Sariputta | Suttapitaka | Mahajanaka-Jataka Sariputta

Mahajanaka-Jataka

Mahā­jana­kajā­taka (Ja 539)

“Siapakah Anda, berjuang”, dan sebagainya.

Kisah ini diceritakan Guru ketika berdiam di Jetavana mengenai pelepasan agung. Suatu hari para bhikkhu duduk di Balairung Kebenaran mendiskusikan pelepasan agung Tathagata. Guru datang dan melihat bahwa ini adalah topik pembicaraan mereka; maka ia berkata: “Ini bukanlah pertama kalinya Tathagata melakukan pelepasan agung, Ia juga melakukan pelepasan agung pada zaman dahulu.” Dan di sinilah Beliau menceritakan kisah masa lalu.

Suatu ketika ada seorang raja bernama Mahajanaka yang berkuasa di Mithila di Kerajaan Videha. Ia memiliki dua orang putra, Aritthajanaka dan Polajanaka; yang sulung ia jadikan raja muda, dan yang bungsu dijadikan panglima besar. Lalu, ketika Mahajanaka mangkat, Aritthajanaka setelah menjadi raja, memberikan gelar raja muda kepada saudaranya. Suatu hari, seorang budak pergi ke istana dan memberitahu raja bahwa raja muda hendak membunuhnya.

Setelah mendengar kisah yang sama berulang kali, raja menjadi curiga. Ia merantai dan memenjarakan Polajanaka, menjagainya dengan pengawal di sebuah rumah yang tak jauh dari istana. Pangeran muda itu membuat pernyataan khidmat, “Jika aku adalah musuh kakakku, janganlah biarkan rantai itu lepas dan pintu itu terbuka; jika bukan, semoga rantaiku lepas dan pintu terbuka,” dan oleh pernyataan itu, rantai itu terberai berkeping-keping dan pintu menjeblak terbuka. Ia pergi ke luar, menuju desa perbatasan, berdiam di sana, dan para penduduknya, setelah mengenalinya, melayaninya; dan raja tidak mampu memenjarakannya.

Seiring waktu, Polajanaka menjadi penguasa wilayah perbatasan dan kini memiliki banyak pengikut, ia berkata kepada dirinya sendiri, “Jika sebelumnya aku bukanlah musuh kakandaku, kini aku sungguh adalah musuhnya,” dan ia pergi ke Mithila dengan balatentara besar, dan membuat perkemahan di pinggiran luar kota. Para penduduk mendengar Pangeran Polajanaka telah datang, dan sebagian besar bergabung dengannya dengan gajah dan hewan tunggangan lain, serta penduduk kota lainnya juga berkumpul bersama mereka. Maka ia mengirim pesan kepada kakaknya, “Saya dahulu bukanlah musuh Anda, namun kini saya memang musuh Anda; berikanlah payung kerajaan kepada saya atau bertarunglah.”

Ketika raja pergi bertempur, ia mengucapkan salam perpisahan kepada permaisuri utamanya, “Ratu,” katanya, “kemenangan dan kekalahan dalam pertempuran tak bisa diramalkan, jika ada musibah maut menimpaku, berhati-hatilah dalam menjaga anak dalam kandunganmu;” setelah mengatakan demikian ia berangkat; dan para prajurit Polajanaka tidak lama berselang mengambil nyawanya dalam pertempuran.

Berita kematian raja menyebabkan kerusuhan massal di seluruh kota. Ratu, setelah mengatahui bahwa raja tewas, cepat-cepat menaruh emas dan harta pilihan ke dalam keranjang dan menutupinya dengan kain lalu menaburinya dengan beras bersekam di atasnya; dan setelah mengenakan pakaian lusuh dan melukai wajahnya sendiri, ia memikul keranjang di kepalanya dan pergi ke luar pada waktu yang tidak biasanya, dan tidak seorang pun mengenalinya. Ia pergi lew at gerbang utara; namun ia tidak tahu jalan, karena ia belum pernah pergi ke mana pun sebelumnya dan tidak mampu menggunakan kompas; sehingga karena ia hanya mendengar bahwa ada kota seperti Kalacampa, ia duduk dan terus bertanya apakah ada orang yang hendak pergi ke Kalacampa.

Anak yang dikandungnya bukanlah anak biasa, melainkan Bodhisatta yang terlahir ulang, setelah ia merampungkan Parami, dan seluruh alam Sakka berguncang dengan keagungannya. Sakka menimbang apa musababnya, dan ia merenungi bahwa sebuah kebajikan besar telah dikandung dalam rahim ratu, dan ia harus pergi melihatnya; maka Sakka menciptakan sebuah kereta bertudung dan menyiapkan pembaringan di dalamnya dan duduk di pintu rumah tempat ratu duduk, seakan-akan ia adalah orang tua yang mengemudi kereta, dan ia bertanya apakah ada yang ingin pergi ke Kalacampa. “Saya ingin pergi ke sana, Tuan.” [32]”Kalau begitu naiklah kereta ini, Ibu, dan duduklah di dalamnya.” “ Tuan, saya telah hamil tua dengan anak ini, dan tidak bisa naik; saya akan mengikuti Anda dari belakang, namun berikanlah saya tempat untuk menyimpan keranjang saya.” “Apa yang Anda katakan, Ibu? Tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana mengemudi kereta seperti saya; jangan takut, naiklah dan duduklah.”

Dengan kekuatan surgawinya ia membuat bumi naik sampai menyentuh bagian buritan kereta ketika ratu mendaki. Ratu berhasil naik dan berbaring di peraduan, dan ia mengetahui bahwa orang tua itu pasti sesosok dewa. Segera setelah ia berbaring di peraduan surgawi itu, ia tertidur. Sakka pada akhir perjalanan tiga puluh yojana sampai ke sebuah sungai, dan ia membangunkan ratu, seraya berkata, “Ibu,turun dan mandilah di sungai; di bagian kepala pembaringan ada sebuah jubah, kenakanlah; dan dalam kereta ada kue untuk dimakan, makanlah.” Ia melakukan yang diminta dan berbaring lagi, kemudian pada malam hari, ketika ia mencapai Campa dan melihat gerbangnya, menara penjagaannya, dan temboknya, ia bertanya kota apakah itu. Sakka menjawab, “Kota Campa, Ibu.” “Bagaimana bisa, Tuan? Bukankah enam puluh yojana jauhnya dari kota kami ke Campa?” “Memang demikian, Ibu, namun saya tahu jalan yang lurus.” Ia kemudian membantunya turun di gerbang selatan; “Ibu, desa saya terletak lebih jauh lagi, masukilah kota ini,” seusai berkata demikian Sakka meninggalkannya, dan lenyap, kembali ke kediamannya.

Ratu kemudian duduk dalam suatu balairung. Pada saat itu, seorang brahmana, yang menjadi pelafal syair pujian, yang berdiam di Campa, sedang pergi bersama lima ratus orang siswanya untuk mandi. Ketika ia melihatnya duduk di sana, demikian cantik dan menawan, dan oleh kekuatan makhluk dalam kandungannya, segera ia menaruh kasih kepadanya sebagai saudari termudanya.

