka ia pergi ke taman itu pula di alam manusia, dan setelah duduk di tempat yang menyenangkan, melaksanakan kewajiban petapa. Vanina, raja naga, pun setelah menjalani puasa, menemukan ada banyak rintangan di alam naga, maka ia pergi ke taman yang sama, dan setelah duduk, di tempat yang menyenangkan, melaksanakan tugas sebagai seorang petapa. Raja supanna pun, setelah menjalani puasa, menemukan ada banyak rintangan di alam supanna, maka ia pergi ke taman yang sama, dan setelah duduk di tempat yang menyenangkan, menjalani tugas seorang petapa.

Kemudian keempat orang ini, setelah bangkit dari tempat mereka masing-masing pada malam hari, ketika berdiri di tepian danau kerajaan, bertemu satu sama lain dan saling berpandangan, dan dipenuhi kasih sayang lampau mereka, mereka membangkitkan kembali persahabatan lampau mereka dan duduk bertukar salam dengan ramah. Sakka duduk di atas kursi takhta, dan yang lainnya duduk sesuai dengan deraj at keagungan masing-masing. Kemudian Sakka berkata kepada mereka, “Kita semua adalah empat orang raja, lalu apakah keluhuran tertinggi masing-masing?” Kemudian Varuna sang raja naga menjawab, “Keluhuran saya lebih tinggi dari Anda bertiga,” dan ketika mereka bertanya mengapa, ia mengatakan, “Raja supanna ini adalah musuh kami, baik sebelum maupun setelah kami lahir, namun bahkan ketika saya melihatnya sebagai musuh kaum kami yang demikian merusak, saya tidak pernah merasakan amarah apa pun; karena itu keluhuran saya lebih tinggi;” dan ia kemudian mengucapkan syair pertama dari Catuposatha-Jataka:

“Orang bajik yang tidak merasakan kemarahan terhadap ia yang layak untuk murka dan yang tidak pernah membiarkan amarah bangkit dalam dirinya, ia bahkan ketika marah tidak mengizinkannya terlihat, ialah yang sungguh layak disebut seorang petapa.

“Inilah sifat-sifat saya; karena itu keluhuran saya lebih unggul.”
Raja supanna, mendengar ini berkata, “Naga adalah makanan utama saya; namun sejak dahulu, bahkan meski saya melihat makanan seperti ini di dekat saya, saya menahan lapar dan tidak melakukan perbuatan jahat demi mendapat makanan, keluhuran saya lebih unggul,” dan ia mengucapkan syair ini:

“Ia yang menahan lapar dengan perut mengerut, petapa terkendali indranya yang makan dan minuman dengan disiplin, dan tidak melakukan kejahatan demi mendapat makanan, ialah yang sungguh layak disebut seorang petapa.”

Kemudian Sakka raja para dewa berkata, “Saya meninggalkan berbagai jenis keagungan surgawi, segala sumber kebahagiaan cepat, dan datang ke alam manusia untuk memelihara keluhuran saya, karena itu keluhuran saya lebih unggul;” dan ia mengucapkan syair ini:

“Setelah meninggalkan segala plesiran dan kenikmatan, ia tidak mengucapkan perkataan salah di dunia, ia enggan terhadap semua kemegahan luar dan nafsu indriawi, orang seperti itulah yang layak disebut sebagai petapa.”

Demikianlah Sakka menjabarkan keluhurannya sendiri.

Kemudian Raja Dhananjaya berkata, “Saya hari ini telah meninggalkan istana saya dan selir-selir berikut enam belas ribu gadis penari, dan mempraktikkan kewajiban petapa di taman karena itu keluhuran saya lebih unggul;” dan ia menambahkan syair ini:

“Mereka yang dengan pengetahuan penuh meninggalkan semua yang mereka sebut sebagai milik mereka dan semua pekerjaan nafsu, ia yang terkendali indranya, teguh, tiada egois, dan bebas dari nafsu, ialah yang sungguh layak disebut sebagai petapa.”
Demikianlah mereka masing-masing menyatakan keluhuran mereka sebagai yang lebih unggul, dan mereka kemudian menanyai Dhananjaya, “Wahai Raja, apakah ada orang bijak lain di istana Anda yang bisa memecahkan keraguan ini?” “Ya, wahai para raja, saya memiliki Vidhura-pandita, yang menduduki jawaban dengan tanggung jawab tiada tara dan membabarkan ajaran kepada masyarakat dan kaum monastik, ia akan menyelesaikan keraguan kita, kita akan pergi kepadanya.”

Mereka langsung menyetujui. Maka mereka keluar dari taman dan menuju ke balairung tempat perkumpulan religius dan, setelah memerintahkan tempat itu dihias, mereka mendudukkan Bodhisatta di kursi kehormatan, dan setelah memberikan kepadanya sapaan ramah, duduk di satu sisi, dan berkata, “Tuan yang bijaksana! Keraguan telah timbul dalam batin kami, mohon Anda pecahkan untuk kami:

“Kami menanyai Anda, wahai menteri dengan kebijaksanaan unggul: percekcokan telah muncul dalam ucapan kami, Mohon Anda menimbang dan memecahkan kebingungan kami hari ini, biarlah kami lolos dari keraguan kami hari ini berkat Anda.”

Orang bijak itu, setelah mendengar kata-kata mereka, menjawab, “Wahai para raja, bagaimana saya bisa mengetahui apa yang Anda katakan baik atau buruk mengenai keluhuran Anda, seperti yang Anda ucapkan dalam syair pertengkaran Anda?” dan ia menambahkan syair ini:
“Orang-orang bijaksana yang mengetahui keadaan sejati masalah dan yang bicara dengan bijaksana pada saat yang sesuai, bagaimana bisa mereka, betapa pun bijaksananya, menarik kesimpulan dari syair yang belum diucapkan kepada mereka? Bagaimana raja naga bicara, bagaimana garula, bagaimana putra Vinata? Atau bagaimana raja para gandhabba? Atau bagaimana bicara raja kaum Kuru yang paling mulia?”

Kemudian mereka mengucapkan syair ini kepadanya:

“Raja naga mengajarkan kesabaran, Garuja, putra Vinata mengajarkan kelembutan, raja para gandhabba mengajarkan berpantang dari nafsu indriawi, dan raja kaum Kuru yang paling mulia mengajarkan kebebasan dari semua rintangan penyempurnaan religius.”

Kemudian Bodhisatta, setelah mendengar ucapan mereka, mengucapkan syair ini:

“Semua ucapan ini diucapkan dengan baik, tiada yang diucapkan di sini yang salah; dan ia yang memasang hal-hal ini dalam dirinya seperti jari-jari dalam kerangka roda, ia, yang memiliki empat keluhuran ini, sungguh layak disebut petapa.”

Kemudian Bodhisatta menyatakan keluhuran masing-masing sebagai yang tunggal dan sama. Kemudian empat raja itu, ketika mendengarnya, merasa sangat senang dan mengucapkan syair memujinya:

“Anda adalah yang terbaik, Anda tiada tara, Anda bijaksana, pelindung dan pengetahu Dhamma: setelah

memahami masalah dengan kebijaksanaanmu, Anda memotong keraguan dalam keterampilan Anda seperti pandai gading merupa gading dengan gergajinya.”

Demikianlah keempat raja itu merasa senang dengan penjelasan pertanyaan mereka. Kemudian Sakka menghadiahinya dengan jubah dari sutra surgawi, Garuja dengan mahkota emas, dan Varuna raja naga dengan permata, dan Raja Dhananjaya dengan seribu kerbau, dan sebagainya.; kemudian Dhananjaya mengatakan kepadanya dalam syair ini:

“Saya berikan Anda seribu ekor kerbau dan seekor banteng dan seekor gajah, dan sepuluh kereta yang ditarik pertanyaan itu.”

Kemudian Sakka dan yang lainnya, setelah memberikan segala hormat pada Bodhisatta, berangkat menuju kediaman masing-masing. Di sinilah berakhir bagian empat macam praktik puasa.

Saat itu permaisuri raja naga adalah Vimala; dan ketika ia melihat bahwa tidak ada perhiasan bertatahkan permata di leher raja, ia menanyainya di mana perhiasan itu. Ia menjawab, “Saya merasa gembira saat mendengar pembabaran moral dari Vidhurapandita, putra Brahmana Canda, dan saya memberikan permata ini kepadanya, dan tidak hanya saya, Sakka pun menghormatinya dengan jubah dari sutra surgawi, raja supanna memberinya kalung emas, dan Raja Dhananjaya seribu ekor sapi dan banyak hadiah lainnya.” “Saya kira, ia, fasih dalam Dhamma.” “Istriku, apa yang engkau katakan? Ini seakan-akan seorang Buddha telah muncul di JambudTpa! Seratus raja di seluruh Jambudlpa, semuanya terjaring kata-kata manisnya, tidak kembali ke kerajaannya masing-masing, namun menetap seperti gajah liar yang terpukau oleh suara kecapi kesayangan mereka, sungguh itulah bukti kefasihannya!” Ketika ia mendengar kisah keunggulannya, ratu ingin mendengar pembabaran dhamma, dan ia berpikir dalam hati, “Jika aku memberitahu raja bahwa aku merindukan hendak mendengarnya membabarkan Dhamma, dan memintanya membawanya kemari, ia tidak akan membawakannya kemari; bagaimana jika aku berpura-pura sakit dan mengeluhkan keinginan seorang perempuan sakit?” Maka ia memberikan tanda kepada para pelayannya dan membawanya ke pembaringan. Ketika raja tidak melihatnya ia mengunjunginya, ia menanyai para pelayan di mana Vimala berada. Mereka menjawab bahwa ia sakit, dan ketika raja menjenguknya, ia duduk di tepi peraduannya dan mengurut tubuhnya selagi ia mengucapkan sebuah syair:

“Pucat dan kurus dan lemah, warna dan wujud Anda tidak seperti ini sebelumnya, wahai Vimala, jawablah pertanyaan saya, apa rasa sakit tubuh yang telah menimpa Anda?

Ia mengatakan kepadanya:

“Ada penyakit pada perempuan, itu disebut kerinduan, wahai Raja; wahai penguasa para naga, saya menginginkan jantung Vidhura dibawa kemari tanpa muslihat.”
Ia menjawabnya:

“Engkau merindukan rembulan atau matahari atau angin; pemandangan akan Vidhura sulit diperoleh: siapa yang akan mampu mendatangkannya kemari?”

Ketika ia mendengar kata-katanya, permaisuri berkata, “Saya akan mati jika saya tidak mendapatkannya,” lalu ia berguling dalam pembaringannya dan menunjukkan punggungnya dan menutupi wajahnya dengan ujung jubahnya. Raja naga pergi ke kamarnya sendiri dan duduk di pembaringan dan memikirkan betapa teguhnya Vimala untuk mendapatkan jantung Vidhura; “la akan mati jika ia tidak mendapatkan daging jantungnya; bagaimana aku bisa membawakan itu untuknya?” Saat itu anak perempuannya, Irandatl, seorang putri naga, yang datang dengan segala kecantikan dan perhiasannya untuk mengunjungi orang tuanya, dan setelah memberi hormat padanya, ia berdiri di satu sisi. Ia melihat paras raja yang risau, dan ia berkata kepadanya, “Ayahanda sangat risau, apakah alasannya?”

“Wahai Ayahanda, mengapa Anda penuh kecemasan, mengapa wajah Anda seperti teratai yang dicabut oleh tangan?

Mengapa wajah Anda demikian sedih, wahai Baginda? Jangan berduka, wahai penakluk musuh-musuh.”
Mendengar kata-kata putrinya, raja naga menjawab:

“Ibumu, wahai Irandatl, menginginkan jantung Vidhura, kehadiran Vidhura sulit didapat, siapa yang akan membawanya kemari?”

Kemudian ia berkata kepadanya, “Putri, tidak seorang pun di istana saya yang bisa membawa Vidhura ke sini: berikanlah kehidupan untuk ibundamu, dan carilah suami yang bisa membawa Vidhura.”

Maka ia memintanya pergi dengan separuh syair, mengisyaratkan pemikiran tidak pantas kepada putrinya:

“’Carilah seorang suami, yang akan membawa Vidhura kemari.’

Dan saat ia mendengar kata-kata ayahnya, ia pergi pada malam hari dan melampiaskan nafsu indranya.”

Ketika ia pergi mengumpulkan semua bunga di Himalaya yang memiliki warna, bau, atau cita rasa, dan setelah menghias seluruh gunung seperti permata yang berharga, ia menyebarkan dipan dari bunga di atasnya, dan setelah melakukan tarian yang menyenangkan, ia menyanyikan lagu merdu:
“Gandhabba atau yakkha, atau naga, kimpurusa, atau manusia, atau petapa apa yang bisa mengabulkan segala permintaan, yang akan menjadi suamiku sepanjang malam kehidupan?”

