Sariputta | Suttapitaka | Maha-Umagga-Jataka Sariputta

Maha-Umagga-Jataka

Umaṅgajātaka (Ja 542)

“Raja Brahmadatta dari Pancala,” dan sebagainya.

Guru, selagi berdiam di Jetavana, menceritakan ini mengenai penyempurnaan kebijaksanaan. Suatu hari para bhikkhu duduk di Balairung Kebenaran dan menjabarkan penyempurnaan kebijaksanaan Buddha: “Sahabat, Buddha yang mahatahu, yang kebijaksanaannya luas, tangkas, tajam, menghancurkan pandangan salah, setelah mengalihyakinkan dengan kekuatan pengetahuan-Nya sendiri, para brahamana Kutadanta dan yang lainnya, Petapa Sabhiya dan yang lainnya, perompak Angulimala dan lainnya, Yakkha Alavaka dan yang lainnya, Dewa Sakka and lain-lain, Brahma Baka dan lainnya, membuat mereka rendah hati, dan menahbiskan banyak orang menjadi petapa dan mengukuhkan mereka dalam buah jalan kesucian.” Guru kemudian datang dan bertanya apa yang tengah mereka bahas, dan ketika mereka memberitahu-Nya, la menjawab, “Tidak hanya kini, pada masa lalu pun, sebelum pengetahuan-Nya sempurna, Buddha mahatahu telah memiliki berkah kebijaksanaan yang melingkupi segalanya, karena la menjalani kehidupan demi kebijaksanaan dan pengetahuan,” dan kemudian ia memberitahukan kisah masa lampau.

Pada zaman dahulu kala, seorang raja bernama Videha berkuasa di Mithila, dan ia memiliki empat penasihat yang membimbingnya dalam Dhamma, yakni Senaka, Pukkusa, Kavinda, dan Devinda. Saat itu, ketika Bodhisatta terkandung dalam rahim ibundanya, raja melihat saat fajar mimpi berikut ini: empat pilar api menyala di empat sudut istana raja setinggi tembok besar, dan di tengah-tengahnya muncul api seukuran kunang-kunang. Lalu, cahaya api kecil itu kemudian melampaui empat pilar api tadi dan melambung sampai setinggi alam brahma dan menyinari seluruh dunia; cahayanya begitu rupa sampai bahkan setitik biji sesawi yang tergeletak di tanah pun bisa terlihat jelas. Seisi alam manusia berikut dengan alam para dewa memuja api kecil itu dengan persembahan kalung bunga dan wewangian; kerumunan banyak sekali orang melewati api ini namun tak sehelai pun rambut mereka yang gosong.

Raja, ketika ia melihat pemandangan ini, terbangun dengan ketakutan. Raja duduk merenungkan apa yang akan terjadi selagi ia menunggu datangnya fajar. Ketika empat orang bijak datang pagi itu, mereka bertanya apakah raja tidur dengan nyenyak.

“Bagaimana saya bisa tidur nyenyak?” jawabnya, “ketika saya melihat mimpi seperti itu.” Kemudian Pendeta Senaka menjawab, “Jangan takut, wahai Baginda, itu adalah mimpi mujur, Anda akan sejahtera,” dan ketika diminta menjelaskan, ia lalu menjawab, “Wahai Raja, orang bijak kelima yang melampaui kami berempat akan lahir; kami berempat seperti empat pilar api, namun di antara kita akan muncul seperti pilar api kelima, ia yang tiada taranya dan menempati jabatan yang tiada taranya di alam para dewa dan manusia.” “Di mana ia kini berada?” “Wahai baginda, ia entah akan menyaru sebagai wujud atau keluar dari rahim ibunya;” demikianlah Senaka berkata dengan bantuan ilmu pengetahuannya setelah melihat dengan mata surgawi. Baginda sejak saat itu mengingat kata-katanya.

Saat itu di empat gerbang Mithila ada empat kota dagang, yang disebut Kota Timur, Kota Selatan, Kota Barat, dan Kota Utara; dan dalam Kota Timur berdiam seorang hartawan bernama Sirivaddhaka, dan istrinya bernama Sumanadevr. Pada hari ketika raja melihat mimpi itu, Bodhisatta mangkat dari Surga Tiga Puluh Tiga Dewa dan terkandung dalam rahimnya; dan seribu putra dewa lainnya berlalu dari surga itu dan terkandung dalam keluarga berbagai saudagar kaya dalam desa itu, dan pada akhir bulan ke sepuluh, Nyonya Sumana melahirkan anak dengan kulit seperti emas.

Pada saat itu, Sakka, ketika ia menerawang alam manusia, menyaksikan kelahiran Bodhisatta; dan berpikir bahwa ia perlu mengumumkan di alam para dewa dan manusia bahwa calon Buddha ini telah lahir, ia muncul dalam wujud yang kasat mata ketika anak itu lahir dan meletakkan sepotong rempah obat di tangannya, kemudian kembali ke kediamannya sendiri. Bodhisatta menggenggamnya erat dalam tangannya yang terkepal, dan ketika ia keluar dari rahim, ibunya tidak merasakan derita sedikit pun, melainkan keluar semudah air tumpah dari kendi air suci. Ketika ibunya melihat sepotong rempah obat di tangan bayinya, ia berkata kepadanya, “Anakku, apa ini yang engkau pegang?” Anak itu menjawab, “Ini tanaman obat, Bunda,” dan ia menaruh tanaman itu ke tangan ibunya dan memberitahunya untuk mengambilnya dan memberinya kepada semua yang terkena penyakit apa pun.

Penuh sucacita, ibunya menceritakannya kepada saudagar Sirivaddhaka, yang telah menderita sakit kepala selama tujuh tahun. Penuh sukacita saudagar itu berkata, “Anak ini keluar dari rahim ibunya sambil memegang tanaman obat dan segera setelah ia lahir ia bicara kepada ibunya; obat yang diberikan makhluk dengan keluhuran agung seperti ini pasti memiliki kemanjuran besar;” maka ia menggilingnya di batu gerinda dan mengoleskan sedikit ke dahinya, dan rasa sakit di kepalanya yang bertahan selama tujuh tahun lenyap seperti air terjatuh dari daun teratai.

Terdorong oleh sukacita ia berseru, “Ini obat dengan kemanjuran luar biasa;” berita menyebar ke segala penjuru bahwa Bodhisatta telah lahir dengan obat di tangannya, dan semua yang sakit berduyun-duyun ke rumah saudagar itu dan memohon obat itu.

Mereka memberikan sedikit demi sedikit kepada semua yang datang, setelah menggiling sebagian di batu giling dan mencampurnya dengan air, dan segera ketika obat itu menyentuh bagian tubuh yang sakit seluruh penyakit sembuh, dan para pasien yang berbahagia pergi dan menyerukan keagungan luar biasa dari obat dalam rumah saudagar Sirivaddhaka. [332]

Pada hari pemberian nama saudagar itu merenung, “Anakku tidak perlu diberi nama mengikuti leluhurnya; biarlah ia diberi nama tanaman obat itu,” maka ia memberinya nama Osadha Kumara. Kemudian ia berpikir lagi, “Putraku memiliki kebajikan besar, ia tak lahir sendirian, banyak anak-anak lainnya lahir pada waktu yang sama;” maka ketika mendengar dari penyelidikannya bahwa ribuan putra lainnya terlahir bersamanya, ia mengirimkan dayang pengasuh dan memberi mereka pakaian, dan bertekad bahwa mereka akan menjadi pelayan putranya.

Ia merayakan sebuah festival untuk mereka dan Makhuk Agung, lalu ia menghias putra-putra itu dan membawa mereka setiap hari untuk menemani pangeran. Bodhisatta tumbuh besar bermain bersama mereka, dan ketika ia berumur tujuh tahun, ia sama indahnya dengan patung emas.

Ketika ia tengah bermain dengan mereka di desa, beberapa gajah dan hewan lewat dan mengusik permainan mereka, dan terkadang anak-anak terganggu hujan dan panas. Suatu hari ketika mereka bermain, hujan badai di luar musim turun, dan ketika Bodhisatta, yang bertubuh sekuat gajah melihatnya, ia berlari ke dalam sebuah rumah, dan ketika anak-anak lain mengejarnya mereka berjatuhan saling menyandung kaki lainnya dan lutut serta badan mereka lecet-lecet. Kemudian Bodhisatta berpikir, “Sebuah balairung untuk bermain sebaiknya dibangun di sini, kita tak bisa bermain dengan cara ini,” dan ia berkata kepada bocah-bocah itu, “Teman-teman, mari kita bangun di sini sebuah balairung tempat kita bisa berdiri, duduk, atau berbaring saat ada angin, terik matahari, atau hujan, mari kalian masing-masing membawa uang bagian kalian.” Seribu putra itu semuanya melakukannya dan Bodhisatta memerintahkan seorang tukang kayu piawai, memberinya uang, memintanya membangun balairung di tempat itu.

Tukang kayu itu mengambil uangnya, meratakan tanah dan memotong tiang pancang dan membentangkannya di garis pengukur, namun ia tidak memahami gagasan Bodhisatta; maka Bodhisatta memberitahu tukang kayu itu bagaimana ia harus menyebarkan garis tiang pancangnya dengan benar. Tukang kayu itu menjawab, “Saya sudah memasangnya sesuai pengalaman kerja saya. Saya tak bisa melakukannya dengan cara lain lagi.”

“Jika Anda bahkan tidak mengetahui hal ini bagaimana Anda bisa mengambil uang kami dan membangun balairung? Ambil garis itu, saya akan mengukur dan menunjukkannya kepada Anda,” maka ia membuatnya mengambil garis itu dan ia sendiri menggambar rancangannya, dan hal ini dilakukan seakan-akan Dewa Vissakamma yang melakukannya. [333] Kemudian ia berkata kepada tukang kayu itu, “Bisakah Anda menggambar rancangan dengan cara ini?” “Saya tak bisa, Tuan.” “Akankah Anda bisa melakukannya dengan petunjuk saya?” “Saya bisa, Tuan.”

Maka Bodhisatta mengatur balairung itu hingga ada satu bagian untuk tempat tamu asing biasa, bagian lain untuk kediaman yang miskin, tempat lain untuk tempat menginap perempuan miskin, dan di lain bagian tempat berdiam bhikkhu atau brahmana tamu, di bagian lainnya ada kamar untuk orang-orang lain, di tempat lain adalah tempat saudagar asing menyimpan barang dagangan mereka, dan semua kamar ini memiliki pintu yang terbuka ke luar. Di sana, ia pun mendirikan tempat umum untuk olahraga, balairung pengadilan, dan balairung untuk pertemuan religius.

Ketika bangunan ini selesai, ia memanggil para pelukis, dan setelah mengawasi mereka sendiri, ia membuat mereka menggambar lukisan-lukisan indah, sehingga balairung itu menjadi laksana istana surgawi Sakka yakni Balairung Sudhamma. Namun masih juga ia berpikir istana itu belum rampung, “Aku akan membuat telaga pula,” maka ia memerintahkan tanah dikeduk oleh seorang arsitek dan setelah berdiskusi dengannya dan memberinya uang, ia memerintahkannya membangun telaga dengan seribu lekukan di tepiannya dan seratus ghat tempat mandi. Permukaan airnya ditutupi lima jenis teratai dan sama indahnya seperti danau di taman surgawi Nandana. Di tepiannya ia menanam berbagai pohon dan membuat taman seperti Nandana. Dan di dekat balairung ini melakukan derma umum kepada orang suci baik bhikkhu atau brahmana, dan kepada orang tak dikenal dan orang-orang dari desa tetangga.

Aksi-aksinya ini dikumandangkan ke luar negeri setiap orang dan kerumunan orang berkumpul di tempat itu, dan Bodhisatta biasanya duduk di balairung dan membahas yang benar dan salah dari kondisi baik atau buruk semua orang yang mengajukan petisi kepadanya. Ia memberikan keputusan di setiap kasus, dan balairung itu menjadi tempat bahagia ketika Buddha muncul di dunia.

Pada saat itu, ketika tujuh tahun telah berlalu, Raja Videha ingat bagaimana empat penasihat mengatakan bahwa ada orang bijak kelima yang akan lahir dan melampaui mereka dalam kebijaksanaan, dan ia merenung, “Di mana ia sekarang?” Dan ia mengirimkan empat penasihatnya lewat empat gerbang kota, meminta mereka mencari di mana orang bijak kelima ini berada. Ketika mereka pergi keluar lewat tiga gerbang lain, mereka tak melihat pertanda adanya Bodhisatta, namun ketika mereka pergi keluar lewat gerbang timur mereka melihat balairung dan berbagai macam bangunannya, dan mereka seketika merasa yakin bahwa hanya orang bijak yang bisa membangun atau memerintahkan pembangunan istana seperti ini, lalu mereka bertanya kepada orang-orang, “Siapa arsitek yang membangun balairung ini?”

Mereka menjawab, “Istana ini tidak dibangun sendiri oleh arsitek mana pun namun di bawah arahan Mahosadha Pandit, putra saudagar Sirivaddha.” “Berapa usianya?” “Ia baru berusia tujuh tahun.” Menteri itu mengingat-ingat semua kejadian dari hari sejak raja melihat mimpi itu dan berkata, “Makhluk ini memenuhi impian raja,” dan ia mengirimkan utusan dengan pesan ini kepada raja: “Mahosadha, putra pedagang Sirivaddha di Kota Dagang Timur, yang kini berusia tujuh tahun, telah membuat balairung dan telaga serta taman seperti ini dibangun, bolehkah saya membawanya ke hadapan Anda atau tidak?”

Ketika raja mendengar ini ia sangat senang dan memanggil Senaka, lalu setelah menceritakan kisahnya ia menanyainya apakah ia sebaiknya memanggil orang bijak ini. Namun Senaka, karena cemburu akan gelar orang bijaksana ini, menjawab, “Wahai Raja, seseorang tidak disebut orang bijak hanya karena ia membuat balairung dan hal-hal seperti ini dibangun; siapa pun bisa membuat hal-hal ini dibuat, ini hanyalah hal kecil.”

Ketika raja mendengar kata-katanya, ia merenung dalam hati, “Pasti ada alasan rahasia sampai Senaka mengatakan semua ini.” Raja diam saja. Kemudian ia mengirimkan kembali utusan dengan perintah bahwa menteri raja harus menetap beberapa lama di tempat itu dan dengan saksama memeriksa orang bijak itu. Penasihatnya menetap di sana dan memeriksa aksi orang bijak itu, dan inilah serangkaian ujian atau kasus untuk memeriksanya:

1. “Sepotong daging.” Suatu hari ketika Bodhisatta saat berjalan ke balairung tempat bermain, seekor rajawali membawa lari sepotong daging dari rumah jagal dan terbang ke udara; beberapa anak kecil, ketika melihatnya, mengejarnya, bertekad membuat burung itu menjatuhkannya. Rajawali terbang ke berbagai arah, dan mereka, sambil menengadah, mengikutinya dari belakang hingga mereka lelah, melemparkan batu dan benda lain, lalu terpeleset jatuh menimpa satu sama lain.

Kemudian orang bijak itu berkata kepada mereka, “Saya akan membuat unggas itu menjatuhkannya,” dan mereka memohon agar ia melakukannya. Ia meminta mereka menonton; lalu ia sendiri sambil melihat ke atas berlari secepat angin dan berlari di atas bayangan rajawali itu kemudian bertepuk tangan seraya berteriak kencang.

Oleh tenaganya, teriakan itu agaknya menembus perut rajawali itu dan dalam ketakutan ia menjatuhkan daging itu; dan Bodhisatta, mengetahui dengan mengawasi bayangan tempat daging itu jatuh, menangkapnya di udara sebelum jatuh ke tanah. Orang-orang melihat peristiwa luar biasa ini, berseru riuh rendah dan bertepuk tangan.

Menteri raja ketika mendengarnya, mengirimkan berita kepada raja menceritakan bagaimana orang bijak itu dengan cara ini membuat rajawali menjatuhkan daging curiannya. Raja, ketika mendengarnya, bertanya kepada Senaka apakah ia sebaiknya memanggilnya ke istana. Senaka merenung, “Dari sejak kedatangannya, aku kehilangan semua kejayaanku dan raja akan melupakanku, aku tak boleh membiarkannya membawanya kemari;” maka karena iri ia berkata, “Ia bukanlah orang bijak karena perbuatan seperti ini, ini hanya hal kecil;” dan raja karena tidak memihak, mengirimkan pesan agar menteri menguji lebih lanjut dari tempatnya berada.

2. “Ternak .’’Ada orang yang berdiam di desa Yavamajjhaka yang membeli beberapa hewan ternak dari desa lain dan membawanya pulang ke rumahnya. Keesokan harinya ia membawa mereka ke padang untuk merumput sambil menaiki salah satu ternak itu. Karena lelah, ia turun dan duduk di tanah lalu tertidur, sementara seorang pencuri datang dan membawa pergi ternak itu. Ketika ia bangun ia tak melihat ternaknya, namun ketika ia melihat ke segala penjuru ia menyaksikan pencuri itu melarikan diri.

Ia menjerit sambil melompat, “Ke mana kau membawa lari ternakku?” “Ini ternakku, dan saya membawa mereka ke tempat yang kumau,” balas pencuri itu. Kerumunan besar berkumpul saat mendengar pertengkaran itu. Ketika orang bijak mendengar keributan itu saat mereka melewati pintu balairung, ia memanggil mereka berdua. Ketika melihat sikap mereka, ia langsung tahu mana yang pencuri dan mana yang pemilik sejatinya. Namun meski ia merasa yakin, ia menanyai mereka apa yang mereka ributkan. Pemilik ternak itu berkata, “Saya membeli ternak ini orang ini di desa itu, membawanya pulang, lalu menaruh mereka di padang rumput. Pencuri ini melihat saya tak mengawasi lalu datang dan membawa lari mereka. Melihat ke segala penjuru saya melihatnya, mengejarnya, dan menangkapnya. Orang-orang desa itu tahu saya membeli ternak ini dan membawa mereka.”

Pencuri menjawab, “Orang ini bicara dusta, ternak ini lahir dalam rumahku.” Orang bijak berkata, “Saya akan memutuskan kasus Anda dengan adil; akankah Anda mematuhi keputusan saya?” Lalu mereka berjanji mereka akan patuh. Kemudian berpikir bahwa ia harus memenangkan hati mereka, ia pertama-tama bertanya kepada pencuri, “Dengan apa Anda memberi makan ternak ini, dan apa yang Anda berikan kepada mereka untuk minum?” “Mereka minum bubur nasi, dan telah diberi makan tepung sesawi dan kacang hijau.”

Kemudian ia menanyai pemilik sejatinya yang berkata, “Tuanku, bagaimana mungkin orang miskin seperti saya memperoleh nasi dan makanan lain? Saya memberi ternak saya rumput.” Orang bijak itu lalu memanggil banyak orang untuk berkumpul bersama dan memerintahkan biji sesawi dibawa dan ditumbuk dengan alu dan dibasahi dengan air. Makanan ini diberikan kepada hewan ternak itu, dan mereka memuntahkan hanya rumput. Ia menunjukkan hal ini kepada hadirin, lalu kemudian bertanya kepada pencuri itu, “Apakah Anda pencurinya atau bukan?”

Pencuri itu mengakui bahwa ia adalah pencurinya. Bodhisatta berkata kepadanya, “Kalau begitu jangan melakukan kejahatan seperti ini lagi dari sekarang.” Namun para pelayan Bodhisatta membawa orang itu pergi dan memotong tangan dan kakinya dan membuatnya tak berdaya. Kemudian orang bijak itu menyampaikan nasihat baik kepadanya, “Derita ini telah menimpa Anda hanya dalam kehidupan kini, namun dalam kehidupan mendatang Anda akan menderita siksaan hebat di berbagai neraka, karena itu dari sekarang tinggalkanlah perbuatan seperti ini;” ia mengajarinya lima disiplin moral.

Menteri mengirimkan berita mengenai peristiwa itu kepada Raja, yang bertanya kepada Senaka, namun ia menasihati raja untuk menunggu, “Ini hanya masalah ternak dan siapa pun bisa memutuskan mengenai hal ini.” Raja, karena tak memihak, mengirimkan perintah yang sama. (Sama pula dalam kasus-kasus berikutnya, yang diberikan dalam urutan sesuai daftar.)

3. “Kalung untaian benang.” Ada perempuan miskin yang memilin beberapa utas benang berwarna-warni dan membuatnya menjadi kalung. Saat mandi di telaga buatan sang orang bijak, ia melepas kalung ini dari lehernya dan ia taruh di pakaiannya. Seorang gadis muda melihat kalung ini lalu memiliki hasrat mendapatkannya, “Ibu, ini adalah kalung yang sangat indah, berapa biaya membuatnya? Saya akan membuat satu untuk saya sendiri. Bolehkah saya memakainya di leher untuk memastikan ukurannya?” Perempuan tua itu mengizinkannya, lalu gadis itu memakainya di leher dan melarikan diri. Perempuan tua itu saat melihatnya segera keluar dari air, mengenakan pakaiannya, berlari mengejarnya, lalu merenggut baju gadis itu sambil menjerit, “Kau melarikan kalung yang kubuat.”

Gadis muda itu menjawab, “Saya tak mengambil barang milik Anda, ini adalah kalung yang saya pakai di leher saya;” dan kerumunan orang berkumpul ketika mendengar hal ini. Sang bijaksana, ketika bermain dengan bocah-bocah lain, mendengar mereka bertengkar ketika mereka lewat di pintu balairung dan bertanya apa penyebab kebisingan itu. Ketika mendengar penyebab pertengkaran itu ia memanggil mereka berdua, lalu setelah mengetahui dari sikap mereka siapa yang pencuri, ia menanyai mereka apakah mereka akan patuh dengan keputusannya.

Setelah keduanya menyetujuinya, ia bertanya kepada pencuri, “Wewangian apa yang Anda gunakan untuk kalung ini?” Gadis itu menjawab, “Saya selalu memakai sabbasamhharaka untuk membuatnya wangi.” Kemudian ia menanyai perempuan tua, yang menjawab, “Bagaimana mungkin perempuan miskin seperti saya mendapat sabbasamharaka? Saya selalu membubuhkannya dengan wewangian dari bunga piyangu.” Kemudian sang bijaksana meminta jambangan air dibawa dan menaruh kalung itu di dalamnya. Kemudian ia memanggil penjual wewangian dan memintanya mencium jambangan itu dan menemukan apa baunya. Penjual wewangian langsung mengenali bau bunga piyangu, dan mengutip syair yang telah diberikan dalam buku pertama:

“Tidak ada omnigatherum; hanya ada bau kangu; Perempuan jahat di sana berdusta; perempuan tua yang mengucap kebenaran.”

Bodhisatta menceritakan situasinya kepada para penonton dan menanyai masing-masing, “Apakah Anda pencurinya? Apakah Anda bukan pencurinya?” dan membuat yang bersalah mengaku, dan dari sejak saat itu kebijaksanaannya dikenal banyak orang.

4. “Benang kapas.” Ada perempuan yang biasanya menjaga ladang kapas. Suatu hari kala sedang menjagai ladang, ia mengambil kapas bersih dan memintal benang yang halus dan memintalnya menjadi bola benang dan menaruhnya di pangkuannya. Ketika ia pulang ke rumah ia berpikir, “Aku akan mandi di telaga sang bijaksana,” maka ia menaruh bola benang itu di atas pakaiannya dan masuk ke dalam telaga untuk mandi.

Perempuan lainnya melihat bola benang itu, lalu berhasrat mendapatkannya, mengambilnya, lalu berkata, “Ini bola benang yang indah; apakah Anda membuatnya sendiri?” Maka ia dengan enteng menjentakkan jarinya dan menaruhnya di pangkuannya untuk memeriksanya dengan lebih cermat, lalu berjalan pergi sambil membawanya. (Ini diceritakan lengkap seperti sebelumnya) Sang bijak bertanya kepada pencurinya, “Ketika Anda membuat bola itu apa yang Anda taruh di dalamnya?” Ia menjawab, “Biji kapas.” Kemudian ia bertanya kepada perempuan lain, dan ia menjawab, “Biji timbaru.” Ketika kerumunan orang mendengar apa yang masing-masing katakan, sang bijak mengurai bola kapas itu dan menemukan benih timbaru di dalamnya dan memaksa pencuri itu mengakui perbuatannya. Kerumunan orang merasa sangat senang dan mengumandangkan tepuk tangan mereka melihat cara kasus ini telah diputuskan.

5. “Putra.” Ada perempuan yang membawa putranya dan pergi ke telaga sang bijak untuk membasuh wajahnya. Setelah ia memandikan putranya ia menaruhnya dibungkus baju perempuan itu dan setelah mencuci muka perempuan itu mandi. Tatkala seorang siluman perempuan melihat anak itu dan ingin memangsanya, ia mengambil bayi itu dan berkata, “Sahabatku, ini anak yang tampan sekali, apakah ia putramu?”

Kemudian ia bertanya apakah ia boleh menyusuinya, dan setelah memperoleh izin ibunya, ia menggendongnya dan bermain dengannya sebentar lalu mencoba melarikan diri dengan anak itu. Ibu anak itu mengejarnya dan memeganginya, seraya berteriak, “Ke mana kau membawa anakku?” Siluman itu menjawab, “Mengapa Anda menyentuh anak itu? Anak ini punya saya.”

Ketika mereka bergelut mereka melewati pintu balairung, dan sang bijaksana, mendengar suara itu, memanggil mereka dan bertanya apa masalahnya. Ketika mereka mendengar kisahnya [337] meski ia segera tahu bahwa salah seorang adalah siluman karena memiliki mata merah yang tak berkedip, ia bertanya apakah mereka akan menuruti keputusannya.

Saat mereka berjanji melakukannya, ia menggambar sebuah garis dan meletakkan anak itu di tengah garis dan meminta siluman itu menarik anak itu di tangannya sementara ibunya dari kaki anak itu. Kemudian ia berkata kepada mereka, “Peganglah lalu tarik; anak itu akan menjadi milik yang berhasil menariknya.” Mereka berdua menariknya, dan anak itu, karena kesakitan ditarik, menjerit kencang. Lalu ibunya, dengan hati yang hendak meledak rasanya, melepaskan anak itu dan berdiri sambil menangis.

Sang bijaksana bertanya kepada penonton, “Bukankah hati ibu yang lembut kepada anaknya ataukah hati yang bukan ibunya?” Mereka menjawab, “Hati ibunya.” “Apakah ia ibu yang memegangi anaknya atau melepasnya?” Mereka menjawab, “Yang melepasnya.” “Apakah Anda tahu siapa dia ini yang mencuri anak ini?” “Kami tak tahu, wahai bijaksana.” “Ia adalah siluman, ia mencurinya untuk bisa memangsanya.” Ketika mereka bertanya bagaimana ia tahu, ia menjawab, “Saya tahu dari matanya yang merah dan tak berkedip, lalu geraknya yang tidak menimbulkan bayangan, dan rasa tak kenal takutnya dan sifatnya yang tak mengenal kewelasan.” Kemudian orang bijak bertanya siapa dirinya dan siluman itu mengaku.

“Mengapa Anda merebut anak ini?” “Untuk memakannya.” “Kamu dungu dan buta,” katanya, “kamu melakukan kejahatan pada masa lalu sehingga lahir sebagai siluman; dan kini kamu terus melakukan kejahatan, sungguh dungu dan buta kamu.” Kemudian ia menasihatinya dan meneguhkannya dalam lima disiplin moral lalu memintanya pergi; kemudian si ibu memberkatinya sambil berkata, “Semoga Anda berumur panjang, Tuanku,” lalu mengambil putranya dan pergi.

6. “Bola hitam.” Ada orang bernama Golakala, ia mendapat nama itu dari bola gola karena badannya cebol, dan kala dari kulitnya yang hitam. Ia bekerja di sebuah rumah selama tujuh tahun dan mendapat seorang istri bernama DTghatala. Suatu hari ia berkata kepada istrinya, “Istriku, masaklah daging dendeng dan makanan, kita akan mengunjungi orang tuamu.” Awalnya ia menolak rencana itu, dengan mengatakan, “Apa hubungan saya dengan orang tua saya sekarang?” Namun setelah kali ketiga memintanya, ia berhasil membujuk istrinya memasak beberapa kue, dan setelah membawa ransum dan hadiah, ia melakukan perjalanan bersamanya. Dalam perjalanan, ia sampai ke sebuah sungai yang tidak begitu dalam, namun mereka berdua takut air, tak berani menyeberanginya dan hanya bisa berdiri di tepian.

Saat itu ada seorang miskin bernama Dighapitthi yang datang ke tempat itu ketika ia berjalan di tepian, dan ketika mereka melihatnya mereka bertanya apakah sungai itu dalam atau dangkal. Melihat mereka takut air orang miskin ini memberitahu mereka bahwa sungai itu sangat dalam dan penuh ikan buas. “Kalau begitu bagaimana Anda akan menyeberanginya?” “Saya sudah bersahabat dengan buaya dan makhluk buas yang hidup di sini, karena itu mereka tak melukaiku.” “Bawalah kami besertamu,” kata mereka. Ketika ia menyetujui, mereka memberinya daging dan minuman; kemudian selesai makan ia bertanya kepada mereka siapa yang harus ia bawa terlebih dahulu.

“Bawalah saudarimu dahulu lalu baru bawa saya,” kata Gojakaja. Kemudian pria itu menggendongnya di bahu, mengambil ransum dan hadiah, lalu berjalan masuk ke sungai. Ketika ia telah berjalan sebentar, ia membungkuk dan berjalan dengan posisi agak bungkuk. Golakala, ketika berdiri di tepian, berpikir, “Sungai ini pasti sangat dalam; bahkan sangat sulit bagi orang seperti Dlghapitthi untuk lewat, sungai ini pasti tak bisa kulewati.”

Ketika pria itu telah membawa perempuan itu ke tengah sungai, ia berkata kepadanya, “Nyonya, saya sangat mencintai Anda, dan Anda akan hidup dengan dihiasi baju indah dan perhiasan dan pelayan pria dan perempuan; apa yang cebol miskin ini bisa lakukan untuk Anda? Dengarkan apa yang saya katakan kepada Anda.” Perempuan itu mendengarkan kata-katanya dan berhenti mencintai suaminya, dan segera tergila-gila dengan orang asing itu dengan mengatakan, “Jika Anda tak meninggalkan saya, saya akan melakukan apa yang Anda katakan.”

Maka ketika mereka mencapai tepian seberang, mereka bersenang-senang sendiri dan meninggalkan Golakaja, menyuruhnya tetap berada di sana. Ia berdiri di sana sambil melihat mereka menghabiskan daging dan minuman lalu pergi. Ketika melihatnya, ia berseru, “Mereka pasti telah menjalin persahabatan dan lari, meninggalkan saya di sini.” [338] Ketika ia lari bolak-balik ia masuk sebentar ke dalam air lalu mundur lagi karena takut, kemudian dalam kemarahannya karena tindakan mereka, ia melompat karena putus asa, “Biarlah saya hidup atau mati,” dan ketika ia sudah berada di sungai, ia menemukan betapa dangkalnya airnya.

Maka ia menyeberanginya dan mengejar mereka sambil berseru, “Kau pencuri jahat, ke mana kau membawa istriku?” Orang itu menjawab, “Bagaimana mungkin ia istrimu? Ia milikku;” lalu ia meringkusnya di leher dan memutar-mutarnya lalu membantingnya. Ia memegang tangan Dlghatala dan berseru, “Berhenti, ke mana kamu pergi? Kamu adalah istri yang kudapat setelah tujuh tahun bekerja di rumah itu;” dan ketika ia meributkan hal itu, ia sampai ke dekat balairung.

Kerumunan besar segera berkumpul. Bodhisatta bertanya mengenai apa keributan itu, lalu setelah memanggil mereka dan mendengar apa yang masing-masing katakan, ia meminta apakah mereka menyetujui keputusannya. Setelah keduanya setuju, ia memanggil Dighapitthi dan bertanya siapa namanya. Lalu ia bertanya siapa nama istrinya, namun ia, tak mengetahui siapa namanya, menyebutkan nama lain. Ia kemudian menanyai nama orang tuanya dan ia menjawab, namun ketika ditanya nama orang tua istrinya, ia tak tahu dan menyebutkan nama yang lain. Bodhisatta menyusun kisahnya lalu memintanya menyingkir dahulu. Ia kemudian memanggil Golakala dan menanyainya nama-nama dengan cara yang sama. Karena mengetahui kebenarannya, ia memberikan nama-nama itu dengan benar. Ia kemudian membawa pergi Gojakaja sebentar lalu memanggil Dlghatala lalu menanyakan siapa namanya, dan perempuan itu memberinya. Ia kemudian menanyai nama suaminya, dan ia, karena tidak tahu, memberikan nama yang salah. Kemudian ia menanyakan nama orang tuanya dan ia memberitahu dengan benar, namun ketika ditanya nama orang tua suaminya, ia bicara asal-asalan dan memberikan nama yang salah. Kemudian sang bijaksana memanggil dua pria lainnya itu dan bertanya ke keramaian, “Apakah kisah perempuan ini selaras dengan DTghapitthi atau Gojakaja.” Mereka menjawab, “Dengan Gojakaja.” Kemudian ia mengucapkan vonisnya, “Pria inilah suaminya, yang lainnya adalah pencuri;” kemudian ia memintanya mengakui bahwa ia telah bertindak sebagai pencuri.

7. “Kereta.” Ada orang yang sedang duduk di atas kereta, lalu turun untuk membasuh wajahnya. Pada saat itu, Sakka sedang merenung, sebab ia bertekad membuat kekuatan dan kebijaksanaan Mahosadha alias calon Buddha dikenal luas. Maka ia turun dalam wujud manusia, dan mengikuti kereta itu dengan memegangnya dari belakang. Pria yang duduk di kereta bertanya, “Mengapa Anda datang?” Ia menjawab, “Untuk melayani Anda.” Pria itu setuju, lalu turun dan kereta kemudian pergi sebentar untuk buang air. Segera, Sakka menaiki kereta itu lalu melarikannya dengan kencang.

Pemilik kereta itu kembali seusai menyelesaikan urusannya; dan ketika ia melihat Sakka melarikan kereta itu, ia segera berlari mengejarnya sambil berseru, “Berhenti, berhenti, ke mana Anda membawa kereta saya?” Sakka menjawab, “Kereta Anda pasti yang lain lagi, yang ini punya saya.” Sehingga bergumul demikian mereka sampai ke gerbang balairung.

Sang bijaksana bertanya, “Apa ini?” dan memanggilnya; ketika ia datang, oleh sikapnya yang tak kenal takut dan matanya yang tak berkedip, sang bijak mengetahui ini adalah Sakka dan yang lainnya adalah pemiliknya. Meski demikian ia menanyakan penyebab pertengkaran itu dan menanyai mereka, “Akankah Anda menuruti keputusan saya?” Mereka menjawab, “Ya.” Ia melanjutkan, “Saya akan membuat kereta ini dikemudikan, dan Anda berdua harus berpegangan di belakangnya; pemiliknya adalah yang tak akan melepasnya.” Kemudian ia meminta seseorang mengemudikan kereta, dan ia melakukannya, lalu kedua orang ini berpegangan di belakang. Pemilik kereta198 hanya sanggup berlari sebentar, lalu tak mampu lagi hingga melepasnya; namun Sakka term berlari bersama kereta itu.

Ketika sang bijak membawa kereta itu kembali, sang bijak berkata kepada orang banyak: “Pria ini berlari sebentar lalu melepasnya; yang lain berlari dengan kereta lalu kembali dengannya, namun tak setetes pun keringat di tubuhnya, napasnya tak terengah, ia tak kenal takut, matanya tak berkedip, inilah Sakka, raja dewa.” Kemudian ia bertanya, “Apakah Anda raja para dewa?” “Ya.” “Mengapa Anda datang kemari?” “Untuk menyebarkan kesohoran kebijaksanaan Anda, wahai orang bijak!” “Kalau begitu, jangan lakukan hal seperti ini lagi,” ujarnya. Lalu Sakka mengungkap kemampuannya dengan melayang di udara, dan memuji sang bijak, “Inilah keputusan bijaksana!” Lalu ia kembali ke kediamannya.

Kemudian menteri itu tanpa dipanggil menemui raja, dan berkata, “Wahai Raja Agung, demikianlah Kasus Kereta diselesaikan: bahkan Sakka ditaklukkan olehnya; mengapa Anda tak mengenali keunggulan manusia?” Raja menanyai Senaka, “Apa pendapat Anda, Senaka, akankah kita bawa orang bijak itu kemari?” Senaka menjawab, “Itu bukanlah segala hal yang menjadikan orang bijaksana. Tunggu sebentar: saya akan mengujinya dan mencari tahu sendiri.”

8. “Galah.” Maka suatu hari, dengan maksud menguji sang bijaksana, mereka mengambil dahan akasia, memotongnya kira-kira sedepa, lalu mereka menghaluskannya dengan mesin bubut, lalu mengirimnya ke Kota Dagang Timur dengan pesan ini: “Orang-orang Kota Dagang ini terkenal akan kebijaksanaannya. Biarlah mereka mencari tahu ujung mana yang di pucuk dan yang mana yang di ujung bagian akar dari dahan ini. Jika tak bisa, akan ada denda seribu keping uang.”

Orang-orang berkumpul namun tak bisa mengetahuinya, maka mereka berkata kepada kepala desa mereka, “Mungkin Mahosadha sang bijaksana bisa tahu; panggil dan tanyailah dia.” Kepala desa memanggil orang bijak dari tempat mainnya, dan memberitahunya masalah ini, bagaimana mereka tak bisa menemukannya namun mungkin ia mampu. Orang bijak itu merenung, “Raja tak beroleh apa-apa dari mengetahui yang mana yang puncak dan mana yang akarnya; tidak diragukan lagi galah ini dikirim untuk mengujiku.”

Ia mengatakan, “Bawalah kemari, sahabat-sahabatku, saya akan mencari tahu.” Saat memegangnya di tangannya, ia mengetahui yang mana yang puncak dan yang mana yang akar; namun untuk menyenangkan hati banyak orang ia meminta dibawakan sekendi air, kemudian mengikat benang di tengah-tengah batang itu, dan memegangnya di ujung benang itu, ia membiarkan batang itu jatuh ke permukaan air. Bagian akar yang lebih berat tenggelam dahulu. Kemudian ia bertanya kepada orang-orang, “Apakah bagian akar pohon lebih berat atau puncaknya?” “Akarnya, orang bijak!” “Kalau begitu lihat, bagian ini tenggelam lebih dahulu, karena itulah bagian ini akarnya.” Dengan pertanda ini ia membedakan akar dari pucuknya. Orang-orang mengirimnya kembali ke raja, berhasil membedakan mana yang akar dan mana yang pucuk. Raja merasa senang, dan bertanya siapa yang memecahkan masalah ini. Mereka berkata, “Sang bijaksana Mahosadha, putra kepala desa Sirivaddhi.” “Senaka, akankah kita memanggilnya?” tanya Raja. “Tunggu, Baginda,” Senaka menjawab, “Mari kita uji dia dengan cara lain.”

9. “Kepala.” Suatu hari, dua tengkorak dibawa, satu perempuan dan satu pria; tengkorak ini dikirim untuk dibedakan, dengan denda seribu keping jika gagal. Para penduduk desa tak bisa memutuskan dan bertanya kepada Bodhisatta. Ia bisa membedakan saat melihat, karena mereka mengatakan, sambungan di tengkorak pria lurus, sedangkan di kepala perempuan bengkok. Oleh ciri ini ia bisa membedakan yang mana yang pria dan perempuan; dan mereka mengirimkannya kembali ke raja. Ceritanya lalu seperti sebelumnya.

10. “Ular.” Suatu hari seekor ular jantan dan betina dibawa, dikirim ke penduduk desa untuk dibedakan jenis kelaminnya. Mereka menanyai orang bijak, dan ia langsung mengetahui saat melihatnya; ekor ular jantan tebal, sedangkan ekor ular betina tipis; kepala ular jantan tebal, sedangkan kepala ular betina panjang; mata ular jantan besar, yang betina kecil, kepala199 ular jantan melingkar, sedangkan yang betina lancip. Oleh pertanda-pertanda ini ia membedakan yang jantan dari betina. Sisanya sama seperti sebelumnya.

11. “Ayam jantan.” Suatu hari sebuah pesan dikirimkan kepada rakyat Kota Dagang Timur berbunyi seperti ini: “Kirimkan kami seekor banteng yang berwarna serba putih, dengan tanduk di kakinya, dan punuk di kepalanya, yang selalu mengeluarkan suara di tiga waktu; jika tidak, ada denda seribu keping.” Tidak mengetahui makhluk apa itu, mereka bertanya kepada orang bijak. Ia mengatakan: “Maksud raja kalian adalah untuk mengirimkannya seekor ayam jantan. Makhluk ini memiliki tanduk di tumit kakinya; punuk di kepalanya, yakni jenggernya; dan tanpa cela berkokok tiga kali sehari pada tiga waktu. Maka kirimkan kepadanya seekor ayam jantan seperti yang raja jabarkan.” Mereka mengirimkan seekor kepada raja.