Brahmana itu menyuruh siswa-siswanya menunggu di luar selagi ia masuk sendirian ke dalam balairung dan bertanya kepadanya, “Saudari, di desa apakah Anda berdiam?” “Saya adalah permaisuri utama Raja Aritthajanaka di Mithila,” jawabnya. “Mengapa Anda datang kemari?” “Raja telah terbunuh oleh Polajanaka, dan dalam ketakutan saya datang kemari untuk menyelamatkan anak saya yang dalam kandungan.” “Apakah ada sanak saudara Anda dalam kota ini?” “Tidak ada, Tuan.” “Janganlah takut; saya adalah seorang brahmana dari keluarga terpandang, guru yang terkenal luas, saya akan menjaga Anda seperti saudari kandung saya sendiri, panggil saya sebagai saudara Anda dan peganglah kaki saya dan merataplah keras-keras.”

Ratu meratap keras-keras dan jatuh memeluk kakinya dan mereka saling mengungkapkan simpati satu sama lain. Murid-muridnya datang berlari dan bertanya kepadanya apa maksud semua ini. “Ini adalah saudari saya yang paling muda, yang lahir pada saat saya sedang tidak ada.” “Oh Guru, janganlah berduka, kini Anda akhirnya telah bertemu dengan saudari Anda.”
Brahmana itu lalu meminta sebuah kereta berpenutup besar dibawa dan meminta ratu duduk di dalamnya. Brahmana itu mengirim kereta itu ke rumahnya sendiri, meminta mereka memberitahu istrinya bahwa ini adalah saudarinya, dan istrinya mempersiapkan semua hal yang dibutuhkan. Istri brahmana memberinya air panas untuk mandi dan menyiapkan dipan untuknya dan memintanya berbaring. Brahmana usai mandi dan kembali ke rumah; dan pada saat makan ia meminta penghuni rumahnya memanggil saudarinya dan makan bersamanya, dan menjaganya dalam rumahnya.

Segera setelah ia melahirkan seorang putra, mereka menyebutnya dengan nama kakeknya, Pangeran Mahajanaka. Ketika ia tumbuh besar dan bermain dengan anak-anak, ia akan menghajar mereka dengan kasar karena kekuatannya yang lebih besar dan keteguhan hatinya ketika mereka mengejeknya karena merasa silsilah khattiya mereka lebih murni. Ketika mereka menangis keras dan ditanya siapa yang memukul mereka, mereka akan menjawab, “Putra si janda.” Pangeran berpikir, “Mereka selalu memanggilku putra janda, aku akan menanyai ibuku mengenai hal ini.” Maka suatu hari ia bertanya kepada ibunya, “Ibu, putra siapakah saya ini?”

Ibunya mengelabuinya dengan mengatakan bahwa brahmana itu adalah ayahnya. Ketika ia berkelahi dengan anak-anak di lain hari dan mereka mengejeknya sebagai putra janda, ia menjawab bahwa brahmana adalah ayahnya; dan mereka membalas, “Apa hubungannya brahmana itu dengan Anda?” Ia merenung sendiri, “Anak-anak ini berkata kepadaku, ’Apa hubungannya brahmana itu dengan Anda?’ Ibuku tidak akan mau menjelaskan duduk perkaranya kepadaku, ia tidak akan memberitahuku kebenaran demi menjaga kehormatannya sendiri. Maka, aku akan membuat ibuku mengatakan yang sebenarnya.” Maka ketika ia sedang mengisap susu darinya, ia menggigit payudaranya dan berkata kepadanya, “Beritahu siapa ayah saya, jika Ibu tidak mau memberitahu, saya akan menggigit payudara Ibu!”

Ibunya, karena tidak mampu mengelabuinya, berkata, “Anakku, engkau adalah putra Raja Aritthajanaka dari Mithila; ayahmu dibunuh oleh Polajanaka, dan aku datang kemari demi menyelamatkan dirimu, dan brahmana telah memperlakukanku seperti saudarinya dan merawatku.”

Dari sejak saat itu ia tidak lagi marah tatkala diejek sebagai putra janda; dan sebelum ia berusia enam belas tahun, ia telah mempelajari tiga veda dan semua ilmu pengetahuan; [34] dan pada saat ia berumur enam belas tahun, ia telah menjadi sangat rupawan.

Kemudian ia berpikir dalam hati, “Aku akan merebut kerajaan yang menjadi milik ayahku;” maka ia bertanya kepada ibunya, “Apa Ibu punya uang yang tersedia? Jika tidak, saya akan berdagang dan menghasilkan uang dan merebut kerajaan ayah saya.”

“Putraku, Ibu tidak datang kemari dengan tangan kosong, aku memiliki simpanan mutiara, batu berharga, dan permata yang cukup untuk mendapat sebuah kerajaan, ambillah mereka dan rebutlah takhta; jangan berdagang.”

“Ibu,” kata pangeran, “berikanlah kekayaan ini kepada saya, namun saya hanya mengambil separuhnya, dan saya akan pergi ke Suvannabhumi dan menghasilkan kekayaan besar di sana, dan kemudian merebut kerajaan.”

Ia meminta ibunya memberikan separuh kekayaan itu, dan setelah mengumpulkan barang dagangannya, ia menaruhnya di sebuah kapal dengan beberapa orang saudagar menuju Suvannabhumi, dan mengucapkan selamat jalan kepada ibunya, mengabarkan bahwa ia akan berlayar menuju negeri itu. “Putraku, samudra memiliki banyak bahaya dan sedikit kesempatan berhasil, jangan pergi, engkau punya banyak uang untuk merebut kerajaan.” Namun ia memberitahu ibunya bahwa ia akan pergi, maka ia mengucapkan selamat tinggal dan menaiki kapal.

Hari itu juga penyakit melanda tubuh Polajanaka dan ia tidak bisa bangkit dari tempat tidurnya. Ada tujuh karavan berikut dengan hewan penariknya di atas kapal; dalam tujuh hari, kapal itu menempuh tujuh ratus liga, namun setelah berlayar terlalu keras, kapal itu tidak bisa bertahan: papan kayunya rontok dan air naik makin lama makin tinggi, kapal mulai tenggelam di tengah samudra selagi anak buah kapal menangis, meratap, dan berdoa memanggil berbagai macam dewa.

Namun Bodhisatta tak pernah menangis atau meratap atau memanggil dewa-dewa, namun mengetahui bahwa kapal itu pasti tenggelam, ia mengambil gula dan mentega, dan setelah makan sampai perutnya kenyang, ia membalurkan minyak ke dua baju bersih, dan mengikatkannya di tubuhnya dan berdiri tegak bersandar dengan layar. Ketika perahu tenggelam, layar itu tetap tegak berdiri. Penghuni kapal menjadi makanan ikan dan kura-kura, dan air di sekitarnya menjadi warna darah; namun Bodhisatta, berdiri di atas layar, setelah menentukan arah menuju Mithila, terbang dari pucuk layar, dan oleh kekuatannya ia melewati ancaman ikan dan kura-kura lalu jatuh di jarak seratus empat puluh kubit jauhnya dari kapal.