Saat itu, keponakan raja agung Vessavana, bernama Punnaka, jenderal yakkha, ketika ia tengah mengendarai kuda gaib Sindhu, yang panjangnya tiga yojana, dan bergegas menuju permukaan warna merah di Gunung Hitam menuju pertemuan para yakkha. Ia mendengar lagunya, dan suara perempuan yang telah ia dengar dalam kehidupan terakhirnya sebelum ini menembus kulit dan sarafnya dan menembus hingga ke sumsum tulangnya; dan karena terpikat olehnya, ia berbalik, sambil duduk di atas kuda Sindhu-nya, dan kemudian menyapanya, menghiburnya, “Wahai gadis, aku bisa membawakan bagimu jantung Vidhura dengan pengetahuan, kesucian, dan ketenanganku, janganlah khawatir,” dan ia menambahkan syair ini:

“Tenanglah, aku akan menjadi suamimu, aku akan menjadi suamimu, wahai engkau yang memiliki mata tanpa cela; sesungguhnya pengetahuanku adalah demikian, terhiburlah, engkau akan menjadi istriku.”

Kemudian Irandati menjawab, dengan pikirannya, mengikuti pengalaman lama merayu dalam kehidupan sebelumnya, “Marilah, kita menjumpai ayahku, ia akan menjelaskan masalah ini kepadamu.”

Berhias, berpakaian warna cerah, mengenakan kalung bunga, dan diurapi dengan cendana, ia menggamit tangan yakkha itu dan pergi menemui ayahnya.

Dan Punnaka, setelah membawanya kembali, menemui raja naga ayahnya dan meminta anak perempuannya sebagai istrinya:

“Wahai Raja Naga, dengarlah kata-kata saya, terimalah pemberian layak bagi putri Anda; saya meminta IrandatT; berikanlah ia kepada saya sebagai milik saya. Seratus gajah, seratus kuda, seratus keledai dan kereta, seratus kereta lengkap145 dipenuhi segala jenis permata, ambillah semua ini, wahai Raja Naga, dan berikan saya putri Anda IrandatT.”

Kemudian raja naga menjawab:

“Tunggulah selagi saya berembuk dengan sanak, sahabat, dan kenalan Anda; urusan yang dilakukan tanpa berembug akan membawa penyesalan setelahnya.”

Kemudian raja naga, setelah memasuki istananya, mengucapkan kata-kata ini selagi ia berembuk dengan istrinya, “Punnaka si yakkha meminta Irandati dariku; akankah kita memberikan putri kita kepadanya dengan ditukar harta sedemikian banyak?”
Vimala menjawab:

“Irandatl kita tidak akan dimenangkan oleh harta atau kekayaan; jika ia mendapatkannya dengan kelayakannya sendiri dan membawa kemari jantung orang bijak itu, putri kita akan dimenangkan oleh kekayaan itu, kita tidak meminta harta lain.”

Kemudian naga Varuna keluar dari istananya, dan berkonsultasi dengan Punnaka, ia berkata kepadanya:

“Irandatl kami tidak akan dimenangkan oleh harta atau kekayaan; jika Anda mendapatkannya dengan prestasi Anda sendiri dan membawa kemari jantung orang bijak itu, putri kami akan dimenangkan oleh kekayaan itu, kami tidak meminta harta lain.

Punnaka menjawab:

“Ia yang sebagian orang sebut sebagai orang bijak, sebagian lainnya sebut sebagai orang bodoh; beritahu saya, karena mereka mengucapkan pendapat berbeda mengenainya, siapakah ia yang Anda sebut sebagai orang bijak, wahai Naga?”

Raja naga menjawab:
“Jika engkau telah mendengar mengenai Vidhura, menteri Raja Koravya, Dhananjaya, bawalah orang bijak itu kemari, dan biarlah Irandatl menjadi istri sahmu.”

Mendengar kata-kata Varuna, yakkha itu bangkit dengan sangat senang; tangguh seperti kata-katanya, ia segera berkata kepada pelayannya, “Bawakan kemari dan siapkan kuda berdarah murniku.”

Dengan telinga emas dan tapal dari rubi, dan zirah dari emas lelehan, pelayan itu menghias kuda Sindhu itu; dan Punnaka, setelah menungganginya, terbang menuju Vessavana dan mengabarkan mengenai petualangannya, lalu menggambarkan alam naga; hal ini dijabarkan sebagai berikut:

“Punnaka, setelah menunggang kudanya, kuda yang layak untuk membawa para dewa, yang dihias dengan kaya dan janggut dan rambutnya terpotong rapi, melayang melintasi angkasa.

Punnaka, tamak akan hasrat indriawi, merindukan untuk memenangkan naga perempuan IrandatT, setelah pergi menuju raja agung, kemudian menyapa Vessavana Kuvera:

’Ada istana Bhogavati yang disebut Kediaman Emas, ibukota kerajaan ular yang didirikan dalam kota emasnya.

Menara pengawasnya yang menyerupai bibir dan leher, dengan permata rubi dan mata kucing, istana yang dibangun dari pualam dan berlimpah dengan emas, ditutupi permata yang dilapis emas.

Pohon mangga, tilaka, dan jambu, sattapanna, mucalinda, dan ketaka, piayak, uddalaka, dan saha, dan sinduvarita dengan limpahan bunga mekar mereka di pucuknya.

Pohon cempaka, nagamalika, bhagimmala, dan jujube, berbagai jenis pohon ini merunduk dengan ranting mereka, memberikan keindahan ke istana naga.

Ada pohon palem besar yang terbuat dari batu permata dengan bunga emas yang tidak layu, dan berdiam di sana Raja Naga Varuna, yang terberkahi kekuatan adibiasa dan lahir dari kelahiran adibiasa.

Di sana berdiam ratunya Vimala dengan tubuh seperti tanaman menjalar emas, tinggi seperti tanaman kala, indah dilihat dengan dadanya seperti buah nimba.

Berkulit indah dan diurapi pewarna lak, seperti pohon kanikara yang mekar di tempat yang terlindung, seperti bidadari yang berdiam di alam dewa, seperti petir yang menyambar dari awan tebal.

Terpukau dan penuh hasrat aneh, ia menginginkan jantung Vidhura. Aku akan memberikannya kepada mereka, wahai Raja, mereka akan memberiku Irandati sebagai penukarnya.’”
Karena ia tidak berani pergi tanpa izin Vessavana, ia mengulang syair ini untuk memberitahunya. Namun Vessavana tidak mendengarkannya, karena ia tengah sibuk mengadili perkara mengenai sebuah istana di antara dua putra dewa. Punnaka yang mengetahui bahwa kata-katanya tidak didengar, tetap duduk di dekat salah satu dari pihak yang bersengketa yang terbukti memenangkan perkara. Vessavana, setelah memutuskan perkara, tidak memikirkan mengenai yang kalah, namun berkata, “Pergilah kamu dan tinggallah dalam istanamu.” Segera setelah kata-kata, “Pergilah kamu,” Punnaka memanggil beberapa putra dewa sebagai saksi, seraya mengatakan, “Kamu lihat bahwa saya diutus oleh pamanku,” dan segera memerintahkan kudanya dibawa ke sana dan ia menungganginya dan pergi.

Guru menjabarkan apa yang terjadi seperti demikian:

“Punnaka, setelah mengucapkan selamat tinggal kepada Vessavana Kuvera, penguasa agung para makhluk, kemudian memberikan perintah kepada pelayannya yang berdiri di sana, ’Siapkan dan bawa kemari kuda berketurunan murni saya.” Dengan telinga dari emas, tapal dari rubi, dan berzirah emas lantakan, Punnaka setelah menunggang kuda pembawa dewa, yang dihias indah, dengan janggut dan rambutnya dihias rapi, pergi melintasi angkasa.”

Ketika ia pergi melalui angkasa ia merenung, “Vidhura-pandita memiliki pengikut besar dan tidak bisa diambil dengan kekuatan, namun Dhananjaya Koravya dikenal dengan kepiawaiannya berjudi. Aku akan menaklukkannya dalam permainan dan merebut Vidhura-pandita. Ada banyak permata di rumah Dhananjaya: ia tidak akan bermain untuk taruhan kecil; aku akan membawakannya permata yang bernilai besar, raja tidak akan menerima permata biasa. Ada permata berharga yang dimiliki raja semesta, di Gunung Vepulla di dekat Kota Rajagaha; aku akan mengambilnya dan memikat raja untuk bermain kemudian menaklukkannya.” Ia melakukan hal itu.

Guru menyatakan seluruh kisahnya:

“Ia pergi ke Rajagaha yang menyenangkan, kota jauh Negeri Anga, yang kaya dalam sumber daya dan melimpah dengan makanan dan minuman. Seperti Masakkasara, ibukota Indra, dipenuhi dengan kicauan merak dan bangau, merdu, penuh dengan istana indah, dan dengan segala jenis burung seperti Gunung Himavat diliputi bunga. Demikian Punnaka mendaki Gunung Vepulla, dengan tumpukan karangnya dihuni kimpurisa, mencari permata agung, dan akhirnya ia melihatnya di tengah-tengah gunung.

Ketika ia melihat permata berharga nan agung yang memancarkan cahaya terang, berkilau demikian indahnya dengan kecantikannya, silau seperti petir di angkasa, ia segera merenggut permata indah itu; perhiasan tak ternilai, dan menunggangi kudanya yang tiada banding, yang memiliki keindahan mulianya sendiri, ia bergegas melintasi angkasa.

Ia pergi ke Kota Indapatta, dan turun di istana kaum Kuru;

Yakka tak kenal takut itu memanggil seratus prajurit yang berkumpul di sana.
’Siapa yang hendak mendapatkan dari kami pusaka para raja? Atau siapakah yang akan kami taklukkan dalam perlombaan mestika? Apakah permata tiada tara yang akan kami menangkan? Atau siapa yang akan memenangkan harta terbaik kami?”

Demikianlah dalam empat baris ia memuji Koravya. Kemudian raja berpikir dalam hati, “Aku belum pernah melihat seorang pahlawan yang mengucapkan kata-kata seperti ini; siapa ia gerangan?” dan ia bertanya kepadanya dalam syair ini:

“Di kerajaan manakah asal kelahiran Anda? Ini bukanlah kata-kata seorang Koravya; Anda melampaui kami semua dalam wujud dan penampilan; beritahu kami nama dan keluarga Anda.”

Punnaka berpikir dalam hati, “Raja menanyai namaku: saat ini namaku pelayan Punnaka; namun jika aku memberitahunya bahwa aku Punnaka, ia akan berkata, “Ia hanya pelayan, mengapa ia bicara kepadaku dengan begitu lantang?’ dan ia akan membenciku; aku akan mengatakan padanya namaku dalam kelahiran lampau.” Maka ia mengucapkan syair:

“Saya adalah pemuda bernama Kaccayana, wahai Raja; mereka memanggil saya bukan dengan nama yang rendah;

keluarga dan sahabat saya tinggal Anga; saya datang kemari untuk bermain.”
Kemudian raja bertanya kepadanya, “Apa yang akan Anda berikan jika Anda dikalahkan dalam permainan? Apa yang Anda miliki?” dan ia mengucapkan syair ini:

“Permata apa yang pemuda, yang si pemain yang mengalahkannya bisa peroleh? Seorang raja memiliki banyak permata, bagaimana bisa Anda, orang miskin, menantang mereka?”

Kemudian Punnaka menjawab:

“Ini adalah permata mengagumkan milik saya, adalah permata agung yang membawa kekayaan; dan pemain yang mengalahkan saya akan memenangkan kuda tiada tara yang menaklukkan segala musuh.”

Ketika raja mendengarnya, ia menjawab:

“Apalah yang bisa sebutir permata lakukan, wahai pemuda? Dan apa gunanya seekor kuda berketurunan murni? Banyak permata berharga telah dimiliki raja, dan banyak kuda tiada banding yang kencang laksana angin.”

Ketika ia mendengar ucapan raja, ia berkata, “Wahai Raja, mengapa Anda mengatakan hal ini? Ada seekor kuda, dan ada juga seribu dan seratus ribu kuda; ada sebutir permata, dan juga ada seribu permata; namun seluruh kuda itu dikumpulkan bersama tidak setara dengan kuda ini, lihatlah betapa kencangnya.” Seraya mengatakan demikian, ia menunggangi kudanya dan memacunya berlari di atas sebuah dinding, dan dinding kota sepanjang tujuh yojana dikelilingi kuda-kuda yang berdesak-desakan, dan kemudian baik kuda ataupun yakkha tidak bisa dibedakan, dan secarik kain merah yang diikat di perutnya tampaknya menyebarkan seluruh kain itu mengelilingi dinding. Kemudian ia turun dari kuda, dan memberitahunya bahwa ia telah melihat kecepatan kuda itu, ia memintanya menandai benda lain yang baru: kemudian ia membuat kuda itu berpacu dalam taman kota di permukaan air, dan mendoncang tanpa membasahi tapak kudanya; kemudian ia membuatnya berjalan di daun rumpun teratai, dan seketika ia menepukkan tangan dan membentangkan lengannya, kuda itu datang dan berdiri di telapak tangannya. Kemudian ia berkata, “Ini sungguh adalah kuda mestika, wahai Raja.” “Sungguh benar, wahai pemuda.” “Baiklah, biarlah kuda mestika ini disisihkan sementara, kini perlihatkan kekuatan permata berharga.”
“Wahai manusia teragung, lihatlah permata tiada tara milikku: di dalamnya ada tubuh perempuan dan lelaki; tubuh hewan liar dan unggas, raja naga dan supanna, semuanya tercipta dalam permata ini.