12. “Permata.” Permata yang diberikan Sakka kepada Raja Kusa memiliki delapan segi. Benangnya putus, dan tak seorang pun bisa menyingkirkan benang lama dan memasukkan benang baru. Suatu hari mereka mengirimkan permata ini, dengan petunjuk untuk mengeluarkan benang lama dan memasukkan benang baru; para penduduk desa tak bisa melakukan bahkan salah satu tugas ini, dan dalam kesulitan mereka menceritakannya kepada orang bijak. Orang bijak meminta mereka agar jangan takut, lalu meminta segumpal madu. Dengan madu ia melumuri kedua lubang dalam permata, lalu setelah memuntir benang wol, ia melumuri ujungnya pula dengan madu, lalu ia menekannya masuk sedikit ke dalam lubang, lalu menaruhnya di tempat semut-semut lewat. Semut yang mencium bau madu itu keluar dari sarang mereka, menggigiti ujung benang tuanya di satu sisi, sambil dan menariknya benang lainnya ke luar lubang permata itu dari ujung satunya. Ketika melihat bahwa benangnya sudah menembus permata itu, ia meminta mereka menghadiahkannya kepada raja, yang merasa senang ketika mendengar bagaimana benang itu bisa dimasukkan.

13. “Kelahiran Anak Sapi.” Sapi kerajaan telah diberi makan selama beberapa bulan, sehingga perutnya menggembung, tanduknya dicuci, diurapi minyak, dimandikan dengan kunyit, kemudian dikirim ke Kota Dagang Timur dengan pesan ini: “Anda semua terkenal dengan kebijaksanaan. Inilah kerbau raja, yang di dalamnya ada anak sapi; lahirkan dan antarkan anak sapi itu, jika tidak ada denda seribu keping.”

Orang-orang desa, bingung harus melakukan apa, memohon kepada orang bijaksana; yang berpikir bahwa layak untuk membalas satu pertanyaan dengan pertanyaan lain, lalu ia meminta, “Bisakah Anda mencarikan orang yang berani bicara dengan raja?” “Itu bukan masalah sulit,” jawab mereka. Maka mereka memanggilnya, dan Bodhisatta berkata, ’’Pergilah, wahai warga yang baik, urai rambut Anda sampai menggantung di bahu, dan pergilah ke gerbang istana sambil menangis dan meratap keras. Jangan ladeni siapa pun kecuali raja, cukup merataplah terns, katakan, ‘Tujuh hari ini putra saya sudah dalam kesakitan karena mengandung dan tak bisa melahirkan; Oh tolonglah saya! Beritahu saya bagaimana melahirkannya!” kemudian raja akan mengatakan, ‘Betapa gilanya! Ini tak mungkin; pria tak bisa mengandung anak.’ Kemudian Anda harus berkata, ‘Jika itu benar, bagaimana bisa orang di Kota Dagang Timur melahirkan anak sapi dari kerbau jantan kerajaan?’” Lalu orang ini melakukan seperti yang disuruh. Raja bertanya siapa yang memikirkan bantahan cerdas itu; dan ketika mendengar bahwa itu berasal dari petapa Mahosadha, raja merasa senang.

14. “Nasi kukus.” Di lain kesempatan, untuk menguji sang bijaksana, pesan ini dikirimkan: “Orang-orang Kota Dagang Timur harus mengirimkan kami nasi kukus dengan enam syarat, yakni, tanpa nasi, tanpa air, tanpa kuali, tanpa penanak, tanpa api, tanpa kayu bakar, tanpa dikirim melalui jalan oleh pria atau wanita. Jika mereka tak bisa melakukannya, akan dikenai denda seribu keping.” Orang-orang yang kebingungan memohon kepada orang bijak, yang mengatakan, “Janganlah cemas. Ambillah beras hancur, karena itu bukan beras; salju, karena itu bukan air; mangkuk tanah liat, yang bukan kuali; potonglah beberapa balok kayu, yang bukan penanak; nyalakan api dengan menggosok-gosok kayu, alih-alih dengan cara biasa; ambil dedaunan sebagai pengganti kayu bakar; masaklah nasi asam Anda, letakkan dalam wadah baru, tekan ke bawah baik-baik, letakkan di kepala seorang kasim, yang bukan pria atau wanita, lalu jangan lewat jalan utama namun laluilah jalan lain dan masuk ke jalan setapak kecil, lalu bawalah dan berikan kepada raja.” Mereka melakukannya; dan raja merasa senang ketika ia mendengar siapa yang menyelesaikan persoalan itu.

15. “Pasir.” Pada lain hari, untuk menguji orang bijak itu, mereka mengirimkan pesan ini kepada penduduk desa: “Raja hendak menghibur dirinya sendiri dengan ayunan, dan tali tambang tuanya rusak; Anda harus membuat tali tambang dari pasir, atau membayar denda seribu keping.” Mereka tak tahu apa yang harus dilakukan, dan memohon kepada orang bijaksana, yang melihat bahwa inilah saatnya untuk melancarkan pertanyaan balasan. Ia meyakinkan orang-orang; dan mengirim dua atau tiga pembicara cerdas, ia menyuruh mereka pergi memberitahu raja: “Baginda, orang-orang desa tidak tahu apakah tali tambang dari pasir harus tebal atau tipis; kirimkanlah sedikit tali tambang lama, sepanjang satu depa atau empat jari; mereka akan melihat contoh ini dan membuat tambang yang ukurannya sama.” Jika raja menjawab, “Tidak pernah ada tali dari pasir di rumah saya,” mereka harus menjawab, “Jika Baginda tidak bisa membuat tali dari pasir, bagaimana bisa para penduduk melakukannya?” Mereka melakukannya; dan raja merasa senang mendengar bahwa orang bijak bisa memikirkan pertanyaan balasan ini.

16. “Telaga.” Pada hari lain, pesannya adalah: “Raja hendak bermain-main di air; Anda harus mengirimkan kepada raja sebuah telaga baru yang diliputi lima jenis teratai, jika tidak akan ada denda seribu keping.” Mereka memberitahu orang bijak, yang melihat bahwa diperlukan pertanyaan balik. Ia mengirim beberapa orang yang pintar bicara, dan berkata kepada mereka: “Pergilah dan bermain dalam air sampai mata Anda merah, lalu pergi ke pintu istana dengan rambut dan pakaian basah dan seluruh tubuh berlepotan lumpur, lalu peganglah di tangan seutas tambang, tongkat, dan tumpukan lumpur; kirimkan kabar kepada raja akan kedatangan kalian, dan ketika Anda diizinkan masuk katakan kepadanya, ‘Baginda, meski Baginda telah meminta rakyat Kota Dagang Timur mengirimkan Baginda sebuah telaga, kami membawa telaga besar yang sesuai dengan selera Anda; namun telaga ini terbiasa dengan kehidupan dalam hutan, jangankan ia melihat kota dengan tembok-temboknya, selokannya, menara penjaganya, telaga ini takut dan memutuskan tali dan melarikan diri ke hutan; kami melemparinya dengan lumpur dan memukulinya dengan tongkat namun tak bisa membuatnya kembali. Berikan kami telaga lama yang Baginda bilang telah Baginda bawa dari hutan, kami akan mengikat mereka bersama-sama dan membawa telaga yang ini kembali.’ Raja akan mengatakan, ‘Saya tak pernah melihat telaga bisa dibawa dari dalam hutan, dan tak pernah menyuruh telaga diikat dengan telaga lainnya dan bisa membawa telaga lainnya!’ Jika demikian Anda harus berkata, ‘Jika memang demikian, bagaimana bisa penduduk desa mengirimi Baginda telaga?’” Mereka melakukannya; dan raja senang mendengar bahwa orang bijaksana yang telah memikirkan hal ini.

17. “Taman.” Sekali lagi suatu hari raja mengirimkan pesan: “Saya hendak bersenang-senang di taman, dan taman saya sudah tua. Rakyat Kota Dagang Timur harus mengirimkan saya taman baru, lengkap dengan pepohonan dan bunga.” Orang bijaksana menenangkan mereka seperti sebelumnya, lalu mengirim orang untuk bicara dengan cara yang sama seperti di atas.

18. Kemudian raja merasa senang, dan ia berkata kepada Senaka: “Nah, Senaka, baikkah kita memanggil orang bijak itu kemari?” Namun Senaka, dengki akan kesuksesan orang lain berkata, “Itu belum segala hal yang membuat orang menjadi bijaksana; tunggulah.”

Mendengar hal ini, raja berpikir, “Orang bijak Mahosadha ini bijaksana bahkan meski masih kanak-kanak, dan aku menyukainya. Dalam semua ujian misterius dan pertanyaan balasannya ia telah memberi jawaban seperti seorang Buddha. Namun orang bijak seperti Senaka ini tak akan membiarkan saya memanggilnya ke sisi saya. Apa peduli saya akan Senaka? Saya akan membawa orang ini kemari.” Maka dengan iring-iringan besar ia menuju desa, menunggangi kuda kerajaan. Namun ketika dalam perjalanan, kaki kuda itu terperosok ke lubang dan patah kakinya; maka raja kembali dari tempat itu ke istana. Senaka menemuinya dan berkata, “Baginda, apakah Anda pergi ke Kota Dagang Timur untuk membawa orang bijak itu kemari?” “Ya,” jawab raja. “Baginda, Anda melecehkan saya. Saya memohon kepada Anda untuk menunggu sesaat; namun Anda buru-buru pergi, dan karenanya kuda kerajaan patah kakinya.” Raja tak bisa mengatakan apa pun. Suatu hari raja kembali menanyai Senaka, “Baikkah kita mengundang orang bijak kemari, Senaka?” “Jika demikian, Baginda, jangan pergi sendiri namun kirimkanlah seorang utusan, seraya berkata, wahai orang bijak! Ketika saya sedang dalam perjalanan menjemputnya, kaki kuda saya patah; kirimkanlah kami kuda yang lebih baik dan yang lebih unggul202. Jika ia memilih cara pertama, ia akan datang sendiri, jika ia memilih cara kedua, ia akan mengirim ayahnya. Maka saat itu akan ada pertanyaan untuk mengujinya.” Raja mengirim utusan dengan pesan ini.

Petapa ketika mendengar hal ini ia mengetahui bahwa raja ingin melihat dirinya dan ayahnya. Maka ia pergi menemui ayahnya, lalu memberi salam kepadanya, “Ayah, raja hendak melihat Ayah dan saya. Ayah pergi dahulu dengan diiringi seribu saudagar; dan ketika ayah pergi, jangan pergi dengan tangan kosong, namun bawalah peti dari cendana yang diisi minyak mentega segar. Raja akan menyambut ayah dengan ramah, dan menawarkan ayah kursi perumah-tangga; terimalah dan duduklah. Ketika Ayah sudah duduk, saya akan datang; raja akan menyambut saya dengan ramah dan menawarkan kursi lain. Kemudian saya akan melihat ke ayah; itulah isyaratnya dan katakan sambil berdiri dari kursi Ayah, ‘Putra Mahosadha, sang bijak, ambillah kursi ini. Maka pertanyaan dari raja akan matang untuk dipecahkan.’”

Ayahnya melakukannya. Maka ketika tiba di gerbang istana ia menyuruh kedatangannya diumumkan kepada raja, dan atas undangan raja, ia masuk dan memberi salam kepada raja, lalu berdiri di satu sisi. Raja bicara kepadanya dengan ramah, bertanya di mana putranya si bijak Mahosadha, “Akan datang setelah saya, Baginda.” Raja merasa senang mendengar kedatangannya, lalu meminta ayahnya duduk di tempat yang sesuai. Ia menemukan tempat duduknya lalu duduk di sana. [343] Sementara Bodhisatta mengenakan pakaiannya yang megah dan gemerlap, diiringi seribu pemuda, ia datang duduk di atas kereta yang mengagumkan. Ketika ia memasuki kota ia melihat seekor keledai di sisi selokan, dan ia memerintahkan beberapa rekan yang perkasa untuk mengikat mulut keledai itu supaya keledai itu tak bersuara, lalu memasukkannya ke dalam kantong dan membawanya di bahu mereka. Mereka lalu melakukannya; Bodhisatta memasuki kota bersama iring-iringan besar.

Rakyat tak henti-henti memujinya, “Ini,” sorak mereka, “adalah si bijak Mahosadha, putra saudagar Sirivaddhaka; inilah yang mereka katakan, ketika lahir memegang tanaman keluhuran di tangannya; ialah yang mengetahui jawaban atas begitu banyak persoalan yang diajukan untuk mengujinya.” Pada saat ia tiba di depan istana, ia mengirimkan berita kedatangannya.

Raja senang mendengarnya dan berkata, “Biarkan putraku Mahosadha yang bijak segera masuk.” Maka bersama para pelayannya ia memasuki istana dan memberi hormat pada raja dan berdiri di satu sisi. Raja gembira melihatnya, bicara kepadanya dengan sangat ramah, lalu memintanya mencari kursi untuk duduk. Mahosadha lalu melihat ayahnya, dan ayahnya melihat isyarat ini bangkit dari kursinya dan memintanya duduk di sana, yang kemudian ia lakukan. Sehingga para orang bodoh yang ada di sana, Senaka, Pukkusa, Kavinda, Devinda, dan yang lainnya, melihatnya duduk di sana, bertepuk tangan dan tertawa keras-keras dan berseru, “Orang dungu dan buta ini yang mereka bilang bijaksana! Ia menyuruh ayahnya berdiri dari tempat duduknya, lalu ia malah duduk di sana sendiri! Tentunya ia tak bisa disebut bijaksana.”

Raja pun juga ikut termangu dan kecewa. Ketika Bodhisatta berkata, “Mengapa, Baginda! Apakah Anda sedih?” “Ya, Tuan yang bijak, saya sedih. Saya senang mendengar kabar mengenai Anda, namun ketika melihat Anda, saya tidak senang.” “Mengapa begitu?” “Sebab Anda menyuruh ayah Anda bangkit dari kursinya, kemudian Anda sendiri duduk di sana.” “Apa, Baginda? Apakah Anda pikir dalam segala kasus si ayah lebih baik dari putra-putranya?” “Ya, Tuan.” “Tidakkah Anda mengirimkan kabar kepadaku untuk membawa kuda yang lebih baik atau kuda yang lebih unggul?” Maka berkata demikian, ia bangkit dan melihat ke para pemuda sahabatnya, “Bawa masuk keledai yang kalian bawa.” Menaruh keledai ini di hadapan raja, ia melanjutkan, “Baginda, apakah harga keledai ini?” Raja menjawab, “Jika bisa bekerja, keledai ini senilai delapan rupee.” “Namun jika ia bisa mendapat anak keledai dari kuda betina Sindhu berketurunan murni, berapa harganya?” “Itu akan tak ternilai.” “Mengapa Anda mengatakan itu, Baginda? Tidakkah Anda baru mengatakan bahwa dalam semua kasus ayah lebih baik dari putra-putranya? Oleh perkataan Anda tadi keledai ini jauh lebih berharga dari anak keledai campur kuda tadi. Baru saja, tidakkah orang bijak Anda bertepuk tangan dan menertawakan saya karena mereka tidak mengetahui hal itu? Kebijaksanaan apa yang dimiliki orang bijak Anda? Dari mana Anda mendapatkan mereka?” Lalu dalam ketidaksukaan akan keempat orang bijak itu, ia berkata kepada raja dengan syair dalam Kitab Pertama:

“Anda pikir si ayah selalu lebih baik dari putranya, wahai Raja Agung? Kalau begitu makhluk ini lebih baik dari bagalnya; keledai inilah ayah si bagal.”

Setelah hal ini diucapkan, ia berkata, “Baginda, jika ayahnya lebih baik dari putranya, ambillah ayah saya untuk melayani Anda; jika putranya lebih baik dari ayahnya, ambillah saya.” Raja merasa senang; dan seluruh iring-iringan mereka berseru keras sambil bertepuk tangan dan memuji seribu kali, ’’Sungguh menakjubkan orang bijaksana telah memecahkan pertanyaannya.” Ada suara jentikan jari dan lambaian ribuan syal: keempat orang bijak merasa kecewa.

Nah, tak satu pun yang tahu lebih baik dari Bodhisattwa mengenai betapa berharganya orang tua. Jika kita bertanya saat itu, mengapa ia melakukannya; ini bukanlah untuk mencela ayahnya, namun ketika raja mengirim pesan, “Kirimkan kuda yang lebih baik atau kuda yang lebih unggul,” ia melakukannya untuk memecahkan masalah itu dan membuat kebijaksanaannya diketahui, dan untuk meredupkan pamor keempat orang bijak.

Raja merasa senang; dan mengambil vas emas yang diisi air wangi, ia menuang air itu di atas tangan saudagar itu sambil berkata, “Nikmat.ila.h Kota Dagang Timur sebagai anugerah dari raja, biarkan para saudagar lain menjadi hamba saudagar ini.” Ketika penganugerahan itu dilakukan, raja mengirimi ibu Bodhisatta segala jenis perhiasan.

Merasa gembira atas jawaban Bodhisattwa atas Pertanyaan Keledai, ia ingin menjadikan Bodhisattwa putranya sendiri, dan berkata kepada ayahnya, “Tuan baik, berikanlah Bodhisatta sebagai putra saya.” Saudagar itu menjawab, “Baginda, ia masih sangat muda; bahkan mulutnya pun masih bau susu; namun ketika ia dewasa, ia akan mengikuti Anda.” Namun, raja berkata, “Tuan yang baik, mulai dari sekarang Anda harus melepaskan kelekatan Anda kepada bocah ini; dari sejak hari ini, dialah putra saya. Saya bisa menyokong putra saya, maka pergilah ke jalan Anda.” Kemudian ia mengirimnya pergi. Saudagar itu memberi hormat pada raja, memeluk putranya, merangkulnya dan menciumnya di kepala, lalu memberinya nasihat baik. Putra itu pun mengucapkan selamat tinggal kepada ayahnya, dan memintanya jangan cemas, lalu mengantarnya pergi.

Raja kemudian menanyai orang bijak itu, apakah ia hendak makan di dalam istana atau di luar. Ia berpikir bahwa rombongan sebesar itu lebih baik makan di luar istana, lalu mengatakan demikian. Kemudian raja memberinya rumah yang sesuai, menyediakan biaya perawatan seribu pemuda dan segalanya, lalu memberikan kepadanya apa yang diperlukan. Dari sejak saat itu, orang bijak itu melayani raja.

19. Kini raja ingin menguji sang bijaksana. Pada saat itu, ada permata berharga di sarang gagak di pucuk pohon palem yang tumbuh di tepian telaga dekat gerbang selatan, dan citra permata ini terpantul di telaga itu. Mereka menceritakan kepada raja bahwa ada permata dalam danau. Raja memanggil Senaka, berkata, “Mereka menceritakan kepada saya bahwa ada permata dalam danau; bagaimana kita mendapatkannya?’’

Senaka berkata, “Cara terbaik adalah mengeringkan airnya.” Raja memerintahkannya untuk melakukannya; dan Senaka mengumpulkan sejumlah orang, dan ia menguras air dan lumpurnya, menggali tanah di dasarnya, namun tak ditemukan permata. Namun ketika telaga dipenuhi air lagi, sekali lagi terlihat pantulan permata itu. Sekali lagi Senaka melakukan hal yang sama, dan tak ditemukan permata. Kemudian Raja memanggil orang bijak, dan berkata, “Permata telah terlihat di danau, dan Senaka telah menguras air dan lumpur dan menggali dasar danau tanpa menemukannya, namun segera setelah telaga penuh permata itu muncul kembali. Bisakah Anda mendapatkannya?” Ia menjawab, “Itu bukan soal sulit, Baginda, saya akan mendapatkannya untuk Anda.” Raja merasa senang mendengar janji ini, dan dengan banyak pengikut ia pergi ke danau, siap melihat keperkasaan pengetahuan sang bijaksana.

Bodhisatta berdiri di tepian, lalu melihat. Ia mencerap bahwa permata tidak ada di danau, namun pasti ada di pohon, dan ia berseru, “Baginda, tidak ada permata dalam telaga.” “Apa! Tidakkah kelihatan di air?” Maka ia meminta mengambil seember air, dan berkata, “Nah Baginda, lihat, tidakkah permata ini kini kelihatan baik di ember dan danau?” “Kalau begitu di mana ada permata?” “Baginda, adalah pantulannya yang terlihat baik di danau dan di ember, namun permata itu ada di sarang gagak di pucuk pohon palem ini; kirimlah seseorang naik dan bawalah permata itu turun.”

Raja melakukan hal itu: pria itu membawa turun permata itu dan orang bijak menaruhnya ke tangan raja. Semua orang bertepuk tangan dan mencela Senaka, ”Di sini ada permata berharga di pucuk pohon di sarang gagak, lalu Senaka menyuruh orang kuat menggali danau! Tentunya orang bijaksana seharusnya seperti Mahosadha.” Demikianlah mereka memuji Bodhisatta; dan raja karena senang dengannya, memberinya kalung mutiara dari lehernya sendiri, dan serenceng permata ke ribuan bocah, dan kepadanya dan para pengikutnya ia dianugerahi hak menungguinya tanpa upacara

Sekali lagi, pada hari raja pergi bersama orang bijak ke dalam taman; ketika seekor bunglon, yang hidup di puncak gerbang lengkung, melihat raja mendekat lalu turun dan berbaring rata di tanah. Raja melihat ini dan bertanya, “Apa yang ia lakukan, Tuan yang bijak?” “Memberi hormat padamu, Baginda.” “Jika demikian, jangan membiarkan penghormatannya tak diberi imbalan; berikan ia hadiah berlimpah.” “Baginda, hadiah berlimpah tiada gunanya baginya; yang ia inginkan hanya makan” “Dan apa yang ia makan?” “Daging, Baginda.” “Berapa banyak yang harusnya ia dapatkan?” “Senilai satu sen, Baginda.” “Hadiah senilai satu sen bukanlah hadiah dari seorang raja,” ucap raja, dan ia memerintahkan orang untuk membawakan makanan ke bunglon itu dengan daging senilai setengah anna. Perintah ini dilakukan setelahnya.

Namun pada hari uposatha, ketika tidak ada pemotongan, orang ini tak bisa menemukan daging; maka ia melubangi koin setengah anna itu, memasukkan benang melewatinya dan mengikatkannya ke leher bunglon itu. Hal ini membuat makhluk itu sombong. Hari itu, raja sekali lagi pergi ke taman; namun bunglon itu ketika ia melihat raja mendekat, dalam kesombongan akan kekayaannya membuat dirinya setara dengan raja, sambil berpikir dalam hati, ’’Engkau mungkin sangat kaya, Videha, namun begitu juga aku.” Maka ia tidak turun, namun berbaring diam di atas lengkung gerbang, sambil mengelus kepalanya. Raja saat melihat ini berkata, “Tuan yang bijak, makhluk itu tidak turun hari ini seperti biasa; apa alasannya?” dan raja melafalkan syair pertama:

“Bunglon itu biasanya tidak mendaki gerbang lengkung: jelaskan, Mahosadha, mengapa bunglon itu bergeming.”

Orang bijak itu melihat bahwa pria pemberi makan tak mampu menemukan daging pada hari uposatha saat tak ada penjagalan, dan makhluk itu pasti telah menjadi angkuh karena koin yang tergantung di lehernya; maka ia melafalkan syair ini:

“Bunglon itu mendapat apa yang belum pernah ia dapat sebelumnya, keping setengah anna; sebab itu ia membenci Videha, penguasa Mithila.”

Raja memanggil pria itu dan menanyainya, dan ia menceritakan segalanya dengan jujur kepada raja. Kemudian raja menjadi makin senang dengan orang bijak, yang (tampaknya) mengetahui pemikiran bunglon itu, tanpa mengajukan pertanyaan apa pun, dengan kebijaksanaan seperti kebijaksanaan tertinggi seorang Buddha; ia memberikan kepadanya penghasilan yang dikutip di empat pintu gerbang. Namun marah dengan bunglon itu, ia berpikir tidak melanjutkan pemberian itu, namun orang bijak itu memberitahunya bahwa itu tak pantas dan berhasil mengurungkan niat raja.
Saat itu seorang anak bernama Pinguttara hidup di Mithila datang ke Takkasila, dan belajar kepada seorang guru terkenal, dan tak lama kemudian ia menyelesaikan pendidikannya; setelah belajar tekun ia meminta izin meninggalkan gurunya dan pergi. Namun dalam keluarga guru ini ada tradisi bahwa jika ada anak perempuan yang telah matang untuk menikah, akan diberikan kepada murid tertua.

Guru ini memiliki putri yang cantik seperti bidadari surga, maka ia berkata, “Saya akan memberikan kepadamu putri saya dan kamu akan membawanya bersamamu.” Nah pemuda ini nasibnya malang dan miskin, namun gadis itu sangat beruntung. Ketika ia melihat gadis itu, ia tak memedulikannya; namun meski ia mengatakan demikian, ia setuju sebab ia tak mau membantah kata-kata gurunya, dan brahmana menikahkan putrinya dengannya. Malam tiba, ketika pemuda itu berbaring di pembaringan yang disiapkan; lalu segera setelah putri itu naik ke peraduan, pemuda itu mengerang dan berbaring di lantai. Pengantin itu keluar dari pembaringan dan berbaring di sisinya, namun pemuda itu bangkit dan naik ke peraduan lagi; ketika gadis itu naik ke peraduan, pemuda itu keluar lagi, karena yang malang tak bisa berpasangan dengan nasib baik. Maka gadis itu tetap di peraduan dan ia tetap di lantai. Demikianlah mereka menghabiskan tujuh hari. Lalu ia mohon pamit kepada gurunya dan membawa putri itu bersamanya. Sepanjang jalan tidak banyak percakapan di antara mereka. Keduanya tidak bahagia, mereka sampai ke Mithila. Tak jauh dari kota, Pinguttara melihat pohon ara yang ditutupi oleh buah, dan karena lapar ia mendaki dan memakan beberapa buahnya. Gadis itu karena lapar juga datang ke kaki pohon dan berseru, ’’Lemparkan beberapa buah untuk saya juga.” “Apa!” katanya, “apa kamu tak punya tangan atau kaki? Panjatlah dan ambillah sendiri.” Gadis itu pun memanjat dan makan. Segera setelah ia melihat bahwa gadis itu telah memanjat, ia segera turun dengan cepat, dan menumpuk duri-duri di sekitar pohon, lalu pergi sambil berkata kepada dirinya, ”Saya akhirnya telah menyingkirkan perempuan menyedihkan ini.” Putri itu tak bisa turun, namun tetap duduk di atas pohon. Lalu raja, yang tengah bersenang-senang dalam hutan, melihat putri ini ketika hendak kembali ke kota dengan gajahnya di sore hari. Raja itu jatuh cinta; sehingga ia bertanya apakah ia memiliki suami atau belum. Putri itu menjawab, “Ya, saya punya suami yang dinikahkan oleh keluarga saya; namun ia telah pergi dan meninggalkan saya di sini sendirian.” Utusan raja menceritakan kisah ini kepada raja yang berkata, “Harta terpendam adalah milik Raja.” Ia dibawa turun dan dinaikkan ke gajah dan dibawa ke istana, tempat ia diperciki air pengangkatannya sebagai permaisuri raja. Sungguh tersayang dan terkasih putri ini bagi raja; dan nama Udumbara atau Ratu Ara, diberikan kepadanya karena saat pertama ia melihatnya di atas pohon ara.

Suatu hari setelah peristiwa ini, mereka yang berdiam dekat gerbang kota harus membersihkan jalan untuk raja yang hendak berplesir ke tamannya; dan Pinguttara, yang harus bekerja demi mencari penghidupan, menyingsingkan bajunya dan mulai bekerja membersihkan jalan dengan cangkul. Sebelum jalanan bersih, raja berikut Ratu Udumbara telah datang dengan menaiki kereta; dan ratu kala melihat kuli yang tengah membersihkan jalan tak bisa mengekang rasa kejayaannya, dan tersenyum melihat kuli itu. Raja cemburu melihat senyumnya dan bertanya mengapa ia tersenyum. “Baginda,” jawabnya, “pembersih jalan di sana itu adalah mantan suami saya, yang membuat saya menaiki pohon ara lalu menumpuk duri di sekitarnya dan meninggalkan saya; ketika saya melihatnya saya tak bisa tidak merasa menang karena nasib mujur saya, dan tersenyum melihat kuli itu di sana.” Raja berkata, “Anda bohong, Anda tertawa kepada orang lain, dan saya akan membunuh Anda!” Kemudian raja menghunus pedangnya. Ratu ketakutan dan berkata, “Baginda, mohon tanyakanlah orang-orang bijak Anda!” Raja menanyai Senaka apakah ia memercayai perempuan itu. “Tidak, Baginda, saya tak percaya,” jawab Senaka, “siapa yang akan meninggalkan perempuan seperti ini begitu ia telah memilikinya?” Mendengar ini, ratu makin ketakutan. Namun raja berpikir, “Apa yang Senaka tahu soal ini? Aku akan bertanya kepada orang bijak;” dan bertanya kepadanya, ia melafalkan syair ini:

“Jika seorang perempuan luhur dan elok, dan ada pria yang tak mendambanya, apakah Anda memercayai hal ini, Mahosadha?”

Orang bijak menjawab: “Wahai Raja, saya memercayainya: pria itu pasti orang rendah yang malang; kemujuran dan kemalangan tak pernah bisa berpasangan.”
Kata-kata ini meredakan amarah raja, dan hatinya menjadi tenang, dan sangat senang ia berkata, “Wahai orang bijak! Jika Anda tidak ada di sini, saya pasti telah memercayai kata-kata Senaka yang bodoh itu dan kehilangan perempuan berharga ini: Anda telah membuat saya tak kehilangan ratu saya.” Ia memberi hadiah orang bijak itu dengan seribu keping uang. Kemudian ratu berkata kepada raja dengan penuh hormat, “Baginda, adalah karena orang bijak ini, nyawa saya diselamatkan; berikanlah saya anugerah, agar saya bisa menganggapnya seperti adik bungsu saya.” “Baiklah, Ratu saya, saya mengabulkan, anugerah dikabulkan.” “Kemudian, Baginda, dari sejak hari ini saya tak akan makan makanan lezat tanpa adik saya, dari sejak hari ini baik saat musimnya maupun di luar musim pintu saya akan selalu terbuka untuk mengirimkannya makanan manis, inilah anugerah yang saya inginkan.” “Anda boleh mendapat anugerah ini pula, permaisuri saya,” ujar raja. Di sini berakhirlah Pertanyaan Nasib Mujur dan Malang210.

Pada hari lain, raja setelah sarapan bangun untuk berjalan-halan ketika ia melihat melalui sebuah pintu seekor kambing dan anjing bersahabat. Kambing ini memiliki kebiasaan makan rumput yang dilemparkan untuk gajah di samping kandang mereka sebelum gajah menyentuhnya; pawang gajah memukul dan mengusir kambing itu; dan ketika kambing itu berlari sambil mengembik, seorang berlari mengejarnya dan memukuli punggungnya dengan tongkat. Kambing itu dengan punggungnya berpunuk kesakitan pergi dan berbaring di tembok besar istana, di atas sebuah kursi. Saat itu ada seekor anjing yang sehari-harinya diberi makan tulang, kulit, dan sisa makanan dari dapur kerajaan.

Hari itu juga tukang masak selesai menyiapkan makanan, menaruhnya di piring, dan selagi ia mengelap keringat dari tubuhnya, anjing itu tak kuat lagi menahan lapar saat mengendus bau daging dan ikan. Lalu hewan itu masuk ke dapur, mendorong penutup makanan lalu mulai melahap daging itu. Namun tukang masak kala mendengar suara piring berlari masuk dan melihat anjing itu: ia bertepuk tangan ke arah pintu lalu memukuli anjing itu dengan tongkat dan batu. Anjing itu menjatuhkan daging dari mulutnya dan berlari sambil mendengking; juru masak itu kala melihatnya kabur, segera berlari mengejarnya dan memukulnya tepat di punggung dengan tongkat. Anjing itu melengkungkan punggungnya dan dengan satu kaki terangkat datang ke tempat kambing tengah berbaring. Kambing berkata, “Sahabat, mengapa punggungmu bungkuk? Apakah kamu menderita radang perut?” Anjing menjawab, “Kamu pun terbungkuk, apakah kamu diserang radang perut?” Anjing kemudian menceritakan kisahnya. Lalu kambing menambahkan, “Nah, apakah kamu mau pergi ke dapur lagi?” “Tidak, ke sana sama saja dengan mempertaruhkan hidupku.” Lalu, mereka mulai bertanya-tanya bagaimana mereka bisa bertahan hidup.

Kemudian kambing berkata, “Jika kita mampu hidup bersama, aku punya ide.” “Mohon beritahu.” “Nah, Tuan, kamu harus pergi ke istal kuda; para pawang gajah tak akan memperhatikanmu, karena (mereka pikir) anjing tak makan rumput; dan kamu harus memhawakanku rumput. Aku akan pergi ke dapur, dan juru masak tak akan memperhatikanku, berpikir bahwa aku tidak makan daging, maka aku akan membawakanmu daging.”

“Itu rencana yang baik,” kata anjing, dan mereka pun sepakat: anjing pergi ke istal dan membawa seikat rumput di giginya dan menaruhnya di samping tembok besar; yang satunya pergi ke dapur dan membawa sebongkah besar daging di mulutnya ke tempat yang sama. Anjing makan daging dan kambing makan rumput; sehingga dengan rencana ini mereka hidup bersama dengan rukun di samping tembok besar itu. Ketika raja melihat persahabatan mereka, ia berpikir, ”Tak pernah sebelumnya aku lihat hal seperti ini sebelumnya. Ada dua musuh alami hidup bersahabat bersama. Aku akan mengajukan ini dalam bentuk pertanyaan kepada orang-orang bijakku: mereka yang tak bisa memahaminya akan kubuang mereka dari kerajaanku, dan jika siapa pun menebaknya aku akan menyatakannya sebagai orang bijak tiada tara dan akan memberinya segala kehormatan. Tidak sempat hari ini; namun besok, ketika mereka datang melayaniku, aku akan menanyakan mereka pertanyaan ini.”

Maka esok harinya ketika orang bijaksana datang menungguinya, ia mengajukan pertanyaannya dengan kata-kata sebagai berikut:

“Dua musuh alami, yang tak pernah di dunia ini berdekatan tujuh langkah jaraknya satu sama lain, menjadi sahabat dan tak terpisahkan. Apa alasannya?”

Setelah itu ia menambahkan syair lain:

“Jika hari ini sebelum sore kalian tak bisa menjawab pertanyaan ini, saya akan buang kalian semua. Saya tak butuh orang dungu.”

Saat itu Senaka duduk di kursi pertama, dan orang bijak di kursi terakhir; dan orang bijak merenung, “Raja ini terlalu lamban akalnya untuk memikirkan pertanyaan ini sendiri, ia pasti telah melihat sesuatu. Jika aku bisa mendapatkan satu hari tambahan aku bisa memecahkan teka-teki ini. Senaka pasti bisa menemukan berbagai cara untuk menundanya selama sehari.” Dan empat orang bijaksana lainnya tak bisa menemukan apa pun, seperti orang dalam ruangan gelap: Senaka melihat ke arah Bodhisatta untuk menyaksikan apa yang akan ia lakukan, sedangkan Bodhisatta melihat ke Senaka. Dari cara Mahosadha melihat, Senaka memahami batinnya: ia melihat bahwa bahkan orang bijak ini tak memahami pertanyaan itu, ia tak bisa menjawabnya hari ini namun ingin menambah satu hari; ia akan memenuhi kehendaknya. Maka sambil tertawa nyaring dengan gaya yang meyakinkan ia berkata, “Apakah, Baginda, akan membuang kami semua jika tak bisa menjawab pertanyaan Baginda?” “Ya, Tuan.” “Ah, namun Anda tahu bahwa ini adalah pertanyaan rumit, dan kami tak bisa memecahkannya; namun tunggulah sebentar. Pertanyaan rumit tak bisa dipecahkan di keramaian. Kami akan memikirkannya kembali, dan setelahnya kami menjelaskan kepada Baginda. Maka biarkan kami mendapat kesempatan ini.” Demikian ia bergantung kepada Bodhisatta, lalu melafalkan dua syair ini:

“Dalam keramaian besar, tempat ada banyak kerumunan orang berkumpul, batin kami terusik, pikiran kami tak mampu terpusat, dan kami tak bisa memecahkan pertanyaan. Namun sendirian, dengan batin tenang, terpisah, mereka akan pergi dan merenungkan soal ini, dalam kesunyian merengkuhnya dengan teguh, maka mereka akan memecahkannya untukmu, wahai raja manusia.”

Raja, meski kebakaran jenggot mendengar ucapannya, mengancam mereka, “Baiklah, pikirkan baik-baik dan bilang kepada saya; jika tidak, saya akan mengasingkan kalian.” Empat orang bijak meninggalkan istana, lalu Senaka berkata kepada yang lainnya, “Sahabat, pertanyaan rumit telah diajukan Baginda; jika kita tak bisa memecahkan ha ini, maka akan ada ancaman besar bagi kita. Maka makanlah yang baik dan renungkan soal ini dengan saksama.” Lalu mereka masing-masing pergi ke rumah mereka. Orang bijak pun bangkit dan mencari Ratu Udumbara, lalu berkata kepadanya, “Wahai Ratu, ke mana Raja paling sering berada hari ini dan kemarin?” “Raja lama berjalan-jalan di jalan setapak itu, Tuan, melihat ke luar jendela.” “Ah,” pikir Bodhisatta, “pasti ia melihat sesuatu di sana.” Maka ia pergi ke tempat itu, melongok, dan melihat perbuatan kambing dan anjing.

“Pertanyaan Raja terjawab!” ia menyimpulkan, lalu ia pulang ke rumah. Tiga orang bijak lainnya tak menemukan jawaban, dan mendatangi Senaka, yang bertanya, “Sudahkah Anda menemukan jawabannya?” “Belum, Tuan.” “Jika demikian, Raja akan mengasingkan Anda, apa yang akan Anda lakukan?” “Namun apakah Anda telah menemukan jawabannya?” “Belum, bukan saya.” “Jika Anda tak bisa menemukannya, bagaimana kita bisa? Kita mengaum seperti macan di depan singa, dan berkata bahwa kita akan memikirkannya dan memecahkannya; kini jika kita tidak mampu, Raja akan marah. Apa yang akan kita perbuat?” “Pertanyaan ini bukanlah untuk kita pecahkan: [353] tak diragukan lagi orang bijaksana telah memecahkannya dengan seratus cara.” “Kalau begitu mari kita menemuinya.”

Maka mereka datang berempat ke pintu rumah Bodhisatta, dan meminta orang mengumumkan kedatangan mereka, lalu saat masuk mereka berbicara sopan kepadanya; kemudian berdiri di satu sisi mereka bertanya kepada Bodhisatta, “Nah, Tuan, apakah Anda telah memikirkan jawaban pertanyaan itu?” “Jika saya belum, siapa yang akan memikirkannya? Tentu saja saya sudah.” “Kalau begitu beritahu kami juga.” Bodhisatta merenung, “Jika aku tak memberitahu mereka, Raja akan mengasingkan mereka, dan memberkahiku dengan tujuh benda berharga. Namun jangan biarkan orang-orang dungu ini mati, aku akan memberitahu mereka.” Maka ia menyuruh mereka duduk di tempat duduk pendek, dan mengangkat tangan mereka untuk memberi hormat, dan tanpa memberitahu mereka apa yang raja benar-benar telah lihat, ia menyusun empat syair, dan mengajarkan mereka masing-masing satu dalam bahasa Pali, untuk dilafalkan ketika raja bertanya kepada mereka, lalu meminta mereka pergi.

Keesokan harinya, mereka pergi menunggui raja, lalu duduk di tempat mereka diminta duduk, dan raja bertanya kepada Senaka, “Apa Anda telah memecahkan pertanyaan ini, Senaka?” “Baginda, jika saya tak tahu, siapa lagi yang bisa?” “Kalau begitu, beritahu saya.” “Dengarkan, Baginda,” dan ia melafalkan syair seperti yang telah diajarkan:

“Pengemis muda dan pangeran muda semuanya senang akan daging kambing jantan. Daging anjing tidak mereka makan. Mungkin ada persahabatan antara kambing jantan dan anjing.”

Meski Senaka melafalkan syair itu, ia tak mengetahui maknanya; namun raja mengetahuinya sebab ia telah melihatnya. “Senaka menemukan jawabannya,” ia berpikir; dan ia bertanya ke Pukkusa, “Apa? Bukankah aku adalah orang bijak?” jawab Pukkusa, dan melafalkan syair seperti yang telah diajarkan:

“Mereka melepaskan kulit kambing untuk menutupi punggung kuda meski aneh, namun kulit anjing tak mereka gunakan sebagai penutup; namun mungkin ada persahabatan antara kambing jantan dan anjing.”

Tidak pula ia memahami soalnya, namun raja mengira ia memahaminya sebab telah melihatnya. Kemudian ia menanyai Kavinda dan ia pun melafalkan syairnya:
“Kambing memiliki tanduk berpilin, anjing tak memiliki tanduk; yang satu makan rumput, yang satu daging; namun mungkin ada persahabatan antara kambing jantan dan anjing.”

“Ia pun sudah menemukan jawabannya,” pikir raja, dan lalu melanjutkan ke Devinda; yang seperti yang lainnya melafalkan syairnya seperti yang diajarkan:

“Rumput dan daun keduanya dimakan kambing jantan, anjing tak makan rumput atau daun; anjing akan makan kelinci atau kucing; namun mungkin ada persahabatan antara kambing jantan dan anjing.”