Pada hari itu juga Polajanaka mangkat. Setelah Bodhisatta melewati ombak berwarna seperti batu permata, lalu mengarungi samudra seperti sebongkah emas, ia melewatkan satu minggu seperti layaknya satu hari, dan ketika ia melihat tepian lagi, ia membasuh mulutnya dengan air garam dan terus menjalani puasa. Pada saat itu, putri para dewa bernama Manimekhala ditunjuk sebagai pelindung samudra oleh empat raja dunia. Mereka berkata kepadanya, “Makhluk-makhluk itu yang memiliki kebajikan seperti bakti kepada ibu mereka tidak pantas tenggelam ke dalam lautan, perhatikanlah makhluk-makhluk seperti itu;” namun selama tujuh hari, ia tidak melihat ke samudra, karena mereka mengatakan bahwa ingatannya begitu kacau dalam menikmati kebahagiaan surgawinya, dan yang lainnya bahkan mengatakan bahwa ia telah pergi ke pertemuan surgawi; namun ketika ia akhirnya melihat, ia berpikir, “Ini adalah hari ketujuh aku belum mengawasi lautan, siapa yang tengah mengarungi samudra?” Ketika ia melihat Bodhisatta, ia berpikir dalam hati, “Jika Pangeran Mahajanaka telah tewas di samudra aku semestinya [tidak] berhak masuk ke dalam perkumpulan para dewa!” maka dengan menggunakan wujudnya yang indah ia berdiri di udara tidak jauh dari Bodhisatta dan mengucapkan bait pertama, saat ia menguji kekuatannya:

“Siapakah Anda, yang dengan gagah berjuang di tengah samudra ini, jauh dari lautan?

Siapakah sahabat yang Anda percaya, untuk bisa memberi Anda bantuan?”

Bodhisatta menjawab, “Ini adalah hari ketujuh saya berada di samudra, saya belum melihat makhluk hidup lain selain diri saya, siapakah gerangan yang bicara kepada saya?” maka, melihat ke udara, ia mengucapkan bait kedua:

“Wahai dewi, mengetahui kewajiban saya di dunia, untuk berjuang selagi saya mampu,

Di sini di tengah samudra, jauh dari daratan, saya melakukan yang terbaik seperti manusia sejati.”

Berhasrat mendengar ajaran benar, dewi mengucapkan bait ketiga:

“Di sini, di tengah daerah terpencil yang dalam dan tak terkira, tempat tiada tepian yang bisa terlihat mata,

Upaya mati-matian Anda hanya sia-sia, di tengah samudra ini Anda pasti binasa.”

Bodhisatta menjawab, “Mengapa Anda bicara demikian? Jika saya mati selagi saya melakukan upaya terbaik, maka saya paling tidak terbebas dari kesalahan,” dan ia mengucapkan bait:

“Ia yang melakukan apa yang manusia bisa lakukan terbebas dari celaan terhadap kaumnya,

Penguasa surga membebaskannya pula, dan ia tidak merasakan penyesalan dalam batinnya.”

Kemudian dewi mengucapkan bait:

“Apa gunanya perjuangan seperti ini, ketika hanya hasil kosong yang bisa diraih,

Di mana tidak ada imbalan yang bisa diraih, dan hanya kematian untuk semua derita Anda?”

Kemudian Bodhisatta mengucapkan bait-bait ini untuk menunjukkan kurangnya kebijaksanaan dewi itu:

“Ia yang berpikir tidak ada yang diraih dan tidak akan berjuang selagi ia bisa berjuang,

Akan layaklah ia dipersalahkan atas apa pun kerugiannya, adalah karena hatinya yang lemah yang menyia-nyiakan hari.

Orang-orang di dunia ini merancang rencana mereka, dan melakukan pekerjaan mereka sebaik mungkin,

Rencana bisa berhasil atau gagal, masa depan yang tidak pasti menunjukkan sisanya.

Anda tidak melihat, dewi, di sini, hari ini, tindakan kita sendiri yang menentukan:

Orang lain tenggelam, saya selamat, dan Anda berdiri di sisi saya.

Maka saya akan terus melakukan yang terbaik, berjuang mengarungi samudra hingga ke tepian;

Selagi kekuatan saya masih bertahan saya akan terus berjuang, tidak akan menyerah hingga saya tak mampu lagi berupaya.”

Dewi itu, mendengar ucapannya yang teguh, mengucapkan bait pujian:
“Anda yang berjuang dengan berani di tengah lautan tak terkira yang ganas ini

Tidak surut dari tugas yang Anda tetapkan, berjuang ke tempat kewajiban memanggil Anda,

Pergilah ke mana hati Anda menghendaki Anda pergi, jangan biarkan rintangan menghalangi Anda.”

Kemudian dewi itu menanyainya ke mana ia hendak membawanya, dan jawab Bodhisatta, “Ke Kota Mithila,” dewi itu melemparnya ke atas seperti karangan bunga dan memegangnya dengan kedua tangannya, menaruhnya di dada, dan membawanya seperti seakan ia adalah anaknya yang terkasih, dan melayang ke udara. Selama tujuh hari Bodhisatta tidur, tubuhnya basah oleh cipratan garam, dan bergembira oleh sentuhan surgawi. Kemudian dewi membawanya sampai ke Mithila dan meletakannya di sisi kanan sebuah batu upacara dalam hutan mangga, dan meninggalkannya di bawah perawatan dewi-dewi penghuni taman untuk kembali ke kediamannya sendiri.

Polajanaka tidak memiliki putra. Ia hanya meninggalkan seorang anak perempuan, yang bijaksana dan terpelajar, bernama Sivalidevl. Mereka memohon kepada Polajanaka ketika sekarat, “Baginda, kepada siapa Anda akan memberikan kerajaan ini ketika anak Anda kelak dewasa?” dan ia telah berkata, “Berikanlah kepada ia yang bisa menyenangkan putri, anak perempuan saya, Slvall, atau ia yang mengetahui yang mana yang menjadi bagian kepala dari peraduan berbentuk bujursangkar, atau bisa menarik busur yang memerlukan kekuatan seribu orang, atau yang bisa menggali keluar enam belas mustika agung.”

“Baginda, beritahu kami apa saja harta karun itu.”

Kemudian raja menyebutkannya:

“Mustika matahari terbit, mustika yang terlihat saat matahari terbenam,

Mustika di luar, yang di dalam, dan yang bukan di luar atau di dalam, [38]

Pada saat menaiki kuda, saat turun dari kuda, empat pilar sal, seputar yojana,

Di ujung gigi, di akhir ekor, kebuka, dan di ujung pepohonan,

Inilah enam belas mustika berharga, dan inilah tempat mereka ditemukan,

Busur yang memerlukan tenaga seribu orang, kepala peraduan bujursangkar, dan hati gadis yang harus dibahagiakan.”

Raja, selain mustika ini, juga mengulang daftar hal-hal lain. Setelah kematiannya, para menteri melakukan perkabungan, dan pada hari ketujuh mereka berkumpul dan menyatakan: “Raja mengatakan bahwa kita harus memberikan kerajaan kepada orang yang mampu menyenangkan hati anak perempuannya, namun siapa yang mampu menyenangkan hatinya?”