“Pasukan gajah, kereta perang, kuda, dan infantri, serta panji-panji, lihatlah pasukan lengkap ini tercipta dalam permata; penunggang gajah, pengawal raja, prajurit yang bertarung dari kereta, prajurit infantri bertarung, dan pasukan dalam formasi tempur, lihatlah semua tercipta dalam permata ini.

“Lihat tercipta dalam permata ini kota yang dilengkapi pondasi kokoh dengan banyak gerbang dan dinding, dan banyak tempat persimpangan yang nyaman. Pilar dan parit, teralis dan palang, menara dan gerbang, lihatlah semuanya tercipta dalam permata.
“Lihatlah berbagai pasukan burung di jalan di bawah gerbang, angsa, bangau, merak, bebek, dan alap-alap; kedasi bertotol, merak, jTvajTvaka, segala jenis unggas berkumpul dan tercipta dalam permata ini.

“Lihatlah kota luar biasa dengan dinding megah, membuat rambut berdiri tegak karena takjub, menyenangkan dengan panji-panji dikibarkan, dengan pasirnya terbuat dari emas, lihatlah pertapaan dibagi dengan teratur dalam blok-blok, dan rumah-rumah dan halaman yang berbeda, dengan jalan raya dan jalan setapak di antaranya.

“Lihat tempat minum dan bar, rumah jagal dan rumah makan, dan tempat pelacuran, tercipta dalam permata ini. Perajut kalung, juru mandi, ahli perbintangan, pedagang kain, pandai emas, pembuat perhiasan, lihatlah tercipta dalam permata.

“Lihatlah gendang dan tambur, sangkakala, tambur dan tamborin dan semua jenis simbal, tercipta dalam permata.
“Simbal dan kecapi, tarian dan lagu yang ditampilkan dengan baik, alat musik dan gong, lihatlah tercipta dalam permata.

“Ahli akrobat dan pegulat pun di sini, dan pemandangan akrobat bola, dan penyair kerajaan dan pencukur, lihatlah tercipta dalam permata.

“Keramaian yang terkumpul di sini pria dan perempuan, lihatlah deretan kursi mereka tak terhingga tercipta dalam permata.

“Lihat di lereng gunung kawanan berbagai rusa, singa, macan, celeng, beruang, serigala, dan anjing hutan; badak, gayal, banteng, rusa merah, ruru, antelop, celeng liar, nirhka, dan babi gunung, rusa kadali bertotol, kucing, kelinci, segala jenis kawanan hewan liar, tercipta dalam permata.

“Sungai-sungai terletak dengan baik, dibatasi pasir emas, dengan air jernih mengalir dan terisi banyak ikan; buaya, monster laut, ada di sini, juga penyu dan lumba-lumba, pathrna, pavusa, valaja, dan munjarohita.
“Lihatlah tercipta dalam permata segala jenis pohon, terisi oleh berbagai jenis unggas, dan hutan dengan cabang-cabangnya yang terbuat dari permata.

“Lihatlah pula telaga yang tersebar rapi di empat penjuru, terisi banyak unggas dan banyak ikan dengan sisik lebar. Lihatlah bumi dikelilingi samudra, berlimpah dengan air di mana pun, dan diperkaya dengan aneka pohon, semua tercipta dalam permata.

“Lihat Videhha di depan, Goyaniya di belakang, Kuru dan JambudTpa semua tercipta dalam permata.

“Lihat matahari dan rembulan, menyinari empat sisi, ketika mereka mengitari Gunung Sineru, tercipta dalam permata.

“Lihat Sineru dan Himavat dan samudra ajaib dan empat penjaga dunia, tercipta dalam permata.

“Lihat taman dan hutan, ceruk dan gunung, menyenangkan untuk dilihat dan penuh monster aneh, semua tercipta dalam permata.

“Taman Indra yakni Pharusaka, Cittalata, Missaka, dan Nandanan, dan istananya Vejayanta, lihat semua tercipta dalam permata.

“Istana Indra Sudhamma, Surga Tiga Puluh Tiga Dewa, pohon surga Paricchatta yang mekar sempurna, dan gajah Indra Eravana, lihatlah tercipta dalam permata. Lihat di sini para dewi bangkit seperti petir di udara, berkeliaran di sekitar Nandana, semua tercipta dalam permata.

“Lihatlah lebih dari seribu istana tertutup permata, semuanya tercipta dengan warna kemilau dalam permata. Dan makhluk-makhluk Surga Tavatimsa dan Yama dan Tusita dan Paranimmita semuanya tercipta dalam permata. Lihat di sini danau jernih dengan air bening tertutupi terumbu karang surgawi dan teratai dan bakung air.

“Dalam permata ini ada sepuluh garis putih dan sepuluh garis biru tua indah; dua puluh satu cokelat, dan empat belas kuning. Dua puluh garis emas, dua puluh perak, dan tiga puluh tampak merah. Enam belas hitam, dua puluh lima warna merah tua, ini dicampur dengan bunga badhuka dan dilengkapi dengan teratai biru.

“Wahai Raja, yang terbaik di antara manusia, lihatlah permata cerah seperti nyala api ini, sempurna di seluruh bagiannya, inilah hadiah yang ditakdirkan bagi ia yang menang.”

Punnaka, setelah berkata demikian, melanjutkan, “Wahai Raja Agung, jika saya dikalahkan Anda dalam permainan, saya akan menyerahkan permata berharga ini, namun apa yang akan Anda berikan kepada saya?” “Selain tubuh saya dan payung putih, biarlah semua yang saya miliki menjadi hadiahnya.” “Kalau demikian, Baginda, janganlah menunda, saya telah datang dari jauh, biarlah ruang permainan disiapkan.” Maka raja memerintahkan menteri-menterinya dan mereka dengan cepat menyiapkan balairung dan menyiapkan permadani dari kain-serat terbaik bagi raja dan tempat duduk bagi raja-raja lainnya, dan setelah menentukan tempat duduk yang sesuai bagi Punnaka, mereka memberitahu raja bahwa saatnya telah tiba. Kemudian Punnaka berkata kepada raja dalam sebuah syair:
“Wahai Raja, marilah menuju permainan yang dijanjikan, Anda belum memiliki permata seperti ini: mari kita memenangkan dengan permainan adil, dan tanpa kekerasan, dan ketika Anda kalah bayarlah taruhannya.”

Kemudian raja menjawab, “Wahai pemuda, janganlah takut akan diri saya sebagai raja, beberapa kemenangan atau kekalahan kita akan dilakukan dengan permainan adil dan tanpa kekerasan.” Kemudian Punnaka mengucapkan syair untuk memanggil para raja lain sebagai saksi bahwa kemenangan akan diraih hanya melalui permainan yang adil:

“Wahai Pancala dan Surasena agung, Wahai Maccha, dan Madda, dengan Kekaka, biarlah mereka semua melihat bahwa pertandingan ini tanpa kecurangan, tidak seorang pun ikut campur dalam perkumpulan kita.”

Kemudian raja, dihadiri oleh seratus raja membawa Punnaka masuk ke dalam balairung permainan, mereka semua duduk di kursi yang sesuai, dan menaruh dadu emas di papan perak. Kemudian Punnaka berkata dengan cepat, “Wahai Raja, ada dua puluh empat lemparan dalam bermain dadu, mereka disebut malika, savata, bahula, santi, bhadra, dan lainnya; pilihlah yang mana yang Anda suka.” Raja menyetujui dan memilih bahula. Punnaka memilih yang disebut savata. Kemudian raja berkata, “Wahai pemuda, mainkanlah dadu lebih dahulu.” “Wahai Raja, lemparan pertama tidak jatuh kepadaku, Anda lempar dahulu.” Raja menyetujuinya. Nah, ibunya dalam kehidupan terakhir sebelum ini adalah dewa penjaga dan oleh kekuatannya raja menang dalam permainan dadu. Dewi itu berdiri di dekatnya, dan raja mengingat dewi itu menyanyikan lagu permainan dadu dan menggoyang dadu di tangannya dan melemparkannya ke udara. Oleh kekuatan Punnaka, dadu itu jatuh hingga akan mengalahkan raja. Raja, oleh kepiawaiannya dalam permainan dadu, mengetahui bahwa dadu itu akan mengalahkannya dan ia mengambil mereka dan mengocoknya bersama, lalu melemparkannya ke udara lagi, namun ia mengetahui bahwa mereka sekali lagi akan mengalahkannya dan merebut mereka seperti sebelumnya.
Kemudian Punnaka berpikir dalam hati, “Raja ini, meski ia bermain dengan sesosok yakkha seperti diriku, mengocok dadu ketika mereka jatuh dan mengambilnya, apa alasan di balik hal ini?” Kemudian, mengenali kekuatan dewi pelindung itu, ia membuka matanya lebar-lebar seakan marah, ia menatap dewi itu, dan karena takut dewi itu pergi serta berlindung sambil gemetar di atas gunung Cakkavala.

Raja, ketika ia melemparkan dadu itu untuk ketiga kalinya, meski ia tahu dadu itu akan jatuh melawannya ia tidak bisa mengulurkan tangannya dan menangkap mereka karena kekuatan Punnaka dan mereka terjatuh melawan raja. Punnaka kemudian melemparkan dadu dan hasilnya menguntungkan baginya. Ketika mengetahui bahwa ia telah menang, ia bertepuk tangan dengan suara keras, seraya mengatakan tiga kali, “Saya telah menang, saya telah menang,” dan suara itu bergema di seluruh JambudTpa. Guru menjabarkan peristiwa itu sebagai berikut:

“Raja kaum Kuru dan yakkha Punnaka bermain dengan ganas dalam mabuk akan permainan dadu: raja memainkan lemparan yang kalah dan yakkha Punnaka lemparan yang menang. Mereka berdua bertemu di sana dalam pertandingan yang dihadiri para raja dan di antara para saksi, yakkha menaklukkan yang tertangguh di antara manusia dan sungguh keras kegemparan yang timbul di sana.”

Raja merasa tidak senang karena kalah, dan Punnaka mengulang syair untuk menghiburnya:

“Kemenangan dan kekalahan milik satu dan lain pihak yang bertanding, wahai Raja; Anda telah kehilangan hadiah besar; karena kalah, kini bayarlah harganya.”
Kemudian raja memintanya mengambilnya dalam syair berikut:

“Gajah, kerbau, kuda, permata, dan giwang, apa pun permata yang saya miliki di bumi, ambillah harta terbaik, wahai Kaccana, ambillah dan pergilah ke mana Anda suka.”

Punnaka menjawab:

“Gajah, kerbau, kuda, permata, dan giwang, apa pun permata yang Anda miliki di bumi, Vidhura sang menteri adalah yang terbaik dari mereka semua, ia telah dimenangkan oleh saya, berikanlah ia kepada saya.”

Raja menjawab:

“Ia adalah menteri saya, perlindungan saya, dan penolong saya, pernaungan saya, benteng saya, dan pertahanan saya, menteri itu tidak bisa disetarakan dengan kekayaan, menteri itu seperti nyawa saya.”

Punnaka menjawab:

“Akan ada perdebatan panjang antara Anda dan saya, biarlah kita pergi menghadapnya dan bertanya apa yang ia inginkan, [284] biarlah ia menentukan sengketa ini di antara kita, biarlah ia yang menentukan keputusannya untuk kita berdua.”

Raja menjawab:

“Sungguh Anda mengatakan kebenaran; wahai pemuda, Anda tidak mengucapkan kecurangan, biarlah kita segera pergi dan menanyainya: dengan cara ini kita berdua akan merasa puas.”

Maka mengatakan hal itu raja membawa seratus raja dan Punnaka pergi dengan senang hati dan bergegas menuju ruang pengadilan; orang bijak bangkit dari kursinya dan menyapa raja dan duduk di satu sisi. Kemudian Punnaka berkata kepada Bodhisatta, “Wahai orang bijak, Anda teguh dalam keadilan, Anda tidak akan mengucapkan dusta, hahkan demi nyawa Anda sendiri; demikianlah gaung kemasyhuran Anda yang telah menyebar ke seluruh dunia. Say a akan mengetahui hari ini apakah Anda benar-benar teguh dalam keadilan,” dan seusai berkata demikian ia mengucapkan sebuah syair:

“Apakah para dewa benar-benar menaruh Anda di antara kaum Kuru sebagai penasihat Vidhura yang teguh dalam keadilan? Apakah Anda budak atau saudara raja? Apakah prinsip Anda di dunia ini, Vidhura?”