Berikutnya raja bertanya kepada orang bijak: “Putraku, apakah Anda memahami pertanyaan ini?” “Baginda, siapa lagi yang memahaminya dari AvTci sampai Bhavagga, dari neraka terendah hingga surga tertinggi?” “Kalau begitu, beritahu saya.” “Dengarkan, Baginda;” lalu ia menampilkan pengetahuannya mengenai jawabannya dengan melafalkan dua syair ini:

“Kambing jantan, dengan delapan separuh kaki di empat kakinya, delapan kuku belah, tanpa terlihat membawakan daging bagi yang lain, dan yang satu membawakan rumput baginya. Kepala Videha, penguasa manusia, di serambinya melihat dengan mata kepala sendiri pertukaran makanan yang diberikan satu sama lain, antara penggonggong dan pemamah biak.”

Raja, tidak mengetahui bahwa yang lainnya mendapat pengetahuan mereka melalui Bodhisatta, merasa gembira ketika berpikir bahwa kelima-limanya telah memecahkan teka-teki itu dengan kebijaksanaan mereka masing-masing. Ia lalu melafalkan syair ini:
“Bukan perolehan kecil bahwa saya memiliki orang-orang yang demikian bijak di rumah saya. Hal yang demikian mendalam dan halus telah mereka tembusi dengan ucapan mulia, orang-orang yang cerdas ini!”

Maka ia berkata kepada mereka, “Satu hal yang baik layak mendapatkan imbalannya,” dan ia berkata dengan syair berikut:

“Kepada masing-masing saya berikan kereta dan bagal betina, masing-masing kuberikan desa kaya, desa pilihan, ini saya berikan kepada semua orang bijaksana, karena gembira mendengar ucapan mulia mereka.”

Semua ini ia berikan. Di sini berakhirlah Pertanyaan Kambing dalam Buku Dua belas.

Namun Ratu Udumbara mengetahui bahwa yang lainnya mendapatkan pengetahuan mereka mengenai pertanyaan itu dari orang bijak; dan ia berpikir, “Raja telah memberikan hadiah yang sama kepada mereka berlima, seperti orang yang tak membeda-bedakan antara polong dan kacang. Seharusnya adikku yang mendapatkan hadiah khusus,” maka ia menemui raja dan bertanya, “Siapakah yang menemukan jawaban teka-teki itu untuk Anda, Baginda?” “Lima orang bijak, Ratu.” “Namun Baginda, melalui siapa mereka berempat memperoleh pengetahuan itu?” “Saya tidak tahu, Ratu.” “Baginda, apa yang orang-orang itu tahu! Adalah orang bijak, yang tak menghendaki kehancuran mereka karena dirinya, dan mengajari mereka jawabannya. Kemudian Anda memberikan imbalan yang sama kepada mereka. Itu tidak benar; Anda seharusnya membuat perbedaan bagi orang bijak.” Raja merasa senang orang bijak tidak mengungkapkan bahwa mereka mendapatkan pengetahuan darinya, dan karena ingin memberinya hadiah yang sangat besar, ia berpikir, “Tidak masalah: aku akan menanyakan putraku pertanyaan lain, dan ketika ia menjawab, aku akan memberinya hadiah besar.” Memikirkan hal ini, ia menemukan Pertanyaan Kaya dan Miskin.

Suatu hari, ketika lima orang bijaksana ini telah datang menemuinya, dan ketika mereka telah duduk nyaman, raja berkata, “Senaka, saya akan bertanya.” “Silakan, Baginda.” Kemudian ia melafalkan syair pertama dari Pertanyaan Kaya dan Miskin:

“Terberkahi kebijaksanaan dan tak memiliki kekayaan, atau kekayaan tanpa kebijaksanaan, saya bertanya kepadamu, Senaka: yang mana dari dua ini yang orang bijaksana anggap lebih baik?”

Pertanyaan ini telah diwariskan selama generasi ke generasi dalam keluarga Senaka, maka ia menjawab seketika: “Sesungguhnya, wahai Raja, orang bijak dan orang dungu, orang terpelajar atau tak terpelajar, melayani yang kaya, meski mereka terlahir tinggi dan orang kaya itu terlahir rendah. Melihat hal ini saya mengatakan: orang bijak itu lebih kecil, dan yang kaya lebih baik.”

Raja mendengarkan jawaban ini; kemudian tanpa menanyai ketiga orang lainnya, ia berkata kepada orang bijak Mahosadha yang duduk di sana:

“Anda pun saya tanyai, yang unggul dalam kebijaksanaan, Mahosadha, pengetahu segenap Dhamma: orang bodoh yang kaya atau orang bijak dengan sedikit kekayaan, yang manakah dari dua ini yang orang cendekia anggap lebih baik?”

Kemudian Bodhisatta menjawab, “Dengarlah, wahai Raja:
“Orang bodoh melakukan perbuatan jahat, dengan berpikir, ‘Di dunia ini aku lebih baik’; ia melihat dunia ini dan tak melihat alam berikutnya, dan meraih yang terburuk dalam keduanya. Melihat ini saya mengatakan: orang bijak lebih baik dari orang kaya yang dungu.”

Mendengar ini, raja melihat ke Senaka, “Nah, Anda lihat bahwa Mahosadha mengatakan bahwa orang bijak adalah yang terbaik.” Senaka mengatakan, “Baginda, Mahosadha hanyalah anak kecil: bahkan hingga kini mulutnya pun masih bau susu. Apa yang bisa ia ketahui?” dan ia melafalkan syair ini:

“Ilmu pengetahuan tidak memberikan kekayaan, ataupun keluarga atau kecantikan. Lihatlah si dungu Gorimanda makmur sejahtera, karena Kemujuran memilih orang dungu itu. Melihat hal ini saya mengatakan: orang bijak itu lebih kecil, dan yang kaya lebih baik.”

Mendengar itu, raja berkata, “Nah, bagaimana, Mahosadha putraku?” Ia menjawab, “Baginda, apa sih yang Senaka tahu? Ia seperti seekor gagak di tempat beras ditebar, seperti anjing yang berusaha menjilati susu: melihat dirinya namun tidak melihat galah yang siap menjatuhi kepalanya. Dengarkan, Baginda,” dan ia melafal syair ini:
“la yang memiliki kepandaian kecil, ketika mendapatkan kekayaan, menjadi mabuk: terdera kemalangan ia tercenung: tersambar kemalangan atau kemujuran yang datang dan pergi, ia menggeliat seperti ikan di bawah terik matahari. Melihat ini saya katakan: orang bijak lebih baik dari orang kaya yang dungu.”

“Kalau begitu bagaimana, Tuan!” jawab raja ketika mendengar hal ini. Senaka berkata, “Baginda, apalah yang ia tahu? Jangankan bicara mengenai manusia, bukankah pohon bagus penuh buah yang dicari oleh burung-burung,” dan ia melafal syair ini:

“Seperti dalam hutan, burung-burung berkumpul dari segala penjuru ke pohon yang memiliki buah manis, demikian pula orang kaya yang memiliki harta dan kekayaan didatangi kerumunan orang untuk mencari keuntungan mereka. Melihat hal ini saya mengatakan: orang bijak itu lebih kecil, dan yang kaya lebih baik.”

“Nah, Putraku, sekarang bagaimana?” tanya raja. Orang bijak menjawab, “Apa sih yang perut buncit itu tahu? Dengarkan, Baginda,” lalu ia melafalkan syair ini:

“Orang bodoh namun berkuasa tidak akan baik jika memenangkan harta dengan kekerasan; meraung keras sesukanya, mereka akan menyeret si dungu ini ke neraka.

Melihat ini saya mengatakan: orang bijak lebih baik dari orang kaya yang dungu.”
Sekali lagi raja berkata, “Nah, Senaka?” yang dijawab Senaka:

“Apa pun sungai yang mengalir ke Ganga, semuanya kehilangan nama dan jenisnya. Sungai Ganga mengalir ke samudra, tak lagi bisa dikenali. Dunia ini begitu berbakti kepada kekayaan. Melihat hal ini saya mengatakan: orang bijak itu lebih kecil, dan yang kaya lebih baik.”

Sekali lagi raja berkata, “Bagaimana, orang bijak?” dan ia menjawab dengan beberapa syair, “Dengar, wahai Raja!”

“Samudra perkasa yang ia sebut, tempat tak terhingga sungai mengalir ke alamnya, samudra ini senantiasa mendera tepian namun tak pernah bisa melewatinya, meski ia adalah samudra perkasa. Demikian juga celoteh orang bodoh: kemakmurannya tak bisa melampaui yang bijaksana. Melihat ini saya mengatakan: orang bijak lebih baik dari orang makmur yang dungu.”

“Bagaimana, Senaka?” tanya raja. “Dengarlah, wahai Raja!” ujarnya, dan ia melafalkan syair ini:
“Orang kaya di posisi terpandang mungkin kekurangan pengendalian diri, namun jika ia mengatakan apa pun kepada orang lain, kata-katanya memiliki bobot di antara handai taulannya; namun kebijaksanaan tidak memiliki pengaruh itu terhadap orang yang tak memiliki kekayaan. Melihat hal ini saya mengatakan: orang bijak itu lebih kecil, dan yang kaya lebih baik.”

“Bagaimana, Putraku?” ujar raja lagi, “Dengarkan, Baginda! Apa sih yang Senaka dungu ini tahu?” dan ia melafalkan syair ini:

“Demi kepentingan orang lain atau dirinya sendiri orang dungu dan pandir mengucapkan kebohongan; ia dipermalukan di antara rekan-rekannya, dan setelah itu ia mengalami kesedihan. Melihat ini saya mengatakan: orang bijak lebih baik dari orang kaya yang dungu.”

Senaka melafalkan syair:

“Bahkan meski kita memiliki kebijaksanaan besar, namun tanpa beras216 atau gandum, dan papa, meski ia mengucapkan apa pun, kata-katanya tak memiliki bobot di antara handai taulannya, dan kemakmuran tidak datang kepada orang karena pengetahuannya. Melihat hal ini saya mengatakan: orang bijak itu lebih kecil, dan yang kaya lebih baik.”

Sekali lagi raja berkata, “Bagaimana pendapat Anda soal itu, Putraku?” dan orang bijak menjawab, “Apa sih yang Senaka tahu? Ia melihat dunia ini saja, bukan kehidupan berikutnya.” Dan ia melafalkan syair ini:

“Tidak demi kepentingan dirinya atau orang lain maka orang dengan kebijaksanaan besar mengucapkan dusta; ia dihormati di tengah-tengah kerumunan, dan setelahnya ia pergi menuju kebahagiaan. Melihat ini saya mengatakan: orang bijak lebih baik dari orang kaya yang dungu.”

Kemudian Senaka melafalkan sebuah syair:

“Gajah, ternak, kuda, giwang bertahtakan permata, perempuan, ditemukan dalam keluarga kaya; ini semua adalah untuk dinikmati orang kaya tanpa kekuatan adibiasa. Melihat hal ini saya mengatakan: orang bijak itu lebih kecil, dan yang kaya lebih baik.”

Petapa berkata, “Apa yang ia tahu?” dan terus melanjutkan masalah ini ia melafalkan syair ini:

“Orang bodoh, yang melakukan perbuatan gegabah dan mengucapkan kata-kata bodoh, tidak bijaksana, terlempar oleh kemujuran seperti ular melepas kulitnya yang lama. Melihat ini saya mengatakan: orang bijak lebih baik dari orang kaya yang dungu.”

“Sekarang apa?” tanya raja saat itu; dan Senaka menjawab, “Baginda, apa yang anak kecil ini tahu? Dengar!” dan ia melafalkan syair ini, berpikir bahwa ia bisa membuat orang bijak diam:
“Kita lima orang bijaksana, yang dimuliakan, melayani Anda dengan sikap penuh hormat; dan Anda adalah majikan dan tuan kami, seperti Sakka, penguasa semua makhluk, raja para dewa. Melihat hal ini saya mengatakan: orang bijak itu lebih kecil, dan yang kaya lebih baik.”

Ketika raja mendengar hal ini, ia berpikir, “Syair tadi diucapkan Senaka dengan baik; aku bertanya-tanya apakah putraku akan bisa merobohkan hal itu dan mengatakan hal lain.” Maka ia berkata kepadanya, “Nah, Tuan yang bijak, bagaimana sekarang?” Namun tak seorang pun mampu menjungkirkan argumen Senaka ini kecuali Bodhisatta, maka Bodhisatta menjungkirkannya dengan berkata, “Baginda, apa yang orang dungu ini tahu? Ia hanya melihat dirinya sendiri dan tidak mengetahui betapa unggulnya kebijaksanaan. Dengarkanlah, Baginda,” dan ia melafalkan syair ini:

“Orang kaya yang dungu tidak lain adalah budak orang bijaksana, ketika pertanyaan sejenis ini muncul; ketika orang bijak menyelesaikannya dengan cerdas, saat itu orang dungu jatuh dalam kebingungan. Melihat ini saya mengatakan: orang bijak lebih baik dari orang kaya yang dungu.”

Ibarat menarik keluar pasir emas dari kaki Gunung Sineru, seakan ia membawa bulan purnama hingga mengangkasa, demikian pula ia mengajukan sanggahan ini dengan begitu hebatnya. Demikianlah Bodhisatta menunjukkan kebijaksanaannya. Kemudian raja berkata kepada Senaka, “Nah, Senaka, kalahkanlah itu jika Anda bisa!” Namun seperti orang yang menggunakan semua beras di gudangnya, ia terduduk tanpa bisa membalas, terpukul, [363] berduka. Jika ia bisa menghasilkan sanggahan lain, bahkan seribu syair pun tidak akan217 menyelesaikan kisah kelahiran ini. Namun ia tetap tak menjawab, Bodhisatta melanjutkan syair ini sambil memuji kebijaksanaan, seakan ia mengalirkan arus yang dalam:

“Sungguh kebijaksanaan dihargai yang baik; kekayaan dicintai karena manusia berdedikasi kepada kenikmatan. Pengetahuan para Buddha tiada tara, dan kekayaan tak pernah melampaui kebijaksanaan.”

Mendengar ini raja begitu senang dengan penyelesaian pertanyaan Bodhisatta, hingga ia menghadiahinya dengan limpahan besar kekayaan sambil melafalkan syair:

“Apa pun yang saya tanyakan telah ia jawab. Hanya Mahosadha-lah pembabar Dhamma. Seribu ternak, gajah, dan sepuluh kereta yang ditarik kuda berketurunan murni, dan enam belas desa yang baik, saya berikan kepada Anda di sini, karena senang akan jawaban Anda terhadap pertanyaan ini.”

Disinilah berakhir Pertanyaan Miskin dan Kaya (Buku XX).

Sejak hari itu kejayaan Bodhisatta sungguh besar, dan Ratu Udumbara mengaturnya semua. Ketika Bodhisatta berusia enam belas tahun, ratu berpikir, “Adikku kini telah besar dan sungguh besar kejayaannya; kita harus mencari istri baginya.” Hal ini ia sampaikan kepada raja, dan raja merasa sangat senang. “Sungguh baik,” katanya. [364] Ia memberitahunya dan ia setuju, dan berkata, “Kalau begitu mari kita temukan pengantin untuk Anda, Putraku.”

Bodhisatta berpikir, “Aku tak akan pernah puas jika mereka memilihkan istri untukku; aku akan mencarinya sendiri.” Ia lalu mengatakan, “Ratu, jangan beritahu raja selama beberapa hari, saya akan mencari istri yang sesuai selera saya, kemudian saya akan memberitahu Anda.” “Lakukanlah demikian, Putraku,” jawabnya. Ia mohon pamit kepada ratu, pulang ke rumahnya, dan memberitahu teman-temannya. Kemudian ia mendapat pakaian seorang penjahit, lalu pergi sendirian melalui gerbang utara menuju Kota Utara. Di tempat itu ada keluarga pedagang sejak zaman kuno dan telah merosot, dan dalam keluarga ini ada seorang putri, bernama Amara, seorang gadis yang cantik, bijaksana, dengan semua pertanda kemujuran.

Pagi itu, gadis ini telah berangkat ke tempat ayahnya membajak saw ah, untuk mengantarkan bubur nasi yang telah ia masak, sehingga kebetulan ia melewati jalan yang sama dengan Bodhisatta. Ketika Bodhisatta melihatnya datang, ia berpikir, “Perempuan dengan semua pertanda mujur! Jika belum menikah, ia harus jadi istriku.” Gadis itu pun juga berpikir demikian ketika melihatnya, “Jika aku bisa hidup dalam rumah pria seperti ini, aku mungkin bisa membangkitkan harkat keluargaku.”

Bodhisatta berpikir, “Aku tak tahu apakah ia telah menikah atau belum: aku akan bertanya kepadanya dengan isyarat tangan, dan jika ia bijaksana, ia akan memahaminya.” Maka, berdiri dari jauh, ia mengepalkan telapak tangannya. Ia memahami bahwa ia tengah bertanya apakah ia punya suami, dan ia membentangkan tangannya. Kemudian Bodhisatta mendatanginya dan menanyakan namanya. Gadis itu menjawab, “Nama saya adalah apa yang bukan ada pada saat kini, pada masa lalu, atau pernah akan ada pada masa depan.” “Saudari, tiada di dunia ini yang kekal, maka nama Anda pasti adalah Amara, Kekal,” “Memang demikian, Tuan.” “Untuk siapakah, Saudari, Anda membawa bubur itu?” “Untuk dewa pada masa lalu.” “Para dewa pada masa lalu adalah orang tua kita, dan tak diragukan lagi maksud Anda adalah ayah Anda.” “Demikianlah, Tuan.”

“Apa pekerjaan ayah Anda?” “Ia membuat dua dari satu.” Maksudnya adalah membuat dua dari satu adalah membajak. “Ia membajak, Saudari.” “Demikianlah, Tuan.” “Di mana ayah Anda membajak?” “Di tempat mereka yang pergi tidak datang lagi.” “Tempat yang orang pergi tak datang lagi itu pekuburan; kalau begitu ia membajak di dekat pekuburan.” “Begitulah, Tuan.” “Akankah Anda lewat kemari lagi hari ini, Saudari?” “Jika datang, saya tidak datang, jika tidak datang, saya datang.” “Saya pikir, Saudari, jika ayah Anda membajak di tepi sungai dan jika banjir datang, Anda tak akan datang, jika banjir tidak datang, Anda akan datang.”

Setelah percakapan ini, Amara memberinya minuman bubur gandum itu. Bodhisatta, berpikir bahwa tidak pantas untuk menolak, mengatakan bahwa ia hendak minum. Kemudian gadis itu meletakkan kendi bubur itu; dan Bodhisatta berpikir, “Jika ia menawarkannya kepadaku tanpa pertama kali membasuh kendi itu dan memberikanku air untuk mencuci tanganku, aku akan meninggalkannya dan pergi.” Namun gadis itu mengambil air dalam kendi dan menawarkannya air untuk mencuci tangan, lalu menaruh kendi kosong di tanah bukan di tangannya, namun mengaduk bubur gandum dalam kendi, lalu mengisi kuali dengannya. Namun tidak banyak nasi di dalamnya, dan Bodhisatta berkata, “Saudari, hanya sedikit sekali nasi di dalamnya!”

“Kami tak punya air, Tuan.” “Maksud Anda ketika tanaman di ladang Anda sedang tumbuh, Anda tak mendapatkan air untuk ladangnya.” “Demikianlah, Tuan.” Maka, ia menyimpan sebagian bubur nasi untuk ayahnya, dan memberikan sebagian kepada Bodhisatta. Ia minum, berkumur, lalu berkata, “Saudari, saya akan pergi ke rumah Anda; mohon tunjukkanlah jalannya.” Ia melakukannya dengan melafalkan syair yang tertera di Buku Pertama:

“Dengan melalui kue dan bubur, lalu pohon berdaun kembar yang tengah berbunga, oleh tangan yang dengannya saya makan, saya meminta Anda pergi, bukan dengan tangan yang tidak kupakai untuk makan: itulah jalan menuju kota dagang, itulah jalan rahasia yang harus Anda temukan.”

Di sini berakhir Pertanyaan Jalan Rahasia.

Ia mencapai rumah itu sesuai dengan petunjuk; dan ibu Amara melihatnya dan memberinya kursi. “Bolahkah saya menawarkan Anda bubur, Tuan?” tanya ibu itu. “Terima kasih, ibu, dinda Amara memberi saya sedikit.” Ibu itu langsung mengetahui bahwa ia pasti datang karena petunjuk putrinya. Bodhisatta, ketika melihat kemiskinan mereka berkata, “Ibu, saya seorang penjahit; apakah Anda memiliki apa pun untuk diperbaiki?” “Ya. Tuan, namun tak ada uang untuk membayar.” “Tidak perlu membayar, Bu; bawakan bajunya dan saya akan memperbaikinya.” Ia membawakannya beberapa baju tua, dan tiap baju yang dibawa diperbaiki Bodhisatta. Orang bijak selalu mengerjakan urusannya dengan baik. Ia kemudian berkata, ‘Pergi dan umumkan kepada orang-orang di jalan.” Ibu itu mengumumkannya ke seluruh desa, dan dalam satu hari dengan pekerjaan menjahitnya, Bodhisatta mendapat penghasilan seribu keping. Nyonya tua itu memasak untuknya pada saat tengah hari, dan pada malam hari bertanya untuk berapa orang ia harus masak, “Ibu, cukup buat semua yang tinggal di rumah ini.” Ia memasak banyak nasi dengan kari dan rempah.
Lalu pada malam hari Amara kembali dari hutan, membawa seikat kayu bakar di kepalanya dan daun-daun di pinggangnya. Ia menaruh kayu itu di muka pintu depan lalu masuk dari pintu belakang. Ayahnya datang menyusul. Bodhisatta makan makanan yang lezat; gadis itu melayani orang tuanya dahulu sebelum ia sendiri makan, membasuh kaki mereka dan Bodhisatta. Selama beberapa hari, ia tinggal di sana mengawasinya. Kemudian suatu hari, untuk mengujinya, ia berkata, “Amaraku sayang, ambillah setengah porsi beras dan buatkanlah aku bubur, kue, dan nasi kukus.” Gadis itu segera mengabulkannya; dan bekerja membuang kulit beras; dengan butiran beras yang besar ia membuat bubur, dengan butiran menengah ia mengukusnya, dan membuat kue dengan butiran kecil, lalu menambahkan bumbu yang sesuai. Ia memberikan bubur itu beserta sausnya kepada Bodhisatta; [367] segera saat ia menyuap ke dalam mulutnya ia merasakan getaran cita rasa pilihan itu di tubuhnya: namun untuk mengujinya ia berkata, “Saudari, jika Anda tidak tahu bagaimana cara memasak, mengapa Anda merusak cita rasa nasi saya?” dan ia meludahkannya ke tanah.

Gadis itu tidak marah; hanya memberinya kue sambil berkata, “Jika buburnya tidak enak dimakan, makanlah kuenya.” Ia melakukan hal yang sama dengan kue, lalu menolak nasi kukus, “Jika kamu tidak tahu bagaimana cara memasak mengapa kamu menyia-nyiakan hartaku?” Seakan-akan marah, ia mencampurkan ketiga hal ini dan membaluri seluruh tubuhnya dari kepala hingga ke bawah, dan memintanya berdiri di pintu. “Sungguh baik, Tuan,” katanya dan tidak marah sama sekali lalu melakukannya. Menemukan bahwa tidak ada kesombongan dalam dirinya, ia berkata, “Kemarilah, Saudari.” Ia segera datang pada panggilan pertama.

Ketika Bodhisatta datang pertama kali, ia membawa bersamanya sepuluh ribu rupee dan sebuah gaun dalam tas daun sirihnya. Kini ia mengeluarkan gaun itu dan menaruhnya di tangan gadis itu, “Saudari, mandilah dengan teman-teman Anda dan kenakan gaun ini dan datanglah kepada saya.” Ia melakukannya. Orang bijak itu memberi orang tuanya seluruh uang yang telah ia bawa dan dapatkan, menghibur mereka, lalu membawa gadis itu kembali ke kota bersamanya. Di sana, untuk mengujinya, ia menyuruhnya duduk di rumah penjaga gerbang, lalu ia memberitahu istri penjaga gerbang mengenai rencananya, lalu pergi ke rumahnya sendiri. Kemudian ia memanggil beberapa bawahannya, dan berkata, “Saya telah meninggalkan perempuan di rumah ini dan itu; bawalah seribu keping uang bersama Anda dan ujilah dia.” Ia memberikan mereka uang dan menyuruh mereka berangkat. Mereka melakukan seperti yang disuruh.

Gadis itu menolak dengan berkata, “Itu tidak seharga debu di kaki tuanku.” Orang-orang itu kembali dan mengisahkan hasilnya. Ia mengutus mereka lagi, dan kali ketiga, kali keempat ia meminta mereka menyeretnya dengan paksa. Mereka melakukannya, dan ketika ia melihat Bodhisatta dalam segala keagungannya, ia tidak mengenalnya, namun tersenyum sekaligus menangis pada saat melihatnya.

Bodhisatta bertanya kepadanya mengapa ia menangis sambil tertawa. Ia menjawab, “Tuan, saya tersenyum ketika melihat keagungan Anda, dan berpikir bahwa keagungan ini tak diberikan kepada Anda tanpa sebab, melainkan oleh perbuatan baik di kehidupan sebelumnya: lihatlah buah kebajikan! Saya pikir begitu dan saya tersenyum. Namun saya menangis jika berpikir bahwa Anda akan melakukan kejahatan terhadap harta milik yang dijaga dan diawasi orang lain, dan menyebabkan Anda akan masuk neraka; dalam kewelasan saya menangis.”

Setelah ujian ini ia mengetahui kemurnian istrinya, lalu mengantarnya pulang ke tempat yang sama. Setelah mengenakan samaran penjahitnya, ia kembali ke rumah gadis itu dan bermalam di sana.

Keesokan paginya, ia mampir ke istana dan memberitahu Ratu Udumbara semuanya; ratu memberitahu raja, dan menghias Amara dengan segala jenis perhiasan, mendudukkannya di kursi dan di kereta kencana, serta dengan penghormatan agung mengantarnya ke rumah Bodhisatta, dan membuat pesta dan perayaan. Raja mengirimkan Bodhisatta hadiah senilai seribu keping uang; semua orang di kota mengirimkan hadiah mulai dari penjaga gerbang dan seterusnya. Amara membagi hadiah yang dikirim oleh raja menjadi dua, dan mengembalikan satu bagian ke raja; sama pula ia membagi seluruh hadiah yang dikirim warga kota, menjadi separuh, lalu mengembalikan separuh itu, sehingga memenangkan hati rakyat. Dari sejak saat itu Bodhisatta tinggal bersamanya dalam kebahagiaan. Bodhisattwa mengajari raja dalam hal duniawi maupun spiritual.

Suatu hari, Senaka berkata kepada tiga orang bijak yang menemuinya, “Sahabat, tidakkah kita sudah muak akan putra orang biasa bernama Mahosadha ini; kini ia sudah mendapat istri yang lebih cerdas darinya. Bisakah kita menemukan siasat untuk memecah hubungannya dengan raja?” “Apalah yang kami tahu, Guru, Anda saja yang memutuskan.” “Baiklah, tak masalah, ada caranya. Saya akan mencuri permata dari mahkota kerajaan; Anda, Pukkusa, ambillah kalung emasnya; Anda, Kavinda, ambillah jubah wolnya; Anda, Devinda, sandal emasnya.” Mereka berempat menemukan cara untuk melakukan hal ini. Kemudian Senaka berkata, “Kini kita harus menyelundupkan benda ini ke rumah orang itu tanpa sepengetahuannya.”

Maka Senaka menaruh permata itu dalam kendi kurma dan mengirimkannya lewat seorang gadis budak, sambil berkata, “Jika siapa pun orang lain yang menginginkan kendi kurma ini, tolaklah, namun berikanlah kendi ini kepada semua orang di rumah Mahosadha.” Gadis budak ini membawanya ke rumah orang bijak, lalu mondar-mandir berseru, “Anda mau kurma?” Namun Nyonya Amara berdiri di depan pintu dan melihat hal ini: ia memperhatikan bahwa gadis itu tidak pergi ke tempat lain, maka pasti ada sesuatu di balik ini; maka ia membuat tanda agar para pelayannya mendekat, lalu ia berseru kepada gadis itu, “Kemarilah, gadis, saya akan mengambil kurma itu.” Ketika ia datang, nyonya itu memanggil para pelayannya, namun tak ada yang menjawab, maka ia meminta gadis itu memanggil para pelayannya. Selagi gadis budak itu pergi, Amara menaruh tangannya ke dalam kendi dan menemukan permata itu. Ketika gadis itu kembali, Amara bertanya kepadanya, “Pelayan siapakah kamu, gadis?” “Pelayan Pandita Senaka.” Kemudian ia menanyakan namanya dan nama ibunya, lalu berkata, “Nah berikanlah saya kurma.” “Jika Anda menginginkannya, Ibu, ambillah kendi ini semua, saya tidak membutuhkan pembayaran.” “Kalau begitu, Anda boleh pergi,” kata Amara, dan ia mengantarnya pergi. Kemudian ia menulis di selembar daun, “Pada hari ini bulan ini, Guru Senaka mengirim permata dari mahkota raja sebagai hadiah lewat tangan gadis ini dan ini.” Pukkusa mengirim kalung emas yang disembunyikan dalam kotak berisi bunga melati; Kavinda mengirim jubah dalam keranjang sayuran; Devinda mengirim sandal emas dalam seikat jerami. Ia menerima mereka semua dan mencatat nama-namanya di selembar daun, yang ia simpan, lalu beritahukan kepada Bodhisatta.

Ketika empat orang itu pergi ke istana dan berkata, “Baginda, Anda tak memakai mahkota Anda yang bertatahkan permata?” “Ya, saya akan memakainya, ambilkan,” kata raja. Namun mereka tak bisa menemukan permata itu maupun benda lainnya. Kemudian empat orang itu berkata, “Baginda, perhiasan Anda ada di rumah Mahosadha, dan ia memakai mereka; putra orang awam itu adalah musuh Anda!” Maka mereka memfitnahnya.

Kemudian para pendukung Mahosadha pergi dan memberitakan ini kepada Mahosadha; lalu ia berkata, “Saya akan pergi menemui raja dan mencari tahu.” Ia menemui raja. Namun raja murka dan berkata, “Saya tak mengenalnya! Apa yang ia inginkan di sini?” Raja tak mau menemuinya. Ketika orang bijak itu mengetahui bahwa raja murka, ia kembali ke rumah. Raja lalu mengirimkan orang untuk menangkapnya; yang orang bijak ketika mendengarkan kabar itu dari pendukungnya mengisyaratkan kepada Amara bahwa itulah saatnya ia berangkat. Maka ia melarikan diri keluar kota dengan samaran menuju Kota Selatan, tempat ia menyamar menjadi tukang tembikar di rumah seorang pengrajin tembikar.

Seluruh kota itu dipenuhi kabar bahwa ia telah melarikan diri. Senaka dan tiga orang bijak lainnya kala mendengar ia telah pergi, masing-masing tanpa saling mengetahui mengirimkan sepucuk surat kepada Nyonya Amara, berbunyi seperti ini: “Jangan khawatir: bukankah kami orang bijak?” Ia mengambil keempat surat itu, dan menjawab masing-masing bahwa mereka seharusnya tidak datang pada saat seperti ini. Ketika mereka datang, ia menyuruh mereka bercukur bersih dengan pisau cukur, lalu melemparkan mereka ke toilet, menyiksa mereka hingga bengkak, lalu menggulung mereka dengan matras lalu mengirim berita kepada raja. Lalu ia membawa mereka dan empat benda berharga itu ia pergi ke halaman istana dan di sana ia memberikan salam kepada raja sambil berkata, “Baginda, orang bijak Mahosadha bukanlah pencuri; mereka inilah pencurinya. Senaka mencuri permata, Pukkusa mencuri kalung emas, Kavinda mencuri jubah wol, Devinda mencuri sandal emas; pada hari ini bulan itu dengan tangan budak perempuan ini dan itu empat benda ini dikirim sebagai hadiah. Lihatlah daun ini. Ambillah benda milik Anda, lalu asingkanlah para pencurinya.” Kemudian menumpuk keempat orang dengan tidak hormat, ia kembali ke rumah. Namun raja merasa bingung mengenai hal ini, dan karena Bodhisatta telah pergi dan tidak ada orang bijaksana lainnya, ia tak mengatakan apa pun, namun menyuruh mereka mandi dan pulang.

Saat itu sesosok dewa yang tinggal di payung kerajaan karena tak lagi mendengar suara pembabaran Bodhisatta bertanya-tanya apa penyebabnya, dan ketika dewi ini tahu apa yang terjadi, ia bertekad membawa kembali orang bijak. Maka pada malam hari, ia muncul melalui sebuah lubang di lingkaran payung itu, dan menanyakan kepada raja empat pertanyaan yang ditemukan dalam Pertanyaan Dewi, Buku Empat, dengan syair yang dimulai dari, “Ia memukul dengan tangan dan kaki.” Raja tak mampu menjawab, dan mengakuinya, namun menawarkan untuk menanyakannya kepada orang bijaknya, meminta mengulur waktu satu hari.

Keesokan harinya ia mengirim pesan untuk memanggil mereka, namun orang-orang bijak raja menjawab, “Kami malu menampakkan diri di jalan, karena kami tercukur.” Maka ia mengirimkan mereka empat topi untuk dipakai di kepala mereka. (Itulah asal mula topi ini, kata mereka.) Kemudian mereka datang, dan duduk di tempat mereka, dan raja berkata, “Senaka, kemarin malam dewi yang berdiam dalam payung saya menanyakan kepada saya empat pertanyaan, yang tak bisa saya pecahkan namun saya mengatakan bahwa saya akan menanyakan orang-orang bijak saya. Mohon pecahkan persoalan ini untuk saya.” Kemudian ia melafalkan syair pertama:

“Ia memukul dengan tangan dan kaki, memukul di wajah, namun, wahai Raja, yang tersayang, dan makin berharga melebihi suami.”

Senaka tergagap apa yang muncul paling dahulu di kepalanya, “Memukul bagaimana, memukul siapa?” dan tak bisa memahami pertanyaannya; yang lainnya semuanya terdiam. Raja sangat cemas. Ketika malam itu sekali lagi dewi itu menanyai apakah ia telah memecahkan teka-teki itu, raja berkata, “Saya menanyai empat orang bijak saya, dan bahkan mereka pun tak bisa mengatakannya.” Ia menjawab, ”Apa sih yang mereka tahu? Kecuali Mahosadha yang bijak tidak ada orang lain yang bisa memecahkannya. Jika Anda tak memanggilnya dan memecahkan pertanyaan-pertanyaan ini, saya akan membelah kepala Anda dengan pedang menyala-nyala ini.”

Setelah menakutinya seperti itu, dewi itu melanjutkan, “Wahai Raja, ketika Anda menginginkan api, jangan meniup kunang-kunang, dan ketika Anda menginginkan susu jangan memerah tanduknya.” Kemudian ia mengulang Pertanyaan Kunang-kunang dari Buku Kelima:

“Ketika cahaya dipadamkan, siapakah yang pergi mencari api pernah berpikir kunang-kunang adalah api, jika ia melihatnya pada malam hari? Jika ia memasukkannya ke kotoran sapi dan rumput, maka itu adalah hal dungu; ia tak bisa membuat bahan-bahan ini terbakar. Demikian juga seekor hewan tidak akan mendapatkan manfaat dengan cara yang keliru, jika ia memerah susu di tanduknya, tempat susu tak mengalir. Dengan banyak cara orang-orang memperoleh keuntungan, dengan menghukum musuh dan kebaikan kepada sahabat. Dengan memenangkan panglima perang, dan dengan nasihat sahabat, maka penguasa kerajaan memiliki bumi dan kelimpahannya.”

“Mereka tidak seperti Anda yang meniup kunang-kunang karena memercayai itu adalah api ketika ada api di tangan. Seperti ia yang melemparkan neraca dan menimbang dengan tangan, seperti orang yang mengingini susu dan memerah tanduknya, ketika Anda menanyakan pertanyaan mendalam kepada Senaka dan orang-orang sepertinya, apa yang mereka tahu? Mereka seperti kunang-kunang, sedangkan Mahosadha seperti api besar menyala-nyala dengan kebijaksanaan. Jika Anda tidak menemukan jawaban pertanyaan ini, Anda akan mati.” Setelah menakuti raja, ia lenyap.
Mendengar ini, raja, terperanjat kengerian luar biasa, ia mengirimkan empat utusannya, masing-masing dengan perintah membawa kereta kuda, keluar dari empat gerbang kota, dan ke mana pun mereka harus menemukan putranya, si bijak Mahosadha, memberi hormat padanya dan bergegas memboyongnya kembali ke istana. Tiga utusan tak menemukan orang bijak; namun yang keempat pergi dari gerbang selatan dan menemukan Bodhisatta di Kota Selatan, yang sedang membawa tanah liat dan memutar roda pembuat tembikar, duduk dengan berlepotan lumpur di atas seikat jerami sedang makan bola-bola nasi yang dicelup dalam sedikit kuah. Alasan ia melakukan hal ini adalah sebagai berikut: ia mengira raja mungkin menyangkanya hendak merebut takhta, namun jika ia mendengar bahwa dirinya hidup sebagai tukang tembikar maka kecurigaan ini akan hilang. Ketika ia melihat utusan itu ia mengetahui bahwa orang itu datang mencarinya; ia memahami bahwa namanya tela dipulihkan, dan ia seharusnya makan segala makanan pilihan yang disiapkan oleh Amara: maka ia melemparkan bola nasi yang ia pegang, berdiri, dan membasuh mulutnya. Pada saat itu, datanglah utusan itu: yang ini berasal dari kelompok pendukung Senaka, maka ia menyapanya dengan kasar seperti ini: “Guru Bijak, apa yang Senaka katakan adalah informasi yang bermanfaat. Kesejahteraan Anda telah hilang, semua kebijaksanaan Anda tak berguna; dan kini Anda duduk di sana berlepotan tanah liat di atas seikat jerami, makan makanan seperti itu!” lalu ia melafalkan syair ini dari Bhuri-panha atau Pertanyaan Kebijaksanaan, dari Buku Sepuluh:

“Benarkah, seperti yang mereka katakan, bahwa Anda memiliki kebijaksanaan mendalam? Kemakmuran, kecerdasan, dan kepintaran begitu hebat tidak membantumu, sehingga terseret ke dalam kejatuhan pamor, selagi Anda makan sedikit kuah seperti itu.”
Kemudian Bodhisatta berkata, “Orang dungu yang buta! Oleh kekuatan kebijaksanaan saya, ketika saya ingin memulihkan kesejahteraan saya maka saya akan melakukannya;” dan ia menyerukan syair ini.

“Saya membuat bekas luka matang dengan duka, saya membedakan antara waktu yang tepat dan tidak tepat, menyembunyikan niat saya; saya membuka pintu-pintu perolehan; karena itu saya merasa puas dengan nasi kukus. Ketika saya merasa telah waktunya melakukan upaya, mematangkan keuntungan saya dengan perencanaan, saya akan bersikap gagah berani seperti macan, dan oleh kekuatan perkasa itu Anda akan melihat saya lagi.”

Kemudian utusan itu berkata: “Tuan yang bijak, sesosok dewi yang hidup di payung mengajukan pertanyaan kepada raja, dan raja bertanya kepada empat orang bijaksana, tak seorang pun dari mereka yang bisa menjawabnyat! Karena itu, raja telah mengutus saya mencari Anda.” “Kalau begitu,” jawab Bodhisatta, “tidakkah Anda melihat kekuatan kebijaksanaan? Pada saat itulah kemakmuran tidak berguna, namun hanya bisa berpaling kepada kita yang bijaksana.” Demikian ia memuji kebijaksanaan. Kemudian utusan itu memberika kepada Bodhisatta seribu keping uang dan pakaian yang diberikan raja, agar ia mandi dan segera mengenakan pakaian itu. Tukang tembikar itu takut saat memikirkan bahwa Mahosadha pernah maka salah satu buruhnya, namun Bodhisatta menghiburnya, “Jangan takut, majikanku, Anda telah banyak membantu saya.” Kemudian ia memberinya seribu keping; dan dengan bernoda lumpur, ia pergi ke kotaraja di atas kereta.

Utusan memberitahu raja mengenai kedatangan Mahosadha. “Di mana engkau menemukan orang bijak, Putraku?” “Baginda, ia mencari penghidupan sebagai tukang tembikar di Kota Selatan; namun segera setelah mendengar Anda memanggilnya, tanpa mandi, dengan lumpur masih menempel, ia datang.”

Raja berpikir, “Jika ia adalah musuhku, ia pasti akan datang dengan kemewahan dan pengikut; ia bukan musuhku.” Kemudian ia memberikan perintah untuk membawanya dari rumahnya, memandikannya, menghiasnya, dan memintanya kembali dengan kemewahan yang seharusnya disediakan. Hal ini dilakukan. Ia kembali, masuk, dan memberi salam kepada raja dan berdiri di satu sisi. Raja bicara kepadanya dengan ramah, kemudian mengujinya dengan syair ini:

“Beberapa orang melakukan kesalahan karena mereka kaya, namun yang lainnya tak melakukan kesalahan karena takut akan noda cercaan. Anda mampu, jika batin Anda mendambakan banyak kekayaan. Mengapa Anda tidak mencelakai saya?”