Para menteri berkata, “Panglima adalah orang yang disukai putri,” maka mereka mengirimkan perintah kepadanya. Segera ia datang ke gerbang istana dan memberi tanda kepada putri bahwa ia berdiri di sana. Putri, mengetahui penyebab panglima datang, dan berniat untuk menguji apakah ia memiliki kebijaksanaan untuk mengemban kekuasaan raja (payung kerajaan), memberikan perintah bahwa ia diizinkan datang. Ketika mendengar perintah itu dan berhasrat menyenangkan hatinya, ia berlari bergegas dari dasar tangga sampai berdiri di hadapannya. Kemudian untuk mengujinya, putri berkata, “Larilah cepat di tingkat dasar.” Ia segera berlari, berpikir bahwa ia menyenangkan sang putri. Putri kemudian berkata, “Kemarilah ke sini.” Panglima itu kemudian naik secepatnya.

Putri itu melihat kurangnya kebijaksanaan panglima itu dan berkata, “Kemari dan pijat kakiku.” Demi menyenangkannya, ia duduk dan memijat kakinya. Kemudian putri memukul dada panglima dengan kakinya dan membuatnya terjengkang, dan putri memberi tanda kepada para dayangnya, “Pukuli orang buta dan bodoh ini, renggut lehernya, dan lemparkan keluar;” dan mereka melakukan yang diperintahkan. “Nah, panglima?” tanya para menteri; panglima menjawab, “Jangan dibahas, ia bukan manusia.”

Kemudian bendahara kerajaan pergi, namun putri dengan cara yang sama juga mempermalukannya. Demikian juga pemegang kas negara, penjaga payung, pembawa pedang kerajaan: putri mempermalukan mereka semua. Kemudian banyak orang berkumpul dan berkata, “Tak seorang pun bisa menyenangkan sang putri; berikanlah putri kepada orang yang bisa menarik busur yang memerlukan kekuatan seribu orang.” Namun tak seorang pun bisa menariknya. Kemudian mereka berkata, “Berikanlah putri kepada ia yang mengetahui mana bagian kepala peraduan berbentuk bujursangkar.” Namun tidak seorang pun mengetahuinya. “Kalau begitu berikan ia kepada orang yang mampu mengeluarkan enam belas mustika agung.” Namun tidak seorang pun mampu mengeluarkan mustika agung. Kemudian mereka berembuk bersama, “Kerajaan tidak bisa dipertahankan tanpa seorang raja; apa yang harus kita perbuat?” kemudian pendeta keluarga berkata kepada mereka, “Janganlah cemas; kita harus mengirimkan keluar kereta perayaan, raja yang diperoleh lewat kereta perayaan mampu memerintah seluruh India.”

Maka mereka setuju, dan setelah menghias kota dan memasangkan empat kuda berwarna seperti teratai ke kereta perayaan dan memasang kain penutup pada kuda dan kereta, memasang lima simbol kerajaan, mereka mengelilingi kereta itu dengan empat jenis pasukan. Alat musik biasanya di depan kereta yang berisi kusir, dan di belakang kereta yang tidak berisi kusir; sehingga pendeta keluarga, setelah meminta mereka membunyikan alat musik di belakang, setelah memerciki kekang tali kekang kereta dan cambuk dengan gayung emas, meminta kereta berjalan sampai ke orang yang memiliki keluhuran yang cukup untuk memerintah kerajaan. Kereta berjalan dengan khidmat mengelilingi istana lalu sampai ke jalan.

Panglima dan perwira kerajaan lainnya masing-masing berpikir kereta itu mendatangi mereka, namun kereta itu melewati kediaman mereka semua, kemudian setelah mengelilingi kota kereta itu pergi keluar lewat gerbang selatan dan berjalan menuju taman. Ketika mereka melihatnya pergi demikian cepat, mereka berpikir untuk menghentikannya; namun ketika pendeta keluarga mengucap, “Jangan menghentikannya; biarlah ia pergi menempuh seratus yojana ke tempat yang ia kehendaki,” kereta memasuki taman dan pergi dengan khidmat mengitari batu upacara dan berhenti seakan siap untuk ditunggangi.

Pendeta kerajaan melihat Bodhisatta berbaring di sana dan mengumumkan kepada para menteri, “Tuan-tuan, saya lihat seseorang berbaring di atas batu; kita tidak tahu apakah ia memiliki kebijaksanaan yang layak untuk memangku kerajaan atau tidak; namun jika ia adalah makhluk dengan keluhuran suci ia tidak akan melihat kita, namun jika ia adalah makhluk pembawa sial ia akan bangkit dengan kaget dan melihat kita dengan gemetar; bunyikanlah segera semua alat musik.” Maka mereka tanpa menunda mengumandangkan ratusan alat musik, suaranya seperti samudra. Bodhisatta terbangun oleh suara itu, dan setelah menyingkap kepalanya dan melihat ke sekeliling, ia melihat keramaian itu; dan setelah mencerap bahwa itu pastilah payung putih kerajaan yang datang kepadanya, ia kembali menutupi kepalanya, berbalik, dan berbaring di sisi kiri tubuhnya. Pendeta keluarga menyingkap kakinya dan melihat pertanda-pertanda, berkata, “Jangankan satu benua, ia mampu memerintah empat benua,” maka ia meminta mereka kembali membunyikan alat musik.

Bodhisatta menyingkap wajahnya. Ia berbalik, berbaring di sisi kanannya, dan melihat kerumunan orang. Pendeta keluarga, setelah menenangkan orang-orang, merangkapkan tangannya dan membungkuk, “Bangkitlah, Junjungan kami, kerajaan adalah milik Anda.” “Di manakah raja?” jawabnya. “Beliau telah mangkat.” “Apakah raja meninggalkan putra atau saudara?” “Tidak ada, Junjungan saya.” “Baiklah, kalau begitu, saya akan mengambil kerajaan;” maka ia bangkit dan duduk bersila di lempeng batu.
Mereka kemudian menahbiskannya di sana juga; dan ia dipanggil sebagai Raja Mahajanaka. Ia kemudian menaiki kereta dan setelah memasuki kota dengan kemegahan kerajaan, pergi ke istana dan menaiki singgasana, setelah mengatur jabatan yang berbeda untuk panglima dan perwira lainnya. Kini sang putri, ingin membuktikannya dahulu lewat perilakunya, mengirimkan utusan dengan mengatakan, “Pergilah kepada raja dan katakan, ’Putri Slvall memanggilnya, datanglah cepat kepadanya.’”

Raja yang bijaksana bertindak seakan ia tidak mendengar berita utusan itu, terus melanjutkan uraiannya mengenai istana, “Demikianlah dan demikianlah istana ini akan baik.” Tidak mampu menarik perhatian raja, utusan pergi dan mengabarkan kepada putri, “Putri, raja mendengar kata-kata Anda namun ia terus menguraikan mengenai istana dan benar-benar mengacuhkan Anda.” Ia berkata dalam hati, “la pasti orang dengan batin yang mulia,” dan mengirimkan utusan kedua dan bahkan ketiga. Akhirnya raja menaiki istana, berjalan sesukanya dengan kecepatan biasa, serta menguap seperti singa. Ketika raja mendekat, putri tidak bisa duduk diam menunggu sampai raja datang; dan ketika raja naik putri mengulurkan tangannya sebagai sandaran raja.