Kemudian Bodhisatta berpikir dalam hati, “Orang ini menanyaiku pertanyaan ini; namun aku tidak bisa memberitahunya apakah aku adalah sanak keluarga raja atau apakah aku lebih unggul dari raja atau apakah aku bukan apa-apa bagi raja. Di dunia ini tiada perlindungan selain kebenaran; orang harus mengucapkan kebenaran.” Maka ia mengucapkan dua syair untuk menunjukkan bahwa ia bukan sanak atau lebih unggul dari raja, namun hanya salah satu dari empat budaknya:

“Sebagian adalah budak dari ibu mereka, sebagian adalah budak karena dibeli oleh uang, sebagian datang karena kehendaknya sendiri sebagai budak, yang lainnya adalah budak karena dipicu oleh ketakutan. Inilah empat jenis budak di antara manusia. Sungguh saya adalah budak dari kelahiran saya: kesejahteraan dan kemalangan saya datang dari raja, saya adalah budak raja bahkan meski saya pergi kepada yang lain, semoga ia memberikan saya hak untuk pergi bersama Anda, wahai pemuda.”

Punnaka saat mendengar hal ini, merasa luar biasa senang, bertepuk tangan dan berkata:

“Inilah kemenangan kedua saya pada hari ini. Menteri Anda, ketika ditanya telah menjawab pertanyaan Anda; sungguh yang terbaik di antara para raja, ini tidak adil; bahwa hal ini telah diputuskan dengan baik namun Anda tidak memberinya kepada saya.”

Mendengar ini raja merasa marah kepada Bodhisatta dan berkata: “Tidak menimbang perasaan orang yang bisa memberikan kehormatan seperti saya, Anda menganggap tinggi pemuda yang menangkap perhatian Anda ini;” kemudian ia berpaling kepada Punnaka dan berkata, “Jika ia adalah budak, bawalah ia dan pergilah,” ia mengucapkan syair berikut:

“Jika ia telah menjawab pertanyaan kita seperti itu, dengan mengatakan, ’Saya adalah budak dan bukan saudara,’ maka ambillah, wahai Kaccana, harta terbaik kami, ambillah dan pergilah ke mana Anda suka.”
Namun ketika raja telah bicara seperti itu, ia merenung, “Pemuda itu akan membawa orang bijak ini dan pergi ke mana ia suka, dan setelah ia pergi, aku akan kesulitan mendapat pembabaran manis mengenai hal-hal yang suci; bagaimana jika aku menempatkannya di tempat yang sesuai dan menanyainya beberapa pertanyaan sehubungan dengan kehidupan perumah-tangga?”

Maka ia berkata kepada menterinya, “Wahai orang bijak, setelah Anda pergi saya akan kesulitan menemukan pembabaran manis mengenai hal-hal suci; maukah Anda duduk di mimbar berhias dan mengambil tempat Anda yang sesuai untuk membabarkan kepada saya ajaran yang berkaitan dengan kehidupan perumah-tangga?” Vidhura menyetujuinya dan setelah duduk di mimbar berhias ia membabarkan topik yang ditanyakan raja, dan inilah pertanyaannya:

“Wahai Vidhura, bagaimana caranya agar ada kehidupan sejahtera bagi perumah-tangga yang tinggal dalam rumahnya sendiri? Bagaimana caranya akan ada baginya dukungan dan bantuan ramah di antara warganya sendiri? Bagaimana caranya ia bebas dari penderitaan? Dan bagaimana caranya pemuda yang mengucapkan kebenaran bisa meloloskan diri dari segala kesedihan ketika ia mencapai alam berikutnya?”

Kemudian Vidhura, penuh kebijaksanaan dan pandangan cerah, ia yang melihat tujuan sejati dan terus bergerak maju dengan sinambung, ia yang mengetahui segala ajaran, mengucapkan kata-kata ini:

“Biarlah ia tidak memiliki istri yang sama dengan milik orang lain; biarlah ia tidak makan pilihan sendirian; biarlah ia tidak berurusan dengan percakapan remeh, karena ini tidak meningkatkan kebijaksanaan. Bajik, setia kepada kewajibannya, tidak gegabah, cergas memahami, batin rendah hati, tidak berhati kejam, penuh kasih sayang, kewelasan, lembut, piawai dalam mendapatkan sahabat, siap untuk berbagi, bijak dalam perencanaan sesuai dengan musim, biarlah ia terus-menerus melayani para bhikkhu dan brahmana dengan makanan dan minuman. Biarlah ia berhasrat akan kebenaran dan menjadi pilar naskah suci, selalu siap menanyakan pertanyaan dan biarlah ia dengan penuh hormat mengunjungi mereka yang luhur dan terpelajar. Demikanlah akan ada kehidupan makmur bagi perumah-tangga dalam rumahnya sendiri, demikianlah akan ada baginya dukungan dan bantuan ramah dari rakyatnya sendiri; demikianlah ia akan bebas dari penderitaan; dan demikianlah pemuda yang mengucapkan kebenaran akan bebas dari segala kesedihan ketika ia mencapai alam berikutnya.”

Bodhisatta, setelah membabarkan pertanyaan mengenai kehidupan perumah-tangga seperti demikian, turun dari kursinya dan memberi hormat pada raja. Raja pun, menghaturkan penghormatan besar kepadanya, pergi ke kediamannya sendiri, dikelilingi seratus orang raja.

Ketika Bodhisatta kembali, Punnaka berkata kepadanya:
“Mari, saya kini akan berangkat, Anda diberikan kepada saya oleh raja; cukup patuhilah tugas ini, inilah hukum sejak zaman kuno.”

Vidhura si orang bijak menjawab:

“Saya tahu, wahai pemuda; saya dimenangkan oleh Anda; saya diberikan oleh raja kepada Anda; izinkan saya menjamu Anda di rumah saya selama tiga hari selagi saya memberi nasihat kepada putra-putra saya.”

Ketika Punnaka mendengar ini, ia berpikir dalam hati, “Orang bijak telah mengucapkan kebenaran; ini keuntungan besar bagiku, jika ia meminta izin untuk menjamuku di sana selama tujuh hari atau bahkan dua minggu, aku seharusnya segera menyetujuinya;” maka ia menjawab:

“Biarlah keuntungan itu menjadi milik saya pula, biarlah saya berdiam di sana tiga hari; lakukan, Tuan, apa pun yang perlu dilakukan di rumah Anda; ajarilah putra-putra dan istri Anda, supaya mereka bahagia setelah Anda telah pergi.”

Berkata demikian, Punnaka pergi bersama Bodhisatta ke rumahnya.

Guru menjabarkan kejadian itu seperti berikut:
“Dengan gembira menyetujui dan penuh semangat, yakkha pergi bersama Vidhura; dan orang suci terbaik memperkenalkannya ke dalam rumahnya, dihadiri gajah dan kuda berketurunan murni.”

Saat itu Bodhisatta memiliki tiga istana untuk tiga musim, satu bernama Konca, satu lagi bernama Mayura, dan yang ketiga Piyaketa; syair ini diucapkan mengenai mereka:

“la pergi ke Konnca, Mayura, dan Piyaketa, masing-masing tempat paling menyenangkan, dilengkapi limpahan makanan dan banyak makanan dan minuman, seperi istana Masakkasara milik Indra sendiri.”

Setelah kedatangannya, ia mendapat kamar tidur, dengan panggung tinggi di tingkat ketujuh dari istana indah itu, dan setelah memiliki alas duduk kerajaan disebar dan segala jenis hidangan pilihan untuk dimakan dan diminum, ia memperkenalkannya kelima ratus perempuan seperti putri para dewa, dengan mengatakan, “Biarlah mereka menjadi pelayan Anda, tinggallah di sini dengan gembira,” dan kemudian ia pergi ke kediamannya sendiri. Ketika ia pergi, para perempuan ini mengambil alat musik berbeda milik mereka dan melakukan segala jenis tarian ketika melayani Punnaka.

Guru menjabarkannya seperti demikian:

“Para perempuan ini dihias seperti bidadari di antara para dewa menari dan bernyanyi dan bercakap dengannya, masing-masing makin lama makin elok dalam gilirannya.

Penjaga Dhamma, setelah memberinya makanan dan minuman dan perempuan cantik, berikutnya, memikirkan hanya kesejahteraan tertingginya, membawanya bertemu dengan istrinya.

Kemudian ia berkata kepada istrinya, yang berhias dengan cendana dan wewangian cair dan berdiri di sana seperti hiasan dari emas paling murni, “Datanglah, dengarkan, istriku; panggillah putra-putramu kemari, wahai yang cantik dengan mata seperti warna tembaga.”

Anujja, mendengar kata-kata suaminya, berujar kepada menantu perempuannya, yang bermata indah dengan kuku seperti tembaga, “Wahai Ceta, yang mengenakan gelang seperti zirah, dan seperti bunga bakung air biru, pergilah, panggil putra-putraku kemari.”

Setelah mengucapkan persetujuannya dan melintasi seluruh jarak menuju istana, ia mengumpulkan semua sahabat maupun putra dan putri, seraya berkata, “Ayahmu hendak memberikanmu wejangan, ini akan menjadi kesempatan terakhirmu bertemu dengannya.” Ketika pangeran muda Dhammapala-kumara mendengar hal ini ia mulai menangis, dan pergi menghadap ayahnya dikelilingi adik-adiknya. Ketika ayahnya melihat mereka, tidak mampu mempertahankan ketenangan batinnya, ia memeluk mereka dengan berlinang air mata dan menciumi kepala mereka dan merangkul putra sulungnya sesaat di dadanya. Kemudian, bangkit dari pelukannya dan keluar dari kamar utama, ia duduk di dipan panggung dan memberikan wejangan kepada seribu putranya.

Guru kemudian menjabarkannya sebagai berikut:
“Penjaga Dhamma, tanpa gemetar, mencium dahi putra-putranya ketika mereka mendekat, dan setelah menyapa mereka, mengucapkan kata-kata ini, ’Hari ini saya telah diberikan oleh raja kepada pemuda ini. Saya adalah hambanya, namun hari ini saya bebas mencari kesenangan saya sendiri, setelahnya ia akan membawa saya dan pergi ke mana ia hendak pergi, dan saya datang menegur kalian, karena bagaimana saya bisa pergi jika saya belum memberikan keselamatan kepada kalian? Jika Janasandha, raja yang berdiam di Kurukhetta, dengan sangat tulus bertanya kepada kalian, ’Apa yang kalian kira sebagai hal yang telah kuno bahkan pada zaman kuno? Apa yang ayah kalian ajarkan paling awal dan paling utama? ’ Dan jika ia kemudian berkata, ’Kalian semua memiliki kedudukan setara dengan saya, yang mana dari kalian di sini yang tidak lebih dari seorang raja?155 Apakah kalian memberi hormat dan menjawabnya, ’Jangan katakan begitu, wahai penguasa, ini bukanlah Dhamma; bagaimana mungkin anjing hutan rendah setara dengan macan kerajaan?’”

Setelah mendengar pembabaran ini, putra dan putrinya, dan seluruh sanak keluarga, sahabat, pelayan, dan khalayak ramai tidak mampu mempertahankan ketenangan mereka dan menangis keras-keras; dan Bodhisatta menghibur mereka.

Kemudian setelah menghibur seluruh kerabat dan melihat mereka diam, ia berkata, “Anak-anak, janganlah menangis, seluruh hal yang tersusun tidak tetap, kehormatan berakhir dalam kemalangan; namun saya akan memberitahukan kalian cara mendapatkan kehormatan, yakni, istana raja; dengarkan dengan batin kalian tulus mendengarnya.” Kemudian melalui kekuatan adibiasa seorang Bodhisatta, ia membuat mereka memasuki istana kerajaan.

Guru kemudian menjabarkannya sebagai berikut:

“Kemudian Vidhura berkata kepada sahabat dan musuhnya, kerabatnya, dan orang-orang terkasihnya, dengan batin dan tekad yang tak lekat terhadap apa pun, ‘Mari, yang terkasih, duduk dan dengarkan saat saya memberitahu mengenai kediaman kerajaan, bagaimana seseorang yang memasuki istana raja bisa meraih kehormatan. Ketika ia memasuki istana raja, ia tidak memenangkan kehormatan ketika ia masih belum dikenal, ataupun ada yang pernah bisa memenangkannya jika ia pengecut, ataupun yang bodoh, ataupun yang gegabah. Ketika raja menemukan kualitas bajiknya, kebijaksanaannya, dan kemurnian hatinya, kemudian belajar memercayainya dan tidak menyembunyikan rahasia darinya.

Ketika ia diminta melaksanakan berbagai urusan, seperti neraca yang diatur dengan baik, dengan galah yang seimbang, dan rata, ia harus tidak ragu; seperti neraca, ia siap untuk mengambil setiap beban, maka ia bisa berdiam dalam istana raja.

Baik siang atau malam, orang yang bijaksana seharusnya menyingkirkan keraguan ketika melakukan urusan raja: orang seperti demikian boleh tinggal di istana raja. Orang bijak yang, ketika melakukan urusan raja, baik siang atau malam, menjalani setiap perintah, ia adalah yang bisa berdiam dalam istana raja.
Ia yang memastikan jalan dibuka untuk raja dan dengan saksama merapikan segalanya bagi raja, dan menghindarkan diri memasukkan dirinya ke sana, meski dinasihati untuk melakukannya, ia adalah yang bisa berdiam dalam istana raja. Janganlah biarkan ia, dalam situasi apa pun, pernah menikmati kenikmatan yang sama dengan raja, biarkan ia mengikutinya dari belakang dalam setiap hal, orang seperti demikian bisa berdiam dalam istana raja.