Bodhisatta menjawab:

“Orang bijaksana tidak melakukan perbuatan jahat demi kenikmatan yang diberikan kekayaan. Orang baik, bahkan meski terdera kemalangan dan terhempas, tidak demi persahabatan atau niat jahat ia akan membuang yang benar.”

Sekali lagi raja melafalkan syair ini, ungkapan misterius seorang khattiya:

“Ia yang demi tujuan apa pun, kecil atau besar, meningkatkan dirinya dari status rendah, setelahnya akan berjalan dalam kebenaran.”

Lalu Bodhisatta melafalkan syair ini dengan perumpaan sebatang pohon:

“Dari bayangan sebuah pohon seseorang seharusnya duduk dan beristirahat,

’Merupakan pengkhianatan untuk memotong dahannya. Teman yang palsu memang kita benci.”

Kemudian ia melanjutkan: “Baginda, jika pengkhianatan adalah memotong dahan pohon yang telah kita gunakan, bagaimana dengan orang yang membunuh orang? Baginda telah memberikan ayah saya kekayaan besar, dan telah menunjukkan kepada saya kasih sayang besar: bagaimana bisa saya begitu khianat hingga melukai Anda?” Setelah menunjukkan penuh kesetiaannya ia mengkritik raja atas kesalahannya:

“Ketika orang mana pun telah mengungkapkan hak terhadap apa pun, atau menyingkirkan keraguannya, orang lain menjadi perlindungan dan pernaungannya; dan orang bijak tidak akan menghancurkan persahabatan ini.”

Kini memperingatkan raja, ia mengucapkan dua syair ini:

“Perumah-tangga pemalas dan penuh nafsu saya benci, petapa palsu adalah orang biadab yang menyamar. Raja yang buruk akan memutuskan kasus tanpa mendengarkan dahulu; Kemarahan kepada orang bijak tak akan pernah bisa dibenarkan. Khattiya penguasa mempertimbangkan dengan saksama, dan memberikan keputusan yang telah dipikirkan matang, Ketika raja merenungkan dengan baik, pamor mereka akan langgeng sepanjang masa.”

Ketika ia telah mengatakan demikian, raja meminta Bodhisatta duduk di takhta kerajaan di bawah payung putih yang mengembang, dan ia sendiri duduk di kursi rendah berkata: “Tuan yang bijak, dewi yang berdiam di dalam payung putih menanyaiku empat pertanyaan. Saya meminta nasihat empat orang bijaksana dan mereka tak bisa memecahkannya; mohon pecahkan pertanyaan ini untukku, Putraku!” “Baginda, apakah itu dewi penunggu payung, atau empat raja dewa agung, atau siapa pun itu; ajukanlah pertanyaan dan saya akan menjawabnya.” Maka raja mengajukan pertanyaan seperti yang ditanyakan dewi itu, dan berkata:

“Ia memukul dengan tangan dan kaki, ia memukuli wajah; dan ia, wahai Raja, lebih terkasih ketimbang suami.”

Ketika Bodhisatta mendengar pertanyaan itu, maknanya menjadi jelas seakan rembulan telah mengangkasa. “Dengar, wahai Raja!” katanya, “Ketika anak di pangkuan ibunya bahagia dan bermain-main ia memukuli ibunya dengan tangan dan kaki, menarik-narik rambutnya, memukuli wajahnya dengan tinju, ibunya berkata, anak liar kecil, mengapa kamu memukuliku? Dan dalam cinta kasih ibunya memeluknya dekat dengan dadanya tak mampu menahan kasih sayangnya, dan menciuminya; dan pada saat itulah anak itu lebih tersayang baginya ketimbang ayahnya.” Demikianlah ia membuat pertanyaan ini menjadi jelas, seakan ia membuat matahari terbit di angkasa; dan mendengar ini, dewi itu menunjukkan separuh tubuhnya dari lubang di payung kerajaan, dan mengatakan dengan suara merdu, “Pertanyaan ini dipecahkan dengan baik!” Kemudian ia menghadiahi Bodhisatta dengan keranjang penuh dengan wewangian dan bunga surgawi lalu lenyap. Raja pun memberinya bunga dan banyak lagi, lalu menanyakannya pertanyaan kedua, melafalkan syair kedua:

“la senantiasa menindas saya, namun mengharapkannya tetap dekat; dan ia, wahai Raja, lebih terkasih ketimbang suami.”

Bodhisatta berkata, “Baginda, anak berumur tujuh tahun, yang kini bisa melakukan suruhan ibunya, ketika disuruh pergi ke ladang atau ke pasar, mengatakan, jika ibu memberi saya makanan ini atau dendeng manis, saya akan pergi; ibunya mengatakan, ‘Ini putraku’, dan memberinya; kemudian ia makan dendeng manis itu dan berkata, ‘Ya, kamu duduk di tempat teduh di rumah sedangkan aku keluar melaksanakan urusanmu!’ Wajahnya bekerut, atau menghinanya dengan berbagai gerak tangan, dan tak mau pergi. Ibunya marah, mengambil tongkat dan berseru, ‘Kamu makan apa yang kuberikan kepadamu lalu tak mau melakukan apa pun untukku di ladang!’ Ia menakutinya, lalu larilah anak ini sekencang-kencangnya; ibu ini tak kuat mengejarnya dan berseru, ‘Pergilah, semoga para pencuri memotong-motongmu maka potongan kecil!’ Demikian ia mencercanya sepuas hati; namun apa yang mulutnya ucapkan tidak ia inginkan sama sekali, maka ia berharap anaknya ada di dekatnya.

Anak itu bermain sepanjang hari, dan pada malam hari tak berani pulang ke rumah, ia pergi ke rumah sanak saudaranya. Ibunya mengawasi jalan menanti kedatangannya, tak kunjung melihat ia kembali, dan berpikir bahwa tak kembalinya ia membuat hatinya penuh duka; dengan air mata mengalir dari matanya ia mencari-cari di rumah sanak saudaranya, dan ketika melihat putranya, ia memeluk dan menciumnya, dan merangkulnya erat dengan kedua tangannya, dan mencintainya lebih dari sebelumnya, ketika ia menangis, ‘Apa kamu menganggap serius kata-kataku?’ Demikianlah, Baginda, seorang ibu selalu mencintai putranya terlebih lagi pada saat marah.” Demikianlah ia menjelaskan pertanyaan kedua: dewi itu memberikan persembahan yang sama seperti sebelumnya, demikian pula raja.

Kemudian raja menanyakannya pertanyaan ketiga dalam syair lainnya:

“Ia mencercanya tanpa sebab, dan tanpa alasan mencela; namun ia, wahai Raja, lebih tersayang ketimbang suami.”

Bodhisatta berkata, “Baginda, ketika sepasang kekasih sembunyi-sembunyi menikmati kesenangan cinta, dan seorang berkata kepada yang lain, ‘Kamu tak peduli padaku, hatimu ada di tempat lain, aku tahu!’ Semuanya palsu dan tanpa alasan, saling mencela dan menegur, mereka lalu makin menyayangi satu sama lain. Itulah makna pertanyaan itu.” Dewi itu membuat persembahan yang sama seperti sebelumnya, demikian pula raja; yang kemudian menanyakan pertanyaan lain, melafalkan syair keempat:

“Kami mengambil makanan dan minuman, baju dan penginapan, sesungguhnya orang baik membawa pergi mereka; namun mereka, wahai Raja, lebih disayang ketimbang suami.”

Ia menjawab, “Baginda, pertanyaan ini merujuk ke para brahmana gelandangan yang bajik. Keluarga saleh yang memercayai di dunia ini dan selanjutnya memberi kepada mereka dan bersukacita dalam memberi: ketika mereka melihat brahmana seperti itu menerima apa yang diberikan dan makan, dan berpikir, ‘Adalah kepada kita mereka datang meminta-minta, makanan kami sendiri yang mereka makan, kasih sayang bertambah terhadap mereka. Sehingga sesungguhnya mereka mengambil benda-benda, mengenakannya di bahu apa yang telah diberikan, mereka menjadi tersayang.”

Ketika pertanyaan ini telah terjawab, dewi itu mengungkapkan pujiannya dengan pemberian yang sama seperti sebelumnya, lalu menaruh di depan kaki Bodhisatta sebuah kotak penuh dengan tujuh benda berharga, memohon agar ia menerimanya; raja pun dengan sukacita membuatnya menjadi Panglima Tertinggi. Sejak saat itu sungguh besar kejayaan Bodhisatta. Di sini berakhir Pertanyaan Dewi.

Sekali lagi empat orang bijak ini berkata, “Orang biasa ini makin purnama kejayaannya: apa yang akan kita lakukan?” Senaka berkata kepada mereka, “Baiklah, saya punya rencana. Mari kita mendatangi dia dan bertanya kepadanya, ‘Kepada siapakah pantas untuk memberitahu rahasia?’ Jika ia mengatakan, ‘Tidak ke siapa pun, kita akan memfitnahnya di hadapan raja dan mengatakan bahwa ia adalah pengkhianat.” Maka empat orang itu pergi ke rumah orang bijak itu, dan menyapanya, dan berkata, “Tuan bijaksana, kami ingin menanyakan Anda pertanyaan.” “Tanyakanlah,” jawabnya. Senaka mengatakan, “Tuan yang bijak, dalam apakah seharusnya seseorang berdiri dengan kukuh? “ “Dalam kebenaran.” “Setelah itu dilakukan, apa hal berikutnya yang harus dilakukan?” “Ia harus mengumpulkan kekayaan.” “Lalu apa berikutnya?” “Ia harus mempelajari jalan kebajikan.” “Lalu apa berikutnya?” “Ia tak boleh memberitahu siapa pun rahasianya sendiri.” “Terima kasih, Tuan,” kata mereka, dan pergi dengan gembira, sambil berpikir, “Hari ini kita akan melihat kejatuhan orang itu!”

Kemudian mereka menemui raja dan berkata kepadanya, “Baginda, orang itu adalah pengkhianat terhadapmu!” Raja menjawab, “Saya tak memercayai kalian, ia tak akan pernah berkhianat kepadaku.” “Percayalah, Baginda, hal itu benar! Namun jika Anda tak memercayai, kalau begitu tanyailah ia kepada siapa rahasia seharusnya diberitahu; jika ia bukan pengkhianat, ia akan mengatakan, kepada ini dan itu; namun jika ia pengkhianat ia akan mengatakan, ‘Rahasia seharusnya tak diberitahu kepada siapa pun; ketika hasrat Anda sudah terpenuhi, baru saat itu Anda boleh bicara.’ Pada saat itu, percayalah kepada kami, dan janganlah curiga lagi.” Lalu suatu hari, ketika mereka semua duduk bersama, ia melafalkan syair pertama Pertanyaan Orang Bijak, Buku Dua Puluh:

“Lima orang bijak kini duduk bersama, dan pertanyaan muncul kepadaku: dengarkan. Kepada siapa rahasia

seharusnya diungkap, apakah itu baik atau buruk?”

Mendengar ini, Senaka, berpikir untuk membujuk Raja hingga memihak mereka, mengulang syair ini:

“Anda menyatakan pikiran Anda, penguasa bumi! Anda adalah pendukung kami dan penanggung beban kami. Lima orang cerdas akan memahami keinginan dan kesenangan Anda, lalu akan bicara, penguasa manusia!”

Kemudian raja, dalam keadaan uzur melafalkan syair ini:

“Jika seorang wanita luhur, dan setia, patuh kepada keinginan dan kehendak suaminya, penuh kasih sayang, rahasia seharusnya diberitahu apakah itu baik atau buruk kepada istri.”

“Kini raja berada di sisiku!” pikir Senaka, dan merasa senang ia mengulang sebuah syair, menjelaskan perilakunya sendiri:

“Ia yang melindungi orang sakit dalam kemalangan dan yang menjadi pernaungan dan penyokongnya, boleh mengungkapkan rahasia ini kepada sahabatnya apakah itu baik atau buruk.”

Kemudian raja bertanya kepada Pukkusa: “Bagaimana pendapatmu, Pukkusa? Kepada siapa seharusnya rahasia diberitahu?” dan Pukkusa melafalkan syair ini:

“Tua atau muda atau di antaranya, jika saudara kandung luhur dan bisa dipercaya, kepada saudara seperti itu rahasia boleh diberitahu apakah itu baik atau buruk.”

Berikutnya, raja menanyai Kavinda, dan ia melafalkan syair ini:

“Ketika putra patuh kepada kehendak ayahnya, putra sejati, memiliki kebijaksanaan, kepada putra seperti itu rahasia boleh diungkap apakah itu baik atau buruk.”

Kemudian raja bertanya kepada Devinda, yang melafalkan syair ini:

“Penguasa manusia! Jika ibu menyayangi putranya dengan kasih sayang, kepada ibunya ia boleh mengungkapkan rahasia apakah itu baik atau buruk.”

Setelah menanyai mereka, raja bertanya, “Bagaimana pendapat Anda, Tuan yang bijak?” dan ia melafalkan syair ini:
“Sungguh baik merahasiakan rahasia, mengungkapkan rahasia tidak dipuji. Orang pintar seharusnya menyimpan rahasia itu untuk dirinya ketika hal itu belum diselesaikan; namun setelahnya ia boleh bicara sesuai kehendaknya.”

Ketika petapa telah mengatakan ini raja merasa tidak senang; kemudian raja melihat Senaka, lalu Senaka melihat raja. Ini disaksikan Bodhisatta, dan menyadari kenyataannya, bahwa empat orang ini pernah memfitnahnya sekali, dan pertanyaan ini pasti telah diajukan untuk mengujinya.

Nah saat itu, ketika mereka sedang berbincang, matahari telah terbenam dan lampu-lampu sudah dinyalakan. “Sungguh keras cara hidup para raja,” pikirnya, “apa yang akan terjadi berikutnya, tak seorang pun yang bisa tahu; saya harus meninggalkan tempat ini segera.” Maka ia bangkit dari tempat duduknya, memberi salam kepada raja, lalu pergi sambil berpikir, “Dari empat orang ini, seorang mengatakan bahwa rahasia seharusnya diberitahu kepada seorang sahabat, yang satu kepada saudara kandung, satu kepada putra, satu kepada ibu: mereka pasti telah melakukan atau melihat sesuatu; atau saya pikir, mereka telah mendengar orang lain memberitahu apa yang telah mereka lihat. Nah, saya akan mencari tahu hari ini.”

Demikianlah pemikirannya. Lalu, pada hari lain, keempat orang ini saat keluar dari istana biasanya duduk di selokan di gerbang istana, dan membicarakan rencana mereka sebelum pulang ke rumah: maka orang bijak itu berpikir bahwa ia seharusnya bersembunyi di bawah selokan itu agar ia bisa mengetahui rahasia mereka. Lalu mengangkat selokan itu dengan saksama, ia membentangkan permadani di bawahnya dan menyusup masuk, lalu memberikan perintah bagi bawahannya untuk menjemputnya ketika empat orang bijak itu telah pergi usai berbincang. Bawahannya berjanji melakukannya dan pergi. Sementara itu, Senaka tengah berkata kepada raja, “Baginda, apakah Anda tak memercayai kami, bagaimana pendapat Anda?”

Raja menerima kata-kata para penyebar kekacauan ini tanpa menyelidiki, lalu raja bertanya ketakutan, “Apa yang harus kita lakukan, Senaka yang bijak?” “Baginda, tanpa menunda lagi, tanpa memberitahu siapa pun, ia harus dibunuh.” “Wahai Senaka, tak seorang pun memedulikan kepentinganku selain kamu. Bawalah teman-teman Anda dan tunggulah di pintu, dan pada pagi hari ketika orang itu datang menemui saya, belahlah kepalanya dengan pedang.” Sembari mengatakan itu ia memberikan mereka pedangnya yang berharga. “Sungguh baik, Baginda, jangan cemas, kami akan membunuhnya.” Ketika mereka pergi, mereka berkata, “Kami telah melihat kejatuhan musuh kami!” dan duduk di atas selokan. Kemudian Senaka berkata, “Sahabat, siapa yang akan memukul orang itu?” Yang lainnya berkata, “Anda saja, Guru,” lalu membebankan tugas itu kepadanya. Senaka kemudian berkata, “Sahabat, Anda mengatakan bahwa rahasia seharusnya diberitahu kepada orang ini dan itu: apakah itu sesuatu yang telah Anda lakukan, lihat, atau dengar?” “Bagaimana dengan Anda, Guru: ketika Anda mengatakan bahwa rahasia boleh diceritakan kepada seorang sahabat, apakah itu sesuatu yang pernah Anda lakukan?” “Apa pedulinya bagi kalian?” ujarnya. “Mohon beritahu kami, Guru,” mereka mengulang. Ia mengatakan, “Jika raja sampai mengetahui rahasia ini, nyawa saya akan lenyap.” “Jangan takut, Guru, tak seorang pun di sini yang mengkhianati rahasiamu, beritahukanlah kami, Guru.” Kemudian, mengetuk-ngetuk selokan itu, Senaka berkata, “Bagaimana jika si pemakai sepatu bekas itu ada di bawah sini!” “Guru! Orang itu dengan segala keagungannya tak akan menyusup ke tempat seperti ini! Ia pasti mabuk dengan kemakmurannya. Marilah, beritahu kami.” Senaka menceritakan rahasianya dan berkata, “Kalian tahu pelacur ini dan itu di kota ini?” “Ya, Guru.” “Apakah ia pernah terlihat lagi?” “Tidak, Guru.” “Di hutan pohon sala saya berhubungan dengannya, kemudian saya membunuhnya untuk merampas perhiasannya, yang saya ikat di buntalan dan bawa ke rumah dan saya gantungkan di gading gajah di sebuah kamar dalam gudang ini; namun saya tak bisa memakainya sampai berita ini telah terlupakan. Kejahatan ini telah saya beritahu kepada seorang sahabat, dan ia belum memberitahu siapa pun; itulah mengapa saya mengatakan bahwa rahasia boleh diberitahu kepada seorang sahabat.”

Mahosadha mendengar rahasia Senaka ini dan mengingatnya. Kemudian Pukkusa memberitahukan rahasianya, “Di paha saya ada tempat yang terkena kusta. Pada pagi hari, adik saya membasuhnya, mengoleskan salep, lalu membalutnya, dan tak pernah memberitahu siapa pun. Ketika hati raja lembut ia berseru, ‘Kemarilah, Pukkusa,’ dan raja sering membaringkan kepalanya di paha saya. Namun jika ia sampai tahu, raja akan membunuh saya. Tak seorang pun mengetahui hal ini kecuali adik saya; dan itulah mengapa saya mengatakan, ‘Rahasia boleh diberitahu kepada saudara kandung.’”

Kavinda menceritakan rahasianya, “Sedangkan bagi saya, pada malam bulan mati pada hari uposatha seorang siluman bernama Naradeva merasuk saya, dan saya menjerit-jerit bagaikan anjing gila. Saya memberitahu putra saya mengenai hal ini; dan ia, ketika melihat saya dirasuki, mengunci saya dalam kamar, dan meninggalkan saya ia mengunci pintu, dan untuk menyembunyikan suara saya, ia mengumpulkan banyak orang. Itulah mengapa saya mengatakan bahwa rahasia bisa diberitahu kepada anak sendiri.”

Kemudian mereka bertiga bertanya kepada Devinda, lalu ia memberitahukan rahasianya, “Saya adalah pengawas permata raja; dan saya mencuri sebuah permata indah yang mujur, pemberian Sakka kepada Raja Kusa, dan memberinya kepada ibu saya. Ketika saya pergi ke istana, ia memberinya kepada saya, tanpa mengatakan kepada siapa pun; dan karena permata itu, saya diliputi oleh kemujuran ketika saya memasuki istana. Raja bicara kepada saya lebih dahulu ketimbang Anda semua, dan memberikan kepada saya delapan, enam betas, tiga puluh dua, atau enam puluh empat rupee untuk dibelanjakan. Jika raja tahu bahwa saya memiliki permata itu, saya akan mati! Itulah mengapa saya mengatakan bahwa rahasia boleh diberitahu kepada ibu.”

Bodhisatta dengan saksama mencatat semua rahasia mereka; namun mereka, setelah mengungkapkan rahasia mereka ibarat membuka perut mereka dan mengeluarkan isi perutnya keluar, bangkit dari kursi dan pergi, seraya mengatakan, “Pastikan datang pagi-pagi dan kita akan bisa membunuh orang tak beradab itu.”

Ketika mereka telah pergi, para pengikut orang bijak itu datang dan membuka gundukan tanah itu dan membawa Bodhisatta kembali. Ia lalu mandi, berpakaian, dan makan; dan mengetahui bahwa saudarinya Ratu Udumbara akan mengirimkannya pesan dari istana, ia menempatkan seorang kepercayaannya berjaga-jaga, lalu memintanya menyuruh masuk segera siapa pun yang datang dari istana. Kemudian ia berbaring di peraduannya.

Pada saat itu, raja pun tengah berbaring di pembaringannya dan ingat akan kebajikan orang bijak itu. “Orang bijak Mahosadha telah melayani saya sejak berusia tujuh tahun, dan tak pernah merugikan saya. Ketika dewi menanyai saya pertanyaannya, jika bukan karena orang bijak itu saya sudah mati. Menerima kata-kata musuh yang mendendam, memberikan mereka pedang dan menyuruh mereka membunuh orang bijak tiada tara, ini seharusnya tak saya lakukan. Setelah esok, saya tak akan bisa menjumpainya lagi!” Ia berduka, dengan keringat membanjir dari tubuhnya, terkuasai duka hatinya tak mendapat kedamaian. Ratu Udumbara, yang bersamanya di dipannya, melihat kelakuannya, bertanya, “Apakah kesalahan yang saya perbuat terhadap Anda? Atau apakah ada hal lain yang menyebabkan duka kepada Baginda?” dan ia mengulang syair ini:

“Mengapa Anda bingung, wahai Raja? Kita tak mendengar suara penguasa manusia! Apa yang Anda pikir hingga murung begitu? Tiada maksud saya untuk menyinggung Baginda.”

Raja kemudian mengulang sebuah syair:

“Mereka berkata, ‘Orang bijak Mahosadha harus dibunuh’; dan disetujui oleh saya kematian orang terbijak. Ketika memikirkan ini saya murung. Tiada kesalahan yang Anda perbuat, ratuku.”

Ketika mendengar ini, duka bagi Bodhisatta menghancurkannya bagaikan timpaan karang; dan ia berpikir, “Aku tahu cara menghibur raja; ketika ia pergi tidur aku akan mengirim pesan kepada saudaraku.” Kemudian ia berkata kepadanya, “Baginda, karena tindakan Andalah anak orang biasa itu diusung hingga memiliki kekuasaan besar; Anda membuatnya menjadi panglima tertinggi. Kini mereka mengatakan bahwa ia telah menjadi musuh Anda. Tiada musuh yang remeh; ia harus dibunuh, maka janganlah berduka.”
Demikian ia menghibur raja; duka raja mereda dan ia tertidur. Kemudian bangkitlah ratu dan pergi ke kamarnya, lalu menulis surat seperti ini: “Mahosadha, empat orang bijak telah memfitnah Anda; raja sedang marah, dan besok telah diperintahkan agar Anda dibantai di gerbang istana. Jangan datang ke istana besok pagi; atau jika Anda datang, datanglah dengan kekuatan untuk menggenggam kota ini di tangan Anda.” Ia menaruh surat itu bersama daging manis, mengikatnya dengan benang, lalu memasukkan ke dalam kendi baru, menyegelnya, dan memberinya kepada seorang pelayan perempuan, “Bawa daging manis ini dan berikan kepada saudara saya.” Ia melakukan hal itu. Anda tidak perlu bertanya-tanya bagaimana ia bisa keluar pada malam hari, sebab raja sebelumnya telah memberikan anugerah ini kepada ratu, sehingga tak seorang pun menghalanginya. Bodhisatta menerima hadiah ini dan meminta perempuan itu pergi, yang kembali dan melaporkan bahwa ia telah mengantarkannya. Kemudian ratu kembali berbaring di sisi raja. Bodhisatta membuka keranjang daging manis itu, membaca suratnya, memahaminya, dan setelah memikirkan apa yang harus dilakukan ia pergi istirahat.

Pagi-pagi sekali, empat orang bijak dengan pedang di tangan berdiri di samping gerbang, namun tak melihat orang bijak mereka menjadi gelisah, lalu pergi menemui raja. “Nah,” tanya raja, “apakah si orang rendah sudah dibunuh?” Mereka menjawab, “Kami belum melihatnya, Baginda.” Lalu Bodhisatta, saat matahari terbit merebut seluruh kota dalam kekuasaannya, menaruh penjagaan di sini dan di sana, dan dengan kereta perang dan rombongan banyak orang dan kemegahan besar datang ke gerbang istana. Raja berdiri sambil melihat keluar melalui jendela yang terbuka. Kemudian Bodhisatta turun dari kereta perang dan memberi hormat padanya; lalu raja berpikir, “Jika ia musuhku, ia tak akan memberi hormat padaku.” Lalu raja memanggilnya dan duduk di takhtanya. Bodhisatta datang dan duduk di satu sisi: empat orang bijak juga duduk di sana. Kemudian raja berpura-pura seakan ia tak tahu apa-apa dan berkata, “Putraku, kemarin Anda meninggalkan kami dan kini datang kembali; mengapa Anda memperlakukan kami demikian tak acuh?” dan ia mengulang syair ini:

“Pada malam hari Anda pergi, kini Anda datang. Apa yang telah Anda dengar? Apa yang batin Anda takuti? Siapa yang memerintah Anda, wahai yang paling bijak? Mari, kami mendengarkanmu: beritahu kami.”

Bodhisatta menjawab, “Baginda, Anda mendengarkan empat orang bijak ini dan memerintahkan kematian saya, itulah sebabnya saya tidak datang,” dan menegurnya ia mengulang syair ini:

“’Orang bijak Mahosadha harus dibunuh’: jika Anda mengucapkan ini diam-diam kemarin malam kepada istri Anda, maka rahasia Anda telah dibeberkan dan saya mendengarnya.”

Ketika raja mendengar hal ini, ia melihat dengan marah ke istrinya, berpikir bahwa ratunya pasti telah mengirimkan kabar mengenai hal ini seketika. Melihat hal ini, Bodhisatta berkata, “Mengapa Anda marah dengan ratu, Baginda? Saya mengetahui semua masa lalu, masa kini, dan masa depan. Misalkan ratu membeberkan rahasia Anda: siapa yang memberitahu saya rahasia Tuan Senaka, Pukkusa, dan mereka lainnya? Namun saya mengetahui semua rahasia mereka.”

Lalu ia memberitahukan rahasia Senaka dalam syair ini:

“Yang penuh salah dan perbuatan jahat dilakukan Senaka di hutan Sala ia ceritakan kepada seorang sahabat diam-diam, namun rahasia itu telah terbeber dan saya mendengarnya.”

Menatap Senaka, raja bertanya, “Apakah itu benar?” “Baginda, itu benar,” ia menjawab dan raja memerintahkannya dimasukkan ke penjara. Kemudian orang bijak menceritakan rahasia Pukkusa dalam syair ini:

“Dalam diri Pukkusa, wahai Raja manusia, ada penyakit yang tak layak disentuh raja; ia menceritakan rahasia ini ke adiknya. Rahasia itu telah dibeberkan dan saya mendengarnya.”

Raja melihatnya dan bertanya, “Apakah itu benar?” “Betul, Baginda,” jawabnya; dan raja juga melemparkannya ke penjara. Kemudian petapa itu memberitahu rahasia Kavinda dalam syair ini:

“Berpenyakit orang itu, memiliki sifat jahat, dirasuki Naradeva. Ia memberitahu rahasia ini kepada putranya; rahasia ini telah terungkap dan saya telah mendengarnya.”

[388] “Apakah itu benar, Kavinda?” raja bertanya; dan ia menjawab, “Itu benar.” Kemudian raja pun melemparkannya ke penjara. Orang bijak itu kini memberitahu rahasia Devinda dalam syair ini:
“Permata berharga dan mulia bersegi delapan, yang Sakka berikan kepada kakekmu, kini berada di tangan Devinda, dan ia memberitahu hal ini kepada ibunya diam-diam. Rahasia itu telah diungkap dan saya mendengarnya.”

“Apakah itu benar, Devinda?” tanya raja; dan ia menjawab, “Itu benar.” Maka raja pun melemparkannya ke penjara. Demikianlah mereka yang berencana untuk membunuh Bodhisatta semuanya tertangkap bersama. Lalu Bodhisatta mengatakan, “Inilah mengapa saya bilang bahwa orang seharusnya tak memberitahukan rahasianya kepada siapa pun; mereka yang mengatakan bahwa rahasia seharusnya diberitahu, semuanya telah berakhir dalam kehancuran total.” Lalu ia mengucapkan syair-syair ini, membabarkan Dhamma yang lebih tinggi:

“Kerahasiaan rahasia selalu baik, juga tidak baik membeberkan rahasia. Ketika suatu hal tidak dicapai orang bijak seharusnya menyimpannya sendiri; ketika ia telah menyelesaikan tujuannya, biarlah ia bicara sesuai kehendaknya. Kita seharusnya tidak mengungkapkan rahasia, namun menjaganya seperti harta; karena rahasia tidak diungkapkan oleh yang waspada. Tidak kepada perempuan orang bijak akan memberitahukan rahasia, tidak kepada musuh, ataupun kepada orang yang bisa digoda oleh kepentingan diri, tidak juga demi mendapatkan perhatian dan kasih sayang. Ia yang mengungkapkan rahasia yang belum diketahui, karena takut menyalahi kepercayaan harus menanggung menjadi budak orang lain. Sebanyak mereka yang mengetahui rahasia orang, demikian banyak pula kecemasannya; karena itu, kita seharusnya tidak membeberkan rahasia. Pergilah beritahukan rahasia pada siang hari; pada malam hari dalam bisikan halus: bagi pendengar yang mendengar kata-kata itu, maka kabar akan segera menyebar235.”

Ketika raja mendengar Bodhisatta bicara, ia merasa marah dan berpikir, “Orang-orang ini, para pengkhianat bagi raja mereka, membuat orang bijak itu tampak seperti pengkhianat bagiku!” Lalu ia berkata, “Pergilah, bawa mereka keluar kota, dan tembusilah tubuh mereka atau penggal kepala mereka!” Maka mereka mengikat tangan mereka di punggung, di setiap sudut jalan memberikan mereka seratus pukulan. Namun ketika mereka diseret, orang bijak berkata, “Baginda, mereka ini adalah menteri-menteri Anda sejak zaman dahulu, ampunilah kesalahan mereka!” Raja menyetujui, memberikan mereka menjadi budaknya. Bodhisatta langsung membebaskan mereka. Kemudian raja berkata, “Mereka tidak akan tinggal di wilayah kekuasaan saya,” dan memerintahkan agar mereka diasingkan. Namun orang bijak memohon agar mengampuni kebodohan mereka, dan menghibur raja, membujuknya memulihkan posisi mereka dahulu. Raja merasa sangat senang dengan orang bijak: jika beginilah kewelasan lembutnya kepada lawan-lawannya, apalagi terhadap orang lain! Sejak saat itu, empat orang bijak, seperti ular yang giginya telah dicabut dan racunnya telah hilang, tak bisa berkata-kata lagi, demikianlah ceritanya.

Di sini berakhir Pertanyaan Lima Orang Bijak, dan juga Kisah Pencemaran Nama.

Setelah itu, ia biasa membimbing raja dalam hal duniawi dan spiritual; dan ia berpikir, “Aku sungguh adalah payung putih raja; akulah yang mengatur kerajaan: karena itu aku harus senantiasa waspada.” Ia menyuruh tembok pertahanan besar dibangun untuk kota itu. Di sepanjang pertahanan dibangun menara penjaga di gerbang, dan di antara menara pengawa ia menggali tiga selokan, selokan air, selokan lumpur, dan selokan kering. Dalam kota ia memugar semua rumah tua: tepian-tepian besar digali dan dibuat menjadi tempat penampungan air; semua gudang diisi dengan gandum. Semua pendeta yang terpercaya harus membawa turun dari Himavat lumpur dan benih teratai yang bisa dimakan. Selokan air dibersihkan, dan rumah-rumah tua di luar pun dipugar, Hal ini dilakukan sebagai pertahanan menghadapi bahaya pada masa depan. Para pedagang yang datang dari satu tempat ke tempat lain ditanyai kapan mereka datang; dan ketika mereka menjawab, mereka ditanyai apa yang raja mereka sukai; ketika ini diberitahu, mereka dengan diperlakukan dengan ramah sebelum mereka pergi.

Kemudian ia mengirimkan seratus satu tentara dan berkata kepada mereka, “Bawahanku, bawalah hadiah ini ke seratus satu kotaraja, dan berikanlah mereka kepada beberapa raja mereka untuk menyenangkan mereka; hiduplah di sana melayani mereka, dengarkan aksi dan rencana mereka, dan kirimkan berita kepadaku Aku akan mengurus anak-anak dan istrimu.” Lalu ia mengirimkan sebagian dari mereka dengan anting, sebagian dengan sandal emas, dan sebagian dengan kalung emas, dengan surat-surat berukir untuk mereka, di mana ia suruh untuk buka ketika tiba saatnya. Orang-orangnya pergi ke sini dan ke sana, dan memberikan hadiah ini kepada para raja, mengatakan bahwa mereka datang untuk hidup dan melayani mereka. Ketika ditanya dari mana mereka datang, mereka memberitahu nama yang lain dari tempat asal mereka yang sesungguhnya. Tawaran mereka diterima, mereka tetap di sana melayani dan membuat diri mereka dipercaya.

Saat itu di kerajaan Ekabala ada raja bernama Samkhapala, yang mengumpulkan senjata dan pasukan. Orang yang datang menemui raja ini telah mengirimkan kabar kepada orang bijak, dengan berkata, “Inilah berita di sini, namun apa yang raja ini kehendaki saya tidak tahu; kirimkanlah utusan dan selidikilah kebenarannya.” Lalu Bodhisatta memanggil seekor burung kakatua dan berkata, “Sahabat, pergilah dan cari tahu apa yang Raja Samkhapala sedang lakukan di Ekabala, kemudian bepergianlah ke seluruh India dan bawakan saya berita.”

Ia memberi makan kakatua itu dengan madu dan biji-bijian, memberinya air manis untuk diminum, mengurapi sendi-sendi sayapnya dengan minyak yang disaring seratus dan seribu kali, berdiri di jendela timur, lalu melepaskannya. Kakatua itu pergi ke orang yang disuruh dan menemukan kebenarannya.

Ketika ia mengelilingi India, ia sampai ke Kota Uttarapancala di Kerajaan Kampilla. Di sana berkuasa raja bernama Culani-Brahmadatta, yang memiliki seorang penasihat duniawi dan spiritual yakni seorang brahmana bernama Kevatta, yang bijaksana dan terpelajar. Brahmana itu suatu pagi terbangun kala fajar, lalu melihat dengan cahaya lampu di kamarnya yang megah, ketika ia melihat kemegahan itu, ia berpikir, “Milik siapa kemegahan ini? Tidak lain Cujani-Brahmadatta. Seorang raja yang memberikan kemegahan seperti ini seharusnya menjadi raja diraja seluruh India, dan aku akan menjadi penasihat utamanya.” Lalu pagi-pagi sekali, ia pergi menemui raja, dan ketika ia bertanya apakah raja telah tidur nyenyak, ia berkata, “Baginda, ada sesuatu yang hendak saya katakan.” “Katakanlah, Guru.” “Baginda, sebuah rahasia tak boleh diceritakan di kota, mari kita pergi ke taman.” “Sungguh baik, Guru.”

Raja pergi ke taman bersamanya, dan meninggalkan pengikutnya, lalu memerintahkan penjagaan, memasuki taman bersama brahmana itu, duduk di bawah kursi kerajaan. Burung kakatua, melihat ini, berpikir bahwa pasti ada sesuatu; “Hari ini aku akan mendengar sesuatu yang harus diberitakan kepada tuanku yang bijak.” Maka ia terbang ke dalam taman, hinggap di antara dedaunan pohon sala kerajaan. Raja mengatakan, “Bicaralah, Guru.” Ia mengatakan, “Baginda, miringkan telinga Anda kemari; ini adalah rencana hanya untuk didengar empat telinga. Jika Baginda melakukan apa yang saya nasihatkan, saya akan membuat Anda menjadi raja diraja seluruh India.”

Raja mendengarkannya dengan rakus, dan menjawab dengan sangat puas, “Beritahu saya, Guru, dan saya akan melakukannya.” “Tuanku, mari kita kumpulkan pasukan, lalu pertama-tama kepung kota kecil. Lalu saya akan memasuki kota lewat gerbangnya, dan akan berkata kepada rajanya, ‘Baginda, tidak ada gunanya bertempur; jadilah pengikut kami, kerajaan Anda boleh tetap Anda pegang, namun jika Anda berperang melawan kekuatan kami yang perkasa, Anda akan ditaklukkan dengan sempurna.’ Jika ia melakukan237 apa yang saya nasihatkan, kita akan menerimanya; jika tidak, kita akan berperang dan membunuhnya, dan dengan dua pasukan kita akan pergi merebut kota lain, lalu kota lain lagi, dan dengan cara ini kita menguasai seluruh India dan mereguk cawan kemenangan. Kemudian kita akan membawa seratus satu raja ke kota kita, dan membuat acara minum di taman, mendudukkan mereka di sana, dan memberi mereka minuman beracun, sehingga membunuh mereka semua, lalu kita melemparkan mayat mereka ke Sungai Ganga. Demikianlah kita akan mendapatkan seratus satu ibukota di tangan kita, dan Anda akan menjadi maharaja seluruh India.”

“Sungguh baik, Guru,” katanya, “Saya akan melakukannya.” “Baginda, rencana ini hanyalah untuk empat telinga saja, tak seorang pun lainnya yang boleh mengetahuinya. Jangan menunda, laksanakanlah segera.” Raja merasa senang dengan nasihat ini dan bertekad melakukannya. Kakatua yang telah menguping semua pembicaraan mereka menjatuhkan segunduk kotoran ke kepala Kevatta seakan-akan itu jatuh dari ranting. “Apa itu?” serunya, sambil melihat ke atas dengan mulut ternganga: ketika burung itu menjatuhkan segunduk kotoran lainnya ke mulutnya lalu terbang sambil berseru, “Kaak kaak! Wahai Kevatta, kamu pikir rencanamu hanya untuk empat telinga, namun kini untuk enam telinga; dan kemudian akan maka untuk delapan telinga lalu ratusan telinga!” “Tangkap dia, tangkap dia!” teriak mereka; namun gesit bagai angin kakatua itu terbang ke Mithila dan memasuki rumah orang bijaksana itu.

Nah, kebiasaan burung kakatua itu adalah seperti ini: jika kabar berasal dari tempat mana pun yang hanya ditujukan untuk telinga orang bijak itu saja, burung itu akan hinggap di bahunya; jika Ratu Amara juga boleh mendengarnya, ia hinggap di pangkuan Bodhisatta; jika rekan-rekan boleh mendengarnya, ia hinggap di tanah. Kali ini, ia hinggap di pundaknya, dan melihat itu para pengiring Bodhisatta pergi, mengetahui bahwa ini rahasia.

Orang bijak itu membawa kakatua itu ke loteng paling tinggi dan bertanya kepadanya, “Nah, burung tersayang, apa yang telah Anda lihat, apa yang telah Anda dengar?” Ia berkata, “Tuanku, tiada raja lain di India yang saya lihat membahayakan; hanya Kevatta, penasihat Cujani-Brahmadatta di Kota Uttarapancala, membawa raja ke taman dan memberitahukan rencana kepadanya secara rahasia: saya duduk di antara ranting dan menjatuhkan gundukan kotoran ke mulutnya, dan kini saya sudah kembali!” Kemudian ia memberitahu orang bijak itu segala yang telah ia lihat dan dengar. “Apakah raja menyetujui rencana itu?” tanya Bodhisatta. “Ya, ia setuju,” jawab kakatua. Kemudian orang bijak itu merawat burung itu sebagaimana layaknya dan menaruhnya di sangkar emas yang dialasi permadani empuk.

Ia merenung dalam hati, “Menurutku, Kevatta tak mengetahui bahwa aku adalah Mahosadha yang bijaksana. Aku tak akan mengizinkannya mencapai rencananya.” Kemudian ia memindahkan ke luar semua orang miskin yang tinggal dalam kota, lalu ia membawa dari seluruh wilayah kerajaan, di pedesaan, desa pinggiran kota, dan yang berdiam dalam kota, semua keluarga kaya yang berkuasa, dan ia mengumpulkan banyak persediaan gandum.

Kemudian Culani-Brahmadatta melakukan seperti yang Kevatta telah usulkan: ia pergi dengan pasukannya dan mengepung sebuah kota. Kevatta, seperti yang telah ia usulkan, masuk ke dalam kota dan menjelaskan kepada raja dan memenangkan kesetiaan raja itu. Kemudian menggabungkan dua pasukan, Culani-Brahmadatta mengikuti nasihat Kevatta dan pergi ke kerajaan lain, sampai ia membawa semua raja India di bawah kekuasaannya kecuali Raja Videha. Orang-orang yang disusupkan Bodhisatta terus mengirimkan pesan yang mengatakan, “Brahmadatta telah mengambil kota ini dan itu, waspadalah”: yang ia balas, “Saya bersiap siaga di sini, jagalah diri Anda sendiri tanpa lalai.”