Raja menggenggam tangannya dan menaiki singgasana, dan setelah duduk di kursi kerajaan di bawah payung putih, ia bertanya kepada para menteri, “Ketika raja meninggal, apakah ia meninggalkan pesan kepada kalian?” Mereka kemudian memberitahunya bahwa kerajaan seharusnya diberikan kepada ia yang bisa menyenangkan Putri STvalT. “Putri SlvalT mengulurkan tangan untuk saya sandari ketika saya mendekat: karena itu saya telah berhasil menyenangkan hatinya: beritahu saya mengenai hal lainnya.” “Raja mengatakan bahwa kerajaan sebaiknya diberikan kepada ia yang bisa menentukan mana kepala peraduan berbentuk bujursangkar.” Raja menjawab, “Ini sulit ditentukan, namun bisa diketahui dengan alat,” maka ia mengambil sebuah jarum emas dari kepalanya dan memberikannya ke tangan putri, “taruhlah ini di tempatnya.” Putri mengambilnya dan menaruhnya di kepala pembaringan. Demikianlah mereka juga mengatakan dalam ungkapan, ’Putri memberinya sebuah pedang. ’

Dengan pertanda itu ia mengetahui mana yang bagian kepala, dan seakan ia belum pernah mendengar hal itu sebelumnya, ia bertanya apa yang mereka katakan, dan mereka mengulanginya, dan ia menjawab, “Bukan hal yang luar biasa bagi seseorang untuk mengetahui mana yang bagian kepala;” dan mengatakan demikian, ia bertanya apakah ada ujian lainnya.

“Baginda, beliau memerintahkan kami memberikan kerajaan kepada orang yang bisa menarik busur yang memerlukan tenaga seribu orang.” Ketika mereka membawa busur itu atas perintahnya, ia bisa menarik busurnya sambil duduk di atas pembaringan seakan-akan itu busur perempuan untuk memisahkan benang-benang kapas.

“Beritahukan saya hal lainnya,” katanya. “Ia memerintahkan kami untuk memberikan kerajaan kepada orang yang bisa mengeluarkan enam belas harta karun agung.” “Apakah ada daftarnya?” dan mereka mengulang daftar harta karun yang telah disebutkan sebelumnya. Ketika ia mendengarkan, maknanya menjadi jelas baginya bagaikan bulan di angkasa. “Tak ada sisa waktu hari ini, besok kita akan mengambil harta karunnya.” Keesokan harinya, ia mengumpulkan para menteri dan bertanya kepada mereka, “Apakah raja Anda memberi makan para Pacceka Buddha?” Ketika mereka mengiyakan, ia berpikir dalam hati, “’matahari’ pasti bukanlah surya ini, melainkan para Pacceka Buddha yang disebut mentari sesuai sifat mereka; maka harta karun ini pasti berada di tempat beliau sering pergi untuk menemui mereka.” Kemudian ia menanyai mereka, “Ketika para Pacceka Buddha datang, ke manakah beliau biasanya pergi dan menemui mereka?” Para menteri memberitahukannya tempatnya; maka ia meminta mereka menggali tempat itu dan mengeluarkan harta karun dari sana, dan mereka melakukan perintahnya.

“Ketika beliau mengikuti mereka selagi mereka pergi, di tempat mana beliau berdiri untuk mengucapkan selamat tinggal kepada mereka?” Mereka memberitahunya dan ia meminta mereka menggali harta dari tempat itu, dan mereka melakukannya. Hadirin ramai mengucapkan ribuan seruan dan mengungkapkan sukacita dan kegembiraan mereka, seraya mengatakan, “Ketika mereka mendengar sebelumnya mengenai terbitnya matahari, mereka dulunya suka

berkeliaran ke sana kemari, menggali ke arah matahari terbit, dan ketika mendengar matahari terbenam, mereka menggali ke arah matahari terbenam, namun inilah harta karun sejati, ini sungguh mukjizat sejati.”

Ketika mereka mengatakan, “Harta karun di dalam” ia mengeluarkan harta karun dari serambi dalam gerbang besar istana; “Harta karun di luar,”, ia mengeluarkan harta karun dari serambi luar gerbang; “Bukan di dalam atau di luar,”, ia mengeluarkan harta karun dari bawah serambi; “saat menunggang,”, ia mengeluarkan harta karun dari tempat mereka memancang tangga emas untuk menaiki gajah kerajaan; “saat turun,”, ia mengeluarkan harta karun dari tempat mereka turun dari bahu gajah kerajaan; “empat pilar sal besar,”, tempat ada empat kaki besar, yang terbuat dari kayu sal, di alas duduk kerajaan tempat para pegawai istana melakukan sujud di tanah, dan dari bawahnya ia mengeluarkan empat jambangan penuh harta; “satu yojana keliling,”, yojana adalah rangka sambungan kereta dengan kuda, maka ia menggali di sekitar kereta kencana sepanjang satu rangka sambungan dan mengeluarkan jambangan harta karun dari sana; “harta karun di ujung gigi,”, di tempat gajah kerajaan berdiri, ia mengeluarkan dua harta karun dari tempat di depan “dua gadingnya;” “di ujung ekornya,”, di tempat kuda kerajaan berdiri, ia mengeluarkan jambangan harta karun dari tempat yang berlawanan dengan ekornya; “Dalam kebuka;” nah, air disebut dengan kebuka; maka ia merintahkan agar air danau kerajaan dikuras dan ternyata menyingkap sebuah harta karun; “harta karun di ujung pepohonan,”, ia menarik jambangan harta karun yang tersembunyi dalam lingkaran bayangan saat tengah hari dari pohon-pohon sal besar di kebun istana. Setelah mengeluarkan enam belas harta karun, ia bertanya apakah ada yang lain lagi, dan mereka menjawab, “tidak ada.” Hadirin ramai bergembira. Raja mengatakan, “Saya akan memberikan kekayaan ini untuk berderma;” maka ia membangun lima balairung derma di tengah kota dan empat gerbang dan melakukan derma agung. Kemudian ia meminta ibunya dan brahmana dari Kalacampa datang, dan memberikan penghormatan besar kepada mereka.

Pada masa awal pemerintahannya, Raja Mahajanaka, putra Aritthajanaka, memerintah seluruh Kerajaan Videha. “Kata mereka, raja bijak, kita akan datang melihatnya,” sehingga seluruh kota ramai ingin menemuinya, dan mereka datang dari berbagai penjuru membawa hadiah; mereka mempersiapkan perayaan besar dalam kota, menutupi dinding istana dengan gambar plester tangan mereka, menggantungkan karangan bunga dan wewangian, meliputi udara ketika mereka melemparkan biji-bijian panggang, bunga, wewangian, dupa, serta menyiapkan segala jenis makanan dan minuman. Untuk mempersembahkan pemberian kepada raja, mereka berkumpul dan berdiri, membawa makanan keras dan lembut, dan semua jenis minuman dan buah .