Jangan biarkan ia mengenakan pakaian seperti raja ataupun kalung bunga atau minyak urap seperti raja; jangan biarkan ia memakai perhiasan yang sama atau mengeluarkan nada suara sepertinya; biarlah ia selalu mengenakan busana yang berbeda, orang seperti demikian bisa berdiam dalam istana raja. Jika raja berplesir bersama para menterinya atau dikelilingi selir-selirnya, jangan biarkan menteri itu menyebutkan atau merujuk apa pun kepada selir kerajaan. Ia yang tidak berhasrat, tidak bernafsu, yang bijak dan menjaga indranya terkendali, ia yang memiliki pandangan cerah dan keteguhan, orang seperti demikian bisa berdiam dalam istana raja.

Janganlah biarkan ia berplesir dengan selir raja atau berbicara dengan mereka secara pribadi; jangan biarkan ia mengambil uang dari kas negara, orang seperti demikian bisa berdiam dalam istana raja. Jangan biarkan ia berpikir untuk terlalu banyak tidur, atau minum minuman keras berlebihan, ataupun membunuh rusa dalam hutan raja, orang seperti demikian bisa berdiam dalam istana raja. Jangan biarkan ia duduk di kursi atau dipan atau singgasana atau gajah atau kereta raja; berpikir seakan-akan ia orang yang istimewa, orang seperti demikian bisa berdiam dalam istana raja . Biarlah ia dengan bijaksana menjaga agar tidak terlalu jauh dari raja namun tidak terlalu dekat dengannya, dan biarkan ia selalu siap sedia untuknya, memberitahukan apa yang bagindanya perlu dengar. Raja bukanlah orang biasa, raja tidak boleh dipasangkan dengan siapa pun lainnya; raja mudah tersinggung, seakan-akan mata akan perih jika tersentuh bilah tajam rumput gandum. Jangan biarkan orang bijak, berpikir bahwa ia dipandang terhormat, pernah mencoba berbicara kasar kepada raja yang tengah curiga. Jika ia mendapat kesempatannya, biarlah ia melakukannya; namun janganlah ia memercayai raja-raja; biarlah ia selalu waspada seperti halnya terhadap api, orang seperti demikian bisa berdiam dalam istana. Jika penguasa menguntungkan putranya atau saudaranya dengan pemberian beberapa desa atau kota atau rakyat dalam kerajaannya sebagai penyewa tanah, biarlah ia dalam diam menunggu, jangan mengomentarinya sebagai bijak atau salah.
Jika raja meningkatkan upah untuk kusir gajahnya atau pengawal pribadinya, prajurit kereta perang atau prajurit infantrinya, setelah mendengarkan kisah berbagai perjuangan mereka, janganlah ia menghalanginya, orang seperti demikian bisa berdiam dalam istana raja. Orang bijak akan menjaga perutnya kecil seperti busur, namun ia dengan mudah menekuk seperti bambu; janganlah ia berlawanan dengan raja supaya ia bisa berdiam dalam istana raja. Biarlah ia menjaga perutnya kecil seperti busur, dan biarlah ia tidak memiliki lidah seperti ikan; biarlah ia moderat dalam makan, berani dan bijak; orang seperti demikian bisa tinggal dalam istana raja.
Janganlah ia mengunjungi seorang perempuan terlampau sering, karena ia akan kehilangan kekuatannya; orang bodoh adalah korban penyakit batuk, asma, rasa sakit tubuh dan sifat kekanak-kanakan. Janganlah ia tertawa terlalu banyak, ataupun selalu diam; ia harus bciara, ketika waktu yang tepat datang, dengan ucapan yang lugas dan terukur. Tidak mudah marah, tidak mudah tersinggung, lembut, bukan pemfitnah, janganlah ia mengucapkan kata-kata bodoh, orang seperti demikian bisa berdiam dalam istana raja.

Terlatih, terdidik, terkendali dirinya, berpengalaman dalam urusan160, setimbang, lembut, saksama, murni, cakap, orang seperti demikian bisa berdiam dalam istana raja. Rendah hati dalam perilaku terhadap yang sepuh, siap mematuhi, dan penuh hormat, kewelasan, menyenangkan untuk tinggal bersama, orang seperti demikian bisa berdiam dalam istana raja. Biarlah ia menjaga jarak dari mata-mata yang dikirim raja asing untuk mencampuri urusan; Biarlah ia melihat kepada majikannya saja, dan tidak kepada raja lainnya.
Biarlah ia memberikan penghormatan pada para bhikkhu dan Bahmana yang bajik dan terpelajar; biarlah ia dengan saksama melayani mereka; orang seperti demikian bisa berdiam dalam istana raja. Biarlah ia memuaskan para bhikkhu dan brahmana yang bajik dan terpelajar dengan makanan dan minuman, orang seperti demikian bisa berdiam dalam istana raja. Biarlah ia mendekat dan dengan penuh pengabdian menemui para bhikkhu dan brahmana yang bajik dan terpelajar, dengan demikian menginginkan kesejahteraan sejatinya sendiri.

Janganlah ia mencabut pemberian yang sebelumnya diberikan kepada para bhikkhu atau brahmana, dan janganlah ia dengan cara apa pun menghalangi para petapa gelandangan pada saat pembagian derma. Ia yang bajik, memiliki kebijaksanaan, dan piawai dalam pengerjaan urusan, dan berpengetahuan dalam waktu dan musim, orang seperti demikian bisa berdiam dalam istana raja. Yang energik dalam bekerja, berhati-hati dan piawai, mampu melakukan urusannya dengan sukses, orang seperti demikian bisa berdiam dalam istana raja.

Mengunjungi tempat penggilingan gandum, rumah, ternak, dan ladang berulang kali, ia seharusnya menimbang gandum dengan saksama dan menyimpannya dalam lumbung, dan ia sepatutnya menakarnya dengan hati-hati untuk kebutuhan masak dalam rumahnya. (Janganlah ia mempekerjakan atau menaikkan jabatan putra atau saudara yang tidak teguh dalam kebajikan; anak-anak seperti itu bukanlah anggota badan sejati dari diri kita, mereka sebaiknya dianggap seolah mereka mati; biarlah ia memberikan makanan dan pakaian penunjang hidup kepada mereka dan biarlah mereka duduk ketika mengambilnya. Biarlah ia mempekerjakan dalam jabatan kekuasaan para pelayan dan pegawai yang kukuh dalam kebajikan dan piawai dalam urusan dan bisa bangkit menanggapi keadaan darurat.

Orang yang bajik dan bebas dari keserakahan dan berbakti kepada raja, tidak pernah absen darinya dan mengutamakan kepentingan raja, orang seperti demikian bisa berdiam dalam istana raja. Ia sebaiknya mengetahui keinginan raja, dan berpegang kuat pada pemikirannya, dan jangan pernah perbuatannya bertentangan dengan raja, orang seperti demikian bisa berdiam dalam istana raja. Ia akan menggosok raja dengan wewangian dan memandikannya, ia akan membungkukkan kepalanya rendah ketika mencuci kakinya; ketika dipukul ia tidak akan marah; orang seperti demikian bisa berdiam dalam istana raja.

Ia akan memberikan penghormatan pada sekendi penuh air, atau memberikan penghormatan bakti kepada seekor gagak, ya, ia akan memberikan penghormatan pada semua penggugat keadilan dan selalu bijak dan berwibawa, ia akan memberikan pembaringan, pakaian, kereta, rumah, dan melimpahkan berkah seperti awan hujan ke semua makhluk. Ini, Tuan-tuan, adalah cara berdiam dalam istana raja, inilah bagaimana orang bersikap dan untuk mendapatkan dukungan dari seorang raja, dan untuk mendapatkan penghormatan dari penguasanya.

Tiga hari berlalu saat ia memberikan wejangan kepada putra, istri, sahabat, dan yang lainnya. Kemudian, mengetahui bahwa waktu telah usai, pada pagi hari, setelah makan berbagai hidangan pilihan, ia mengatakan, “Saya akan mohon pamit dari raja dan berangkat dengan pemuda ini;” maka ia pergi ke istana raja dikelilingi rombongan kerabat dan memberi hormat pada raja kemudian berdiri di satu sisi, ia mengucapkan kata-kata nasihat praktis yang bijak.

Guru menjabarkannya seperti demikian:

“Setelah menasihati keluarga Anda, orang bijak, dikelilingi sahabatnya, pergi menemui raja. Setelah bersujud dengan kepalanya menyentuh kaki raja dan memberikan penghormatan baktinya, Vidhura dengan tangan terangkap kemudian berkata kepada raja, “Pemuda ini, mempekerjakan saya sesuai dengan keinginannya, segera membawa saya pergi; saya bicara demi kepentingan kerabat saya, dengarlah apa yang kukatakan, wahai penakluk musuh-musuh. Akankah Anda bersukacita merawat putra-putra saya dan apa pun harta benda yang saya miliki dalam rumah saya, sehingga ketika saya pergi keluarga saya tidak kemudian hancur? Seperti ketika bumi berguncang apa pun yang di atasnya pun berguncang, dan seperti ketika bumi kukuh semuanya kukuh, demikian jika saya lihat kerabat saya jatuh dalam kejatuhan saya; saya menganggapnya sebagai kesalahan saya.”

Ketika raja mendengar hal ini, ia berkata, “Wahai orang bijak, kepergianmu tidak menyenangkan hatiku; jangan pergi; aku akan memberikan alasan kepada pemuda ini, kemudian kita akan membunuhnya dan menutupi segalanya;” dan untuk menggambarkan hal ini ia mengulang sebuah syair:

“Anda tidak bisa pergi, inilah tekadku; setelah memukul dan membantai Katiya ini, tinggallah di sini, inilah agaknya jalan terbaik bagiku; karena itu jangan pergi, wahai yang terberkahi dengan kebijaksanaan demikian besar.”

Ketika Bodhisatta mendengar ini, la berseru, “Niatan seperti demikian tidak pantas bagi Anda,” dan la menambahkan,

“Janganlah menetapkan batin Anda pada kejahatan, tetaplah berbakti pada kebajikan duniawi dan spiritual; jadilah malu pada perbuatan yang tidak luhur dan jahat, yang ketika telah dilakukan orang, ia kemudian masuk ke neraka.

Ini bukanlah kebajikan, ini bukanlah hal yang sepatutnya dilakukan; seorang raja, wahai penguasa manusia, adalah kekuasaan tertinggi bagi seorang budak miskin, yang menyuruhnya membunuh atau membakar atau membunuh dengan perbuatannya sendiri; saya tidak memiliki rasa marah terhadap dirinya dan saya kini pamit.”
Usai berkata demikian Bodhisatta dengan memberikan hormat pada raja dan memberikan wejangan kepada istri-istri raja dan para pejabatnya; kemudian ia keluar dari istana selagi mereka, tidak mampu mempertahankan keteguhan batin mereka, menangis pilu; dan seluruh penduduk kota berseru, “Orang bijak akan pergi bersama pemuda, kami akan mengantarnya ketika ia berangkat,” dan mereka menatapnya di istana raja. Kemudian mereka berkata satu sama lain, “Jangan bersedih karenanya, semua yang terbentuk tidak tetap, teguhlah dalam berderma dan perbuatan bajik lainnya,” dan kemudian mereka pulang dan kembali ke rumah masing-masing.

Guru menjabarkannya demikian:

“Setelah memeluk putra sulungnya dan mengendalikan kesedihan dalam hatinya, berlinang air mata, ia memasuki rumahnya.”

Saat itu di istananya ada seribu putra, seribu putri, seribu istri, dan tujuh ratus wanita penghibur, dan semua ini berikut dengan para pelayan dan pembantu dan kerabat dan sahabat semuanya bersujud di seluruh istana seperti hutan sala dengan pohon-pohonnya berlintangan diterpa murka angin besar yang menandakan akhir dunia.

Guru kemudian menjabarkannya sebagai berikut:

“Putra dan istri Vidhura berlutut di istana seperti pohon sala terguncang dan terberai oleh angin.

Seribu istri, dan tujuh ratus budak perempuan meratap tangis sambil mengulurkan tangan mereka, dalam istana Vidhura. Selir-selir dan para pangeran, vessa dan brahmana meratap tangis sambil mengulurkan tangan mereka dalam istana Vidhura. Penunggang gajah, pengawal pribadi, penunggang kereta, prajurit pejalan kaki meratap tangis sambil mengulurkan tangan mereka dalam istana Vidhura. Rakyat desa dan kita berkumpul bersama meratap tangis sambil mengulurkan tangan mereka dalam istana Vidhura.”
Bodhisatta, setelah menghibur persamuhan besar dan melakukan semua urusan tersisa yang harus dikerjakan dan mewejangi para selir dan menunjukkan semua yang harus diucapkan, pergi menemui Punnaka dan mengumumkan kepadanya bahwa ia telah melakukan segala hal yang harus dilakukan.