Dalam waktu tujuh tahun dan tujuh bulan, Brahmadatta memiliki seluruh India, kecuali Videha. Kemudian ia berkata kepada Kevatta: “Guru, marilah kita merebut Kerajaan Videha di Mithila!” “Baginda,” jawabnya, “Kita tak akan pernah bisa merebut kota tempat orang bijak Mahosadha tinggal; ia penuh dengan kepiawaian, sangat cerdas dalam siasat.” Kemudian ia menjabarkan kebajikan Bodhisatta, seakan ia menggambarkannya di atas piringan rembulan. Ia sendiri sangat piawai dalam siasat, maka ia mengatakan, “Kerajaan Mithila sangat kecil, dan kekuasaan akan seluruh India sudah cukup bagi kita.” Demikianlah ia menghibur raja; namun raja-raja lain berkata, “Tidak, kita akan merebut kerajaan Mithila dan minum dari cawan kemenangan!” Kevatta akan menahan mereka, “Apa gunanya mengambil Kerajaan Videha? Raja itu sudah maka pengikut kita. Kembalilah.” Demikianlah nasihatnya: mereka mendengarkannya dan berbalik. Bawahan Bodhisatta mengirimkan pesan kepadanya bahwa Brahmadatta dengan raja yang sedang dalam perjalanan menuju Mithila berbalik [394] dan kembali ke kotanya sendiri. Ia mengirimkan balasan, bahwa mereka harus tetap mengawasi apa yang ia lakukan.

Lalu Brahmadatta berencana dengan Kevatta apa yang harus dilakukan berikutnya. Berharap bisa minum cawan kemenangan, mereka menghiasi taman, memerintahkan para pelayan untuk mengeluarkan anggur dalam ribuan kendi, menyiapkan hidangan segala jenis ikan dan daging. Berita ini pun dikirimkan bawahan orang bijak. Mereka tak mengetahui rencana untuk meracuni raja-raja, namun Bodhisatta mengetahui dari apa yang kakatua ceritakan kepadanya; ia mengirim pesan kepada mereka, bahwa mereka harus memberitahunya kapan tepatnya perayaan ini dilaksanakan, dan mereka melakukannya. Kemudian ia berpikir, “Tidaklah benar bahwa begitu banyak raja harus terbunuh sementara orang bijak seperti diriku hidup. Aku akan menolong mereka.”

Ia mengirim sepuluh ribu prajurit, lalu teman-temannya sejak kecil, dan berkata, “Sahabat, pada hari yang ini, Culani-Brahmadatta, kata mereka, ingin menghias tamannya dan minum anggur bersama seratus satu raja. Pergilah ke sana, dan sebelum siapa pun duduk di kursi yang disediakan bagi raja, ambillah kursi kehormatan di samping Culani-Brahmadatta, lalu katakan, ‘Ini untuk raja kami.’ Ketika mereka bertanya orang-orang siapa itu, beritahukan bahwa ini adalah bawahan Raja Videha. Mereka akan berseru keras dan berkata, ‘Apa! Selama tujuh tahun dan tujuh bulan dan tujuh hari kami telah menaklukkan kerajaan demi kerajaan, dan tak sekali pun kami melihat Raja Videhamu! Raja apa dia? Carikan dia kursi di ujung!’ Kalian saat itu harus bertengkar dan berkata, ‘Kecuali Brahmadatta, tiada raja yang berada di atas raja kami! Jika kami tak bisa mendapatkan satu kursi untuk raja kami, kami tak akan membiarkan kalian makan atau minum sekarang!’ Maka berseru dan berlompatan, takutilah mereka dengan suara, pecahkan semua kendi dengan pentungan kalian, cerai beraikan makanan, buatlah tidak layak makan, lalu berlarianlah di antara kerumunan sekencang mungkin, lalu buatlah suara-suara seperti para asura menyerbu kota para dewa, berserulah kencang, ‘Kami adalah bawahan orang bijak Mahosadha dari Kota Mithila: tangkaplah kami jika Anda bisa!’ Demikianlah itu akan menunjukkan kepada mereka bahwa kalian ada di sana, lalu kembalilah kepada saya.”

Mereka berjanji untuk patuh, dan mereka pamit; lalu memakai lima jenis senjata, mereka pergi. Mereka memasuki taman berhias yang seperti Hutan Nandana, lalu melihat semua barisannya yang luar biasa, tempat duduk yang ditaruh untuk seratus satu raja, payung-payung putih yang terkembang, dan seluruh perhiasan sisanya. Mereka melakukan seperti yang diperintahkan Bodhisatta, dan setelah menciptakan keributan di keramaian, mereka kembali ke Mithila.

Anak buah raja memberitahukan kepada raja apa yang terjadi: Brahmadatta marah karena rencana yang demikian sempurna untuk meracuni para raja telah gagal; sementara para raja marah, sebab mereka tidak mendapatkan cawan kemenangan; dan para prajurit marah, sebab mereka kehilangan kesempatan mendapatkan pesta minum gratis. Maka Brahmadatta berkata kepada para raja, “Mari, teman-teman, kita pergi ke Mithila, dan memenggal kepala Raja Videha dengan pedang, menginjak-injaknya, lalu kembali kemari untuk minum cawan kemenangan! Beritahukan pasukanmu untuk bersiap.” Kemudian pergi terpisah dengan Kevatta, ia mengatakan rencananya, sembari berkata, “Lihat, kita akan menangkap musuh yang menggagalkan rencana bagus ini. Dengan seratus satu raja dan delapan belas pasukan lengkap kita akan menggempur kota itu. Mari, Guruku!” Namun brahmana itu cukup bijak untuk mengetahui bahwa mereka tak akan pernah bisa menangkap Mahosadha yang bijaksana, melainkan mereka semua akan dipermalukan; sehingga ia berpikir raja harus dibujuk untuk mengurungkan niatnya.

Maka ia mengatakan: “Baginda! Raja Videha ini tak memiliki kekuatan; urusan rumah tangganya ada di tangan Mahosadha yang bijaksana, dan ia sangat perkasa. Dijaga olehnya, seperti singa melindungi sarangnya, Mithila tak bisa direbut siapa pun. Kita hanya akan kehilangan kehormatan: janganlah pergi.” Namun raja itu, murka oleh harga diri prajurit dan tergila-gila akan kerajaan itu, berseru, “Apa sih yang akan ia lakukan!” dan ia berangkat, dengan seratus satu raja dan delapan belas barisan pasukan lengkap238. Kevatta, tak mampu membujuknya untuk menuruti nasihatnya, lalu berpikir bahwa tak ada gunanya mencegahnya, ikut pergi bersama raja.

Para prajurit Bodhisatta tiba di Mithila dalam waktu semalam, lalu menceritakan kepada orang bijak itu apa yang telah terjadi. Kemudian orang-orang yang telah ia susupkan mengirimkan kabar kepadanya bahwa Culani-Brahmadatta sedang dalam perjalanan bersama seratus satu raja untuk merampas Raja Videha; ia harus waspada. Pesan itu datang bersusulan: “Hari ini ia berada di tempat ini, [396] hari ini ia berada di tempat itu, hari ini ia akan mencapai kota.” Mendengar berita ini Bodhisatta melipatgandakan pengawasannya. Lalu Raja Videha mendengar kabar dari segala penjuru bahwa Brahmadatta sedang dalam perjalanannya untuk mengambil kota itu. Saat itu, Brahmadatta di awal senja mengelilingi kota itu dengan cahaya seratus ribu obor. Ia mengelilinginya dengan barisan gajah, kereta, dan kuda, dan di jarak tertentu menaruh barisan pasukan: di sana berdiri pasukan, berteriak, menjentikkan jari mereka, berseru, menari, menjerit-jerit. Dengan cahaya obor dan kilau zirah maka seluruh Kota Mithila sepanjang jarak tujuh liga tampak seperti sekumpulan nyala cahaya, suara gajah dan kuda, kereta, dan orang-orang membuat bumi ini bergetar.

Empat orang bijak, ketika mendengar ombak suara dan tidak mengetahui bagaimana seharusnya, pergi menemui raja dan berkata, “Baginda, ada keriuhan besar, dan kami tak mengetahui apa itu, akankah Baginda mencari tahu?” Mendengar itu raja berpikir, “Tak diragukan lagi Brahmadatta telah datang;” lalu ia membuka jendela dan melihat keluar. Ketika ia melihat bahwa Brahmadatta sesungguhnya telah datang, raja merasa sangat sedih, dan berkata kepada mereka, “Kita mati! Tak diragukan lagi, besok ia akan membunuh kita semua!” Lalu mereka duduk berbincang bersama. Namun ketika Bodhisatta melihat Brahmadatta telah datang, tak kenal takut seperti singa, ia mengatur penjagaan di seluruh kota, kemudian pergi ke istana untuk menyemangati raja. Memberi salam kepadanya, ia berdiri di satu sisi. Raja merasa bersemangat kala melihatnya dan berpikir, “Tiada yang bisa menyelamatkanku dari masalah ini selain Mahosadha yang bijaksana!” dan ia menyapanya sebagai berikut:

“Brahmadatta dari Pancala telah datang dengan seluruh pasukannya; wahai Mahosadha, balatentara Pancala ini tak terhingga! Orang-orang dengan beban di punggung mereka, prajurit pejalan kaki, pria yang piawai dalam pertarungan, prajurit yang siap menghancurkan, keriuhan besar, bunyi gendang dan sangkakala, di sinilah semua keterampilan dalam menggunakan senjata dari baja, di sinilah panji-panji dan khattiya berzirah, pendekar dan pahlawan yang termasyhur! Sepuluh orang bijak di sini, mendalam kebijaksanaannya, rahasia dalam strategi, dan yang kesebelas, ibunda raja yang turut menyemangati balatentara Pancala. Di sini ada seratus satu raja hadir, kerajaan mereka terenggut dari tangan mereka, gentar dan ditaklukkan pasukan Pancala. Apa yang mereka ucapkan, mereka lakukan bagi raja mereka; apakah mereka akan menolak, mereka harus bicara sopan; dengan Pancala mereka dipaksa turut, karena berada dalam kekuasaannya. Mithila kota kerajaan dikelilingi balatentara ini yang terbaris dalam tiga jenjang* , menggalinya di seluruh sisinya. Mithila bagaikan dikepung oleh bintang di segala sisi. Berpikirlah, Mahosadha! Bagaimana jalan keluar akan tiba?” Ketika Bodhisatta mendengar hal ini, ia berpikir, “Raja ini sangat ketakutan kehilangan nyawanya. Pernaungan orang yang tengah sakit adalah tabib, orang lapar adalah makanan, dan minuman bagi orang dahaga, namun hanya aku dan aku sendirilah pernaungannya. Aku akan menghiburnya.” Kemudian, seperti singa mengaum di dataran tinggi Merah, ia berseru, “Janganlah takut, Baginda, namun nikmatilah kekuasaan kerajaanmu. Karena saya akan menakut-nakuti gagak dengan orang-orangan, monyet dengan busur, saya akan mencerai-beraikan balatentara besar itu, dan tanpa menyisakan bahkan ikat pinggang mereka.” Lalu ia melafalkan syair ini:

“Julurkan kakimu, makan, dan bergembiralah; Brahmadatta akan meninggalkan pasukan Pancala dan melarikan diri.”

Setelah menyemangati raja, orang bijak itu keluar dan memerintahkan gendang perayaan dibunyikan di seluruh kota, dengan pengumuman, ’’Dengar! Jangan takut. Keluarkan kalung bunga, wewangian, dan parfum, makanan dan minuman, mari laksanakan tujuh hari liburan. Biarlah orang tetap berada di mana mereka mau, minum-minum, bernyanyi dan menari dan bersenang-senang, berteriak dan bersorak dan menjentikkan jari mereka: semuanya atas tanggungan saya. Saya orang bijak Mahosadha: lihatlah kekuatan saya!”

Demikianlah ia menyemangati penduduk kota. Mereka melakukannya: dan di mana-mana terdengar suara nyanyian dan musik. Orang-orang datang dari gerbang belakang istana. Bukan tradisi mereka menahan orang asing saat melihatnya, kecuali musuh; maka pintu belakang itu tidak ditutup. Orang-orang ini karenanya melihat bahwa para penduduknya tengah ber senang- senang.

Lalu Culani-Brahmadatta mendengar suara dalam kota, lalu berkata kepada para pengiringnya: “Lihatlah, kita telah melingkupi kota dengan delapan belas balatentara besar, dan penduduknya tak menunjukkan ketakutan atau kecemasan; namun penuh kegembiraan dan kebahagiaan mereka menjentikkan jari, bergembira, melompat dan bernyanyi. Apa maknanya ini?” Kemudian orang-orang yang disusupkan sebelumnya memberikan berita palsu sebagai berikut: “Baginda, kami memasuki kota lewat gerbang belakang karena berbagai urusan, dan melihat orang-orang tengah berpesta pora, lalu kami bertanya, [400] ‘Mengapa Anda begitu lalai ketika semua raja India ada di sini mengepung kota Anda?’ Lalu mereka menjawab, ‘Ketika raja kami masih kecil ia hendak mengadakan perayaan ketika seluruh raja India telah mengepung kota; kini keinginan itu telah terpenuhi: karena itu ia mengeluarkan pengumuman, dan ia sendiri mengadakan pesta dalam istana.’”

Berita ini membuat raja marah; lalu ia mengirimkan sedivisi pasukannya dengan perintah ini: “Menyebarlah ke seluruh kota, penuhilah parit-paritnya, robohkan temboknya, bakar menara penjaganya, masuklah ke dalam kota, gunakan kepala orang seperti labu yang dilempar ke atas kereta, dan bawakan saya kepala Raja Videha.”

Kemudian para prajurit gagah berani, bersenjatakan segala jenis senjata, berbaris hingga ke gerbang, disambut oleh prajurit orang bijak dengan peluru lontar membara243, hujan lumpur, batu yang dilemparkan kepada mereka. Ketika mereka berada di selokan dan hendak menghancurkan tembok, prajurit yang ada di menara penjaga mengacaukan mereka dengan panah, tombak, dan lembing.

Prajurit orang bijak menertawakan dan menghina prajurit Brahmadatta, dengan isyarat tangan dan gerak tubuh, serta berseru, “Jika kalian tak bisa mengalahkan kami, makanlah atau minumlah sup, lakukan!” dan memegang mangkuk air wedang dan daging atau ikan cacah, mereka makan dan minum sendiri, serta berjalan-jalan riang di tembok.

Para prajurit kembali dalam kegagalan menghadap Culani-Brahmadatta, serta mengatakan, “Baginda, tak seorang pun melainkan ahli sihir yang bisa menerobos masuk.” Raja menunggu empat atau lima hari, namun tidak melihat bagaimana ia bisa mengambil kota itu. Kemudian ia bertanya kepada Kevatta: “Guru, kami tak bisa merebut kota ini, tak ada orang yang bisa mendekatinya! Apa yang harus dilakukan?” “Jangan cemas, Baginda. Kota itu memperoleh air dari luar, kita akan memotong jalur airnya dan merebutnya. Mereka akan lelah karena kekurangan air, dan akan membuka gerbangnya.” “Rencana baik,” jawab raja. Setelah itu, mereka menghalangi orang-orang mendekati air. Mata-mata orang bijak menulis di selembar daun, lalu mengikatkannya ke sebatang panah, lalu mengirimkan pesan kepadanya.

Saat itu, orang bijak sudah memberikan perintah, bahwa siapa pun yang melihat daun yang ditempelkan ke anak panah harus membawanya kepadanya. Orang itu melihat anak panah ini, membawaya ke orang bijak, yang membaca pesan itu. “Belum tahu dia, aku adalah orang bijak Mahosadha,” pikirnya. Lalu mengumpulkan galah bambu sepanjang enam puluh kubit, ia membelahnya menjadi dua, dengan bonggol-bonggolnya disingkirkan, lalu digabungkan lagi, ditutupi dengan kulit, lalu dibaluri lumpur. Ia kemudian memerintahkan tanah dan benih teratai yang dibawa dari Himavat oleh para petapa agar ditanam di lumpur di ujung telaga, lalu menaruh galah bambu itu di atasnya, dan mengisinya dengan air. Dalam waktu semalam teratai itu tumbuh dan berbunga, lalu tumbuh satu depa di atas puncak bambu. Kemudian ia mencabutnya dan memberinya ke bawahannya dengan perintah agar dibawa ke Brahmadatta. Mereka menggulung batang teratai itu dan melemparkannya keluar tembok sambil berseru, “Hoi pelayan Brahmadatta! Jangan kelaparan karena kekurangan makanan! Ini, gunakan bunga ini dan isi perut kalian dengan batang ini!”

Salah satu mata-mata susupan orang bijak itu mengambilnya, lalu membawanya ke hadapan raja, “Lihat, Baginda, batang teratai ini; belum pernah ada batang teratai demikian panjangnya!” “Ukurlah,” kata raja. Mereka mengukurnya dan ternyata ukurannya delapan puluh depa alih-alih enam puluh. Raja bertanya, “Di mana tanaman itu tumbuh?” Mata-mata Mahosadha menjawab dengan kisah buatan: “Suatu hari, Baginda, karena merasa haus akan sedikit minuman wedang, saya pergi ke kota lewat gerbang belakang, dan saya melihat telaga besar yang dibuat untuk berplesir. Ada banyak orang di perahu tengah memetik bunga. Itulah tempat tanaman ini tumbuh di ujung telaga; namun yang tumbuh di air yang dalam pasti setinggi seratus kubit dalamya.”

Mendengar hal ini, raja berkata kepada Kevatta, “Guru, kita tak bisa mengalahkan mereka dengan memotong ransum airnya; marilah kita akhiri upaya itu.” “Baiklah,” kata penasihat itu, “kalau begitu kita akan memotong ransum makanan mereka; kota itu memperoleh makanan itu dari luar.” “Sungguh baik, Guru.” Orang bijak itu mengetahui hal ini seperti sebelumnya, dan berpikir, “Belum tahu dia aku Mahosadha yang bijak!” Di sepanjang tembok pertahanan ia menaruh lumpur dan menanam beras. Keinginan Bodhisatta selalu terkabul: dalam semalam beras tumuh dan muncul di pucuk tembok pertahanan. Brahmadatta melihatnya, dan bertanya, “Kawan, apakah itu yang menyembul hijau di atas tembok pertahanan?” Seorang pengintai dari orang bijak melapor, seakan-akan menangkap kata-kata dari mulut raja, “Baginda, Mahosadha si putra petani, melihat bahayanya datang, mengumpulkan dari semua daerah gandumnya yang ia simpan dalam gudang-gudangnya, melemparkan sekamnya di tembok pertahanan. Tak diragukan lagi, beras ini karena dihangatkan mentari dan dibasahi hujan, tumbuh maka tanaman. Saya sendiri suatu hari masuk ke dalam lewat gerbang belakang karena melakukan berbagai urusan, lalu memungut segenggam beras ini dari setumpukan tanaman di tembok itu, lalu menjatuhkannya ke jalan; lalu orang-orang menertawaiku, dan berseru, “Anda tampaknya lapar! Masuk dan ikatkan di ujung jubah Anda, bawalah pulang, masak dan makanlah.”

Ketika mendengar itu, raja berkata kepada Kevatta, “Guru, kita tak bisa merebut tempat ini dengan memotong ransum gandum mereka; ini bukanlah caranya.” “Kalau begitu, Baginda, kita merebut kota ini dengan memotong persediaan kayu, yang tak bisa didapat kota dari dalam.” “Baiklah, Guru.” Bodhisatta mengetahuinya seperti sebelumnya; dan ia membangun tumpukan kayu bakar yang ia tunjukkan selain gandum.

Orang-orang menertawakan pasukan Brahmadatta dan berkata, “Jika kalian lapar, ini ada bahan untuk masak,” sambil melemparkan gelondongan kayu. Raja bertanya, “Apakah kayu bakar ini yang ditunjukkan di atas tembok?” Pengintai melaporkan, “Si anak petani, melihat bahaya itu muncul, mengumpulkan kayu bakar, dan menyimpannya di gudang penyimpanan di belakang rumah-rumah; yang berlebihan ia tumpuk di sisi tembok.”

Kemudian raja berkata kepada Kevatta, “Guru, kita tak bisa merebut kota ini dengan memotong persediaan kayu; cukup sudah rencana itu.” “Jangan cemas, Baginda, saya memiliki rencana lain.” “Apakah rencana itu, Guru? Saya tak melihat tujuan rencanamu. Videha tak bisa kita renggut; mari kita kembali ke kota kita.” “Baginda, jika dikatakan bahwa Cujani-Brahmadatta bersama seratus satu raja tak bisa merebut Videha, kita semua akan menanggung malu. Mahosadha bukanlah satu-satunya orang bijaksana, saya adalah orang bijak lainnya: saya akan menggunakan strategi.” “Strategi apa, Guru?” “Kita akan mengadakan Adu Ajaran.” “Apa maksud Anda dengan itu?” “Baginda, tiada pasukan yang akan bertempur. Dua orang bijak dari dua raja akan muncul di satu tempat, dan siapa pun yang menghormat pada yang lainnya akan takluk. Mahosadha tidak mengetahui gagasan ini. Saya lebih tua dan ia lebih muda, dan ketika ia melihat saya, ia akan memberi hormat pada saya. Demikianlah kita menaklukkan Videha, dan setelah ini dilakukan kita akan kembali. Maka kita tak akan menanggung malu. Itulah yang dimaksud dengan Pertempuran Dhamma.”

Namun Bodhisatta mengetahui rahasia ini seperti sebelumnya. “Jika saya membiarkan Kevatta menaklukkan saya seperti ini,” pikirnya, “maka saya bukanlah orang bijak.” Brahmadatta berkata, “Rencana luar biasa,”: dan ia menulis surat dan mengirimkannya kepada Videha lew at gerbang belakang, surat itu berbunyi seperti ini: “Besok akan diadakan Adu Ajaran antar dua orang bijak, dan ia yang menolak bertempur akan dianggap takluk.” Setelah menerima pesan ini, Videha memanggil orang bijak dan memberitahukannya. Orang bijak menjawab, “Baiklah, Baginda; kirimkan pesan untuk menyiapkan tempat untuk Pertempuran Dhamma di gerbang barat, lalu berkumpul di sana.” Maka ia mengirimkan surat ke utusan itu, dan keesokan harinya, mereka menyiapkan tempat untuk Pertempuran Dhamma untuk melihat takluknya Kevatta. Namun seratus satu raja, tidak mengetahui apa yang mungkin terjadi, mengelilingi Kevatta untuk melindunginya. Para raja ini pergi ke tempat itu dengan penuh persiapan, dan berdiri melihat ke arah timur, di situ hadir pula Kevatta.

Pagi-pagi sekali, Bodhisatta mandi dengan air wangi, lalu mengenakan jubah sutra Kasi seharga seratus ribu keping, dan menghias dirinya lengkap, dan setelah makan pagi yang lezat, ia pergi diikuti iring-iringan besar menuju gerbang istana. Setelah diizinkan masuk, ia masuk, menyapa raja, lalu duduk di satu sisi. “Nah, orang bijak Mahosadha?” kata raja. “Saya akan pergi ke tempat Pertempuran.” “Lalu, apa yang harus kulakukan?” “Baginda, saya hendak menaklukkan Kevatta dengan sebutir permata; saya harus memiliki permata bersegi delapan.” “Ambillah, Putraku.” Ia mengambilnya, lalu mohon pamit, dan dikelilingi seribu teman-teman sekelahirannya, para khattiya itu, ia memasuki kereta kerajaan yang ditarik sepasukan kuda berketurunan murni, yang senilai sembilan puluh ribu keping, dan pada saat makan tengah hari ia sampai ke gerbang.

Kevatta berdiri menonton kedatangannya, dan berkata, “Ia datang, kini ia datang,” sambil melengkungkan lehernya sampai terlihat agak panjang, lalu berkeringat di terik mentari. Bodhisatta, bersama iring-iringannya, seperti samudra yang meluap, seperti singa yang bangkit, tak kenal takut dan tak terusik, memerintahkan gerbang terbuka dan keluar dari kota; turun dari keretanya seperti singa yang bangkit, ia maju.

Seratus satu raja melihat keagungannya, memujinya dengan seribu seruan, “Inilah orang bijak Mahosadha, putra Sirivaddha, yang kebijaksanaannya tiada tara di seluruh India!” Lalu seperti Sakka dikelilingi pasukan dewanya, dalam keagungan dan kemegahan tiada tara, memegang di tangannya permata nan berharga, berdiri di hadapan Kevatta. Kemudian Kevatta ketika melihatnya pertama kali tidak memiliki kekuatan untuk diam saja, namun maju menemuinya seraya berkata, “Orang Bijak Mahosadha, kita berdua adalah orang bijak, dan meski saya tinggal berdekatan dengan Anda selama ini, Anda belum pernah mengirimkan hadiah kepada saya. Mengapa begitu?”

Bodhisatta menjawab, “Tuan yang bijak, saya mencari hadiah yang tak akan tidak layak bagi Anda, dan hari ini saya menemukan permata ini. Mohon ambillah; tiada yang seperti ini di dunia.” Lalu Kevatta melihat permata itu bersinar-sinar di tangan Mahosadha, ia berpikir bahwa orang bijak itu hendak menawarkannya, lalu berkata, “Kalau begitu berikan kepada saya.” Sambil mengulurkan tangannya. “Ambillah,” kata Bodhisatta, lalu menjatuhkannya lewat jari-jari tangannya yang terulur. Namun brahmana itu tak bisa menyokong berat permata itu dengan jari-jarinya, permata itu tergelincir dan menggelinding ke kaki Bodhisatta; brahmana itu dalam keserakahan meraihnya, membungkuk ke kaki lawannya. Kemudian Bodhisatta tak membiarkannya bangkit, namun dengan satu tangan menekan tulang belikatnya dan satunya lagi menekan selangkangannya, sambil berseru, “Bangkit guru, bangkit, saya lebih muda dari Anda, cukup muda untuk menjadi cucumu; jangan membungkuk kepada saya,” sambil mengatakan ini berulang kali, ia menekan kepala dan dahi Kevatta ke tanah, sampai berdarah-darah, kemudian ia berkata, “Orang dungu dan buta, engkau pikir hendak mendapat sujud dariku? “ Ia merenggut tenggorokannya dan melemparkannya jauh-jauh. Kevattha terlempar dua puluh depa jauhnya; lalu bangkit kemudian melarikan diri.

Lalu bawahan Bodhisatta memungut permata itu, kemudian bergaung suara Bodhisatta, “Bangkit, bangkit, jangan bersujud kepada saya!” berkumandang di atas keramaian massa. Semua orang berseru keras dengan satu suara, “Brahmana Kevatta bersujud di kaki orang bijak!” Lalu para raja, Brahmadatta dan semuanya, melihat Kevatta bersujud di hadapan kaki Bodhisatta. Mereka berpikir, “Orang bijak kita telah bersujud kepada Bodhisatta; kita kini ditaklukkan! Ia akan menghabisi kita semua;” dan masing-masing menunggangi kudanya mulai melarikan diri ke Uttarapancala.

Bawahan Bodhisatta, ketika melihat mereka melarikan diri, membuat keributan dan keriuhan, sambil berseru, “Culanl-Brahmadatta melarikan diri bersama seratus satu raja!” Mendengar ini, raja-raja makin ketakutan, melarikan diri makin jauh dan menceraiberaikan pasukan besar itu; sementara anak buah Bodhisatta, berseru dan berteriak, membuat keriuhan makin besar. Bodhisatta bersama iring-iringannya kembali ke kota; sementara pasukan Brahmadatta berlari rintang pukang sejauh tiga yojana. Kevatta yang menunggangi kuda menyusul balatentara itu, menyeka darah dari keningnya, dan berseru, “Hoi kalian, jangan lari! Saya tidak membungkuk ke orang rendah itu! Berhenti, berhenti!” Namun pasukan itu tak mau berhenti, dan mencerca Kevatta, merendahkannya, “Pria jahat! Brahmana penjahat! Anda yang membuat Pertempuran Dhamma, kemudian membungkuk ke pemuda ingusan yang cukup muda untuk maka cucumu! Tidakkah ini hal paling tidak pantas bagimu!” Mereka tak mau mendengarkannya namun terus berjalan. Ia berkuda hingga memasuki pasukan dan berseru, “Wahai kalian, kalian harus memercayai saya. Saya tidak membungkuk kepadanya, ia menipu saya dengan perinatal” Maka dengan berbagai cara, ia menyakinkan para raja dan membuat mereka memercayainya, lalu mengumpulkan kembali pasukan yang pecah itu.

Kini begitu besar pasukan ini, hingga jika tiap orang mengambil segenggam tanah dan melemparkannya ke selokan, mereka bisa mengisi selokan itu dan membuat tumpukan setinggi tembok. Namun kita tahu bahwa niat para Bodhisatta selalu terpenuhi; dan tak seorang pun melemparkan segunduk tanah pun ke kota. Mereka semua kembali ke posisi mereka. [406] Kemudian raja bertanya kepada Kevatta, “Apa yang akan kita lakukan, Guru?” “Baginda, jangan biarkan satu pun keluar lewat gerbang belakang, potong semua jalan keluar. Karena tak bisa keluar orang-orang akan patah semangat dan membuka gerbang. Demikianlah kita bisa menangkap musuh-musuh kita.”

Orang bijak diberitahukan pula mengenai hal ini, dan berpikir, “Jika mereka berdiam di sini lama, kami tak akan memperoleh kedamaian; suatu cara harus ditemukan untuk menyingkirkan mereka. Aku akan mengatur strategi untuk membuat mereka pergi.” Maka ia mencari seorang yang pintar dalam hal-hal seperti itu, kemudian menemukan satu orang bernama Anukevatta.

Kepadanya ia berkata, “Guru, saya menghendaki Anda melakukan sesuatu.” “Apa yang harus kulakukan, Tuan yang bijak? Beritahukanlah.” “Berdirilah di tembok, dan ketika Anda melihat orang-orang kita lengah, segera turunkan kue, ikan, daging, dan berbagai makanan lainnya kepada para prajurit Brahmadatta, kemudian katakan, ‘Mari, makanlah ini dan itu, jangan murung; cobalah tinggal di sini beberapa hari lebih lama lagi; tak lama lagi orang-orang di sini akan seperti ayam dalam kurungan dan akan membuka gerbang mereka sendiri, lalu saat itu Anda akan bisa menangkap Videha dan anak petani jahat itu. Orang-orang kita, ketika mendengar cercaan keras ini, akan mengikat tangan dan kaki Anda di hadapan pasukan Brahmadatta, lalu berpura-pura memukuli Anda dengan bambu, dan menarik Anda turun, mengikat rambut Anda menjadi lima bonggol, akan melumuri Anda dengan abu batu bata, memakaikan mahkota kanavera di kepala Anda, mencambuki Anda keras-keras sampai gurat-gurat luka muncul di punggung Anda, lalu membawa Anda ke atas tembok, mengikat dan menurunkan Anda dengan tali ke prajurit Brahmadatta, sambil berseru, ‘Pergilah, pengkhianat! ’ Kemudian Anda akan dibawa menghadap Brahmadatta, dan ia akan menanyakan kesalahan Anda; Anda harus berkata kepadanya, ‘Raja Agung, saya pernah sangat disegani, namun anak petani itu menjatuhkan nama saya di depan raja, menyebut saya pengkhianat dan merampas segalanya dari saya. Saya hendak membuat orang yang menghancurkan saya itu terpenggal, dan karena kasihan atas kegelisahan para prajurit Anda saya memberi mereka makanan dan minuman. Untuk itu, dengan dendam lama di hatinya, ia membawa kehancuran ini atas saya. Wahai Raja, para prajurit Anda sendiri tahu semua tentang ini.’ Demikianlah dengan satu atau lain cara, Anda harus memenangkan kepercayaan raja, lalu kemudian katakan kepadanya: ‘Baginda, kini Anda punya saya, janganlah cemas lagi. Kini Videha dan putra petani itu pasti takluk! Saya mengetahui tempat-tempat yang kuat dan lemah di tembok pertahanan kota. Saya mengetahui tempat buaya-buaya berada di selokan dan tempat mereka tidak ada; dalam waktu singkat saya akan memberikan kota itu ke tangan Anda.’ Raja akan memercayai dan memberi hormat pada Anda, lalu menempatkan pasukan di bawah perintah Anda. Lalu Anda harus membawa pasukan itu ke tempat yang dipenuhi ular dan buaya; pasukan itu, karena ketakutan akan buaya, akan menolak turun. Kemudian Anda katakan kepada raja, ‘Pasukan Anda, Baginda, telah dibeli oleh anak petani itu; tiada seorang pun, bahkan guru Kevatta dan para raja, yang belum disuap. Mereka hanya kelihatannya menjagai Anda, namun mereka semua adalah milik anak petani itu, dan hanya sayalah orang Anda yang setia. Jika Anda tak memercayai saya, perintahkan para raja datang kepada Anda berpakaian lengkap; lalu periksalah pakaian mereka, perhiasan mereka, pedang mereka, semuanya diberikan oleh anak petani itu dan memiliki ukiran namanya, dan pastikan sendiri.’ Raja akan melakukannya, dan pastikan bahwa ia mengusir para raja dalam ketakutan. Kemudian ia akan bertanya kepada Anda apa yang harus dilakukan. Lalu Anda harus menjawab, ‘Baginda, putra petani itu penuh siasat, dan jika Anda tinggal di sini beberapa hari lagi, ia akan menguasai seluruh pasukan dan menangkap Anda. Jangan buang waktu, malam ini juga di pertengahan waktu jaga marilah kita mengambil kuda dan berangkat, agar kita tidak mati di tangan musuh.’ Ia akan mengikuti nasihat Anda, lalu ketika ia melarikan diri, Anda harus kembali dan memberitahu orang-orang saya.”

Lalu Anukevatta menjawab, “Baiklah, Tuan yang bijak, saya akan melakukan sesuai perintah Anda.” “Kalau begitu, Anda harus menanggung beberapa pukulan.” [408] “Tuan yang bijak, lakukan apa yang Anda kehendaki dengan tubuh saya, namun ampuni nyawa saya dan anggota tubuh saya.”

Setelah memberikan segala kekayaan kepada keluarga Anukevatta, ia memerintahkan Anukevatta ditangani dengan kasar dan diserahkan ke prajurit Brahmadatta. Raja mengujinya, memercayainya, lalu memberinya wewenang atas pasukan; ia membawa pasukan itu ke tempat yang banyak ular dan buayanya; lalu orang-orang itu takut akan buaya, dan terluka oleh anak panah, tombak, dan lembing yang dilemparkan para prajurit yang berdiri di tembok, sehingga mereka tewas, setelah itu tak ada lagi yang berani mendekat.

Lalu Anukevatta mendekati raja dan berkata kepadanya, “Wahai Raja Agung, tidak ada orang yang bertarung buat Anda: semuanya telah disuap. Jika Anda tak memercayai saya, panggillah para raja, dan lihatlah tulisan di baju dan perhiasan mereka.” Ini dilakukan raja; dan melihat tulisan di pakaian dan perhiasan mereka, ia merasa yakin bahwa mereka ini telah menerima suap. “Guru,” katanya, “apa yang harus dilakukan sekarang?” “Baginda, tak ada yang bisa dilakukan, putra petani itu akan menangkap Anda, Baginda, meski guru Kevatta berjalan dengan bekas luka di dahinya, namun ia pun telah menerima suapnya; ia menerima permata berharga itu, lalu membuat Anda berlari lintang pukang sejauh tiga yojana; kemudian memenangkan kepercayaan Anda lagi dan membuat Anda kembali. Ia adalah pengkhianat! Saya tak akan mematuhinya walau semalam pun; malam ini juga di pertengahan waktu jaga Anda harus meloloskan diri. Anda tak memiliki sahabat selain saya.” “Kalau begitu, Guru, ambilkan kuda dan keretaku, dan juga untuk dirimu.” Melihat bahwa raja sudah yakin sekali hendak melarikan diri, ia menyemangatinya dan memintanya agar jangan cemas; kemudian ia pergi dan memberitahu para pengintai bahwa raja hendak meloloskan diri malam itu, agar mereka tidak tidur. Lalu ia menyiapkan kuda raja, mengatur kekangnya agar makin ia menariknya makin kencang lari kudanya; dan saat tengah malam ia berkata, “Baginda, kuda Anda sudah siap; sudah waktunya.” Raja menunggangi kuda itu dan melarikan diri. Anukevatta pun juga naik ke punggung kuda, seakan hendak mengikutinya, namun setelah beberapa jauh ia berbalik; dan sementara kuda raja, dengan pengaturan tali kekangnya, yang berlari kencang ketika raja menariknya.

Kemudian Anukevatta mendatangi pasukan dan berseru nyaring, “Culam-Brahmadatta telah melarikan diri!” Para pengintai dan pelayan mereka pun berteriak. Raja-raja lainnya, ketika mendengar suara itu, berpikir gemetaran, “Orang bijak Mahosadha pasti telah membuka gerbang dan keluar; kita semua akan mati!” Lalu tanpa memedulikan barang bawaan maupun kegunaannya, mereka melarikan diri. Orang-orang berteriak makin kencang, “Para raja melarikan diri!” Mendengar suara itu, semua prajurit lain yang berdiri di gerbang dan menara berteriak dan bertepuk tangan. Kemudian dari seluruh kota di dalam dan di luar terdengar raungan keras, seakan-akan bumi membuka dan terbelah, atau kedalaman tanah merengkah, sementara tak terhingga banyaknya pasukan besar itu dalam ketakutan luar biasa, tanpa pernaungan atau perlindungan, menjerit, “Brahmadatta tertangkap oleh Mahosadha berikut dengan seratus satu raja!” Lalu mereka melarikan diri lintang pukang, bahkan melemparkan ikat pinggang mereka. Perkemahan segera kosong.

Culani-Brahmadatta memasuki kotanya sendiri bersama seratus satu raja.

Keesokan paginya, para prajurit membuka pintu gerbang kota dan keluar, lalu saat mereka melihat tumpukan barang besar, mereka melaporkannya kepada Bodhisatta, bertanya apa yang harus mereka lakukan. Ia mengatakan, “Barang-barang yang mereka tinggalkan adalah milik kita. Berikan kepada raja kita apa yang menjadi milik para raja, berikan kepadaku yang menjadi milik Kevatta, dan milik orang-orang lainnya; biarkan penduduk kota mengambilnya.” Membutuhkan waktu setengah bulan untuk mengambil permata dan barang berharga, lalu empat bulan untuk mengambil barang-barang sisanya. Bodhisatta memberikan penghargaan besar kepada Anukevatta. Sejak hari itu penduduk Mithila memiliki banyak emas.

Brahmadatta dan raja-raja itu telah berdiam setahun dalam kota Uttarapancala; ketika suatu hari, Kevatta, ketika melihat wajahnya di cermin, melihat luka di dahinya dan berpikir, “Inilah perbuatan putra petani itu; ia membuatku menjadi bahan tertawaan semua raja itu!” Kemarahan timbul dalam dirinya, “Bagaimana aku bisa menjatuhkannya?” pikirnya. “Ah, aku punya rencana. Putri raja kami, Pancalacandi tiada taranya dalam kecantikan, seperti dewi surgawi; aku akan menunjukkannya kepada Raja Videha. Ia akan terperangkap nafsu seperti ikan yang telah menelan kail: aku akan mengalahkannya dan Mahosadha bersamanya, lalu membunuh mereka berdua, lalu minum cawan kemenangan!” Dengan tekad ini, ia mendekati raja. “Baginda,” katanya, “saya punya gagasan.” “Ya, Guru, gagasan Anda pernah sekali membuat saya tak memiliki bahkan rombeng untuk menutupi tubuh saya. Apa yang hendak Anda lakukan sekarang? Diamlah.” “Baginda, tidak pernah ada rencana yang menyamai ini.” “Kalau begitu, bicaralah.” “Baginda, kita harus berdua saja.” “Baiklah.” Brahmana itu membawanya ke lantai atas, dan berkata, “Raja Agung! Saya akan menarik Raja Videha dengan nafsu, membawanya kemari, dan membunuhnya.” “Rencana bagus, Guru, namun bagaimana kita membangkitkan nafsunya?” “Baginda, putri Anda, PancalacandT tidak tertandingi dalam kecantikan; kita akan membuat kecantikan dan kepiawaiannya disanjung-sanjung dalam syair para pujangga, kemudian puisi itu akan dinyanyikan di Mithila. Ketika kita menemukan bahwa raja ini berkata kepada dirinya sendiri, ‘Jika penguasa perkasa Videha tak bisa mendapatkan putri bak mutiara ini, apa artinya kerajaan ini baginya?’ lalu ketika ia terperangkap dalam daya tarik gagasan ini, saya akan pergi dan mengatur hari; pada hari yang ditentukan oleh saya, ia akan datang, seperti ikan yang telah menelan kail, dan putra petani itu pun besertanya; kemudian kita akan membunuh mereka.” Rencana ini menyenangkan hati raja, dan ia menyetujuinya: “Rencana hebat, Guruku! Ini akan kita laksanakan.” Namun seekor burung beo yang dipelihara dalam kamar tidur raja, mengingatnya dalam hati.

Lalu raja menyuruh pujangga cerdas, lalu membayar mahal mereka, lalu menunjukkan kepada mereka putrinya, meminta mereka membuat puisi tentang kecantikannya; lalu mereka membuat lagu-lagu yang luar biasa merdu, lalu melagukanya kepada raja. Raja pun memberi imbalan melimpah kepada mereka. Para ahli musik mempelajari lagu-lagu ini dari para pujangga, lalu menyanyikannya di keramaian, demikianlah mereka tersebar luas.