Sementara kerumunan menteri-menteri raja duduk di satu sisi, dan di sisi lain kumpulan brahmana, di sisi lain para pedagang kaya, dan di sisi lain, gadis-gadis penari paling cantik; para brahmana ahli pidato, yang piawai dalam lagu-lagu perayaan, menyanyikan lagu-lagu ceria dengan suara keras, ratusan alat musik dimainkan, istana raja dipenuhi suara gegap gempita seakan-akan istana berada di tengah samudra Yugandhara; semua tempat yang ia lihat bergetar. Bodhisatta ketika duduk di bawah payung putih, melihat kejayaan kemegahan besar seperti keagungan Sakka, dan ia teringat perjuangannya sendiri di tengah samudra luas; “Keberanian adalah hal benar yang harus dikerahkan, jika aku tidak menunjukkan keberanian di tengah samudra luas, akankah aku bisa meraih kejayaan ini?” dan sukacita timbul dalam batinnya ketika ia mengingatnya, dan ia spontan mengucapkan pernyataan penuh kemenangan.

Setelahnya. ia memenuhi sepuluh tugas kerajaan, memerintah dengan benar, serta melayani para Pacceka Buddha. Seiring waktu, Ratu STvalT melahirkan putra yang terberkahi tanda-tanda agung, dan mereka memberinya nama DTghavu-kumara. Ketika ia tumbuh besar, ayahnya mengangkatnya menjadi wali raja.
Suatu hari, ketika berbagai jenis bunga dan buah dibawa ke hadapan raja oleh tukang kebun, ia merasa senang ketika melihat persembahan ini, dan memberikan penghormatan pada tukang kebun, dan memintanya menghiasi kebun agar menyambut kunjungannya. Tukang kebun melaksanakan perintah ini dan menyampaikan berita kepada raja, dan raja sambil duduk di atas gajah kerajaan dan dikelilingi para pengikutnya, masuk ke gerbang taman.

Saat itu, di dekatnya berdiri dua pohon mangga cerah berwarna hijau, satu tanpa buah, dan yang satunya penuh dengan buah yang sangat manis. Ketika raja tidak makan buah tidak seorang pun yang berani mengumpulkan buah, dan raja, ketika ia mengendarai gajahnya, memetik sebuah mangga dan memakannya. Pada saat mangga itu menyentuh ujung lidahnya, sebuah cita rasa surgawi seakan muncul dan ia merenung, “Ketika kembali, aku akan makan beberapa buah lagi;” namun ketika diketahui bahwa raja memakan buah pertama pohon mangga, semua orang dari wali raja hingga pawang gajah berkumpul dan makan buah mangga, dan mereka yang tidak makan buah mematahkan ranting-rantingnya dengan tongkat, dan menggunduli daunnya sampai pohon itu rusak dan patah, sementara pohon satu lagi berdiri sama indahnya seperti gunung permata.

Ketika raja keluar dari kebun, ia melihat apa yang terjadi dan menanyai para menterinya. “Banyak orang melihat Baginda telah makan buah pertama dan mereka

menjarahnya,” jawab mereka. “Namun pohon satunya tidak kehilangan selembar daun atau warna apa pun.” “Pohon itu tidak kehilangan warna karena ia tidak memiliki buah.”

Hati raja sangat tergerak, “Pohon ini

mempertahankan warna hijau cerahnya karena tidak memiliki buah, sementara rekannya sekarang rusak dan hancur karena buahnya. Kerajaan ini seperti pohon penuh buah, namun kehidupan petapa seperti pohon tanpa buah; empunya harta milik yang memiliki ketakutan, bukan ia yang tidak memiliki apa pun. Menjauh dari pohon penuh buah, aku akan menjadi seperti yang tidak berbuah, meninggalkan semua kejayaanku, aku akan meninggalkan keduniawian dan menjadi petapa.” Setelah meneguhkan tekadnya, ia memasuki kota, dan berdiri di pintu istana, ia memanggil panglima besarnya, dan berkata kepadanya, “Wahai panglima, mulai dari hari ini hingga seterusnya jangan biarkan orang lain melihat wajah saya selain satu orang pelayan yang membawakan saya makanan dan pelayan lainnya membawakan saya air dan sikat gigi untuk membasuh mulut saya, dan bawalah para penasihat tetua saya dan bersama mereka perintahlah kerajaan saya: Saya mulai kini akan menjalani hidup sebagai bhikkhu di puncak istana.”

Setelah mengatakan demikian ia pergi ke puncak istana sendirian, dan hidup sebagai bhikkhu. Seiring waktu berlalu orang-orang berkumpul di halaman istana, dan ketika mereka tidak melihat Bodhisatta, mereka berkata, “Ia bukanlah seperti raja kita yang dahulu,” dan mereka mengulang dua bait syair:

“Raja kami, penguasa seluruh bumi, telah berubah dari ia yang dahulu,

Ia tak memedulikan lagu gembira hari ini ataupun memedulikan para penari;

Rusa, taman, dan angsa gagal menarik perhatian matanya,

Dengan diam ia duduk seperti orang pandir dan membiarkan urusan negara berlalu.”

Mereka menanyai kepala pelayan dan pelayannya, “Apakah raja pernah bicara dengan kalian?” “Tidak pernah,” jawab mereka. Kemudian mereka menceritakan bagaimana raja, dengan batinnya tenggelam dalam petapaan, dan melepaskan diri dari semua nafsu, telah mengingat sahabat-sahabat lamanya para Pacceka Buddha, dan berkata kepada dirinya, “Siapa yang akan menunjukkan kepada saya tempat kediaman dari mereka yang telah bebas dari kelekatan dan memiliki semua sifat bajik?” telah menyerukan segenap perasaannya dengan lantang dalam tiga bait ini:

“Tersembunyi dari semua pemandangan, bertekad pada kebahagiaan batin, terbebas dari semua ikatan dan ketakutan makhluk fana,

Dalam taman indah siapakah, tua dan muda, bersama-sama berdiam para bijaksana surgawi itu?

Mereka meninggalkan semua nafsu keinginan, para suciwan yang bijaksana dan agung itu saya hormati,
Di antara dunia yang diombang-ambingkan nafsu, mereka berkeliaran dalam damai dan tanpa nafsu.

Mereka telah menembus jala kematian, dan tebaran jerat si pendusta,

Terbebas dari semua ikatan, mereka berkelana bebas,

Oh siapa yang akan memandu saya ke tempat mereka berada?”

Empat bulan berlalu saat ia menjalani kehidupan petapa di istana, dan akhirnya batinnya berpaling dengan tekun menuju pelepasan keduniawian: kediamannya terasa bagaikan salah satu neraka di antara himpunan alam-alam, dan tiga jenis eksistensi36 menampakkan diri mereka padanya seperti terbakar api. Dalam pandangan ini batinnya meletup dalam penggambaran akan Mithila, ketika ia merenung, “Kapankah saatnya tiba hingga aku akan pergi meninggalkan Mithila ini, dihias, dan didandani seperti istana Sakka, dan pergi ke Himavat dan di sana mengenakan baju petapa?”