Guru kemudian menjabarkannya sebagai demikian:

“Setelah melakukan semua yang harus dilakukan dalam rumah dan setelah mengajari seluruh rakyat, sahabat, penasihat dan pendamping, istri-istri, putra-putra, dan kerabat, dan setelah mengatur semua pekerjaan luar yang memerlukan perhatian dan memberitahukan mereka mengenai jumlah persediaan barang dalam rumah, harta dan hutang yang akan dibayar, ia kemudian berkata kepada Punnaka, ‘Anda telah berdiam tiga hari dalam rumah saya. Saya telah melakukan segala hal yang perlu dilakukan di rumah saya. Saya telah mengajari semua putra dan istriku, kini marilah berbuat sesuai kehendak Anda, wahai Kaccana.”

Punnaka menjawab:
“Jika, Anda yang bertindak sesuai kehendak Anda sendiri169, Anda telah menasihati putra, istri, dan yang bergantung kepada Anda, maka malang! Anda berdiri di sini seperti orang yang hendak menyeberang: ini adalah perjalanan jauh menanti Anda. Berpeganganlah, tanpa takut, pada ekor tunggangan mulia Anda, inilah pemandangan terakhir Anda melihat alam kehidupan.”

Kemudian Bodhisatta berkata kepadanya:

“Kepada siapa saya harus takut, ketika saya tidak melakukan kejahatan padanya baik lewat tubuh, ucapan, atau pemikiran, yang karenanya saya bisa mendapatkan kemalangan?“

Maka Bodhisatta mengucapkan seruan lantang, tidak kenal takut seperti singa yang tidak gentar, “Inilah jubah saya, janganlah menanggalkannya tanpa izin saya;” dan kemudian, dipandu keteguhannya yang sempurna, setelah mengikat jubahnya dengan kencang, ia mengurai ekor kuda itu dan menggenggamnya dengan kedua tangan kuat-kuat, ia menekan paha kuda itu dengan kedua kakinya dan berkata kepadanya, “Saya telah merengkuh ekornya, berangkatlah wahai pemuda, sesuka Anda.” Saat itu Punnaka memberikan tanda kepada kudanya yang memiliki kecerdasan, dan kuda itu mendoncang ke angkasa, membawa orang bijak itu.

Guru kemudian menjabarkannya sebagai berikut: “Pengeran para kuda yang membawa Vidhura melompat ke angkasa dan segera mencapai Gunung Hitam tanpa bersentuhan dengan ranting pepohonan atau karang.”

Selagi Punnaka pergi membawa Bodhisatta seperti itu, para putranya dan para penonton pergi ke kediaman Punnaka; namun ketika mereka tidak menemukan Bodhisatta, mereka meratap dengan tangisan keras dan berulang kali, tersungkur seakan-akan kaki mereka telah diputus.
Ketika mereka kemudian melihat dan mendengar Bodhisatta, ketika ia pergi melayang di angkasa tanpa sebab, dan setelah mengeluarkan ratapan mereka, mereka semua meratap tangis di gerbang raja, ditemani seluruh rakyat. Raja, saat mendengar suara tangisan keras, membuka jendelanya dan bertanya mengapa mereka meratap. Mereka menjawab, “Wahai Baginda, itu bukanlah pemuda brahmana, melainkan seekor yakkha yang datang menyamar sebagai brahmana dan membawa pergi orang bijak; tanpa beliau tidak ada kehidupan bagi kami; jika ia tidak kembali tujuh hari dari sekarang, kami akan mengumpulkan kayu dalam jumlah ratusan dan ribuan kereta, dan ya, kami semua akan terjun ke dalam api.”

Ketika raja mendengar kata-kata mereka, ia menjawab, “Orang bijak dengan ucapannya yang terlatih akan segera mengalihkan pemuda itu dengan pembabaran religiusnya dan membuatnya tersungkur di kakinya, dan tidak lama lagi akan kembali dan membawa senyum ke wajah Anda yang penuh air mata, janganlah bersedih;” dan ia mengulang sebuah syair:

“Orang itu bijaksana dan terpelajar, lagi piawai; ia akan segera membebaskan dirinya; jangan takut, ia akan kembali.”

Sementara Punnaka, setelah ia menaruh Bodhisatta di puncak Gunung Hitam, berpikir dalam hati, “Selama manusia ini hidup tidak ada kesempatan kesejahteraan bagi kami; aku akan membunuhnya, dan merenggut jantungnya dan kemudian pergi ke alam naga dan memberinya ke Vimala, dan setelah mendapatkan putrinya Irandatl, saya akan naik ke alam dewa.” Guru kemudian menjabarkannya sebagai berikut:

“Ketika ia telah pergi ke sana ia berpikir dalam hati, “Makhluk berakal budi ada dalam derajatnya yang berbeda-beda; aku tidak memiliki kegunaan apa pun jika ia hidup, aku akan membunuhnya dan mengambil jantungnya.”

Kemudian ia sekali lagi berpikir, “Bagaimana jika tanpa membunuhnya dengan tanganku sendiri aku menyebabkan ia mati dengan menunjukkan berbagai wujud menakutkan?” Maka setelah beralih rupa menjadi setan menakutkan, ia mendekatinya dan melemparnya hingga jatuh, merenggutnya di mulutnya seakan-akan hendak memangsanya; namun tidak sehelai pun rambut Bodhisatta yang berdiri. Kemudian ia beralih rupa menjadi singa dan gajah beringas, mengancam hendak merangseknya dengan gigi dan gading; dan ketika sasarannya masih tidak menunjukkan rasa takut, ia beralih-rupa menjadi ular raksasa sebesar kayak berukuran sepalungan minum kuda, dan mendekatinya dengan mendesis dan melingkari tubuhnya, ia menutupi kepalanya dengan tudungnya, namun ia tidak menunjukkan tanda-tanda cemas.
Kemudian ia berkata, “Ketika ia berdiri di puncak gunung dan terjatuh, saya akan menjatuhkannya hingga ia hancur berkeping,”, maka ia membangkitkan angin yang perkasa; namun angin itu tidak mengusik sehelai pun rambutnya. Kemudian membawanya ke puncak gunung dan ia sendiri beralih menjadi wujud gajah, ia berlari maju dan mundur seperti pohon kurma liar, namun bahkan saat itu ia tidak bisa mengusik selembar rambut pun dari kepalanya. Kemudian ia berkata, “Saya akan membuat jantungnya meletup ketakutan karena suara yang menakutkan;” maka ia memasuki bagian dalam gunung, dan mengeluarkan raungan mengerikan yang mengisi langit dan bumi dengan suara perkasa; namun Bodhisatta tidak menunjukkan ketakutan; karena ia mengetahui bahwa ia yang telah datang dalam wujud seekor yakkha, singa, gajah, dan naga, dan telah mengguncang gunung dengan angin dan hujan, dan telah masuk ke dalam gunung dan mengeluarkan raungan besar, hanyalah dan tidak lain seorang makhlnk.

Kemudian yakkha berpikir dalam hati, “Aku tidak akan bisa membunuhnya dengan serangan dari luar, aku hanya bisa menghancurkannya dengan tanganku sendiri.” Maka ia menaruh Bodhisatta di puncak gunung dan ia sendiri dari kaki gunung naik dari tengah gunung seolah ia memasukkan benang putih melalui permata yang berlubang, dan dengan teriakan ia merenggut Bodhisatta dengan kasar dan memutar-mutarnya, dan melemparkannya kepala di bawah ke angkasa tempat tidak ada yang bisa dipeganginya. Demikian hal itu dijabarkan:

’’Setelah pergi ke sana dan memasuki ke dalam gunung, Katlyana dengan batin jahat memegangnya dengan kepala ke bawah di keluasan alam semesta. Sementara tergantung demikian seolah di jurang neraka yang menakutkan untuk dilihat dan sulit untuk dilalui, ia yang terbaik di antara semua kaum Kuru bertindak dengan menyapa Punnaka tanpa kenal takut: “Anda sungguh rendah dalam sifat Anda, meski Anda pernah beralih menjadi wujud yang mulia, sungguh tak terkendali meski menyaru dalam samaran orang yang terkendali, apa yang Anda lakukan kejam dan perbuatan sangat jahat, tidak ada yang bajik dalam sifat Anda. Apakah alasan Anda membunuh saya, ketika Anda ingin melihat saya terlempar jatuh dari tebing ini? Penampilan Anda mencerminkan sesuatu yang melebihi manusia, beritahu saya dewa macam apa diri Anda.”
Punnaka menjawab:
“Anda mungkin pernah mendengar yakkha Punnaka, ia adalah menteri Raja Kuvera. Ada naga penguasa bumi bernama Varuna, yang perkasa, murni, terberkahi keindahan dan kekuatan; saya menghendaki putrinya, naga perempuan bernama Irandati; karena asmara akan gadis cantik itu saya telah meneguhkan batin Anda membunuh Anda, wahai orang bijak.”

Bodhisatta merenung, “Dunia ini dihancurkan oleh hal yang disebut salah paham, mengapa seorang yang berhasrat akan naga perempuan menginginkan kematianku? Aku akan mengetahui seluruh kebenaran masalah ini,” maka ia mengucapkan sebuah syair:

“Jangan tertipu, wahai yakkha; banyak orang dihancurkan karena salah paham; apa hubungannya cinta Anda terhadap gadis cantik itu dengan kematian saya? Mari, biarlah kami mendengar seluruh kisahnya.”

Kemudian Punnaka berkata kepadanya, “Karena cinta saya kepada putri naga perkasa itu saya berunding dengan keluarganya, dan ketika saya hendak meminta putri itu ayah mertua saya mengatakan bahwa mereka mengetahui bahwa saya digerakkan oleh asmara yang terhormat. ‘Kami akan memberi Anda putri yang terberkahi tubuh dan mata indah, bersenyum cantik dengan tubuhnya harum oleh cendana, jika Anda membawa kepada saya jantung orang bijak yang dimenangkan dengan pertempuran adil; gadis ini akan dimenangkan dengan hadiah ini, kami tidak meminta hadiah lain.’ Sehingga, saya tidak tertipu, dengar, wahai pelaku perbuatan baik; tidak ada yang saya salah pahami; para naga akan memberikan saya gadis naga Irandati untuk jantung Anda yang dimenangkan dengan pertempuran adil. Untuk inilah saya bertekad membunuh Anda, dengan cara inilah saya memerlukan kematian Anda. Jika saya melempar Anda dari sini ke dalam neraka saya akan membunuh dan mengambil jantung Anda.”

Kemudian Bodhisatta mendengar hal ini dan merenung, “Vimala tidak memerlukan jantungku. Varuna, setelah ia mendengar pembabaran Dhamma dan menghormatiku dengan permatanya pasti telah pulang ke rumah dan menjabarkan kekua.ta.nku membabarkan Dhamma, dan Vimala pasti merasakan hasrat besar untuk mendengar kata-kataku. Punnaka pasti telah diperintahkan oleh Varuna melalui kesalahpahaman, dan ia terpengaruh oleh kesalahpahamannya sendiri telah membawa seluruh bencana ini. Sifatku sebagai orang bijak adalah menemukan dan menerangi kebenaran mutlak sejauh kekuatanku. Jika Punnaka membunuhku, apa gunanya? Marilah, aku akan mengatakan kepadanya, ’Wahai pemuda, saya mengetahui Dhamma seperti yang diikuti orang bajik; sebelum saya mati, letakkan saya di puncak gunung dan dengarkan dari saya hukum mengenai orang bajik; sebelum saya mati, letakkan saya di puncak gunung dan dengarkan Dhamma orang bajik dari saya; dan setelahnya lakukan apa yang hendak Anda lakukan,”’dan setelah dinyatakan kepadanya Dhamma orang bajik saya akan membiarkannya mengambil nyawaku.” Maka ia mengucapkan syair ini selagi ia tergantung dengan kepala di bawah:

“Cepat pegang saya, wahai Katiyana, jika Anda memerlukan jantung saya; saya akan menyatakan kepada Anda hari ini seluruh Dhamma orang yang bajik.”

Kemudian Punnaka merenung, “Hukum ini belum pernah dinyatakan sebelumnya kepada para dewa atau manusia; aku akan segera memegangnya dan mendengar hukum orang bajik;” maka ia mengangkat Bodhisatta ke atas dan menaruhnya di puncak gunung.

Guru kemudian menjabarkannya seperti demikian:

“Punnaka, setelah bergegas menaruhnya, pelaku perbuatan bajik terbaik di antara kaum kuru, di puncak gunung, menanyai guru kebijaksanaan agung, ketika ia berdiri melihat ke sebatang pohon pipul, ‘Saya telah membawa Anda dari jurang, saya memerlukan jantung Anda hari ini, beritahu saya sekarang pula semua hukum orang bajik.’”

Bodhisatta berkata:

“Saya diselamatkan oleh Anda dari tebing; jika Anda memerlukan jantung saya, hari ini juga saya akan menyatakan kepada seluruh hukum orang bajik.”