Ketika kabar telah menyebar luas, raja memanggil para penyanyi dan berkata, “Anak-anakku, dakilah pohon pada malam hari berikut dengan beberapa unggas, duduklah dan bernyanyi di sana, dan pada pagi hari, ikatkan lonceng di leher mereka, biarkan terbang, lalu turunlah.” Ini ia lakukan agar dunia bisa mengatakan, ‘Para dewa menyanyikan kecantikan putri Raja Pancala.’ Sekali lagi raja memanggil para pujangga, dan berkata kepada mereka, “Anak-anakku buatlah puisi, bahwa putri seperti ini bukan untuk raja mana pun di India selain Raja Videha dari Mithila, lalu pujilah keagungan raja itu dan kecantikan putri.” Mereka melakukannya, lalu melaporkannya; raja memberi mereka imbalan setimpal, lalu menyuruh mereka pergi ke Mithila dan menyanyikannya. Pergilah mereka ke Mithila, menyanyikan lagu-lagu ini sepanjang jalan, lalu menyanyikannya di muka umum. Keramaian orang-orang mendengar lagu-lagu ini, dan di antara tepuk tangan keras, mereka membayar para penyanyi ini dengan setimpal. Pada malam hari, mereka mendaki pepohonan dan bernyanyi, lalu pada pagi hari, mengikatkan lonceng di leher unggas sebelum mereka turun. Orang-orang mendengar suara lonceng di udara, lalu seluruh kota riuh oleh berita itu, bahwa para dewa sendiri menyanyikan kecantikan putri raja.

Raja Videha, ketika mendengarnya, memanggil para pujangga itu, lalu mengadakan pertemuan dengan mereka di istana. Ia dibuat berpikir bahwa mereka ingin memberikan kepadanya anak perempuan Raja Culani yang tiada tara. Maka, ia membayar mereka dengan setimpal, lalu mereka kembali dan melapor kepada Brahmadatta. Kemudian Kevatta berkata kepadanya, “Baginda, kinilah saatnya saya pergi dan menentukan hari baiknya.” “Sungguh baik, Guru, lalu diikuti iring-iringan besar, ia pergi menuju Kerajaan Videha. Kedatangannya diumumkan di seluruh kota dengan gegap gempita, “Raja Mani dan Videha, kata mereka, akan menjalin persahabatan; Culani akan memberikan putrinya kepada raja kita, dan Kevatta, kata mereka, datang untuk mencanangkan hari pernikahan.” Raja Videha pun mendengar hal ini; Bodhisatta mendengarnya, dan berpikir, “Aku tak menyukai kedatangannya; Aku harus mencari tahu apa tepatnya rencananya.”

Maka ia mengirimkan pesan ke mata-mata yang tinggal bersama Culani. Mereka menjawab, “Kami tidak paham mengenai urusan ini. Raja dan Kevatta tengah duduk dan bicara di kamar tidur raja saat itu; namun burung beo yang mengawasi ruang itu mungkin tahu mengenai hal itu.” Ketika mendengar hal ini, Bodhisatta berpikir: “Agar musuh kita tak beroleh keuntungan, aku akan membungkus seluruh kota dan menghiasnya, dan tidak mengizinkan Kevatta melihatnya.” Maka dari gerbang sampai ke istana, dari istana ke rumahnya sendiri, di kedua sisi jalan ia mendirikan pagar berjendela geser, dan menutupi semuanya dengan tikar, menutupi semuanya dengan lukisan, lalu menyebarkan bunga di tanah, menaruh kendi-kendi penuh air di tempatnya, mengganti bendera dan panji-panji. Kevatta, saat memasuki kota, tak bisa melihat pengaturan ini; ia pikir raja telah menghias kota demi menyambutnya, dan tidak paham bahwa kota dihias agar ia tak melihatnya. Ketika ia datang menghadap raja, ia menghaturkan hadiahnya, lalu mengucap salam yang sopan, ia duduk di satu sisi. Setelah penyambutan penuh kehormatan, ia melafalkan dua syair, untuk mengumumkan alasan kedatangannya:

“Seorang raja yang menghendaki persahabatan dengan Anda telah mengirimkan Anda benda-benda berharga ini: kini biarkan para duta yang piawai dan berucap manis datang dari tempat itu: biarkan mereka mengucapkan kata-kata lembut yang akan memberikan kepuasan bagi Anda, biarkan penduduk Pancala dan Videha menjadi satu.”

“Baginda,” tambahnya, “beliau pasti akan mengirimkan utusan lainnya selain diriku, namun sayalah yang dikirimkannya, merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang bisa mengisahkan cerita ini sepiawai saya. ‘Ayo, Guru,’ kutipnya, ‘Menangkan hati raja agar bisa menyukai Anda, dan bawalah ia kembali bersama Anda.’ Kini, Baginda, pergilah, dan Anda akan menerima putri raja yang luar biasa menakjubkan dan cantik, dan aka nada persahabatan yang terjalin antara raja kami dengan diri Anda.” Raja merasa senang mendengar usulan ini: ia tertarik dengan gagasan bahwa ia akan mendapat putri yang cantik tiada tara, lalu menjawab, “Guru, ada pertengkaran antara Anda dengan Mahosadha yang bijak saat Pertempuran Dhamma. Kini pergilah dan temui putraku; kalian, dua orang bijak, harus berdamai dahulu; setelah berbincang bersama, kembalilah.” Kevatta berjanji menemui orang bijak, lalu ia pamit.

Hari itu, Bodhisatta, bertekad menghindari bicara dengan orang jahat ini, pagi hari minum sedikit minyak mentega; menaburi lantai dengan kotoran sapi basah, lalu melumuri tiang-tiang dengan minyak; seluruh kursi dan alas duduk ia singkirkan kecuali satu dipan sempit tempat ia berbaring. Kepada para pelayannya ia memberikan perintah sebagai berikut: “Ketika brahmana itu mulai bicara, katakanlah, ‘Brahmana, jangan bicara dengan orang bijak; ia baru meminum obat minyak menteganya hari ini. ‘ Dan ketika saya seakan hendak bicara kepadanya, hentikan saya dengan berkata, ‘Tuan, Anda baru minum minyak mentega obat, jangan bicara.’” Setelah memberikan instruksi ini, Bodhisatta membungkus dirinya dengan jubah merah, lalu berbaring di dipannya, setelah menempatkan pengawal di tujuh menara penjagaan247. Kevatta, ketika mencapai gerbang pertama, bertanya di mana orang bijak itu. Kemudian para pelayannya menjawab, “Brahmana, jangan berisik; jika Anda mau masuk, masuklah tanpa bersuara. Hari ini orang bijak baru makan minyak mentega; ia tak kuat menahan suara ribut.” Di gerbang-gerbang lainnya, mereka memberitahukannya hal yang sama. Ketika ia sampai ke gerbang ketujuh, ia masuk menemui orang bijak, dan orang bijak seakan hendak bicara, namun para pelayannya berkata, “Tuan, jangan bicara; Anda baru meminum dosis kuat minyak mentega, mengapa Anda harus bicara dengan brahmana buruk ini?” Maka mereka menahannya. Kevatta masuk, namun tak menemukan tempat untuk duduk, ataupun tempat untuk berdiri di samping pembaringan. Ia melewati kotoran sapi basah dan berdiri. Kemudian Bodhisatta melihatnya, menggosok-gosok mata, mengangkat alisnya, lalu menggaruk sikunya. Ketika melihat ini, Kevatta gusar dan berkata, “Tuan yang bijak, saya permisi.” Para pelayan orang bijak berkata, “Ha! Brahmana buruk, jangan bersuara! Jika bersuara, saya akan meremukkan tulangmu!” Ketakutan, ia berpaling, ketika para pelayan memukulnya di punggung dengan tongkat bambu, yang lainnya mencengkeram tenggorokannya dan mendorongnya, yang lain menampar punggungnya, sampai ia pergi dalam ketakutan, seperti seekor rusa dari mulut macan tutul, kemudian kembali ke istana.

Kini, raja berpikir: “Hari ini putraku akan merasa senang mendengar berita ini. Betapa hebatnya pembicaraan antara dua orang bijak mengenai Dhamma! Hari ini mereka berdua akan berdamai, dan say a akan menjadi yang diuntungkan.” Maka, ketika ia melihat Kevatta, ia melafalkan syair, menanyai tentang percakapan mereka bersama-sama:

“Bagaimana hasil pertemuan Anda dengan Mahosadha, Kevatta? Mohon beritahu saya. Apakah Mahosadha mau berdamai, apakah ia senang?”

Mendengar ini Kevatta menjawab, “Baginda, Anda pikir ia adalah orang bijak, namun tiada manusia lain yang lebih jahat,” lalu ia melafalkan syair:

“Ia adalah manusia biadab, wahai penguasa manusia! Menyebalkan, keras kepala, dan sikapnya jahat, seperti bisu atau tuli; ia tak mengucapkan sepatah kata pun.”

Berita ini membuat raja tidak senang, namun tak bisa menemukan kesalahan orang bijak itu. Ia menyediakan bagi Kevatta dan para pelayanya segala yang mereka butuhkan dan rumah untuk ditinggali, kemudian ia meminta mereka pergi dan beristirahat. Setelah ia menyuruhnya pergi, raja berpikir dalam hati, “Putraku bijaksana, dan mengetahui dengan bagaimana berperilaku sopan; namun ia tak mau bersikap sopan kepada orang ini dan tak mau melihatnya. Tentunya ia pasti telah melihat penyebab kekhawatiran pada masa depan!” lalu ia mengarang syairnya sendiri:

“Tentunya keteguhan ini sangat sulit dipahami; sebuah masalah yang jernih telah dilihat lebih dahulu oleh orang kuat ini. Karena itu tubuh saya gemetar: siapa yang akan kehilangan tubuhnya dan jatuh ke tangan lawannya?”

“Tak diragukan lagi putraku melihat akal bulus dalam kunjungan brahmana ini. Ia datang kemari bukan dengan maksud baik. Ia pasti hendak menarik perhatianku dengan nafsu, membuatku pergi ke kotanya, lalu di sana menangkapku. Orang bijak pasti telah melihat lebih dahulu adanya bahaya.”
Ketika ia merenungkan hal ini dalam batinnya, empat orang bijak masuk. Raja berkata kepada Senaka, “Nah, Senaka, bagaimana pendapat Anda? Haruskah saya pergi ke Kota Uttarapancala dan menikahi putri Raja CuJanI’?” Senaka menjawab, “Wahai Baginda, apakah ini yang Baginda katakan? Ketika keberuntungan mendatangi Anda, siapa yang akan mengusirnya dengan pukulan? Jika Anda pergi ke sana dan menikahinya, Anda tak akan memiliki tandingan selain CulanT-Brahmadatta di seluruh India, karena Anda telah menikahi putri raja diraja. Raja sendiri tahu bahwa para raja lainnya adalah bawahannya, dan hanya Videha lawan setandingnya, sehingga berniat memberi Anda putrinya yang tiada banding. Lakukan seperti apa katanya dan kita juga akan menerima baju dan perhiasan.” Ketika raja menanyai orang-orang lainnya, mereka semua mengatakan hal yang sama. Lalu ketika mereka berbincang, Brahmana Kevatta datang dari kediamannya untuk minta pamit dari raja, lalu hendak pergi; katanya, “Baginda, saya tak bisa berdiam di sini terus, saya akan pergi, penguasa manusia!” Raja memberi hormat padanya, lalu membiarkannya pergi.

Ketika Bodhisatta mendengar kepergiannya, ia mandi dan berpakaian lalu menemui raja, memberi hormat padanya lalu duduk di satu sisi. Raja berpikir, “Putraku Mahosadha yang Bijaksana ini agung dan penuh daya, ia mengetahui masa lalu, masa kini, dan masa depan; ia akan mengetahui apakah saya sebaiknya pergi atau tidak;” namun terkelabui hasratnya, ia tidak memenuhi tekad awalnya, namun menanyakan pertanyaannya dalam sebuah syair:

“Enam orang ini memiliki satu suara, dan mereka semua adalah orang bijak dengan kebijaksanaan tertinggi. Pergi atau tidak pergi, atau diam di sini, Mahosadha, beritahukan juga pendapatmu.”

Mendengar ini, orang bijak ini berpikir, “Raja ini sangat serakah dalam nafsu: buta dan bodoh, ia mendengarkan kata-kata keempat orang ini. Saya akan memberitahunya kejelekan jika ia pergi dan meyakinkannya untuk mengurungkan niatnya.” Maka ia mengulang empat syair ini:
“Anda tahu, Raja Agung: Raja Culani-Brahmadatta gagah dan perkasa, dan ia ingin membunuh Anda, seperti pemburu ingin menangkap rusa dengan menggunakan jebakan mirip rusa. Seperti ikan yang rakus akan makanan tak mengenali kait yang tersembunyi dalam umpan, atau orang ada saat kematiannya, demikian juga Anda, wahai Raja, serakah dalam nafsu, tak mengenali putri Culani, Anda, orang biasa, menuju kematian Anda sendiri. Pergilah ke Pancala, dan sebentar saja Anda akan menghancurkan diri Anda sendiri, seperti rusa tertangkap di jalan akan menemui bahaya besar.”

Mendengar teguran keras ini248, raja marah. “Orang ini berpikir aku ini budaknya,” ia pikir, “ia melupakan bahwa akulah raja. Ia tahu bahwa raja diraja hendak menawarkan putrinya kepadaku, dan tak mengucapkan sepatah kata pun selamat, namun meramalkan bahwa aku akan tertangkap dan terbunuh seperti rusa tolol atau ikan yang menelan kait atau rusa yang tertangkap di jalan!” Kemudian ia segera melafalkan sebuah syair:
“Aku bodoh, tuli, dan tolol meminta nasihatmu mengenai masalah sebesar ini. Bagaimana engkau bisa memahami hal-hal ini seperti orang bijak lain, ketika engkau tumbuh besar dengan berpegangan ke buntut mata bajak?”

Dengan kata-kata kasar ini, ia mengatakan, “Orang rendah ini menghalangi kemujuranku! Bawa dia pergi!” Dan hendak menyingkirkannya, raja mengucapkan syair ini:

“Bawa orang ini pergi dengan mencengkeram lehernya dan singkirkan dia dari kerajaanku, ia yang menghalangiku mendapatkan permataku.”

Namun Bodhisatta, melihat kemarahan raja, berpikir, “Jika siapa pun karena perintah raja meringkusku di tangan atau leherku, atau menyentuhku, aku akan malu hingga penghujung hayatku; karena itu aku sendiri akan pergi.” Maka ia memberi hormat pada raja dan pergi ke rumahnya. Raja saat itu hanya bicara karena marah; namun karena menghormati Bodhisatta ia tidak memerintahkan siapa pun untuk melaksanakan ucapannya. Kemudian Bodhisatta berpikir, “Raja ini bodoh, ia tidak mengetahui yang baik atau tidak baik bagi dirinya. Ia jatuh cinta; dan bertekad mendapatkan putri itu; ia tidak melihat bahaya yang akan datang; ia akan tiba di keruntuhannya. Aku seharusnya tak membiarkan kata-katanya mengendap di batinku. Ia adalah penolongku yang besar, dan telah memberikanku banyak kehormatan dan jasa. Aku harus memercayainya. Namun pertama-tama aku akan mengirimkan burung kakatua dan mencari tahu fakta-faktanya, kemudian aku sendiri akan pergi.” Maka ia mengirimkan burung kakatua itu.

Untuk menjelaskan ini Guru berkata:

“Kemudian ia pergi ke hadapan Videha, lalu bicara kepada utusannya, Mathara, kakatua yang cerdas: ‘Mari, kakatua hijauku, lakukan sesuatu untukku. Raja Pancala memiliki seekor burung beo yang mengawasi peraduannya: tanyailah selengkapnya, karena ia mengetahui semuanya, mengetahui semua rahasia raja dan Kosiya.’ Mathara, kakatua yang cerdas mendengarkan, dan pergilah burung kakatua hijau itu ke burung beo. Kemudian burung kakatua cerdas ini bicara dengan burung beo bersuara merdu ini dalam sangkarnya yang indah: ‘Apakah semuanya baik-baik saja dalam sangkar Anda yang indah? Apakah Anda bahagia, wahai Vessa? Apakah mereka memberi beras bersalut madu kering dalam sangkarmu yang indah?’ ‘Semuanya baik-baik saja, Tuan, sungguh, semuanya bahagia, dan mereka memang memberi saya beras bersalut madu, wahai kakatua cerdas. Mengapa Anda datang, Tuan, dan mengapa Anda diutus? Saya tak pernah melihat atau mendengar tentang Anda sebelumnya.”

Ketika mendengar hal ini, burung kakatua berpikir, “Jika aku mengatakan bahwa aku datang dari Mithila, demi hidupnya pun ia tak akan pernah memercayaiku. Sepanjang jalan kemari saya melihat Kota Aritthapura di Kerajaan Sivi; maka aku akan mengarang cerita, tentang bagaimana Raja Sivi mengutusku kemari,” dan ia berkata,
“Saya adalah penunggu kamar Raja Sivi di istananya, dan dari sanalah raja bajikku membebaskan tahanan dari belenggu mereka.”

Kemudian burung beo itu memberikan beras madu dan air madu yang selalu disiapkan untuknya di mangkuk emas, lalu berkata, “Tuan, Anda telah datang dari jauh: apa yang Anda cari?” Ia pun mengarang cerita, karena ingin mengetahui rahasianya, lalu berkata, “Saya suatu kali pernah menikahi burung beo bersuara merdu, namun seekor rajawali membunuhnya di depan mata saya.”
Lalu burung beo betina ini bertanya. “Namun bagaimana rajawali bisa membunuh istri Anda?” Ia lalu mengisahkannya, “Dengar, Nyonya. Suatu hari raja kami mengundang saya untuk datang di pesta air. Istri saya dan saya pergi bersamanya, lalu kami bersenang-senang. Malamnya, kala kami kembali bersama raja ke istana, untuk mengeringkan bulu-bulu kami, istri saya dan saya terbang keluar dari jendela dan duduk di puncak atap. Pada saat itu, seekor rajawali menyambar turun dan menangkap kami ketika kami meninggalkan pucuk atap itu. Karena ingin menyelamatkan nyawa, saya terbang sekencang-kencangnya; namun istri saya bertubuh berat, dan tak bisa terbang cepat; sehingga rajawali itu membunuhnya di depan mata saya lalu membawanya pergi. Raja melihat saya menangis meratap karena kehilangan dirinya, lalu ia menanyakan saya alasannya. Ketika mendengar apa yang terjadi, ia berkata, “Cukup, kawan, jangan menangis, carilah istri lain.” Saya menjawab, “Baginda, buat apa saya menikahi burung lain, yang ganas dan jahat? Lebih baik hidup sendiri.” Ia berkata, “Sahabat, saya mengetahui seekor unggas bajik seperti istri Anda; penunggu kamar Raja Culani adalah burung beo seperti istri Anda. Pergilah dan tanyailah keinginannya, lalu biarkan ia menjawab, dan jika ia menyukai Anda maka kembalilah dan beritahu saya; maka saya atau ratu saya akan pergi dengan iring-iringan besar dan membawanya kembali.” Dengan kata-kata ini ia mengirim saya kemari, dan itulah mengapa saya datang.” Lalu burung kakatua itu berkata:

“Penuh cinta padanya saya datang kepadamu; jika Anda merestui, bolehlah kita hidup bersama.”

Kata-katanya sangat membuat burung beo itu gembira; namun tanpa menunjukkan perasaannya, ia berkata seolah enggan:
“Kakatua seharusnya mencintai kakatua, beo dengan beo: bagaimana bisa ada persatuan antara kakatua dan beo?”

Kakatua mendengarkan ini berpikir, “Ia tak menolakku; ia hanya gengsi saja. Tak diragukan lagi ia mencintaiku. Aku akan mencari beberapa kiasan agar ia memercayaiku.” Maka kakatua itu berkata,

“Siapa pun yang dicintai kekasih, baik itu Candall rendah, semuanya sama: dalam cinta tiada perbedaan.”

Usai mengatakan ini, ia menambahkan untuk menunjukkan perbedaan status kelahiran di antara manusia, “Ibunda Raja Sivi bernama Jambavatl, dan ia adalah permaisuri tercinta Vasudeva, orang Kanha.”

Nah, ibunda Raja Sivi, Jambavatl, berasal dari kasta Candala, dan ia adalah permaisuri tercinta Vasudeva, dari klan Kanhagana, yang tertua dari sepuluh bersaudara. Menurut kisahnya, suatu hari ia keluar dari Dvaravatl lalu masuk ke taman; lalu dalam perjalanannya ia melihat seorang gadis yang sangat cantik, di tepian jalan, sambil berjalan melaksanakan urusannya dari desa Candala ke kota. Ia jatuh cinta, lalu menanyakan asalnya; lalu ketika mendengar bahwa ia adalah seorang Candali, raja ini berduka. Namun mengetahui ia belum menikah, ia berbalik lagi, lalu memboyongnya ke rumah, melimpahinya dengan barang-barang berharga, lalu membuatnya menjadi permaisuri utamanya. Ratu ini melahirkan seorang putra bernama Sivi, yang memerintah di DvaravatT sepeninggal ayahnya.

Setelah menceritakannya contoh ini, kakatua itu melanjutkan. “Bahkan raja seperti itu menikahi perempuan Candala; apalagi kita yang hanya hewan. Jika kita menikah bersama, tiada lagi yang perlu dikatakan.” Lalu ia memberikan contoh sebagai berikut:
“Rathavatl, seorang peri, juga mencintai Vaccha, dan pria itu mencintai peri itu. Dalam cinta tidak ada perbedaan.”

“Vaccha adalah petapa, dan cara peri itu mencintainya adalah seperti ini. Pada zaman yang telah lama berlalu, seorang brahmana, yang telah melihat bahaya dalam nafsu, meninggalkan kekayaan besar untuk menjalani kehidupan petapa, lalu hidup di Pegunungan Himalaya dalam gubuk dedaunan yang ia bangun. Tak jauh dari gubuk ini, dalam gua, hiduplah sejumlah peri, dan di tempat yang sama hiduplah seekor laba-laba. Laba-laba ini biasanya memintal jaringnya, lalu memecahkan kepala makhhik-makhluk ini, kemudian meminum darah mereka. Nah, peri-peri ini lemah dan tak berdaya, sedangkan laba-laba ini perkasa dan sangat beracun: mereka tak berdaya melawannya, maka mereka mendatangi petapa itu, memberi hormat padanya, lalu mengisahkan kepadanya bagaimana seekor laba-laba menghancurkan mereka dan mereka tak memiliki bantuan; karenanya mereka memohonnya membunuh laba-laba itu dan menyelamatkan mereka. Namun petapa itu mengusir mereka sambil berseru, “Orang seperti saya tidak membunuh!” Salah satu peri perempuan, bernama Rahavati, belum menikah; dan mereka membawanya dengan didandani dan dihias indah kepada petapa itu lalu berkata, “Biarlah ia menjadi pelayan Anda, jika Anda membunuh lawan kami.” Ketika petapa itu melihatnya, ia jatuh cinta, lalu mengambil peri itu, kemudian bersembunyi menunggu laba-laba itu di mulut gua. Dan ketika laba-laba itu keluar mencari makanan, ia membunuhnya dengan gada. Maka ia hidup bersama peri itu dan mendapat banyak putra dan putri darinya, kemudian meninggal. Demikianlah bagaimana peri itu mencintainya.”

Kakatua itu, setelah menguraikan contoh itu, berkata, “Vaccha si petapa, meski ia manusia, hidup bersama dengan peri, yang termasuk dalam alam hewan; mengapa kita tak melakukan hal yang sama, kita yang sama-sama burung?” Ketika ia mendengar darinya, ia berkata, “Tuanku, hati saya tidak akan selalu sama: saya takut akan perpisahan dari yang saya cintai.” Namun kakatua itu, karena bijak dan sangat piawai dalam memahami perempuan, mengujinya lebih lanjut dengan syair ini:

“Sungguh saya akan pergi, wahai burung beo bersuara merdu. Ini penolakan; tak ragu lagi Anda membenci saya.”

Mendengar hal ini, ia merasa seakan-akan hatinya hendak pecah; namun di hadapannya ia bertingkah seakan ia terbakar oleh rasa cinta yang baru muncul, lalu ia melafalkan satu setengah syair:
“Tiada keberuntungan bagi yang terburu-buru, wahai Mathara kakatua yang bijaksana. Tinggallah di sini sampai Anda melihat raja, dan mendengar suara genderang dan kemegahan raja kami.”

Maka kala malam tiba mereka bersenang-senang bersama; lalu mereka hidup dalam persahabatan dan kenikmatan dan kegembiraan. Kemudian burung kakatua itu berpikir, “Kini ia tak akan menyembunyikan rahasia dariku; kini aku harus menanyakannya lalu pergi., Beo,” ujarnya. “Ada apa, Tuanku?” “Saya hendak menanyakan sesuatu; bolehkah saya katakan?” “Katakanlah, Tuanku.” “Tak apa-apa, hari ini adalah hari perayaan; saya tanyakan hari lain saja.” “Jika itu sesuai dengan perayaan, katakanlah, Tuanku, jika tidak, jangan katakan.” “Sesungguhnya, ini hal yang sesuai untuk hari perayaan.” “Kalau begitu, bicaralah.” “Jika Anda mau mendengar, saya akan bicara.” Kemudian ia menanyakan rahasia ini dalam satu dan setengah syair:

“Suara ini terdengar begitu lantang di pedesaan, putri Raja Pancala, yang bersinar seterang bintang, raja akan memberinya kepada kaum Videha, dan ini akan menjadi pernikahan mereka!”

Ketika ia mendengar hal ini, beo berkata: “Tuanku! Pada hari perayaan Anda telah mengatakan hal paling sial!” “Saya menyebutnya beruntung, Anda bilang tidak beruntung: apa itu maksudnya?” “Saya tak bisa memberitahu Anda, Tuanku.” “Nyonya, dari sejak Anda menolak memberitahuku rahasia yang Anda ketahui, maka hubungan bahagia kita herakhir.” Didesak olehnya, maka beo itu menjawab, “Kalau begitu, dengarkanlah, Tuanku:
“Jangan biarkan musuh-musuh Anda memiliki pernikahan seperti itu, Mathara, seperti yang akan terjadi antara Raja Pancala dan Raja Videha.”

Kemudian ia bertanya, “Mengapa Anda menanyakan hal seperti itu?” “Dengarkanlah sekarang, dan saya akan menceritakan akal bulusnya,” kemudian beo itu mengulang syair lainnya:

“Raja Pancala yang perkasa akan memancing Videha, kemudian ia akan membunuhnya; putri itu tak akan menjadi sahabatnya.”

Maka ia menceritakan seluruh rahasia itu kepada kakatua yang bijak; lalu kakatua bijak, mendengarnya, memuji-muji Kevatta: “Guru ini sungguh berlimpah dalam akal; ini adalah rencana bagus untuk membunuh raja. Namun apa yang demikian sial bagi kita? Lebih baik kita diam.” Demikianlah ia berhasil meraih tujuan perjalanannya. Lalu, setelah melewatkan malam bersamanya, ia berkata, “Dinda, saya akan pergi ke Kerajaan Sivi, dan memberitahu raja bagaimana saya telah mendapat istri yang mencintai saya;” lalu ia mohon pamit dengan kata-kata berikut:

“Kini berikanlah saya izin pamit untuk tujuh malam saja, supaya saya bisa memberitahu Raja Sivi, bagaimana saya telah menemukan rumah bersama seekor beo.”
Burung beo itu, mendengar ini, meski tak mau berpisah dengannya, namun tak mampu menolak, ia melafalkan syair berikutnya:

“Kini saya memberi izin pergi selama tujuh malam; jika setelah tujuh malam, Anda tak kembali kepada saya, saya pasti akan masuk ke dalam kubur; saya pasti akan mati saat Anda kembali.”

Kakatua berkata, “Dinda, apa yang dinda katakan ini? Jika saya tak melihat Anda lagi setelah tujuh hari, bagaimana saya bisa hidup?” Demikianlah ia bicara dengan bibirnya, namun dalam hatinya ia berpikir, ‘Hidup atau mati251, apa peduliku padamu?” Ia bangkit, lalu terbang jarak pendek menuju Negeri Sivi, kemudian ia berbelok menuju Mithila. Kemudian hinggap di pundak orang bijak, ketika Bodhisatta membawanya ke lantai atas, menanyakan beritanya, ia menceritakan segalanya. Bodhisatta pun memberikan semua penghormatan dan imbalan seperti sebelumnya.

Ini Guru jelaskan sebagai berikut:

“Kemudian, Mathara, kakatua bijak, berkata kepada Mahosadha: “Inilah kisah burung beo itu.”

Mendengar hal ini, Bodhisatta berpikir, “Raja akan pergi, akankah aku tidak pergi, dan jika ia pergi, ia akan hancur.

Dan jika dengan memendam dengki terhadap raja seperti itu yag telah memberikanku kekayaan demikian rupa, aku akan memantang melakukan kebaikan kepadanya, aku akan malu. Ketika ditemukan orang sebijak aku, mengapa raja harus menemui kematian? Aku akan berangkat mendahului raja, dan menemui Culani; dan saya akan mengatur segalanya dengan baik, dan saya akan membangun sebuah kota untuk didiami Raja Videha, lalu jalan kecil satu mil panjangnya, dan terowongan besar setengah yojana; dan aku akan melakukan pemberkahan pernikahan putri Raja Culani dan membuatnya menjadi milik raja kami; dan ketika kota kami dikepung seratus satu raja dengan delapan belas pasukan besar mereka, aku akan menyelamatkan raja kami, seperti rembulan diselamatkan dari taring Rahu, lalu membawanya kembali. Kembalinya raja ada di tanganku.” Ketika ia berpikir seperti ini, sukacita menyebar di tubuhnya, dan oleh kekuatan sukacita ini ia mengucapkan tekad ini:
“Seorang seharusnya bekerja demi kepentingan rumah yang memberi makan dirinya.”

Setelah mandi dan diurapi, ia pergi dengan kemegahan besar ke istana, memberi hormat pada raja, lalu berdiri di satu sisi. “Baginda,” ia bertanya, “apakah Baginda akan pergi ke Kota Uttarapancala?” “Ya, Putraku; jika saya tak bisa mendapatkan Pancalacandl, apa gunanya kerajaan ini bagi saya? Jangan tinggalkan saya, namun ikutlah bersama saya. Dengan pergi ke sana, dua manfaat bisa saya raih: saya akan mendapat perempuan paling berharga, dan bersahabat dengan raja.” Kemudian orang bijak ini berkata, “Baginda, saya akan pergi lebih dahulu, membangun kediaman bagi Anda; janganlah datang sampai saya memberi kabar.” Mengatakan hal ini, ia mengucapkan dua syair:

“Sesungguhnya saya akan pergi lebih dahulu, penguasa manusia, ke kota Raja Pancala yang indah, membangun kediaman bagi Videha yang agung. Ketika saya sudah membangun kediaman bagi Videha yang jaya, datanglah, khattiya perkasa, ketika saya sudah mengirimkan berita.”

Raja ketika mendengar ini, karena merasa senang orang bijak tidak meninggalkannya, ia berkata, “Putraku, jika Anda pergi lebih dahulu, apa yang ingin Anda butuhkan?” “Sebuah pasukan, Baginda.” “Ambillah sebanyak yang Anda mau, Putraku.” Orang bijak melanjutkan, “Baginda, bukalah empat penjara, putuskanlah rantai yang mengikat para pencuri di sana, lalu kirimkan mereka bersama saya.” “Lakukan sesuai kehendak Anda, Putraku,” jawab raja. Bodhisatta memerintahkan penjara dibuka, dan menghadirkan para pahlawan perkasa yang mampu melakukan tugas mereka ke mana pun mereka diperintahkan, lalu menyuruh mereka mematuhi Bodhisatta; ia menunjukkan perhatian besar kepada mereka ini, dan membawa bersamanya delapan belas regu prajurit, tukang batu, tukang kayu, orang-orang yang piawai dalam kesenian dan keterampilan, dengan beliung, sekop, cangkul, dan banyak perkakas lainnya. Sehingga bersama kelompok besar ia pergi ke luar kota.
Guru menjelaskan dengan syair ini:

“Mahosadha pergi lebih dahulu, menuju kota Raja Pancala yang indah, untuk membangun kediaman untuk Videha yang berjaya.”

Sepanjang perjalannanya, Bodhisatta membangun sebuah desa di penghujung setiap yojana, lalu meninggalkan seorang pejabat bertanggung jawab di masing-masing desa, dengan perintah ini: ‘Untuk mempersiapkan kembalinya raja bersama PancalacandT, Anda harus menyiapkan gajah, kuda, dan kereta perang, untuk menahan musuh-musuhnya, lalu mintalah agar ia bergegas ke Mithila.” Lalu tiba di tepian Sungai Ganga, ia memanggil Anandakumara, lalu berkata kepadanya, “Ananda, bawalah tiga ratus pembuat kapal, pergilah ke Hulu Ganga, tebanglah kayu pilihan, lalu bangun tiga ratus kapal, lalu mintalah mereka memotong cadangan kayu untuk kota, mengisi kapal-kapal dengan kayu ringan, lalu segera kembali.” Ia sendiri menyeberangi Ganga dengan kapal, dan dari tempat mendaratnya, ia mengukur jarak sambil berpikir, ”Ini setengah liga, di sini akan ada terowongan besar; di tempat ini akan berdiri kota untuk ditinggali raja kami; dari tempat ini ke istana, jaraknya satu mil, akan ada selasar kecil.” Maka ia menandai tempat itu; dan kemudian memasuki kota.

Ketika Raja Culani kedatagan Bodhisatta, ia merasa sangat senang; karena pikirnya, “Kini hasrat hatiku akan terpenuhi; kini ia telah tiba, Videha akan datang tak lama lagi: lalu aku akan membunuh mereka berdua dan menyatukan seluruh India dalam satu kerajaan.”

Seluruh kota pun heboh, “Inilah, kata mereka, orang bijak Mahosadha, yang membuat seratus satu raja melarikan diri seperti burung gagak ditakut-takuti dengan membunyikan sandal!” Bodhisatta memasuki gerbang istana sambil para penduduk menatap keindahannya; kemudian turun dari keretanya, ia mengirimkan kabar kepada raja. “Suruh dia masuk,” kata raja; dan ia pun masuk, memberi salam kepada raja, kemudian duduk di satu sisi. Kemudian raja berbicara dengan sopan kepadanya, lalu berkata, “Putraku, kapan raja Anda akan datang?” “Ketika saya memintanya datang, Baginda.” “Namun mengapa kalau begitu Anda datang?” “Untuk membangun tempat kediaman bagi raja kami, Baginda.” “Bagus, Putraku.” Lalu raja memberi izin pengawalan kepada Bodhisatta, kemudian memberikan penghormatan besar kepadanya, lalu memberikan sebuah rumah kepadanya dan berkata: “Putraku, sampai raja Anda tiba, tinggallah di sini, dan janganlah bermalas-malasan, namun lakukan apa yang seharusnya dilakukan.”

Namun ketika ia memasuki istana, ia berdiri di kaki anak tangga, sambil berpikir, “Di sini adalah pintu menuju terowongan kecil itu;” lalu pemikiran ini timbul dalam benaknya, “Raja memerintahkan kepadaku untuk melakukan baginya apa pun yang harus dilakukan; aku harus memastikan tangga ini tidak jatuh ketika kami sedang menggali terowongan.”

Maka ia berkata kepada raja, “Baginda, ketika saya masuk, saat saya berdiri di kaki tangga, dan melihat pekerjaan baru di sana, saya melihat adanya cela di tangga besar itu. Jika Anda berkenan, berikanlah perintah dan saya akan membuatnya menjadi benar.” “Baik, Putraku, lakukanlah.” Bodhisatta memeriksa tempat itu dengan saksama, lalu menentukan di mana pintu keluar terowongan itu akan dibuat; kemudian ia menyingkirkan tangga itu, dan untuk menjaga agar tanah tidak jatuh ke pintu masuk terowongan, ia mendirikan panggung dari kayu, lalu memasang anak tangga dengan kukuh agar tidak jatuh.

Raja tanpa curiga berpikir bahwa ini dilakukan karena niat baik kepadanya. Bodhisatta menghabiskan hari itu dengan mengawasi perbaikan, lalu keesokan harinya ia berkata kepada raja, “Baginda, jika saya tahu tempat raja kami akan tinggal, saya bisa membenahinya.” “Sungguh baik, Tuan yang bijak: pilihlah tempat kediamannya di mana Anda suka dalam kota ini, kecuali dalam istana saya.” “Baginda, kami ini orang asing, Anda memiliki banyak pegawai kesayangan; jika kami mengambil rumah mereka, para prajurit Anda akan bertengkar dengan kami. Apa yang harus kami lakukan?” “Tuan yang bijak, jangan dengarkan mereka, namun pilihlah tempat yang menyenangkan bagi Anda.” “Baginda, mereka akan datang kepada Anda berulang-ulang dengan keluhan, dan itu tak akan menyenangkan bagi Anda; namun jika Anda mau, biarlah prajurit kami yang berjaga sampai kami berhasil mendapatkan rumah-rumah itu, dan mereka tak akan bisa melewati pintu ini dan akan pergi. Sehingga baik Anda maupun saya akan puas.” Raja pun menyetujui. Bodhisatta menempatkan para pengawalnya sendiri di kaki dan kepala tangga, di pintu gerbang, di mana pun, lalu memberi perintah kepada mereka agar tak seorang pun boleh lewat. Kemudian ia memerintahkan prajuritnya untuk pergi ke rumah ibusuri dan bertindak seolah-olah hendak merobohkannya. Ketika mereka mulai menarik lepas batu bata dan lumpur dari gerbang dan temboknya, ibusuri mendengar berita ini dan bertanya, “Kalian orang-orang, mengapa kalian merontokkan rumah saya?” “Orang bijak Mahosadha ingin merubuhkannya dan membangun istana untuk rajanya.” “Jika begitu, kalian holeh tinggal di tempat ini.” “Iring-iringan raja kami sangat besar; tempat ini tak akan cukup, kami akan membangun rumah besar baginya.” “Kalian tak tahu siapa saya: saya adalah ibusuri, dan kini saya akan menemui putraku dan kita akan lihat.” “Kami bertindak atas perintah raja; hentikan kami jika Anda bisa!” Ibusuri maka amrah, dan berkata, “Sekarang saya akan memastikan hukuman apa yang akan menimpa kalian,” lalu melewati gerbang istana; namun mereka tak mengizinkannya masuk. “Wahai prajurit, saya ibu raja!” “Oh, kami tahu Anda; namun raja telah memerintahkan kami agar tak membiarkan siapa pun masuk. Pergilah!” Ia tak mampu masuk ke dalam istana, dan hanya bisa berdiri melihat rumahnya. Kemudian salah seorang prajurit berkata, “Apa yang Anda lakukan di sini? Pergi!” Ia merenggut tenggorokannya dan melemparkannya ke tanah. Ia berpikir, “Tentunya ini pasti perintah raja, jika tidak mereka tak mungkin melakukan hal ini: aku akan mengunjungi orang bijak.” Ia lalu menanyai Bodhisatta, “Mahosadha, mengapa Anda merobohkan rumah saya?” namun ia tak tak mau bicara kepadanya.

Seseorang yang ada di sana bicara, “Apa yang Anda katakan, Nyonya?” “Putraku, mengapa orang bijak mau merobohkan rumah saya?” “Untuk membangun kediaman bagi Raja Videha.” “Jangan, Putraku! Di seluruh kota besar ini, masa ia tak bisa menemukan tempat lainnya untuk tinggal? Ambillah uang ini, seratus ribu keping, dan biarlah ia membangun kediaman itu di tempat lain.” “Sungguh baik, nyonya, kami akan membiarkan rumah Anda; namun jangan katakan kepada siapa pun bahwa Anda telah memberikan suap ini, supaya tak ada orang lain yang ingin menyogok kami demi membebaskan rumah mereka.” “Putraku! Jika tersiar kabar bahwa ibusuri harus menyogok, betapa malunya saya! Saya tak akan memberitahu siapa pun.” Bodhisatta setuju, mengambil seratus ribu keping uang, lalu membiarkan rumah itu. Kemudian Bodhisatta pergi ke rumah Kevatta; yang pergi ke gerbang istana, namun punggungnya malah dipukuli oleh tongkat bambu, namun karena tak bisa masuk, ia juga memberikan seratus ribu keping uang. Dengan cara ini, dengan merebut rumah-rumah di seluruh penjuru kota, ia mendapatkan sembilan krore keping emas.

Setelah Bodhisatta mengelilingi seluruh kota, ia kembali ke istana. Raja menanyainya apakah ia sudah menemukan tempatnya. “Baginda,” katanya, “mereka semua ingin memberikan kediaman mereka; namun ketika kami mengambil rumah itu mereka terdera duka. Kami tidak ingin menjadi penyebab ketidaknyamanan. Di luar kota, sekitar satu mil di antara kota dan Sungai Ganga, ada tempat di mana kami bisa membangun istana untuk raja kami.”