“Kapankah aku akan meninggalkan Mithila ini, dan meski indah luar biasa,

Oleh para arsitek dengan pengaturan dan garisnya yang ditata rapi dan indah dilihat,

Dengan tembok dan gerbang dan pertahanannya, yang dilalui jalan di setiap sisinya,

Dengan kuda, kerbau, dan kereta berlalu lalang ramai, dengan tempat penampungan air dan taman yang indah, Ibukota Videha yang terkenal luas, cerah diramaikan para khattiya dan prajuritnya,

Mengenakan jubah kulit macan, dengan panji-panji terkibar dan senjata berkilau,

Para brahmananya terbungkus kain Kaci, berwangi cendana, dihiasi permata,

Istana dan para selirnya dengan jubah istana dan mahkota! Kapankah aku meninggalkan mereka dan melepaskan mereka, demi meraih kebahagiaan petapa sendirian,

Membawa baju compang-campingku dan kendi air, kapankah hidup bahagia itu akan dimulai

Kapankah aku berkelana menjelajahi hutan, makan dari buah mereka yang menyokongku,

Mengatur hatiku dalam kesendirian seperti seorang menyesuaikan nada kecapi berdawai tujuh,

Memotong bebas batinku dari harapan masa kini atau perolehan pada masa depan,

Seperti tukang sepatu ketika membentuk sepatunya dengan memotong ujung-ujungnya yang kasar dan membiarkan bagian yang mulus.

la lahir pada masa ketika manusia hidup sampai usia sepuluh ribu tahun; maka setelah berkuasa selama tujuh ribu tahun, ia menjadi petapa saat usianya masih tersisa tiga ribu tahun: dan ketika ia telah menjalani kehidupan petapa, ia masih berdiam dalam rumah selama empat bulan sejak hari ia melihat pohon mangga; namun berpikir bahwa rumah petapa lebih baik ketimbang istana, ia diam-diam memerintahkan para pelayannya untuk membawa jubah kuning dan kendi tanah liat dari pasar. Ia kemudian memanggil seorang pencukur rambut dan memintanya mencukur rambut dan janggutnya; ia mengenakan satu jubah kuning sebagai jubah dalam, jubah lainnya sebagai jubah atas, dan yang ketiga disampirkannya di pundak, dan setelah menaruh kendinya dalam kantung, ia menggantungkannya di pundaknya; kemudian membawa tongkat berjalannya, ia berjalan beberapa kali bolak-balik di lantai puncak dengan langkah penuh kejayaan seperti Pacceka Buddha. Hari itu ia menginap di sana, namun pada saat mentari terbit keesokannya ia mulai turun.
Ratu STvall memanggil tujuh ratus selir favorit raja, dan berkata kepada mereka, “Sudah empat bulan penuh lamanya sejak kita terakhir berjumpa dengan raja, kita akan mengunjunginya hari ini, dandanilah diri kalian semua, dan perlihatkan keanggunan dan kecantikan Anda dan cobalah rayu beliau dalam jerat nafsu asmara.” Bersama dengan mereka semua yang berbaris rapi dan berhias, ratu menaiki istana untuk menemui raja; namun meski ia bertemu dengannya saat turun, ia tidak mengenalinya, dan berpikir bahwa itu adalah Pacceka Buddha yang datang memberikan ajaran kepada raja, ia memberikan penghormatan padanya dan berdiri di satu sisi; dan Bodhisatta turun dari istana. Namun ratu, setelah naik ke atas istana, melihat kamar raja, melihat gundukan rambut raja yang berwarna seperti lebah di atas pembaringan, dan pakaiannya di atas pembaringan, berseru, “Itu bukan Pacceka Buddha, itu pastilah raja kita tercinta. Kita harus membujuknya untuk kembali;” maka setelah menuruni lantai puncak dan mencapai halaman istana, ia dan semua selir yang mendampinginya mengurai rambut mereka hingga ke punggung dan memukuli dada mereka dengan tangan, sambil mengikuti raja, menangis meratap, “Mengapa Anda melakukan hal ini, raja agung?” seluruh kota terusik, dan semua orang mengikuti raja sambil menangis, “Raja kami, kata mereka, telah menjadi petapa, bagaimana kita akan bisa menemukan penguasa adil seperti ini lagi?”

Kemudian Guru, ketika ia menggambarkan tangisan para perempuan, dan bagaimana raja meninggalkan mereka semua dan terus berlalu, mengucapkan tiga bait ini:

“Di sana berdiri tujuh ratus selir, mengulurkan tangan mereka dalam ratapan memohon,

Berbaris dalam semua perhiasan mereka, ’Raja Agung, mengapa Anda meninggalkan kami begini? ’

Namun meninggalkan tujuh ratus selir itu, yang indah, lembut, dan anggun, raja agung mengikuti bimbingan ikrarnya, dengan tekad teguh tak tergoyahkan.

Meninggalkan caw an penobatan, simbol lama

kemewahan kerajaan dan negera,

Ia mengambil mangkuk tanah liatnya hari ini, sebuah penghidupan baru akan dinobatkan.

Srvali yang menangis, menyadari dirinya tak mampu menghentikan raja, menggunakan daya lain dengan meminta panglima besar menyalakan api di hadapan raja di antara rumah-rumah lama dan reruntuhan ke jurusan tempat ia berjalan, dan menumpuk dedaunan dan rumput untuk membuat asap besar di berbagai tempat. Panglima melakukan perintah itu. Kemudian ratu mendekati raja dan bersujud di kakinya, mengucapkan dua bait bahwa Mithila sedang terbakar.
“Mengerikan sungguh api yang mengamuk, gudang dan harta terbakar,

Perak, emas, permata, cangkang kerang, mutiara, semuanya dilalap api;

Pakaian indah, gading, tembaga, kulit, semuanya menemui nasib kejam yang sama;

Kembalilah, Raja dan selamatkan kekayaan Anda sebelum terlambat.”

Bodhisatta menjawab, “Apa maksud Anda, wahai ratu? Harta miliki siapa yang bisa terbakar, karena saya tidak memiliki harta apa pun.’

“Kami yang tak memiliki sesuatu pun bisa hidup tanpa cemas atau keluh;

Istana Mithila boleh terbakar, namun tiada suatu pun milik saya yang terbakar karenanya.”

Seusai berujar demikian ia pergi lewat gerbang utara, dan para selirnya juga mengikuti. Ratu Sivali meminta mereka menunjukkan kepadanya bagaimana desa hancur dan tanah menjadi gersang; lalu mereka menunjukkan kepadanya bagaimana gerombolan bersenjata merajalela dan menjarah di berbagai arah, sementara yang lainnya, yang berlumur zat pewarna merah, dibawa sebagai orang yang terluka atau tewas dalam tumpukan. Rakyat menjerit, “Baginda, selagi Anda melindungi kerajaan, mereka menghancurkan dan membunuhi rakyatmu.” Kemudian ratu mengulangi satu bait memohon raja agar kembali:
“Perambah hutan liar menghancurkan kerajaan, kembalilah dan selamatkan kami semua;

Jangan biarkan kerajaan Anda, yang ditinggal oleh Anda, runtuh tanpa harapan.”

Raja merenung, “Tidak ada perampok yang bisa bangkit merusak kerajaan ketika aku berkuasa, ini pasti kisah rekaan SlvalidevI,” maka ia mengulang bait-bait seakan tidak memahami kata-katanya:

“Kami yang tak memiliki sesuatu pun bisa hidup tanpa cemas atau keluh;

Kerajaan boleh runtuh, namun tiada suatu pun milik saya yang terbakar karenanya.