Kemudian Bodhisatta berkata, “Tubuh saya kotor, saya akan mandi.” Yakkha itu menyetujuinya, maka ia membawa air, dan ketika ia mandi, ia memberikan pakaian surgawi dan wewangian dan barang lainnya kepada Bodhisatta, kemudian setelah ia berpakaian, dirias, ia diberikan makanan surgawi. Ketika ia telah makan, Bodhisatta membuat puncak Gunung Hitam diliputi dengan hiasan, dan menyiapkan tempak duduk yang berhias indah, dan setelah duduk di atasnya mengucapkan syair, yang menjabarkan kewajiban orang bajik dengan kepiawaian jaya seorang Buddha:

“Wahai pemuda, ikutilah bagi Anda jalan yang telah ditempuh; singkirkan dari Anda tangan yang ternoda janganlah berkhianat kepada sahabat Anda, ataupun jatuh di bawah kekuasaan perempuan yang tidak bajik.”

Yakkha, tidak mampu memahami empat aturan yang diungkapkan dengan demikian ringkas, menanyakan rincinya:

“Bagaimana kita mengikuti jalan yang telah dilalui? Bagaimana kita membakar tangan yang basah? Siapa perempuan yang tidak bajik? Siapa yang berkhianat kepada sahabatnya? Mohon beritahu saya maknanya.”

Bodhisatta menjawab:

“Biarlah orang mengikuti perbuatannya, ia yang mengundangnya bahkan untuk duduk, ketika ia datang sebagai orang asing dan belum pernah ia lihat sebelumnya; ialah yang para bijak sebut sebagai orang yang mengikuti jalan yang telah dilalui.

Dalam rumah milik siapa pun kita berdiam bahkan untuk satu malam, dan di sana menerima makanan dan minuman, biarlah ia tidak memikirkan pemikiran jahat terhadapnya dalam batinnya; ia yang berkhianat kepada sahabatnya membakar tangannya yang bersih. Janganlah orang mematahkan ranting pohon itu yang kerindangannya adalah tempat ia duduk atau berbaring, yang jahat berkhianat kepada sahabatnya. Biarlah orang memberikan tanah yang dipenuhi kekayaan ini kepada perempuan yang telah ia pilih, namun ia akan membencinya saat ia mendapat kesempatan; jangan biarkan ia jatuh ke perempuan yang tidak bajik. Demikianlah orang mengikuti jalan yang telah dilalui; demikianlah ia membakar tangannya yang basah; inilah perempuan yang tidak bajik; inilah yang berkhianat kepada sahabatnya; orang seperti demikian adalah benar, tinggalkan kesesatan Anda.”

Demikianlah Bodhisatta menyatakan kepada yakkha dengan kepiawaian Buddha mengenai empat kewajiban orang bajik, dan ketika mendengarnya, Punnaka merenung, “Dalam empat pernyataan ini orang bijak hanya meminta nyawanya sendiri; karena sungguh ia sangat menyambutku, meski aku sebelumnya tidak dikenalnya; aku berdiam tiga hari dalam rumahnya, menerima penghormatan besar darinya; aku, melakukan kejahatan ini kepadanya, melakukannya demi perempuan; lebih lanjut lagi aku berkhianat dalam segala cara kepada sahabat-sahabatku; jika aku hendak melukai orang bijak ini, aku tidak akan mengikuti kewajiban orang bajik; apa perlunya aku akan naga perempuan? Aku akan membawanya dari sini ke Indapatta dan membahagiakan wajah menangis dari penghuninya dan aku akan mendudukkan beliau dalam balairung pertemuan di sana.”
Lalu ia bicara dengan lantang: “Saya berdiam tiga hari dalam rumah Anda, saya tinggal tiga hari dalam rumahmu, saya disajikan makanan dan minuman, Anda adalah sahabat saya, dan saya akan melepaskan Anda, wahai orang bijak dengan kebijaksanaan luar basa, Anda akan berangkat sesuai kehendak Anda untuk pulang ke rumah Anda sendiri. [312] Ya, biarlah semua yang berkaitan dengan alam naga hancur, sudah cukup saya akan naga perempuan; oleh kata-kata yang diucapkan dengan bajik, Anda dibebaskan dari pukulan yang mengancam diri Anda hari ini, wahai orang bijak.”

Bodhisatta menjawab, “Wahai pemuda, jangan kirim saya ke rumah namun bawalah saya ke alam naga,” dan ia mengucapkan syair ini:

“Marilah, yakkha, bawalah saya ke mertua Anda, dan berbuatlah yang terbaik terhadap saya; saya akan menunjukkan kepadanya istana raja naga yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Punnaka berkata:

“Orang bijak seharusnya tidak melihat apa yang tidak bermanfaat bagi kesejahteraan orang; mengapa kalau demikian, orang bijak dengan kebijaksanaan luar biasa, mengapa Anda ingin pergi ke antara musuh-musuhmu?”

Bodhisatta menjawab:

“Sungguh saya mengetahuinya semua; orang bijak seharusnya tidak melihatnya; namun saya tidak pernah melakukan kejahatan apa pun, dan karena itu saya tidak takut dengan datangnya kematian.”

“Lebih lanjut, dengan pembabaran saya mengenai Dhamma, makhluk kejam seperti Anda dimenangkan dan dilembutkan, kini Anda mengatakan, “Sudah cukup saya akan naga perempuan, pergilah Anda ke rumah Anda sendiri;” adalah tugasku kini untuk melembutkan raja naga itu, bawalah saya ke sana segera.” Ketika saya mendengar hal ini, Punnaka menyetujui seraya berkata:
“Mari, Anda akan melihat bersama saya alam kejayaan tiada tara tempat raja naga berdiam di antara tarian dan lagu seperti Raja Vessavana di Nalinl. Dipenuhi barisan naga perempuan, senantiasa digembirakan oleh plesiran mereka siang dan malam, berlimpah dengan kalung bunga dan diliputi dengan bunga, hal itu bersinar dengan petir di angkasa. Dipenuhi makanan dan minuman, dengan tarian dan lagu dan alat musik; dipenuhi gadis-gadis yang berbusana indah, berkilau dengan gaun dan perhiasan.”

Kemudian Punnaka menaruhnya, pelaku perbuatan bajik yang terbaik di antara kaum Kuru, di kursi di belakangnya dan membawa petapa agung ke istana raja naga. Ketika ia mencapai tempat keagungan tiada tara itu, orang bijak itu berdiri di belakang Punnaka; dan raja naga, melihat keakuran keharmonisan di antara mereka, lalu berkata kepada menantunya seperti yang ia telah lakukan sebelumnya.

“Anda sebelumnya pergi ke alam manusia, mencari jantung orang bijak itu; apakah Anda telah kembali kemari dengan sukses, membawa orang bijak dengan kebijaksanaan tiada tara?”
Punnaka menjawab:

“la yang Anda dambakan telah datang, ia adalah penjaga saya dalam hal kewajiban, yang dimenangkan dengan cara yang benar; lihatlah ia yang bicara di hadapanmu, bergaul dengan yang bajik membawa kebahagiaan.”

Raja naga mengucapkan syair ketika melihat Bodhisatta:

“Manusia ini, yang ada di hadapanku yang belum pernah ia lihat sebelumnya dan tertembus rasa takut akan kematian, tidak bisa bicara kepadaku dalam kengeriannya; ini bukan seperti orang bijak.”

Bodhisatta kemudian berkata kepada raja naga selagi ia memunculkan pemikiran ini, bahkan meski ia belum secara langsung mengatakan bahwa ia tidak akan memberi hormat padanya, karena Bodhisatta mengetahui lewat kemahatahuannya bagaimana menangani semua makhluk:

“Saya tidak takut, wahai naga, ataupun saya tertembus dengan rasa takut; kurban seharusnya tidak menyapa algojonya, ataupun algojo meminta kurbannya menyapanya.
Kemudian raja naga mengucapkan syair dalam pujian Bodhisatta:

“Seperti yang Anda katakan, wahai orang bijak, Anda mengatakan kebenaran; kurban seharusnya tidak menyapa algojonya ataupun seharusnya algojo meminta kurban menyapanya.”

Kemudian Bodhisatta bicara dengan ramah kepada raja naga:

“Keagungan dan kejayaan dan keperkasaan serta kelahiran naga Anda, rentan akan kematian dan tidak kekal; saya bertanya kepada Anda pertanyaan ini, wahai Raja Naga, bagaimana Anda mendapatkan istana ini? Apakah ini diraih dengan musabab atau sebagai pengembangan dari kondisi sebelumnya? Apakah itu dbuat oleh Anda atau diberikan para dewa? Jelaskan kepada saya masalah ini, wahai Raja Naga, bagaimana Anda memenangkan istana ini.“

Raja naga menjawab:
“Ini tidak diraih tanpa musabab, ataupun perkembangan dari kondisi sebelumnya; ini tidak dibuat oleh diri saya atau diberikan para dewa; istana saya diraih oleh perbuatan bajik saya sendiri.”

Bodhisatta menjawab:

“Ikrar suci apa, praktik kesucian apa? Dari perbuatan bajik apakah buah ini, keagungan dan kejayaan dan keperkasaan dan kelahiran naga Anda ini berikut istana besar ini, wahai naga?”

Raja naga menjawab: “Dahulu saya dan istri saya di alam manusia penuh keyakinan dan kelimpahan; rumah saya dibuat menjadi balairung pesta, dan para pendeta dan brahmana dijamu di sana. Kalung bunga dan wewangian, dan balsam, lampu, dan dipan, dan tempat beristirahat, gaun dan pembaringan dan makanan dan minuman, saya dengan bajik memberikan sebagai pemberian cuma-cuma. Itulah ikrar saya dan praktik kesucian saya, inilah buah perbuatan bajik, kemegahan dan kejayaan serta kelahiran naga dan istana besar ini, wahai orang bijak.”

Bodhisatta:
“Jika Anda telah mendapat istana ini, Anda mengetahui mengenai buah perbuatan suci dan kelahiran ulang; karena itu praktikkan keluhuran dengan segenap ketekunan agar Anda bisa tinggal lagi dalam istana.”

Raja naga menjawab:

“Tidak ada pendeta atau brahmana di sini yang bisa kita berikan makanan dan minuman, wahai yang suci; mohon beritahu saya hal ini, bagaimana caranya agar saya bisa kembali hidup dalam istana?”

Bodhisatta berkata:

“Ada ular-ular yang telah lahir di sini, putra dan istri dan yang bergantung kepada Anda; jangan pernah perbuat kejahatan terhadap mereka dalam ucapan atau perbuatan. Demikianlah keluhuran mengikuti Anda dalam ucapan dan perbuatan, wahai naga, demikianlah Anda akan berdiam di sini sepanjang hidup Anda di istana dan kemudian pergi dari alam ini menuju alam para dewa.”

Raja naga, setelah mendengar pembabaran religius dari Bodhisatta, berpikir dalam hati, “Orang bijak tidak bisa tinggal lama jauh dari rumahnya; aku akan menunjukkannya ke Vimala dan biarlah ia mendengar kata-kata bajiknya, dan menenangkan hasratnya, dan aku akan menyenangkan Raja Dhananjaya dan kemudian akan baik mengembalikan orang bijak itu ke rumahnya;” maka ia berkata:
“Sungguh yang terbaik di antara para raja tengah berduka kehilangan Anda, yang merupakan menteri paling dekatnya; setelah kembali mendapatkan diri Anda, meski kini sedih dan lara, ia akan beroleh kebahagiaan.”

Bodhisatta memuji naga itu:

“Anda sungguh mengucapkan kata-kata suci kebajikan, ajaran benar yang tiada tara; dalam krisis-krisis kehidupan seperti demikian orang dengan integritas seperti diriku dikenal.”

Kemudian raja naga makin gembira mengucapkan sebuah syair:

“Katakanlah, apakah Anda diambil tanpa alasan? Katakanlah, apakah ia menaklukkan Anda dalam permainan?

la mengatakan bahwa ia telah memenangkan Anda dengan adil, bagaimana Anda bisa berada di bawah kekuasaannya?”

Bodhisatta menjawab:

“Punnaka menaklukkan ia yang merupakan Baginda dan raja saya dalam permainan dadu; ia karena takluk memberikan saya kepadanya; maka saya dimenangkan dengan adil dan bukan dengan cara yang salah.”

Naga agung itu, gembira dan bersukacita, ketika mendengar kata-kata mulia orang bijak ini, memegang tangan penguasa kebijaksanaan agung lalu kemudian pergi ke hadapan istrinya, “Ia yang Anda, wahai Vimala, menjadi pucat dan kehilangan selera makan di matamu, matahari ini, yang demi jantungnya penyakit ini telah menimpamu, dengarkanlah kata-katanya, Anda tidak akan pernah melihatnya lagi.”

Vimala, ketika ia melihat penguasa kebijaksanaan agung, merangkapkan sepuluh jari tangannya dalam penghormatan, kemudian menyapa yang terbaik di antara kaum Kuru dengan sepenuh hatinya diliputi kegirangan:

“Manusia ini, yang pada saat melihat saya, yang belum pernah ia lihat sebelumnya dan tertembus ketakutan akan kematian, tidak bicara kepada saya dalam kengeriannya; ini bukanlah seperti orang bijak.”