Ketika mendengar ini, raja merasa senang; karena ia berpikir, “Berperang dengan orang-orang ini berada dalam kota itu berbahaya, mustahil bisa membedakan antara kawan dengan lawan; namun di luar kota mudah bertempur, karena itu di luar kota aku akan menghancurkan dan membunuh mereka.” Kemudian ia berkata, “Baiklah, Putraku, bangunlah di tempat yang telah Anda lihat.” “Akan kami lakukan, Baginda. Namun rakyat Anda tidak boleh datang ke tempat kami membangun untuk mencari kayu bakar atau rempah atau sejenisnya: jika mereka melakukannya, maka pasti akan ada pertengkaran, dan itu tak akan menyenangkan bagi kita berdua.” “Sungguh baik, Putraku, laranglah orang masuk ke sana.” “Baginda, gajah-gajah kami hendak bermain dalam air; jika air menjadi keruh dan orang-orang mengeluh bahwa sejak Mahosadha datang, kami tak punya air bersih untuk minum, maka Anda hams bersabar.” Raja menjawab, “Biarkan gajah-gajah Anda bermain sesuka mereka di air.” Kemudian ia mengumumkan dengan tabuhan genderang, “Siapa pun yang sejak saat ini pergi ke tempat orang bijak Mahosadha tengah melakukan pembangunan, ia akan didenda seribu keping.”

Kemudian Bodhisatta memohon pamit kepada raja, lalu bersama para pembantunya pergi ke luar kota, lalu mulai membangun kota di tempat yang telah ditandai. Di tepian lain Sungai Ganga ia membangun desa yang disebut Gaggali: di sana ia menempatkan gajah, kuda, kereta perang, sapi dan lembunya. Ia menyibukkan dirinya membangun kota itu, dan mengatur pekerjaan masing-masing. Setelah memberikan semua pekerjaan, ia mulai membangun terowongan besar; mulutnya berada di Sungai Ganga.

Enam puluh ribu prajurit menggali terowongan besar itu: tanah yang mereka singkirkan dimasukkan dalam kantung kulit dan dibuang ke dalam sungai, dan acap kali tanah dilemparkan, gajah-gajah akan menginjak-injaknya, dan Sungai Ganga akan menjadi keruh. Para penduduk mengeluh bahwa sejak Mahosadha datang, mereka tak bisa mendapatkan air bersih untuk minum; sungai menjadi keruh, namun apa yang bisa diperbuat? Lalu mata-mata susupan orang bijak melaporkan bahwa gajah-gajah Mahosadha sedang bermain di air, mengusik lumpur, hingga menyebabkan air sungai keruh.

Perniatan para Bodhisatta selalu terpenuhi.; sehingga dalam terowongan seluruh akar dan batu-batunya masuk ke dalam bumi. Pintu masuk terowongan lebih kecil berada dalam kota itu; tujuh ratus orang menggali terowongan lebih kecil; tanah yang mereka bawa keluar dalam kantung kulit dibuang dalam kota, dan ketika mereka membuang tiap muatan, mereka mencampurnya dengan air, membangun tembok, dan menggunakan tanah itu untuk berbagai macam pekerjaan lainnya. Jalan masuk menuju terowongan besar berada dalam kota: jalan masuknya dilengkapi dengan pitu, delapan belas lengan tingginya, dipasangi mesin, supaya ketika satu tuas ditekan, semua pintunya akan menutup Di kedua sisi, terowongan itu dibangun dengan batubata dan dilapisi semen; langit-langitnya dipasangi papan dan ditutup dengan semen, lalu dikapuri. Terdapat delapan puluh pintu besar dan enam puluh empat pintu kecil, yang dengan satu tekanan tuas akan menutup, dan satu tekanan tuas lain akan membuka. Di kedua sisi dipasang ratusan lampu terowongan, juga dipasangi mesin, sehingga ketika satu menyala, semuanya menyala, dan ketika satu dimatikan, semuanya mati. Di kedua sisi ada seratus satu ruangan untuk seratus satu prajurit; di masing-masing kamar dipasang pembaringan berbagai macam warna, dalam masing-masing ruangan ada dipan besar yang diteduhi payung putih, dan masing-masing memiliki kursi takhta di dekat dipan besar itu, masing-masing dengan patung perempuan yang sangat indah, yang tanpa menyentuhnya, mereka tak bisa mengetahui bahwa itu bukan manusia. Lebih lanjut, dalam kedua sisi terowongan, para pelukis piawai membuat segala jenis lukisan: kemegahan Sakka, Gunung Sineru, laut dan samudra, empat benua, Himavat, Danau Anotatta, Gunung Merah, Matahari dan Rembulan, serta surga empat raja dewa dengan enam surga alam indra dan pembagian mereka, semuanya terlihat dalam terowongan ini. Lantainya ditaburi pasir putih seperti piring perak, dan di atapnya bunga teratai yang mekar sempurna. Di kedua sisi ada banyak istal: di sana sini digantungi kalungan bunga dan kuncup-kuncup wangi. Kemudian mereka menghias terowongan itu hingga terlihat seperti balairung surgawi Sudhamma.

Lalu tiga ratus pembuat kapal, setelah membangun tiga ratus kapal, memuati bahtera dengan benda-benda yang telah disiapkan, lalu membawa muatan itu turun, kemudian memberitahu orang bijak. Ia menggunakan bahan ini dalam kota, lalu menyuruh mereka menambatkan kapal-kapal di tempat rahasia dan membawa bahtera itu keluar ketika ia memberikan perintah. Dalam kota, selokan air, dinding, gerbang dan menara, kediaman bagi raja dan rakyat, istal kuda dan gajah, telaga, semuanya telah diselesaikan. Maka terowongan besar dan kecil, lalu seluruh kota, diselesaikan dalam waktu empat bulan. Pada akhir periode empat bulan, Bodhisatta mengirimkan utusan kepada raja, memintanya datang.

Ketika raja mendengar pesan ini, ia merasa senang, lalu berangkat dengan iring-iringan besar.

Guru mengatakan:

“Kemudian raja berangkat dengan empat jenis pasukannya, bersiap mengunjungi Kota Kampilliya yang makmur, dengan kereta perang yang jumlahnya tak terhingga.”

Akhirnya, raja mencapai Ganga. Kemudian Bodhisatta keluar menemuinya, lalu mengantarnya masuk ke dalam kota yang ia bangun. Raja memasuki istana, makan hidangan melimpah, lalu setelah beristirahat sebentar, malamnya mengirim utusan ke Raja CulanT untuk mengabarkan bahwa ia telah datang.

Menjelaskan hal ini, Guru mengatakan:

“Kemudian saat ia sampai, ia mengirimkan pesan kepada Brahmadatta: ‘Raja perkasa, saya datang untuk menghormat di kaki Anda. Kini berikanlah perempuan paling cantik, anggun, yang dilayani para pelayannya untuk saya nikahi.” CulanI merasa sangat senang mendengar pesan ini, dan berpikir, “Ke mana musuhku kini akan pergi? Aku akan memenggal kepala mereka berdua dan meminum cawan kemenangan!” Namun ia hanya menunjukkan wajah sukacita kepada utusan itu, memberikan penghormatan, lalu melafalkan syair berikut:

“Kedatangan Anda disambut, Videha, sungguh kedatangan Anda adalah baik! Mintalah saat yang baik, dan saya akan memberikan putri saya, yang penuh keanggunan, dilayani oleh para pelayannya.”

Utusan itu kini kembali menemui Videha dan berkata, “Baginda, raja berkata: ‘Tanyakanlah waktu yang sesuai untuk peristiwa baik ini, dan akan saya berikan anak perempuan saya kepada Anda.’” Ia mengutus kembali orang itu dengan mengatakan, “Hari ini juga adalah waktu yang baik!”

Guru menjelaskan hal ini sebagai berikut:

“Kemudian Raja Videha menanyakan waktu yang baik; yang setelah diputuskan, ia mengirim kabar ke Brahmadatta: ‘Kini berikanlah kepada saya perempuan paling cantik, anggun, dan dilayani para pelayannya sebagai istri.’ Kemudian Raja CulanT berkata: ‘Saya kini memberikan kepada Anda perempuan paling cantik, anggun, dilayani para pelayannya sebagai istri.’”

Namun saat mengatakan. “Saya akan mengirimkannya sekarang, bahkan saat ini juga,” ia berbohong: dan ia memberi kabar kepada seratus satu raja: “Bersiaplah bertempur dengan delapan betas balatentara perkasa Anda, dan datanglah: kita akan memenggal kepada dua musuh kita dan minum cawan kemenangan!” Dan ia menaruh ibunya dalam istana, Ratu Talata, permaisurinya Ratu Nanda, putranya Pancalacanda, lalu anak perempuannya PancalacandT, bersama para wanita, kemudian ia sendiri keluar.

Bodhisatta memperlakukan pasukan besar yang datang bersama Raja Videha dengan penuh pelayanan dan keramahan: beberapa minum anggur, beberapa makan daging dan ikan, sebagian berbaring kelelahan karena perjalanan jauh mereka; namun Raja Videha, bersama Senaka dan orang bijak lainnya, duduk di kursi tinggi di antara para pegawai istana. Namun Raja CulanT mengelilingi kota itu dengan empat barisan dalam tiga jeda, lalu menyalakan beberapa ratus ribu obor, dan di sana mereka berdiri, siap merebut kota itu ketika matahari terbit. Ketika mengetahui hal ini, Bodhisatta memerintahkan tiga ratus prajuritnya sendiri: “Pergilah lewat terowongan kecil, dan bawa kemari lewat terowongan itu ibunda dan permaisuri raja, putra dan putrinya; bawalah mereka melalui terowongan besar, namun jangan biarkan mereka keluar dengan pintu terowongan besar; jaga mereka tetap aman dalam terowongan sampai kami datang, namun ketika kami datang, bawa mereka keluar terowongan, lalu tempatkan mereka di Balairung Besar.”

Ketika mereka telah menerima perintah ini, mereka menyusuri terowongan kecil, kemudian mengungkit undakan di bawah tangga; mereka menyergap para penjaga di atas dan bawah tangga, para kasim, dan semuanya yang ada di sana, mengikat tangan dan kaki mereka, serta menyumbat mulut mereka, kemudian menyembunyikan mereka; lalu mereka makan makanan yang dipersiapkan bagi raja, membuang sisanya, kemudian naik ke teras. Saat itu RatuTalata, pada hari itu, merasa tidak yakin apa yang akan terjadi, telah memerintahkan Ratu Nanda beserta putra dan putrinya untuk tidur bersamanya dalam satu pembaringan. Para prajurit ini, berdiri di pintu kamar, memanggil mereka. Ia keluar dan berkata, “Ada apa, anak-anakku?” Mereka mengatakan, “Nyonya, raja kami telah membunuh Videha dan Mahosadha, dan telah menyatukan seluruh India dalam satu kerajaan, dan dikelilingi seratus satu Pangeran dalam keagungan besarnya, ia mengadakan pesta besar: ia telah meminta kami membawa kalian berempat.”

Maka mereka turun ke kaki tangga. Ketika prajurit itu membawa mereka masuk ke dalam terowongan, mereka berkata, “Selama ini kita tinggal di sini, tak pernah kita melalui jalan ini sebelumnya!” Para prajurit itu menjawab, “Orang tidak menempuh jalan ini setiap hari; ini adalah jalan untuk bersukacita, dan karena inilah hari bersukacita, raja memerintahkan kami menjemput Anda dengan cara ini.” Mereka memercayainya. Kemudian beberapa orang mulai memandu empat orang ini, sementara yang lainnya kembali ke istana, menjarah gudang harta, lalu membawa semua barang berharga yang mereka inginkan. Keempat orang ini melanjutkan perjalanan lewat terowongan besar, dan melihatnya seperti balairung agung para dewa, mereka berpikir itu telah dibuat untuk raja. Kemudian mereka dibawa ke tempat yang tak jauh dari sungai, lalu ditempatkan dalam ruangan indah dalam terowongan: beberapa orang mengawasi mereka, yang lainnya pergi dan memberitahu Bodhisatta mengenai kedatangan mereka.

“Kini,” pikir Bodhisatta, “keinginanku akan terpenuhi.” Merasa sangat senang, ia menemui raja dan berdiri di satu sisi. Raja, gelisah karena hasrat, sedang berpikir, “Kini ia akan mengirimkan putrinya, sekarang, sekarang”: dan bangkitlah raja melihat keluar jendela. Tampaklah seluruh kota menyala dalam gumpalan nyala cahaya seratus ribu obor, dan dikelilingi pasukan besar! Dalam ketakutan dan curiga, ia berseru, “Apa ini?” dan melafalkan syair ke orang-orang bijaknya:

“Gajah, kuda, kereta perang, pasukan pejalan kaki, pasukan dalam baju zirah berdiri di sana, obor menyala terang; apa maksud mereka, Tuan-tuan yang bijak?”

Senaka menjawab: “Jangan cemas, Baginda: banyak obor menyala; saya mengira raja tengah membawakan putrinya kepada kepada Anda.” Kemudian Pukkusa berkata, “Tak diragukan lagi ia ingin memberikan penghormatan atas kunjungan Anda, karena itu ia datang bersama pengawal.” Mereka memberitahukan raja apa yang mereka suka. Namun raja mendengar kata-kata perintah, ’’Tempatkan satu divisi di sana, jagalah di sana, waspadalah!” dan ia melihat para prajurit itu berenjata; sehingga ia ketakutan setengah mati, dan ingin mendengar kata-kata Bodhisatta, ia melafalkan syair lain:

“Gajah, kuda, kereta perang, pasukan pejalan kaki, pasukan dalam baju zirah berdiri di sana, obor menyala terang: apa yang akan mereka lakukan, Tuan yang bijak?”

Kemudian Bodhisatta berpikir, “Pertama-tama aku akan membuat orang bodoh dan buta ini ketakutan sebentar, kemudian aku akan menunjukkan kekuatanku dan menghiburnya.”
Maka ia berkata, “Baginda, CulanTya yang perkasa tengah mengawasi Anda, Brahmadatta adalah pengkhianat: di kala pagi ia akan membantai Anda.”

Mendengar ini semua orang ketakutan setengah mati: tenggorokan raja kering, bahkan dahak pun lenyap, tubuhnya seperti terbakar; ketakutan setengah mati dan meratap kelu, ia melafalkan dua syair ini:

“Jantungku berdegup, tenggorokan saya kering, tak bisa diam, saya seperti orang terbakar api lalu dijemur di bawah mentari. Seperti api tukang yang membakar ke dalam dan tak terlihat dari luar, demikianlah hati saya terbakar dalam diri saya dan tak terlihat dari luar.”

Ketika Bodhisatta mendengar ratapan ini, ia berpikir, “Orang dungu dan buta ini tak mau mendengar permintaanku di kala lain; aku akan menghukumnya sedikit lagi,” lalu ia berkata:

“Khattiya, Anda lalai, tidak peduli akan nasihat, tidak bijak; kini biarkanlah para penasihat Anda yang cerdas menyelamatkan Anda. Raja yang tidak akan melakukan anjuran penasihat yang bijaksana dan setia, yang cenderung kepada pemuasan nafsunya sendiri, seperti rusa yang terkena jerat. Seperti ikan, yang rakus akan umpan, tak memperhatikan kait tersembunyi dalam daging yang membungkusnya, tak menyadari kematiannya sendiri: demikian pula Anda, wahai Raja, serakah akan nafsu, seperti ikan, tak mengenali putri Culaneyya sebagai kematian Anda sendiri. (Dahulu saya katakan) jika Anda pergi ke Pancala, Anda akan segera kehilangan kebahagiaan Anda, seperti rusa tertangkap di jalan raya akan mengalami bahaya besar. Baginda, orang jahat akan menggigit seperti seekor ular di pangkuan Anda; tiada orang bijak yang seharusnya bergaul dengan orang jahat; sungguh tak bahagia bergaul dengan orang jahat. Siapa pun orang itu, Baginda; kita seharusnya mengenali yang bajik dan terlatih, ia adalah orang yang para bijak jadikan sahabatnya: sungguh bahagia pergaulan dengan orang bajik.”

Kemudian untuk meresapkan tegurannya, bagaimana orang seharusnya tak diperlakukan, ia mengingat kata-kata yang pernah raja katakan sebelumnya, lalu melanjutkan, ’’Sungguh bodoh Anda, wahai Raja, tuli dan dungu, hingga Anda mencerca nasihat terbaik dari saya, lalu mengatakan bagaimana saya bisa mengetahui apa yang baik seperti halnya orang lain, ketika saya tumbuh besar di belakang mata bajak? Lalu Anda mengatakan, tangkaplah orang itu di lehernya, dan lemparkan ia keluar dari kerajaan saya, ia yang dengan omongannya menghalangi saya mendapatkan benda berharga!”

Setelah melafalkan dua syair ini, ia berkata, “Baginda, bagaimana mungkin saya, seorang rendah, mengetahui apa yang baik seperti Senaka dan orang bijak lainnya? Itu bukanlah urusan saya. Saya hanya tahu urusan orang rendah, namun urusan seperti ini diketahui Senaka dan orang-orang sepertinya; mereka adalah orang bijak terhormat, dan hari ini [439] biarkan mereka membebaskan Anda dari delapan belas pasukan perkasa yang mengepung Anda; dan suruhlah mereka mencengkeram saya di leher dan melemparkanku. Mengapa Anda bertanya kepadaku sekarang?”

Demikianlah ia menegur raja tanpa ampun. Ketika raja mendengarnya, ia berpikir, “Orang bijak ini melafalkan kekeliruan yang telah kulakukan. Dahulu ia mengetahui bahaya yang akan datang, itulah sebabnya ia menegurku dengan keras. Namun ia tak mungkin menghabiskan semua waktu ini dengan diam saja; pasti ia telah mengatur keamananku.”

Maka untuk menegur orang bijak, ia melafalkan dua syair ini:

“Mahosadha, orang bijaksana tidak memuntahkan yang telah lalu ke mulut orang; mengapa Anda menggebah saya seperti kuda yang terikat kencang? Jika Anda melihat pembebasan atau keamanan, hiburlah saya: mengapa melemparkan hal yang telah lalu kepada saya?”

Lalu Bodhisatta berpikir, “Raja ini sangat buta dan bodoh, tidak mengenal perbedaan antar orang; aku akan memberinya pelajaran sebentar lagi, kemudian menyelamatkannya;” lalu ia berkata,

“’Sudah terlambat bagi orang-orang untuk bertindak, terlalu sulit dan sukar: saya tak bisa membebaskan Anda. Anda harus memutuskan sendiri. Ada gajah yang bisa terbang, ajaib, dan perkasa: mereka yang memiliki hewan ini bisa meloloskan diri dengan mereka. Ada kuda yang bisa terbang, ajaib, dan perkasa: mereka yang memiliki hewan ini bisa meloloskan diri dengan mereka. Juga ada unggas, siluman, apa pun sejenisnya. Namun sudah terlambat bagi orang-orang untuk bertindak, terlalu sukar dan sulit: saya tak bisa menyelamatkan Anda, dan Anda harus memutuskan bagi diri Anda sendiri.”

Raja, ketika mendengar hal ini, duduk tanpa bisa berkata-kata, namun Senaka berpikir, “Tiada harapan lain selain dari orang bijak ini untuk raja dan kami; namun raja terlalu takut untuk bisa menjawabnya. Kalau begitu saya akan menanyainya.” Lalu ia bertanya dalam dua syair:
“Orang yang tak bisa melihat tepian di tengah samudra perkasa, ketika ia menemukan pijakan akan penuh sukacita. Maka bagi kami dan raja Anda, Mahosadha, Anda adalah pijakan kukuh untuk berdiri; Anda adalah penasihat terbaik kami; bebaskanlah kami dari penderitaan.”

Bodhisatta menegurnya dengan syair ini:

“’Namun sudah terlambat bagi orang-orang untuk bertindak, terlalu sukar dan sulit: saya tak bisa menyelamatkan Anda, dan Anda harus memutuskan bagi diri Anda sendiri, Senaka.”

Raja, tak mampu menemukan harapan, lalu takut kehilangan nyawanya, tak bisa mengucapkan sepatah kata pun kepada Bodhisatta; namun berpikir bahwa Senaka mungkin memiliki rencana, ia bertanya kepadanya dalam syair ini:

“Dengarkan kata-kata saya ini: Anda melihat bahaya besar ini, dan kini Senaka, saya bertanya kepada Anda, menurut pendapat Anda, apa yang harus dilakukan sekarang?”

Senaka, berpikir, “Raja menanyakan rencana: apa itu baik atau buruk, aku akan memberitahunya,” lalu melafalkan syair:
“Marilah kita membakar pintu, mengambil pedang, mari kita melukai satu sama lain, dan segera kita akan mati: jangan biarkan Brahmadatta membunuh kita dengan kematian berlama-lama.”

Raja mendengar hal ini menjadi nekad; “Itu akan pantas untuk pemakamanku dan anak-anakku,” pikirnya; lalu ia bertanya kepada Pukkusa dan sisanya, yang juga berbicara dengan bodoh seperti kawan-kawannya; inilah kata-katanya: “Dengar kata-kata ini: Anda melihat bahaya besar ini. Kini saya bertanya kepada Pukkusa, apa yang Anda pikir seharusnya dilakukan di sini?” “Mari kita minum racun dan mati, kemudian kita akan segera meninggal; jangan biarkan Brahmadatta membunuh kita dengan kematian berlama-lama.” “Kini saya akan menanyai Kavinda.” “Mari kita mengencangkan tali penggantung dan mati, biarlah kita melontarkan diri dari ketinggian, jangan biarkan Brahmadatta membunuh kita dengan kematian berlama-lama.” “Kini saya akan menanyakan Devinda.” “Mari kita bakar pintu, mengambil pedang, melukai satu sama lain, dan kita akan segera mati: saya tak bisa menyelamatkan kita, namun Mahosadha bisa melakukannya dengan mudah.”

Devinda berpikir, “Apa yang sedang raja lakukan? Di sini ada api, namun ia malah meniup kunang-kunang! Selain Mahosadha, tiada yang bisa menyelamatkan kita: namun raja meninggalkannya dan bertanya kepada kita! Apa yang kami tahu soal ini?” Karena berpikir seperti itu, dan tak bisa memikirkan rencana lainnya, ia mengulang rencana yang diajukan Senaka, lalu memuji Bodhisatta dalam dua syair:

“Inilah maksud saya, Baginda: Biarlah kita semua bertanya kepada orang bijak’ lalu setelah kita semua bertanya kepadanya, ternyata Mahosadha tak bisa menyelamatkan kita dengan mudah, barulah kita mengikuti nasihat Senaka.”

Ketika mendengar ini, raja ingat akan perlakuan buruknya terhadap Bodhisatta, dan karena tak mampu bicara dengannya, ia meratap saat ia mendengarnya seperti ini:

“Seperti seorang yang mencari getah di pohon pisang atau pohon kapas, lalu tak menemukannya; demikian pula kita mencari jawaban masalah ini dan tak menemukannya. Kediaman kita sekarang adalah tempat yang buruk, seperti gajah berada di tempat yang tak ada airnya, dengan orang-orang bodoh dan tak berguna yang tak tahu apa-apa. Jantung saya berdegup, mulut saya kering, saya tak bisa beristirahat, saya seperti orang yang terbakar dalam api kemudian dijemur di bawah terik mentari. Seperti api tukang besi membakar dari dalam dan tak terlihat dari luar, demikian juga hati saya terbakar dari dalam dan tak terlihat dari luar.”

Kemudian orang bijak itu berpikir, “Raja sangatlah resah: jika aku tak menghiburnya, hatinya bisa hancur dan ia akan meninggal.” Maka ia menghibur raja.

Ini dijelaskan Guru dengan mengatakan:
“Kemudian orang bijak Mahosadha ini, yang bisa melihat yang baik, berkata seperti ini ketika ia melihat Videha yang penuh duka. “Jangan takut, wahai Raja, janganlah takut, penguasa kereta perang, seperti rembulan ketika ditangkap Rahu, seperti mentari ketika ditangkap Rahu, seperti gajah yang tenggelam dalam lumpur, atau ular yang dikurung dalam keranjang, seperti ikan dalam jaring; saya akan membebaskan Anda berikut kereta perang da pasukan Anda; saya akan mengusir Pancala, seperti burung gagak ditakut-takuti orang-orangan. Apa gunanya kebijaksanaan atau penasihat seperti ini jika tak bisa membebaskan Anda dari masalah ketika Anda berada dalam kesulitan?”

Ketika mendengar ini, raja terhibur: “Kini nyawaku aman!” pikirnya: semuanya bergembira ketika Bodhisatta berkata lantang seperti seekor singa. Kemudian Senaka bertanya, “Tuan yang bijak, bagaimana Anda akan meloloskan kami semua?” “Dengan terowongan yang dihias,” katanya, “bersiaplah.” Seraya berkata demikian, ia menyuruh bawahannya membuka terowongan:

“Mari, bawahanku, bukalah mulut pintu keluar: Videha dan pegawainya akan melewati terowongan.”
Mereka bangkit dan membuka pintu terowongan, lalu seluruh terowongan bersinar dalam nyala cahaya seperti balairung para dewa. Guru menjelaskannya dengan

mengatakan:

“Mendengar suara orang bijak, para pengikutnya membuka pintu terowongan dan palang-palang mekanis.” Pintu terbuka, mereka memberitakannya kepada Bodhisatta, dan ia memberi kabar kepada raja: “Waktunya telah tiba, Baginda! Turunlah dari teras.” Raja turun, Senaka melepaskan turbannya, dan mengencangkan pakaian luarnya. Bodhisatta bertanya apa yang ia lakukan: ia menjawab, “Tuan yang bijak, ketika orang melewati terowongan, ia harus melepaskan turbannya dan mengencangkan pakaiannya dengan ketat.” Mahosadha menjawab, “Senaka, apa Anda mengira bahwa Anda harus melalui terowongan itu sambil merangkak. Jika Anda ingin pergi dengan naik gajah, tunggangi gajahmu: sungguh agung terowongan kami, delapan belas lengan panjangnya, dengan pintu lebar; berpakaianlah seindah mungkin, lalu pergilah di depan raja.” Kemudian Bodhisatta meminta Senaka pergi lebih dahulu, dan dirinya yang terakhir, sedangkan raja di tengah, dan inilah alasannya: dalam terowongan ada dunia penuh makanan dan minuman lezat, dan pria makan dan minum selagi mereka menatap terowongan, sambil berkata, “Jangan pergi buru-buru, namun nikmatilah terowongan berhias ini;” namun Bodhisatta dari belakang mendesak raja untuk berjalan terus, selagi raja berjalan terus ia melihat-lihat terowongan yang dihias seperti balairung para dewa.

Guru menjelaskannya dengan mengatakan, “Di depan pergilah Senaka, di belakang Mahosadha, lalu di tengah mereka Raja Videha bersama para pegawai istananya.”
Saat kedatangan raja diumumkan, orang-orang membawakan dari terowongan ibu dan istri Raja Brahmadatta, berikut putra dan putrinya, lalu menempatkan mereka di halaman besar itu; raja berikut dengan Bodhisatta keluar dari terowongan. Ketika keempat orang ini melihat raja dan orang bijak, mereka ketakutan setengah mati, dan menjerit ketakutan, ”Tak diragukan lagi kita berada di tangan musuh-musuh kita! Pastilah prajurit orang bijak yang membawa kita!” Lalu Raja CulanI, karena ketakutan Videha akan melarikan diri, ia berada satu mil dari Ganga, mendengar jeritan mereka pada malam sunyi, ia hendak berkata, “Itu seperti suara Ratu Nanda!” namun karena takut ia mungkin ditertawakan karena berpikir seperti itu, ia tak mengucapkan apa pun. Pada saat itu, Bodhisatta menaruh Putri Pancalacandi di atas tumpukan harta, lalu memercikinya dalam upacara, ketika ia mengatakan, “Baginda, inilah dia yang demi dirinya Anda datang; biarlah ia menjadi permaisuri Anda!” Mereka membawa tiga ratus kapal; raja datang dari halaman luas itu dan menaiki kapal yang terhias rapi, dan keempat tawanan ini naik bersamanya. Guru menjelaskannya sebagai berikut:

“Videha keluar dari terowongan lalu menaiki kapal, dan ketika ia menaiki kapal, Mahosadha memberikan semangat kepadanya seperti ini: ‘Inilah ayah mertua Anda kini, Baginda, inilah ibu mertua Anda, penguasa manusia; sama seperti Anda memperlakukan ibu Anda, demikian pula seharusnya kepada ibu mertua Anda. Sebagai saudara oleh ayah dan ibu yang sama, demikian pula lindungilah Pancalacanda, penguasa kereta perang. Pancalacandi adalah putri kerajaan, yang banyak didambakan; cintailah dia, dialah istri Anda, penguasa kereta perang.”

Raja menyetujui. Namun mengapa Bodhisatta tak mengatakan apa pun mengenai ibusuri? Karena ia adalah perempuan tua. Semua ini dikatakan Bodhisatta ketika ia berdiri di tepian. Kemudian raja, terbebas dari masalah besar, ingin berlayar, berkata, “Putraku, Anda bicara sambil berdiri di tepian;” lalu mengucapkan syair,
“Naiklah cepat; mengapa engkau berdiri di sana? Dari bahaya dan kesulitan kita kini telah dibebaskan; kini, Mahosadha, marilah kita pergi.”

Bodhisatta menjawab, “Baginda, saya tidak akan pergi bersama Anda,” lalu ia berkata, “Baginda, tidaklah benar bahwa saya, pemimpin pasukan, akan meninggalkan pasukan saya dan datang sendiri. Seluruh pasukan ini, kini tertinggal dam kota, saya akan akan membawanya pergi dengan izin Brahmadatta.”

“Di antara para prajurit ini, sebagian tertidur kelelahan setelah perjalanan jauh, sebagian makan dan minum, dan tak mengetahui keberangkatan kita, sebagian sakit, karena telah bekerja bersama saya selama empat bulan, dan juga banyak pembantu saya. Saya tak bisa pergi jika meninggalkan satu orang pun; tidak, saya akan kembali, dan seluruh pasukan itu akan saya bawa kembali dengan restu Brahmadatta, tanpa pertempuran. Anda, Baginda, seharusnya berangkat segera, jangan menunda di mana pun; saya telah menempatkan rangkaian gajah dan sarana angkut di jalan, agar Anda bisa meninggalkan gajah dan kuda yang lelah, dan dengan yang masih segar segera kembali ke Mithila.”

Kemudian raja melafalkan syair: “Pasukan kecil melawan pasukan besar, bagaimana Anda bisa menang? Yang lemah akan dihancurkan oleh yang kuat, Tuan yang bijak!”

Kemudian Bodhisatta mengucapkan syair:
“Pasukan kecil dengan kebijaksanaan menaklukkan pasukan besar tanpa kebijaksanaan, satu raja menaklukkan banyak, matahari terbit menaklukkan kegelapan.”

Usai kata-kata ini, Bodhisatta memberikan hormat pada raja, dan mengantarnya pergi. Raja ingat bagaimana ia telah dibebaskan dari tangan musuh-musuhnya, dan dengan mendapatkan putri ia telah memperoleh hasratnya, ia merenungi kebajikan Bodhisatta, dalam sukacita dan kegembiraan ia menjabarkan keluguran orang bijak itu kepada Senaka dalam syair ini:

“Kebahagiaan sungguh datang, wahai Senaka, dengan hidup bersama yang bijak. Seperti unggas dari sangkar tertutup, seperti ikan dari jaring, demikian Mahosadha membebaskan kita ketika kita berada di tangan musuh-musuhku.”

Terhadap hal ini, Senaka menjawabnya, memuji orang bijak:

“Meski demikian, Baginda, ada kebahagiaan di antara yang bijaksana. Seperti burung dari sangkarnya, ikan dari jaring, demikian Mahosadha membebaskan kita ketika kita berada di tangan lawan-lawan kita.”

Ketika Videha menyeberangi sungai, di jarak satu yojana ia menemukan desa yang telah disiapkan Bodhisatta; di sana orang-orang yang ditempatkan Bodhisatta menyediakan gajah dan transportasi lainnya dan memberi mereka makanan dan minuman. Ia mengirimkan kembali gajah atau kuda atau kereta ketika telah capai, lalu mengambil yang segar, lalu melanjutkan perjalanan ke desa berikutnya; dengan cara ini ia menempuh seratu yojana, dan keesokan paginya ia telah berada di Mithila.

Namun Bodhisatta masuk ke gerbang terowongan; menarik pedangnya yang terpasang di bahunya, menguburnya dalam pasir di gerbang terowongan; kemudian memasuki terowongan, ia masuk ke dalam kota, lalu mandi dalam air wangi, kemudian makan makanan pilihan, lalu beristirahat dalam dipannya yang mewah, gembira saat memikirkan bahwa hasrat hatinya telah terpenuhi. Ketika malam itu berakhir, Raja CulanI memberikan perintah kepada pasukannya, lalu mendekati kota itu. Guru menjelaskannya seperti ini:
“Culamya yang perkasa mengawasi sepanjang malam, dan pada saat matahari terbit mendekati Upakarl. Menaiki gajahnya yang mulia, kuat, berumur enam puluh tahun, CulanTya, Raja Pancala nan perkasa, berseru kepada pasukannya; bersenjata lengkap dengan sarung bertatahkan berlian, dengan anak panah258 di tangannya, ia menyampaikan kepada para prajuritnya yang berjumlah sangat besar.”

Kemudian menjabarkan kepada mereka seperti ini,

“Prajurit yang menaiki gajah, pengawal pribadi, pengemudi kereta, infantri, para pemanah, busur, semuanya berkumpul bersama.”

Lalu raja memerintahkan mereka menangkap Videha hidup-hidup:

“Kirimkan gajah bergading, perkasa, enam puluh tahun, biarlah mereka menginjak-injak kota yang telah dibangun Videha dengan mulia. Biarkan anak panah259 beterbangan ke sana dan kemari, dipercepat busur, anak panah seperti gigi anak sapi, berujung tajam, menembus tulang belulang. Biarlah para pahlawan datang dengan memakai baju zirah, dengan senjata mereka terhias indah, berani dan heroik, siap menghadapi seekor gajah. Tombak-tombak yang direndam dalam minyak, ujung-ujungnya gemerlap seperti api, berdiri berkilauan seperti rasi seratus bintang. Saat kedatangan pahlawan-pahlawan seperi ini, dengan senjata perkasa, berbaju zirah dan perisai, yang tak pernah melarikan diri, bagaimana mungkin Videha akan kabur, bahkan meski ia terbang seperti burung? Tiga puluh sembilan ribu prajuritku, semuanya orang pilihan, yang tak pernah aku lihat ada yang setara dengan mereka semuanya adalah pasukan besarku.

“Lihatlah gajah penggading perkasa, berzirah, enam puluh tahun, yang di punggungnya memuat raja-raja yang bersinar dan baik; sungguh berkilau mereka di punggung gajah, seperti para dewa di Nandana, dengan perhiasan agung, jubah dan baji agung: pedang sewarna ikan lele, diminyaki dengan baik, berkilauan, dipegang erat oleh pria perkasa, dibuat dengan baik, sangat tajam, bersinar, tanpa noda, dari besi tempaan, kuat, dipegang pria perkasa yang memukul berulang kali. Dalam sarung emas dan pegangan berwarna merah mereka berkilau seperti kilat dalam awan tebal. Prajurit berzirah denga panji berkibar-kibar, piawai dalam menggunakan pedang dan perisai, memegangi gagang pedang, prajurit piawai, petarung perkasa di punggung gajah, dikelilingi prajurit seperti ini Anda tak memiliki jalan keluar; saya tak melihat daya apa pun yang bisa membawa Anda ke Mithila.”

Demikianlah ia mengancam Videha, berpikir untuk menangkapnya di sini dan saat itu juga; lalu menggebah gajahnya, meminta pasukannya menyerbu dan membunuh dan menjarah, Raja CulanI datang bagaikan banjir menuju Kota Upakarl.
Kemudian mata-mata Bodhisatta berpikir, “Siapa yang tahu apa yang akan terjadi?” dan bersama para pelayannya, mereka mengelilinginya. Pada saat itu, pula Bodhisatta bangkit dari peraduannya, lalu mengurusi kebutuhan tubuhnya, lalu setelah makan pagi, ia merias dan berpakaian, mengenakan jubah kasinya yang seharga seratus ribu keping, dan dengan jubah merah terselempang di satu pundak, memegang tongkat kekuasaannya yang bertatahkan tujuh permata berharga, dengan sandal emas di kakinya, serta dikipasi kipas bulu ekor yak, seperti bidadari surgawi yang berhias kaya, muncul di teras, lalu sambil membuka jendela, ia menunjukkan dirinya kepada Raja CulanI, ketika ia berjalan mondar-mandir dengan keagungan raja dewa. Lalu, Raja CuJanI, melihat keindahannya, tak bisa menemukan kedamaian batin, namun bergegas memacu gajahnya, berpikir bahwa ia harus mengalahkannya saat itu juga. Orang bijak itu berpikir, “Ia telah buru-buru kemari berharap Videha bisa ditangkap; ia tak mengetahui anak-anaknya sendiri telah ditawan, dan raja kami telah pergi. Aku akan menunjukkan wajahku seperti cermin emas dan bicara kepadanya.” Maka, berdiri menghadap jendela, ia mengucapkan kata-kata ini dengan suara semanis madu:

“Mengapa Anda memacu gajah Anda begitu terburu-buru? Anda datang dengan wajah gembira; Anda pikir Anda telah meraih apa yang Anda inginkan. Lemparkan busur itu, simpan anak panah itu, tanggalkan baju zirah bertatahkan kerang dan permata itu.”

Ketika ia mendengar suara orang itu, raja berpikir, “Orang rendah ini menghinaku; hari ini saya akan memastikan apa nasibnya;” sehingga ia mengancamnya:

“Wajah Anda tampak senang, Anda bicara dengan senyum. Dalam jam kematian seperti ini keindahan seperti itu terlihat.”

Ketika mereka berbicara, para prajurit melihat keindahan Bodhisatta; “Raja kami,” kata mereka, “sedang bicara dengan orang bijak Mahosadha; tentang apa mereka bicara? Mari kita dengarkan perbincangan mereka.” Maka mereka mendekati raja. Namun orang bijak itu, ketika raja baru selesai bicara, menjawab, “Anda tak tahu bahwa saya adalah Mahosadha yang bijak. Saya tak akan menyusahkan Anda untuk membunuh saya. Rencana Anda telah gugur; apa yang direncanakan dalam hati Anda dan Kevatta tidak terpenuhi, namun apa yang Anda katakan itulah apa yang telah terjadi.”

Lalu ia menjelaskan hal ini dengan mengucapkan, “Gegap gempita Anda sia-sia, wahai Raja! Rencana Anda telah terguling, khattiya! Raja sama sulitnya Anda tangkap seperti kuda berketurunan murni hendak dijinakkan. Raja kami telah melintasi Sungai Ganga kemarin, bersama para pegawai dan abdi Istana. Anda akan kalah seperti burung gagak mengejar raja unggas.”

Sekali lagi, seperti singa jantan tanpa ketakutan, ia memberikan ilustrasi dengan kata-kata ini:

“Anjing buduk, di kala malam, melihat pohon Koral sedang mekar, berpikir bahwa bunga itu bagaikan bongkahan daging, dan mengumpulkan pasukan, hewan-hewan paling menjijikkan ini. Ketika waktu jaga malam telah berlalu, dan matahari telah terbit, mereka melihat pohon itu mekar, dan kehilangan hasrat mereka, hewan-hewan paling menjijikkan ini. Demikian juga Anda, wahai Raja, karena Anda semua mengepung Videha, kehilangan hasrat lalu pergi, seperti anjing hutan berlalu dari pohon Koral.”

Ketika raja mendengar kata-katanya yang tak kenal takut, ia berpikir, “Orang rendah ini cukup berani dalam ucapan ini; tak diragukan lagi Videha pasti telah melarikan diri.” Ia merasa sangat marah. “Dahulu,” ia pikir, “karena orang rendah ini aku bahkan tak memiliki kain rombeng pun untuk menutupi tubuhku; kini oleh ulahnya lagi musuhku yang telah berada di tanganku telah kabur. Sungguh ia telah melakukan banyak kejahatan kepadaku, dan dendamku akan terbalas kepadanya atas kedua kesempatan ini.” Kemudian ia memberikan perintah sebagai berikut:

“Potong tangan dan kakinya, telinga dan hidungnya, karena ia membebaskan Videha, musuh saya dari tangan saya; potong dagingnya dan masaklah dengan tusukan, karena ia membebaskan Videha, musuh saya, keluar dari tangan saya. Seperti kulit banteng yang dibentangkan di tanha atau kulit macan atau singa yang dibentangkan hinngga datar dengan menggunakan pasak, demikian pula saya akan memasaknya dan menusuk-nusuknya dengan duri, karena ia membebaskan Videha musuh saya keluar dari tangan saya.”

Bodhisatta tersenyum ketika ia mendengar ini dan berpikir, “Raja ini tak mengetahui bahwa ratu dan keluarganya telah diantarkan olehku ke Mithila, sehingga ia memberikan semua perintah tentang aku. Namun dalam kemarahannya, ia mungkin memhidikkn dengan anak panah, atau melakukan hal lain yang mungkin menyenangkannya; Karena itu aku akan menaklukkannya dengan duka dan derita, dan membuatnya pingsan dari punggung gajahnya, selagi aku menceritakan hal ini kepadanya.” Maka ia berkata:

“Jika Anda memotong tangan dan kakiku, telinga dan hidung say a, demikian pula Videha akan memperlakukan Pancalacanda, berikut dengan Pancalacandl, berikut dengan Ratu Nanda, istri dan anak-anak Anda. Jika Anda memotong daging saya dan memasaknya dengan tusukan, demikian pula Videha memasak daging Pancalacanda, Pancalacandl, Ratu Nanda, istri dan anak-anak Anda. Jika Anda memasak dan menusuki saya dengan paku, demikian juga Videha memperlakukan Pancalacanda, berikut Pancalacandi, berikut Ratu Nanda, istri dan anak-anak Anda. Demikian itu telah disepakati secara rahasia antara Videha dan saya. Seperti perisai kulit yang tersusun dari seratus lapis, dibuat dengan saksama oleh pengrajin kulit, adalah pertahanan untuk menangkis anak panah; demikian pula saya membawa kebahagiaan dan menghalau masalah dari Videha yang agung, dan saya menghalau rencana-rencana Anda seperti perisai menangkis anak panah.”

Mendengar ini, raja berpikir, “Apa yang orang rendah ini bicarakan? Seperti aku memperlakukannya, katanya, demikian pula Raja Videha akan lakukan kepada keluargaku? Ia tidak tahu bahwa aku telah mengatur penjagaan saksama atas keluargaku, namun ia hanya mengancamku karena ia takut akan mati seketika. Aku tak memercayai apa yang ia katakan.”
Bodhisatta meramalkan bahwa ia raja berpikir ia bicara karena ketakutan, lalu ia bertekad untuk menjelaskan. Maka ia berkata, “Marilah, Baginda, lihat bahwa kamar keluarga Anda kosong: istri, anak-anak, ibusuri, wahai khattiya, telah dibawa melalui sebuah terowongan dan kini bersama dengan Videha.”

Kemudian raja berpikir, “Orang bijak berbicara dengan keyakinan sebesar ini. Aku memang mendengar pada malam hari, di samping Ganga suara Ratu Nanda; sungguh bijak orang ini, mungkin ia mengatakan kebenaran!” Duka besar datang kepadanya, namun ia mengumpulkan seluruh keberaniannya, dan menyembunyikan dukanya, ia mengirim seorang pengirim pesan untuk bertanya, ia melafalkan syair ini: “Mari, masuklah ke dalam kamar keluarga saya dan lihatlah apakah ucapan orang ini kebenaran atau dusta.”

Utusan itu pergi bersama para pembantunya, lalu membuka pintu dan masuk; di sana, dengan tangan dan kaki terikat, dan mulut tersumbat, bergantungan ke pasak, ia menemukan para penjaga kamar raja, orang kerdil dan bongkok, dan lainnya: pecahan piring bertebaran, dengan makanan dan minuman, pintu-pintu gudang penyimpanan terbuka paksa, dan hartanya dijarah, kamar-kamar terbuka, dan sekerumun gagak telah datang lewat jendela terbuka; tempat itu bagaikan desa yang terbengkalai, atau tempat mayat-mayat. Dalam kondisi menyedihkan ini utusan itu melihat istana itu; dan ia memberitahukan berita itu kepada raja,

“Baginda, seperti yang Mahosadha katakan: istana bagian dalam Anda kosong, seperti desa pinggiran yang dihuni gagak.”

Raja gemetar karena duka atas kehilangan empat orang yang dikasihinya, berkata, “Kesedihan ini telah datang kepadaku melalui orang rendah ini!” dan seperti ular yang terpukul tongkat, ia sangat murka terhadap Bodhisatta. Ketika Bodhisatta melihat penampilannya, ia berpikir, “Raja ini memiliki keagungan besar; jika ia dalam kemarahan akan berkata, ‘Apa yang ingin saya lakukan dengan ini dan itu?’ dan dalam kebanggaan sebagai khattiya ia bisa melukaiku. Seandainya aku menjabarkan kecantikan Ratu Nanda kepadanya, membuatnya seakan-akan raja belum pernah melihatnya; maka ia tentu akan mengingatnya, dan akan memahami bahwa ia tak akan pernah bisa mendapatkan kembali perempuan berharga ini jika ia membnnnhkn. Lalu karena cintanya akan pasangannya, ia tidak akan melukaiku.” Maka berdiri di tempat yang aman di lantai puncak, ia menyingkapkan tangannya yang berwarna emas dari bawah jubah merahnya, lalu menunjuk ke arah Ratu Nanda pergi, ia menjabarkan kecantikannya sebagai berikut:

“Baginda, pergi lewat sini perempuan yang cantik seluruh bagian tubuhnya, bibirnya seperti lempengan emas, suaranya seperti musik angsa liar. Dengan cara ini ia dibawa, Baginda, perempuan yang cantik di seluruh bagian tubuhnya, yang mengenakan pakaian sutra, gelap, dengan sabuk emas indah. Kakinya dimerahkan, indah dilihat, dengan gelang emas dan permata, dengan mata seperti burung merpati, langsing, dengan bibir seperti buah bimba, dengan pinggang yang langsing, terlahir baik, memiliki pinggang kurus seperti tanaman menjalar atau tempat kurban265, rambutnya panjang, hitam, dengan sedikit ikal di ujungnya, terawat rapi, seperti rusa muda, seperti nyala api di kala musim dingin. Seperti sungai tersembunyi dalam celah-celah gunung di bawah buluh dan ilalang rendah, [457] cantik hidung atau pahanya, tiada tara, dengan dada seperti buah tindhook, tidak terlalu panjang, tidak terlalu pendek, tidak tanpa rambut atau terlalu berambut.”

Ketika Bodhisatta memuji kecantikannya seperti itu, tampak bagi raja seakan ia belum pernah melihatnya sebelumnya; hasrat besar muncul dalam dirinya, dan Bodhisatta yang melihat ini melafalkan syair ini:

“Dan karena Anda begitu senang akan kematian Nanda, Raja Agung; kini Nanda dan saya akan pergi menghadap Yama.”

Dalam semua ucapan ini Bodhisatta hanya memuji Nanda dan tak seorang pun lainnya, dan inilah alasannya: orang tak pernah mencintai yang lainnya seperti kepada istri tercinta; dan ia hanya memujinya karena ia berpikir bahwa jika raja mengingatnya ia pun akan ingat akan anak-anaknya. Ketika Bodhisatta yang bijaksana memujinya dalam suara merdu ini, Ratu Nanda seakan berdiri di hadapan raja. Kemudian raja berpikir, “Tiada orang lain selain Mahosadha yang bisa membawa kembali istriku dan memberikannya kepadaku”: lalu ketika ia mengingatnya, kesedihan
meliputinya. Karena itu, Bodhisatta berkata, “Janganlah cemas, Baginda; ratu dan putra dan ibusuri semuanya akan kembali; syaratnya hanyalah kembalinya saya. Tenanglah, Baginda!”

Maka ia menghibur raja; dan raja berkata, “Saya mengawasi dan menjaga kota saya sendiri dengan begitu saksama, saya telah mengepung Kota Upakari dengan pasukan demikian besar, namun orang bijak ini telah mengambil ratu dan putra saya serta ibu saya dari kota yang terjaga, dan menyerahkan mereka kepada Videha! Sementara, selagi kami mengepung kota ini, tanpa satu pun yang tahu, ia meloloskan Videha berikut dengan pasukan dan keretanya! Mungkinkah ia mengetahui soal sihir, atau ilmu mengelabui mata?” Maka raja menanyainya seperti ini:

“Apakah Anda mempelajari ilmu sihir, atau Anda telah mengelabui mataku, hingga Anda mengantarkan Videha musuh saya lolos dari tangan saya?”

Ketika mendengar ini, Bodhisatta berkata: “Baginda, saya mengetahui sihir, karena orang bijaksana yang telah mempelajari sihir, ketika bahaya datang, membebaskan dirinya sendiri dan orang lain:

“Orang bijak, Baginda, mempelajari sihir di dunia ini; mereka, orang bijak, penuh nasihat bijak, membebaskan diri mereka. Saya memiliki banyak pemuda yang cerdas dalam menembusi rintangan; yang melalui jalan buatan mereka atas perintah saya, Videha pergi ke Mithila.” [459] Ini menyiratkan bahwa Videha pergi lewat terowongan berhias; maka raja berkata, “Apakah jalan bawah tanah ini?” dan ingin melihatnya. Bodhisatta memahami dari sorot matanya bahwa inilah yang raja inginkan, lalu ia menawarkan untuk menunjukkannya:

“Datang dan lihatlah, wahai Raja, terowongan yang dibuat dengan baik, cukup besar bagi gajah atau kuda, kereta perang atau prajurit pejalan kaki, memiliki penerangan cerah, terowongan yang bagus.”

Kemudian ia melanjutkan, “Baginda, lihatlah terowongan yang telah dibuat dengan pengetahuan saya: cerah seakan matahari dan rembulan terbit di dalamnya, berhias, dengan delapan puluh pintu besar dan enam puluh empat pintu kecil, dengan seratus satu kamar, dan beratus-ratus relung lampu; ikutlah bersama saya dalam sukacita dan kegembiraan, dan bersama pengawal Anda memasuki Kota Upakari.” Dengan kata-kata ini ia memerintahkan gerbang kota dibuka; dan raja bersama seratus satu raja kecil masuk. Bodhisatta kemudian turun dari lantai atas, memberi hormat pada raja, lalu membawa raja bersama iring-iringannya ke dalam terowongan. Ketika raja melihat terowongan ini seperti kota para dewa yang berhias indah, ia memuji-muji Bodhisatta:

“Bukan perolehan kecil bagi Videha itu, yang memiliki di rumahnya atau kerajaannya, orang sebijaksana dirimu, Mahosadha!”

Kemudian Bodhisatta menunjukkan kepadanya seratus satu kamar: ketika satu pintu dibuka, semuanya membuka, dan ketika satu ditutup, semuanya tertutup. Raja masuk terlebih dahulu, menatap terowongan itu, lalu orang bijak menyusul setelahnya; semua prajurit pun memasuki terowongan. Namun ketika orang bijak tahu bahwa raja telah keluar dari terowongan, ia menghalangi sisanya keluar dari terowongan dengan menekan tuas dan mengunci pintu terowongan: maka delapan puluh pintu besar, dan enam puluh empat pintu kecil, dan pintu-pintu seratus satu kamar, dan pintu-pintu ratusan relung lampu semuanya menutup; dan seluruh terowongan menjadi segelap neraka. Seluruh rombongan besar itu merasa takut.
Kini Bodhisatta mengambil pedang yang telah ia sembunyikan kemarin267 ketika ia memasuki terowongan: delapan belas kubit tingginya ia melompat ke udara, ketika ia turun dan menyambar tangan raja, lalu menghunuskan pedang, membuat raja ketakutan.

Seru Bodhisatta, ’’Baginda, milik siapa seluruh kerajaan di India?” “Milik Anda, Tuan yang bijak! Ampuni saya!” jawabnya. “Jangan takut, Baginda. Saya tidak mengambil pedang saya karena ingin membunuh Anda, namun hanya untuk menunjukkan kebijaksanaan saya.” Maka ia menyerahkan pedang itu kepada raja, lalu ketika ia telah mengambilnya, orang bijak berkata, “Jika Anda ingin membunuh saya, Baginda, bunuhlah saya dengan pedang itu; jika Anda ingin mengampuni saya, ampunilah saya.” “Tuan yang bijak,” jawab raja, “Saya menjanjikan Anda keamanan, jangan takut.” Maka ketika ia memegang pedang, mereka berdua menjalin persahabatan dengan segala ketulusan. Kemudian raja berkata kepada Bodhisatta, “Tuan yang bijak, dengan kebijaksanaan sebesarmu, mengapa tidak merebut kerajaan?” “Baginda, jika saya menghendakinya, hari ini pun saya bisa mengambil seluruh kerajaan India dan membunuh seluruh rajanya; namun bukanlah bagian orang bijaksana untuk meraih kejayaan dengan membantai yang lainnya.”

“Orang bijak, keramaian besar dalam kecemasan, tak mampu keluar; bukalah pintu terowongan dan ampuni nyawa mereka:” Ia lalu membuka pintu, seluruh terowongan menyala terang, orang-orang merasa tenang, seluruh raja bersama iring-iringannya keluar dan mendekati orang bijak, yang berdiri di halaman luas itu bersama raja. Kemudian raja-raja itu berkata, “Tuan yang bijak, Anda telah menyelamatkan nyawa kami; jika pintu itu tertutup sedikit lebih lama lagi, kami semua akan mati di sana.” “Para Baginda, ini bukanlah pertama kalinya nyawa Anda semua diselamatkan saya.” “Kapankah itu, Tuan yang bijak?” “Apakah Anda ingat ketika semua kerajaan di India telah ditaklukkan kecuali kota kami, dan ketika Anda pergi ke taman Uttarapancala, siap untuk minum cawan kemenangan?” “Ya, Tuan yang bijak.” “Kemudian raja ini, bersama Kevatta, dengan rencana jahat telah meracuni makanan dan minuman, hendak membunuh kalian; namun saya tak ingin Anda semua meninggal dengan cara kotor seperti itu di depan mata saya; maka saya mengirimkan bawahan saya dan memecahkan semua kendi, hingga menggagalkan rencana mereka, dan menyelamatkan nyawa Anda.”

Mereka semua, dalam ketakutan, bertanya kepada CulanI, “Apakah ini benar, Baginda?” “Benar, itulah yang saya perbuat atas nasihat Kevatta; orang bijak ini mengucapkan kebenaran.” Kemudian mereka semua memeluk Bodhisatta dan berkata, “Tuan yang bijak, penyelamat kami semua, Andalah keselamatan bagi kami.” Mereka semua menghadiahkan perhiasan mereka kepadanya dengan hormat. Orang bijak itu berkata kepada raja, “Jangan takut, Baginda; kesalahan ada pada pergaulan dengan sahabat yang jahat. Mintalah maaf kepada para raja.”

Raja berkata, “Saya melakukan hal ini karena nasihat orang jahat: ini kesalahan saya; maafkan saya, saya tak akan pernah lagi melakukan hal seperti itu.” Ia menerima maaf mereka; mereka saling mengakui kesalahan mereka satu sama lain, dan menjadi sahabat. Kemudian raja meminta dikirimkan berlimpah dan beragam jenis makanan, wewangian, dan bunga, dan selama tujuh hari mereka berpesta dalam terowongan, kemudian memasuki kota, lalu memberikan penghormatan besar kepada Bodhisatta; kemudian raja, dikelilingi seratus ratu, raja duduk di singgasana agung, berhasrat memiliki orang bijaksana itu di istananya, berkata: “Dukungan, penghormatan, dua kali upah dan makanan, dan anugerah besar lainnya akan kuberikan; makan dan nikmatilah sesukamu; namun janganlah kembali ke Videha; apa yang bisa ia perbuat untukmu?”

Namun orang bijak menolak tawarannya dengan kata-kata ini:
“Ketika kita meninggalkan tuan kita, Baginda, demi perolehan, ini adalah hal yang memalukan bagi diri kita dan orang lain. Selagi Videha hidup, saya tak akan menjadi bawahan orang lain; selagi Videha masih ada, saya tak bisa hidup di kerajaan orang lain.”

Kemudian raja berkata kepadanya, “Kalau begitu, Tuan, ketika raja Anda meninggal, berjanjilah untuk datang kemari.” “Jika saya masih hidup, saya akan datang, Baginda.” Lalu raja memberikan penghormatan besar kepadanya selama tujuh hari, lalu setelah itu ketika ia pamit, ia melafalkan syair, berjanji menganugerahinya:

“Saya memberi Anda seribu nikkha emas, delapan puluh desa di Kasi, empat ratus pelayan perempuan, dan seratus selir. Ambillah seluruh pasukan Anda dan pergilah dalam damai, Mahosadha.”

Orang bijaksana menjawab: “Baginda, janganlah cemas akan keluarga Anda. Ketika rajaku kembali ke negerinya, saya memberitahunya untuk memperlakukan Ratu Nanda seperti ibunya sendiri, Pancalacanda seperti adiknya, dan saya menikahkan putri Anda kepadanya dengan upacara pemercikan air. Saya segera akan mengirimkan kembali ibu Anda, istri Anda, dan putra Anda.” “Bagus!” kata raja, dan memberinya mas kawin untuk putrinya: budak laki-laki dan perempuan, baju dan perhiasan, emas dan logam berharga, gajah berhias, kuda, dan kereta perang. Ia kemudian memberikan perintah untuk dilaksanakan pasukannya: “Berikan mereka dua kali lipat jumlah kuda dan gajah, biarkan mereka memuaskan sais kereta dan pasukan pejalan mereka dengan makanan dan minuman.”

Setelah mengatakan hal ini, ia mengucapkan selamat tinggal kepada orang bijak dengan kata-kata ini:

“Pergilah; Tuan yang bijak, membawa gajah, kuda, kereta perang, dan pasukan pejalan kaki; biarlah Raja Videha melihat Anda kembali ke Mithila.”

Demikianlah ia mengantar orang bijak dengan penghormatan besar. Lalu seratus satu raja memberikan hormat pada Bodhisatta dan memberinya hadiah berlimpah. Lalu mata-mata yang telah melayani raja-raja mengelilingi orang bijak. Dengan iring-iringan besar ia berangkat; dan di tengah jalan, ia mengirimkan oran untuk menerima pajak dari desa-desa yang telah diberikan Raja Culani kepadanya. Kemudian ia tiba di Kerajaan Videha.

Saat itu Senaka telah menempatkan orang di sepanjang jalan, untuk melihat apakah Raja Culani datang atau tidak, dan memberitahukannya akan kedatangan siapa pun. Ia melihat Bodhisatta tiga yojana jauhnya, lalu kembali untuk memberitahu bagaimana orang bijak itu kembali dengan iring-iringan besar. Senaka membawa berita ini ke istana. Raja juga melihat dari jendela di lantai atas dan melihat pasukan besar itu, dan merasa ketakutan. “Pasukan Bodhisatta kecil, namun yang ini sangat besar: mungkinkah Culani sendiri yang datang?” Ia lalu bertanya seperti ini:

“Gajah, kuda, kereta perang, prajurit pejalan kaki, sebuah pasukan besar terlihat, dengan empat jenis pasukan, mengerikan sekali; apa maksudnya, Tuan-tuan yang bijaksana?”

Senaka menjawab:

“Sukacita terbesar adalah apa yang Anda lihat, Baginda: Mahosadha selamat, bersama dengan seluruh pasukan ini.” Raja mendengar hal ini atau berkata, “Senaka, pasukan orang bijak kecil, namun pasukan ini sangat besar.” “Baginda, Raja CulanT pasti sangat senang dengannya, karenanya telah memberikan pasukan ini kepadanya.” Raja memproklamirkan di seluruh kota dengan tabuhan genderang: “Biarlah seluruh kota dihias untuk menyambut kembalinya orang bijaksana.”

Para penduduk kota mematuhi. Orang bijak memasuki kota dan datang ke istana raja; kemudian raja bangkit, memeluknya, lalu kembali ke takhta ia bicara dengan senang kepadanya:

“Seperti empat orang meninggalkan mayat di pekuburan, demikian kami meninggalkan Anda di Kerajaan Kampilliya dan kembali. Namun Anda, dengan cara apa, taktik apa, Anda menyelamatkan diri Anda sendiri?”

Bodhisatta menjawab:

“Dengan satu tujuan, Videha, saya mengatasi yang lain, dengan rencana saya menaklukkan rencana, wahai khattiya, dan saya melingkupi raja itu seperti samudra melingkupi India.”

Ini menyenangkan raja. Kemudian orang bijak menceritakan kepada raja pemberian yang diberikan Raja Culani:

“Seribu nikkha emas diberikan kepada saya, dan delapan puluh desa di Kasi, empat ratus budak perempuan, dan seratus selir, lalu dengan seluruh pasukan saya kembali dengan selamat sampai ke rumah.”

Kemudian raja, merasa sangat girang dan bersukacita, mengucapkan lagu khidmat memuji jasa Bodhisatta:

“Kebahagiaan sungguh datang dengan hidup bersama yang bijak. Seperti burung dari sangkarnya, seperti ikan dari jaring, demikian pula Mahosadha membebaskan kita ketika kita ada di tangan musuh-musuh kita.”

Senaka menjawab raja seperti ini:

“Demikian pula, Baginda, ada kebahagiaan bersama dengan orang bijak. Seperti burung dari sangkarnya, ikan dari jaringnya, demikian Mahosadha membebaskan kita ketika kita berada di tangan musuh-musuh kita.”

Kemudian raja memerintahkan genderang perayaan dikumandangkan di seluruh kota: “Biarlah diadakan perayaan selama tujuh hari, dan biarlah semua yang memiliki niat baik memberikan penghormatan dan pelayanan kepada orang bijak.” Guru kemudian menjelaskannya seperti ini:

“Biarkan mereka membunyikan segala jenis kecapi, gendang, dan tambur, biarkan sangkakala Magadha menggelegar, dengan meriah bergema suara gong.”

Para penduduk kota dan desa pada umumnya, senang memberikan penghormatan pada orang bijak, ketika mendengar pengumuman itu segera membuat keramaian dan kemeriahan. Guru mengungkapkannya seperti ini:

“Perempuan dan gadis, istri vessa dan brahmana, membawa berlimpah makanan dan minuman kepada orang bijak. Pengemudi gajah, pengawal pribadi, pengemudi kereta perang, pasukan pejalan kaki, semuanya melakukan hal yang sama; demikian pula semua orang dari pedesaan maupun desa-desa berkumpul. Keramaian sangat senang melihat orang bijak telah kembali, dan melihatnya, selendang dilambai-lambaikan di udara.”

Pada akhir perayaan, Bodhisatta pergi ke istana dan berkata, “Baginda, ibunda dan istri serta putra Raja CulanI hams dikemhalikan segera.” “Sangat bagus, Putraku, kirimkanlah mereka kembali.” Maka ia menunjukkan segala penghormatan pada mereka bertiga, sekaligus juga menghibur pasukan yang telah datang bersamanya; demikian juga ia mengirimkan ketiga orang ini kembali dengan pelayanan dan pengawalan baik, dengan orang-orangnya sendiri, dan seratus selir dan empat ratus budak perempuan yang diberikan raja kepadanya, ia kirimkan bersama Ratu Nanda, berikut juga pasukan yang datang bersamanya ia juga kirimkan. Ketika rombongan besar ini mencapai Uttarapancala, raja menanyai ibunya, “Apakah Raja Videha memperlakukan Anda dengan baik, Ibunda?” “Putraku, apa yang kamu katakan? Ia memperlakukan saya dengan penghormatan yang sama seakan saya adalah dewi surgawi.” Kemudian ia memberitahu bagaimana Ratu Nanda diperlakukan seperti ibu, dan Pancalacanda seperti adik kandung. Hal ini sangat menyenangkan hati raja, lalu ia mengirimkan hadiah berlimpah; dan dari sejak saat itu kedua kerajaan hidup dalam persahabatan dan kehangatan.
Putri Pancalacandl sangat disayang dan berharga bagi raja; dan pada tahun kedua, ratu ini melahirkan seorang putra bagi raja. Pada tahun kesepuluh, Raja Videha meninggal. Bodhisatta mengusung payung kerajaan kepadanya, dan meminta izin untuk pergi ke kakeknya, Raja Culanl. Bocah itu berkata, “Tuan yang bijak, jangan tinggalkan saya dalam masa kanak-kanak saya; saya akan menghormati Anda seperti seorang ayah.” Lalu Pancalacandl berkata, “Tuan yang bijak, tiada yang melindungi kami jika Anda pergi; janganlah pergi.” Namun ia menjawab, “Saya telah memberikan janji saya; saya tidak bisa tidak pergi.” Di antara ratapan banyak orang, ia berangkat dengan para pelayannya, lalu sampai ke Kota Uttarapancala. Raja, ketika mendengar kedatangannya, datang menemuinya, lalu membawanya ke dalam kota dengan kemegahan besar, lalu memberinya kuda baik, dan selain delapan puluh desa yang diberikan pada awalnya, ia memberikan hadiah lain; dan ia pun melayani raja itu.

Pada saat itu, ada seorang petapa perempuan bernama Bheri yang biasanya selalu makan dalam istana; Mahosadha bijak dan terpelajar pun belum pernah melihat Bodhisatta sebelumnya, namun ia mendengar bahwa seorang petapa perempuan bernama Bheri senantiasa makan dalam istana. Saat itu, Ratu Nanda menaruh dengki kepada Bodhisatta, karena ia telah memisahkannya dari cinta suaminya, dan menyinggungnya; maka ia mengirimkan lima perempuan yang ia percaya, dan berkata, “Carilah kesalahan dalam orang bijak itu, dan marilah kita membuatnya putus hubungan dengan raja.” Maka mereka mencari-cari kesempatan untuk menj atuhkannya.

Suatu hari, kebetulan terjadi petapa perempuan ini setelah makan, hendak pergi dan melihat Bodhisatta di halaman istana hendak mengunjungi raja. Bodhisatta memberi hormat padanya, lalu berdiri bergeming. Ia berpikir, “Inilah yang mereka bilang, orang bijak: aku akan melihat sendiri apakah ia bijak atau tidak.” Maka ia menanyakan sebuah pertanyaan dengan isyarat tangan: melihat ke arah Bodhisatta, ia membuka tangannya. Gagasannya adalah hendak bertanya apakah raja memperlakukan orang bijak yang telah dibawa dari negeri lain ini dengan baik atau tidak. Ketika Bodhisatta melihat bahwa ia menanyainya pertanyaan dengan isyarat tangan, ia menjawabnya dengan mengepalkan tangannya: yang berarti, “Yang mulia, raja membawa saya kemari sebagai pemenuhan atas suatu janji, dan raja kini mengepalkan tangannya dan tak memberikan saya apa pun.”

Petapa ini paham; lalu mengulurkan tangannya, ia menggosok-gosok kepalanya, yang artinya, “Tuan yang bijak, jika Anda tak puas, mengapa Anda tidak menjadi petapa sepertiku?” Melihat ini Bodhisatta mengelus perutnya, seperti orang yang mengatakan, “Yang mulia, ada banyak yang harus saya sokong, itulah sebabnya saya tak menjadi petapa.” Setelah bertanya tanpa bersuara seperti ini, ia kembali ke kediamannya, dan Bodhisatta memberi hormat padanya dan masuk untuk menemui raja.

Kemudian orang kepercayaan ratu melihat semua ini dari jendela; lalu menemui raja, mereka berkata, “Baginda, Mahosadha membuat rencana dengan Bherl sang petapa untuk merebut kerajaan, ia adalah musuh Anda.” Demikian mereka memfitnahnya. “Apa yang telah Anda lihat atau dengar?” tanya raja. [468] Mereka mengatakan, “Baginda, ketika petapa itu hendak pergi keluar setelah makan, saat melihat Bodhisatta, ia membuka matanya, seakan berkata, ‘Tak bisakah Anda menghancurkan raja hingga rata seperti telapak tangan atau lantai perontokan gabah, dan merebut kerajaan untuk Anda sendiri?’ Lalu Mahosadha mengepalkan tangannya, seakan ia memegang pedang, dan berkata, ‘Dalam waktu beberapa hari saya akan memenggal kepalanya dan menundukkannya. ’ BherT memberi isyarat, “Penggal kepalanya,’ dengan menggosok kepalanya sendiri dengan tangannya; Bodhisatta memberi isyarat, “Saya akan memotongnya menjadi dua,’ dengan menggosok perutnya. Waspadalah, Baginda! Mahosadha harus dihukum mati.”

Raja, mendengar ini, berpikir, “Aku tak bisa melukai orang bijak ini; aku akan bertanya kepada petapa.” Keesokan harinya, sesuai rencana, pada waktu makan petapa itu, ia mendatanginya dan berkata, “Nyonya, apakah Anda melihat orang bijak Mahosadha?” “Ya, Baginda, kemarin, ketika saya pergi setelah usai makan.” “Apakah Anda bercakap-cakap bersama?” “Percakapan? Tidak; namun saya mendengar mengenai kebijaksanaannya, dan untuk mengujinya saya menanyainya dengan isyarat tangan, dengan menutup tanganku, bertanya apakah raja dermawan atau kikir terhadapnya, apakah raja memperlakukannya dengan kebaikan atau tidak. Ia menutup kepalannya, mengisyaratkan bahwa majikannya telah membuatnya datang kemari demi memenuhi janji, dan kini tak memberinya apa-apa. Kemudian saya menggosok-gosok kepalaku, untuk bertanya mengapa ia tak menjadi petapa jika ia tak puas; ia menggosok perutnya, yang berarti ada banyak yang harus ia beri makan, banyak perut yang harus diisi, karena itu ia tak bisa menjadi petapa.” “Kalau begitu apakah Mahosadha orang yang bijak?” “Ya, sungguh demikian, Baginda; di seluruh bumi ini tak ada yang menyamainya dalam kebijaksanaan.”

Setelah mendengar kisahnya, raja mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Setelah ia pergi, orang bijak datang menemui raja; dan raja bertanya kepadanya, “Tuan, apakah Anda melihat petapa Bherl?” “Ya, Baginda, saya melihatnya kemarin saat ia hendak keluar, dan ia menanyai saya pertanyaan dengan isyarat tangan, dan saya langsung menjawabnya.” Ia menceritakan kisah seperti yang diceritakan Bherl. Raja, merasa senang, hari itu memberikan jabatan panglima tertinggi kepadanya, dan memberinya tanggung jawab tunggal. Agung kejayaannya, hanya kedua setelah raja.

Mahosadha berpikir, “Raja ini seketika memberikanku pamor luar biasa; inilah apa yang para raja lakukan bahkan ketika mereka hendak membunuh. Bagaimana jika aku menguji raja untuk melihat apakah ia memiliki niat baik terhadapku atau tidak. Tak seorang pun lainnya yang akan bisa menemukan hal ini; namun petapa Bherl penuh kebijaksanaan, ia akan bisa menemukan caranya.” Maka mengambil banyak bunga dan wewangian, ia pergi mengunjungi petapa itu, lalu setelah memberi hormat padanya ia berkata, “Nyonya, sejak Anda menceritakan kepada raja mengenai kebajikan saya, raja telah membanjiri saya dengan hadiah-hadiah luar biasa; namun apakah ia melakukannya dengan ketulusan atau tidak, saya tidak tahu. Akan baik jika Anda bisa mencari tahu isi hati raja untuk saya.”

Bherl berjanji melakukannya; dan keesokan harinya, ketika ia pergi ke istana, Pertanyaan Dakarakkhasa, atau Siluman Air muncul dalam benaknya. Kemudian hal ini muncul dalam batinnya: ‘Aku harus tidak bersikap seperti mata-mata, namun aku harus menemukan kesempatan untuk menanyakan pertanyaan ini, dan mencari tahu apakah raja memiliki niat baik kepada orang bijak.” Maka ia pergi, lalu setelah makan, ia duduk bergeming, dan raja menghormat padanya lalu duduk di satu sisi. Kemudian ia berpikir, “Jika raja menaruh niat buruk kepada orang bijak, maka ketika ia ditanyai pertanyaan ini jika ia menyatakan niat buruknya di hadapan sejumlah orang, maka itu tidak akan baik; saya akan menanyakannya secara pribadi.” Ia berkata, “Baginda, saya hendak bicara kepada Anda empat mata.” Raja mengirimkan para pelayannya pergi. Ia berkata, “Saya ingin menanyakan Baginda sebuah pertanyaan.” “Tanyakanlah, Nyonya, dan jika saya mengetahuinya saya akan menjawab.” Kemudian ia melafalkan syair pertama Pertanyaan Dakarakkhasa:

“Jika ada tujuh orang dari kalian yang sedang mengarungi samudra, lalu seekor siluman yang mencari pengorbanan manusia akan merebut kapal itu, dalam urutan manakah Anda akan mengurbankan mereka dan menyelamatkan diri Anda dari siluman air?”

Raja menjawab dengan syair lain, dengan ketulusan penuh:
“Pertama, saya akan mengurbankan ibu saya, berikutnya istri saya, berikutnya adik saya, yang keempat sahabat saya, yang kelima brahmana saya, yang keenam diri saya, namun saya tak akan mengurbankan Mahosadha.”

Demikianlah petapa itu mengetahui niat baik raja terhadap Bodhisatta; namun jasa kebajikannya tidak diumumkan di sana, karena itu ia memikirkan hal lain: “Di depan banyak orang, alih-alih saya akan memuji kebajikan orang bijaksana itu; dengan begitu kebajikan orang bijaksana itu dibuat sejelas rembulan bersinar di angkasa.” Maka ia mengumpulkan seluruh penghuni istana bagian dalam, dan di hadapan mereka akan menanyakan pertanyaan yang sama dan menerima jawaban yang sama; kemudian ia berkata, “Baginda, Anda mengatakan bahwa Anda akan pertama kali mengurbankan ibu Anda; namun ibu memiliki jasa besar, dan ibu Anda tidak seperti ibu lain, ia sangat berguna.” Lalu ia melafalkan jasa kebajikannya dalam beberapa syair:

“Ia merawat dan melahirkan Anda, dan telah lama ia baik kepada Anda, ketika Chambhi menyinggung perasaan Anda, ia bijaksana dan melihat apa yang baik untukmu, dengan menaruh orang pengganti Anda, ia menyelamatkan Anda dari celaka. Ibu seperti itu, yang memberi Anda kehidupan, ibu Anda sendiri yang mengandung Anda di rahimnya, karena kesalahan apa Anda memberikannya kepada siluman air?”

Mendengar hal ini raja menjawab, “Sungguh banyak kebajikan ibu saya, dan saya mengakui pernyataannya itu soal diri saya, namun kebajikan saya jauh lebih banyak,” dan ia menjabarkan kelemahannya dalam beberapa syair:
“Seperti gadis muda yang memakai perhiasan yang tak seharusnya ia pakai, ia pada waktu yang tidak tepat mencela penjaga pintu dan pengawal, tanpa diminta ia mengirim pesan ke raja-raja saingan; dan karena kesalahan inilah saya akan mengurbankannya kepada siluman air.”

“Maka begitulah, Baginda; namun istri Anda memiliki banyak kebajikan,” dan ia menyatakan kebajikannya seperti demikian:
“Ia adalah yang terunggul di antara kaum perempuan, ia sangat anggun dalam ucapan, berdedikasi, luhur, yang menempel seperti bayangan Anda, tidak mudah marah, bijaksana, saksama, yang melihat kebaikan Anda: karena kesalahan apa Anda akan memberikan istri Anda kepada siluman air?”

Raja menjabarkan kesalahan-kesalahannya:

“Dengan daya tarik sensualnya ia membuat saya tertunduk pada pengaruh buruk, dan bertanya apa yang seharusnya tidak ia tanyakan kepada putra-putranya. Dalam nafsu saya memberikan padanya banyak hadiah; saya melepaskan apa yang sangat sulit untuk diberikan, dan setelahnya saya menyesali dengan pahit: karena kesalahan itu saya

memberikan istri saya kepada siluman air.”

Petapa itu berkata, “Demikianlah: namun adik Anda Pangeran TikhinamantI bermanfaat bagi Anda; karena kesalahan apa Anda akan mengurbankannya?

“Ia yang memberikan kesejahteraan kepada rakyat, dan ketika Anda tinggal di negeri asing membawa Anda kembali ke rumah, ia yang tak bisa dipengaruhi kekayaan berlimpah, pemanah dan pahlawan tiada tara, Tikhinamanti: karena kesalahan apakah Anda akan memberikan adik Anda kepada siluman air?”
Raja menjabarkan kesalahannya:

“la berpikir, ‘Aku memberikan kesejahteraan kepada rakyat, aku membawanya pulang ke rumah ketika ia tinggal di negeri asing, kekayaan besar tak bisa memengaruhiku, aku adalah pemanah dan pahlawan tiada tara, dan tajam dalam kebijaksanaan, olehku ia dibuat maka raja.’ Ia tak datang untuk melayaniku, Nyonya, seperti yang dahulu ia lakukan; itulah kesalahan yang membuatku menyerahkan adikku kepada siluman air.”

Petapa berkata, “Demikianlah kesalahan adikk Anda; namun Pangeran Dhanusekha berbakti dalam kasihnya kepada Anda, dan sangat berguna;” dan ia menjabarkan jasanya:
“Dalam malam yang sama, Anda dan Dhanusekhava lahir di sini, keduanya disebut Pancala, sahabat, dan pendamping: sepanjang seluruh hidup Anda, ia telah mengikuti Anda, sukacita dan derita Anda adalah miliknya, bersemangat dan berhati-hati siang dan malam selalu melayani; karena kesalahan apa Anda memberikan sahabat Anda kepada siluman air?”

Lalu raja menjabarkan kesalahannya:

“Nyonya, sepanjang seluruh hidup saya, ia sering bersenang-senang dengan saya, dan hari ini ia juga berfoya-foya karena alasan yang sama. Jika saya bicara diam-diam dengan istri saya, ia datang tanpa diundang dan diminta. Jika diberikan kesempatan dan celah, ia bertindak tanpa tahu malu dan hormat. Itulah kesalahan yang karenanya saya akan mengurbankan sahabat saya kepada siluman air.”

Petapa itu berkata, “Begitu rupanya kesalahannya; namun brahmana sangat berguna bagi Anda,” dan ia menjabarkan kebajikannya:

“Ia cerdas, mengetahui semua pertanda dan suara, piawai dalam pertanda dan tafsir mimpi, kepergian dan kedatangan,

memahami semua pertanda di bumi, angkasa, dan bintang: karena kesalahan apa Anda akan memberikan brahmana itu kepada siluman air?”
Raja menjelaskan kesalahannya:

“Bahkan di muka umum ia memelototi saya dengan mata terbuka; karenanya saya akan memberikan bajingan yang berkerut alis ini ke siluman air.”

Kemudian petapa itu berkata: “Baginda, Anda mengatakan bahwa Anda hendak memberikan kepada siluman air semuanya dari lima orang ini, mulai dari ibumu, dan Anda akan memberikan nyawa Anda sendiri demi Mahosadha yang bijak, tanpa memedulikan kejayaan besar saya sendiri: apa kebajikan yang Anda lihat dalam dirinya?” dan petapa pun melafalkan syair ini:

“Baginda, Anda berdiam di antara para pegawai istana dalam benua besar yag dikeliling samudra, dengan lautan sebagai ganti tembok yang mengelilingi; penguasa bumi, dengan kekaisaran perkasa, berjaya, satu-satunya raja diraja, kejayaan Anda telah menjadi hebat. Anda memiliki enam belas ribu perempuan yang memakai perhiasan dan permata, perempuan dari segala bangsa, cantik dan megah seperti dewi surgawi. Demikian pula tercukupi segala kebutuhan, setiap hasrat terpenuhi, Anda hidup lama dalam kebahagiaan dan sukacita. Lalu dengan alasan apa atau sebab apa Anda mengurbankan nyawa Anda yang berharga untuk melindungi orang bijak ini?”

Ketika mendengar ini, ia melafalkan syair pujian kebajikan orang bijaksana itu:
“Nyonya, sejak Mahosadha datang kepada saya, saya belum pernah melihat pria bajik ini melakukan kesalahan paling kecil. Jika saya seharusnya mati di hadapannya kapan pun, ia akan membawa kebahagiaan bagi putra-putra dan cucu saya. Ia mengetahui segala hal, masa lalu atau masa depan. Pria ini tanpa cela ini tak akan saya berikan kepada siluman air.

Demikianlah kisah kelahiran ini sampai pada akhirnya yang tepat. Kemudian petapa itu berpikir: “Ini tidak cukup untuk menunjukkan kebajikan orang bijaksana itu; aku akan membuatnya diketahui semua orang di kota, seperti ia yang menyebarkan minyak wangi di permukaan laut.” Maka membawa raja bersamanya, ia turun dari istana, menyiapkan kursi di halaman istana, dan menyuruhnya duduk di sana; kemudian mengumpulkan orang bersama-sama, ia menanyai raja Pertanyaan Siluman Air lagi dari awal; dan ketika ia telah menjawab seperti yang dijabarkan di atas, ia mengabarkan kepada orang-orang seperti ini:

“Dengarkanlah ini, penduduk Pancala, yang CulanI telah katakan. Untuk melindungi orang bijak ia mengurbankan nyawanya sendiri yang berharga. Nyawa ibunya, istrinya, dan saudaranya, sahabatnya, dan nyawanya sendiri, Pancala siap berkorban. Betapa menakjubkannya kekuatan kebijaksanaan, demikian cerdas dan pintar, demi kebaikan di dunia dan kebahagiaan di alam berikutnya.”

Maka seperti orang yang menaruh puncak paling tinggi di atas setumpuk harta, ia menaruh puncaknya dalam menunjukkan kebajikan Bodhisatta.

Di sini berakhirlah Pertanyaan Siluman Air, dan di sini berakhir juga seluruh kisah Terowongan Besar.

Inilah identifikasi Kelahiran ini:

“Uppalavanna adalah Bheri, Suddhodana adalah ayah orang bijak itu, Mahamaya adalah ibunya, Bimba yang cantik adalah Amara, Ananda adalah burling kakatua, Sariputta adalah Culani, Mahosadha adalah Penakluk Dunia; demikianlah kisah kelahiran ini dipahami. Devadatta adalah Kevatta, Cullanandika adalah Talata, Sundari adalah Pancalacandi, Yasassika adalah ratu, Ambattha adalah Kavinda, Potthapada adalah Pukkusa, Pilotika adalah Devinda, Saccaka adalah Senaka, Ditthamangalika adalah Ratu Udumbara, Kundall adalah burung beo, dan Kaludayi adalah Videha.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com