“Saya tidak takut, wahai nagl, ataupun saya tertembus kengerian akan kematian; kurban seharusnya tidak menyapa algojonya, ataupun algojo meminta kurbannya menyapanya.”

Demikianlah naga perempuan menanyakan pertanyaan yang sama dengan naga Varuna tanyakan kepadanya sebelumnya; dan orang bijak oleh jawabannya memuaskannya seperti sebelumnya ia telah memuaskan Varuna.
Orang bijak, melihat raja naga dan permaisuri naga keduanya merasa puas dengan jawabannya, tidak gentar dan tanpa sehelai rambut pun berdiri karena takut, kemudian berkata kepada Varuna: “Janganlah gentar, wahai naga, ini saya di sini: gunakan tubuh ini sesuai keinginan Anda, apa pun yang bisa dilakukan oleh jantung dan dagingnya, saya sendiri akan melaksanakannya sesuai kehendak Anda.”

Raja naga menjawab:

“Jantung orang bijak adalah kebijaksanaan mereka, kami puas hari ini dengan kebijaksanaan Anda; biarlah ia yang namanya menyiratkan penyempurnaan185 mendapatkan pengantinnya hari ini dan biarlah ia membawa Anda kembali hari ini ke pangkuan kaum Kuru.”

Seusai mengatakan hal itu, Varuna memberikan Irandatl kepada Punnaka dan ia dalam sukacitanya membuka hatinya kepada Bodhisatta.
Bodhisatta menjabarkan hal itu sebagai berikut:

“Punnaka, merasa gembira dan bersukacita, setelah memenangkan naga perempuan Irandatl, dengan seluruh hatinya dipenuhi sukacita, kemudian menyapa ia yang terbaik di antara kaum Kuru dalam hal perbuatan: ‘Anda telah membuat saya memiliki seorang istri, saya akan melakukan yang wajib dilakukan terhadap Anda, wahai Vidhura; saya berikan mutiara permata dan akan membawa Anda kembali hari ini ke pangkuan kaum Kuru.”

Kemudian Bodhisatta memujinya dalam syair lain:

“Semoga persahabatan Anda dengan istri tercinta Anda tidak bisa dilarutkan, dan Anda dalam sukacita serta hati bahagia memberikan saya permata dan membawa saya ke Indapatta.” Kemudian Punnaka menaruh yang terbaik di antara kaum Kuru dalam hal perbuatan di atas kursi di hadapannya, dan membawanya, sang penguasa kebijaksanaan tertinggi, menuju Kota Indapatta. Kencang seperti kecepatan batin manusia, kecepatannya bahkan lebih cepat; dan Punnaka membawa yang terbaik di antara kaum Kuru menuju Kota Indapatta.

Kemudian ia berkata kepadanya: “Lihatlah di hadapan Anda, Kota Indapatta dengan hutan mangga dan distriknya; saya memiliki seorang istri, dan Anda telah mendapatkan rumah kembali.”
Pada hari itu juga di kala pergantian pagi raja mendapatkan mimpi, dan inilah yang ia lihat. Di pintu istana raja berdiri pohon besar yang batangnya adalah kebijaksanaan, dan ranting serta cabangnya seperti keluhuran moralitas, dan buahnya adalah lima produk suci dari kerbau, dan pohon itu diliputi gajah dan kuda-kuda yang dihias indah; dan banyak kerumunan orang dengan tangan beranjali tengah memujanya dengan penghormatan sepenuh hati. Kemudian orang hitam, mengenakan pakaian merah, membawa giwang dari bunga merah, dan membawa senjata di tangannya, datang dan memotong pohon itu di akarnya meski protes dari kerumunan orang, menyeret pohon itu dan pergi, dan kemudian kembali lagi dan menanamnya lagi di tempat lamanya kemudian pergi. Kemudian raja merenungkan mimpi itu berkata dalam hati, “Orang bijak Vidhura dan tiada orang lainnya yang seperti pohon besar; pemuda itu dan bukan yang lainnya, yang membawa pergi orang bijak, adalah seperti orang yang memotong pohon besar di akarnya meski protes dari banyak orang; dan sungguh ia akan kembali lagi dan menaruhnya di pintu Balairung Kebenaran lalu pergi. Kita akan melihat orang bijak lagi hari ini.” Maka ia dengan sukacita memerintahkan seluruh kota dihias dan Balairung Kebenaran disiapkan dan sebuah podium dalam paviliun dihias dengan permata; dan ia sendiri, dikelilingi seratus raja, dengan para penasihat mereka, dan kerumunan rakyat dan penduduk desa, ia menghibur mereka semua dengan mengatakan, “Jangan takut, Anda akan melihat petapa lagi hari ini;” dan ia sendiri duduk dalam Balairung Kebenaran, menunggu kepulangan orang bijak. Kemudian Punnaka membawa orang bijak turun dan mendudukkannya di tengah persamuhan yang berkumpul di pintu Balairung Kebenaran, dan kemudian berangkat bersama Irandatl ke kota surgawinya sendiri.

Guru kemudian menjabarkannya sebagai berikut:
“Punnaka dari ras mulia, setelah menaruhnya, yang terbaik di antara kaum Kuru dalam perbuatan, di tengah perkumpulan religius, menunggangi kuda mulianya sendiri dan melaju melintasi angkasa. Kemudian raja melihatnya, dipenuhi kegirangan, melompat dan memeluknya dengan tangannya, dan tanpa rasa gentar sekejap pun mendudukkannya di singgasana di hadapannya di tengah-tengah perkumpulan.”

Kemudian setelah bertukar ramah tamah dengannya, ia menyambutnya dengan kasih sayang dan mengucapkan syair:

“Anda memandu kami seperti kereta yang dilengkapi dan siap, kaum Kuru bersukacita melihat Anda; jawablah saya dan beritahu, bagaimana hingga pemuda itu membiarkan Anda pergi”

Bodhisatta menjawab:

“Ia yang Anda panggil sebagai pemuda, bukanlah orang biasa, wahai pahlawan terbaik; jika Anda pernah mendengar mengenai yakkha Punnaka, itulah ia, menteri Raja Kuvera. Ada seorang raja naga bernama Vanina, yang perkasa, yang terberkahi kekuatan dan penampakan agung, Punnaka mencintai anak perempuannya, putri naga Irandati. Ia lalu menyusun rencana kematian saya demi mendapatkan gadis cantik yang ia cintai, demikian ia meraih istrinya, dan saya diizinkan pergi dan permata ini dimenangkan.

“Raja naga, merasa senang dengan jawaban saya atas pertanyaan mengenai empat tujuan manusia, memberikan saya penghormatan dengan memberikan sebutir permata; dan ketika ia kembali ke alam naga, ratunya, Vimala, menanyainya di mana permata itu berada. Ia menjabarkan keahlian saya dalam membabarkan Dhamma, dan permaisuri itu, karena berhasrat mendengar pembabaran itu, berpura-pura berhasrat mendapatkan jantung saya. Raja naga, tidak memahami keinginannya yang sebenarnya, berkata kepada putrinya IrandatT, ‘Ibu Anda berhasrat mendapatkan jantung Vidhura, carilah seorang agung yang bisa membawanya untuk ibu Anda.” Ketika ia mencari-cari, ia melihat yakkha Punnaka yang merupakan putra dari saudari perempuan Vessavana, dan, ketika mengetahui ia jatuh cinta padanya, Irandati mengirimnya menemui ayahnya, yang berkata kepadanya, “Jika Anda memang mampu mendapatkan jantung Vidhura, Anda akan mendapatkannya.” Maka ia, setelah membawa dari Gunung Vepulla sebuah permata yang layak dimiliki raja semesta, bermain dadu dengan Anda dan setelah memenangkan saya dengan permainannya, ia menetap selama tiga hari dalam rumah saya.

Kemudian ia menyuruh saya memegang ekor kudanya, dan menghantamkan diri saya ke pohon dan gunung di Himavat, namun ia tidak mampu membunuh saya. Kemudian ia menyebabkan bertiup angin puyuh tujuh lingkup dan menaruh saya di puncak Gunung Hitam enam puluh yojana tingginya; di sana ia menggempur saya sebagai singa dan wujud-wujud lainnya, namun ia tidak bisa membunuh saya. Kemudian akhirnya, sesuai permintaannya, saya memberitahunya bagaimana saya bisa dibunuh. Kemudian saya memberitahunya mengenai kewajiban orang baik, dan ketika ia mendengarnya ia merasa sangat senang dan berniat membawa saya kemari. Kemudian saya membawanya dan pergi ke alam naga dan membabarkan Dhamma kepada raja dan Vimala, dan seluruh istana merasa sangat senang; dan setelah saya berdiam di sana selama enam hari, raja memberikan IrandatT kepada Punnaka. Ia bersukacita ketika mendapatkannya, dan memberikan kepada saya banyak permata sebagai hadiahnya. Kemudian atas perintah raja, ia menunggang kuda adibiasa yang tercipta dari kehendaknya, dan mendudukkan dirinya di kursi tengah dan Irandati di belakangnya, ia membawa saya kemari dan menempatkan saya di tengah istana, kemudian pergi bersama Irandati ke kotanya sendiri.

Demikianlah, wahai Raja, demi perempuan cantik yang ia cintai, ia merencanakan kematian saya, sehinga melalui diri saya ia mendapatkan istrinya. Ketika raja mendengar pembabaran Dhamma saya, ia merasa puas dan mengizinkanku pergi dan saya menerima dari Punnaka permata yang mengabulkan segala keinginan ini dan yang layak dimiliki raja semesta; terimalah wahai Raja,” dan berucap demikian, ia memberikan permata itu kepada raja. Kemudian raja, pada pagi hari, berhasrat memberitahu rakyatnya mengenai mimpi yang telah ia lihat, menceritakan kepada mereka kisahnya sebagai berikut:

“Di sana tumbuh sebatang pohon di hadapan gerbang-gerbang saya, batangnya adalah kebijaksanaan, dan rantingnya adalah keluhuran moral; pohon itu matang menjadi semua yang alami dan berkembang, buahnya adalah lima produk kerbau, dan pohon itu diliputi gajah dan ternak. Namun selagi ia berkumandang dalam tarian, musik, alat musik, seseorang datang dan memotongnya di akar dan membawanya pergi; kemudian ia datang ke istana kita, berikan penghormatanmu kepada pohon ini.

Biarlah semua yang bersukacita dengan cara saya menunjukkannya hari ini dengan perbuatan mereka; bawalah hadiahmu secara berlimpah, dan berikan penghormatanmu kepada pohon ini.

Apa pun tawanan yang ada di wilayah kekuasaan saya, biarlah mereka dibebaskan dari tahanan mereka; karena pohon ini telah dibebaskan dari tahanannya, maka biarlah mereka melepaskan yang lainnya dari kurungan.

Biarlah mereka menghabiskan bulan ini dalam perayaan, menggantung bajak mereka; biarlah mereka menjamu para bahmana dengan daging dan beras; biarlah mereka minum di tempat pribadi, dan termasuk yang berpantang minum, dengan cangkir mereka penuh terisi. Biarlah mereka mengundang sahabat mereka di jalan raya, dan tetap berjaga-jaga ketat dalam kerajaan agar tiada yang melukai tetangganya, berikan penghormatanmu kepada pohon ini.”
Ketika ia telah bicara demikian,

“Permaisuri, selir, pangeran, saudagar, dan brahman a membawa untuk orang bijak banyak makanan dan minuman.

“Penunggang gajah, pengawal, pengendara kereta, prajurit infantri, membawakan orang bijak banyak makanan dan minuman. Orang-orang desa dan kota berkumpul bersama dalam kerumunan besar membawakan orang bijak banyak makanan dan minuman. Perkumpulan besar dipenuhi sukacita, melihat orang bijak setelah ia kembali; ketika orang bijak kembali lambaian banyak kain tanda kemenangan terlihat.”

Setelah satu bulan, perayaan itu berakhir: Bodhisatta, memenuhi kewajiban Buddha, mengajari persamuhan besar mengenai Dhamma, menasihati raja, lalu memenuhi jangka hidupnya, dan ditakdirkan lahir di surga. Menuruti ajarannya, dan mengikuti raja mereka, seluruh penghuni Kerajaan Kuru memberikan derma dan melakukan perbuatan bajik dan pada akhir kehidupan mereka pergi untuk menambah jumlah penghuni surga.

Guru, setelah menyelesaikan pembabaran ini, mengatakan, “Tidak hanya kini, namun pada masa lampau pun Buddha, setelah meraih penyempurnaan kebijaksanaan, menunjukkan dirinya piawai dalam menyesuaikan berbagai cara untuk mencapai tujuan.” Kemudian la mengidentifikasikan kelahiran itu: “Saat itu ayah dan ibu orang bijak adalah keluarga kerajaan Sakya, permaisuri utama orang bijak adalah ibu Rahula, putra sulung adalah Rahula, Varuna si raja naga adalah Sariputta, raja garula adalah Moggallana, Sakka adalah Anuruddha, Raja Dhananjaya adalah Ananda, dan Vidhura yang bijak adalah Saya sendiri.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com