Kita yang tak memiliki sesuatu pun bisa hidup tanpa cemas atau keluh;

Berpesta-pora dalam sukacita kebahagiaan sempurna seperti dewa Abhassara.”

Bahkan setelah ia mengucapkan bait ini orang-orang masih mengikutinya. Ia kemudian merenung, “Mereka tidak ingin kembali, saya akan membuat mereka kembali;” maka ketika ia telah menempuh jarak setengah mil, ia berbalik dan berdiri di jalan raya, ia bertanya kepada para menteri, “Milik siapakah kerajaan ini?” “Milik Anda, Baginda.” “Kalau begitu hukum siapa pun yang melewati garis ini,” sambil berucap ia menarik sebuah garis melintang dengan tongkatnya. Tidak seorang pun mampu melanggar garis itu. Ratu, karena juga tidak mampu menyeberangi garis itu, dan melihat raja terus pergi tanpa berpaling, tidak bisa menahan dukanya, memukuli dadanya, dan terhuyung ke depan, menyeberangi garis itu. Rakyat berseru, “Para pelindung garis telah melanggar garis,” dan mereka ikut ke mana ratu mereka pergi.

Bodhisatta pergi menuju ke Himavat sebelah utara. Ratu juga pergi bersamanya, membawa semua pasukan dan hewan tunggangan. Raja, tidak mampu menghentikan rombongan banyak orang, berjalan terus sampai sejauh enam puluh yojana. Saat itu ada seorang petapa bernama Narada yang berdiam di Gua Emas di Himavat yang memiliki lima kemampuan adibiasa; setelah melewatkan tujuh hari dalam kegiuran, ia bangkit dari semadinya dan berseru penuh kemenangan, “Oh bahagianya, oh bahagianya!” dan selagi menatap dengan mata surgawinya untuk melihat apakah ada orang di India yang mencari kebahagiaan ini, ia melihat Mahajanaka sang Calon-Buddha. Ia berpikir, “Raja telah melakukan pelepasan agung, namun ia tidak bisa membuat orang-orang yang mengikutinya, yang dipimpin oleh Ratu Slvali, kembali, mereka bisa menghalangi jalannya, dan aku akan memberinya pembabaran untuk makin meneguhkan tujuannya;” maka, dengan kekuatan adibiasanya ia berdiri melayang di hadapan raja dan demi meneguhkan tekadnya, ia berucap:

“Dari mana semua kebisingan dan keributan bagaikan perayaan desa ini?

Mengapa keramaian ini berkumpul di sini? Akankah petapa ini sudi menjelaskan?”

Raja menjawab:

“Saya telah melewati batasan dan meninggalkan keduniawian. Ini telah membawa keramaian ini kemari;

Saya meninggalkan mereka dengan hati bersukacita; Anda tahu akan ini semua, mengapa kemudian menanyai saya?”

Petapa itu kemudian mengulang bait untuk meneguhkan tekadnya:
“Jangan berpikir Anda sudah menyeberang, selagi tubuh ini masih menghalangi;

Masih ada banyak musuh di hadapan, Anda belum meraih kemenangan Anda.”

Kemudian Bodhisatta menyatakan:

“Bukan kenikmatan yang diketahui ataupun yang tidak diketahui yang memiliki kekuatan membengkokkan batin saya,

Musuh apakah yang bisa bertahan menghalangi ketika saya berjuang maju sampai akhir?”

Kemudian ia mengulangi sebuah bait, menyatakan mengenai rintangan-rintangan:

“Tidur, kemalasan, pemikiran mengembara mengarah ke kenikmatan indra, nafsu makan, pikiran yang tidak puas, tubuh membawa sahabat-sahabat dekat ini, banyak rintangan yang akan Anda temui.”

Bodhisatta kemudian memujinya dengan syair ini:
“Bijaksana, Brahmana, kata-kata peringatan Anda. Saya berterima kasih kepada Anda, orang asing, karenanya; jawablah pertanyaan saya jika Anda bersedia; siapakah Anda dan apakah nama Anda.”

Narada menjawab:

“Ketahuilah nama saya adalah Narada, seorang kassapa;

Baru saja saya beritahukan kepada Anda ini, bergaul dengan yang bijaksana adalah yang terbaik.

Latihlah empat kesempurnaan, temukan sukacita tertinggi dalam jalan ini;

Apa pun kekurangan yang Anda miliki, isilah dengan kesabaran dan ketenangan;

Pemikiran agung akan diri, pemikiran rendah akan diri, bukan ini atau itu yang sesuai dengan orang bijaksana; jadikan kebajikan, pengetahuan, dan ajaran para pelindung perjalanan spiritual Anda.”

Narada kemudian kembali melalui udara ke kediamannya sendiri. Setelah ia pergi, petapa lainnya, bernama Migajina, yang baru bangkit dari kondisi kegiuran batin, menemui Bodhisatta dan bertekad mengucapkan ajaran kepadanya agar ia bisa membalikkan kerumunan orang itu; maka ia muncul kepadanya mengambang di udara dan berkata:

“Kuda dan gajah, dan mereka yang bermukim di kota atau desa,
Anda telah meninggalkan mereka semua, wahai Janaka; mangkuk tanah liat sudah mencukupkan hati Anda.

Katakanlah, mengapa rakyat atau sahabatmu, menteri atau sanak keluarga Anda terkasih,

Melukai hati Anda dengan pengkhianatan hingga Anda telah memilih pernaungan ini di sini?”

Bodhisatta menjawab:

“Tidak pernah, wahai Petapa, kapan pun, di mana pun, atau kata-kata apa pun,

Perbuatan salah telah saya lakukan terhadap sahabat apa pun ataupun sahabat mana pun telah berbuat salah kepada saya.”

Saya melihat dunia ini dilahap oleh kesengsaraan, digelapi penderitaan dan kejahatan;

Saya melihat korban-korbannya terbelenggu dan terbantai, tertangkap tanpa daya dalam mekanismenya;

Saya memperingatkan diri saya sendiri dan di sinilah kehidupan petapa dimulai.”

Petapa itu karena ingin mendengar lebih banyak lagi, menanyainya:
“Tidak seorang pun memilih kehidupan petapa selain beberapa orang guru menunjukkan jalannya,

Dengan praktik atau teori: katakanlah siapa guru suci Anda.”

Bodhisatta menjawab:

“Tidak pernah pada saat apa pun, wahai Petapa, saya mendengar kata-kata yang menyentuh hati saya dari bibir petapa atau brahmana, yang meminta saya memilih kehidupan petapa.”

Kemudian ia menceritakannya panjang lebar mengapa ia meninggalkan keduniawian:

“Saya bepergian ke taman kerajaan saya suatu musim panas dengan segenap kesombongan saya, dengan lagu dan alat musik merdu memenuhi udara di segala sisi,

Dan di sana saya melihat sebatang pohon mangga, yang mengakar di dekat tembok,

Berdiri patah dan rusak oleh kerumunan kasar yang mencari buahnya.

Terkejut saya hingga meninggalkan kemewahan kerajaan dan berhenti untuk menatap dengan mata penas aran,

Membandingkan pohon yang penuh buah ini dengan yang tanpa buah yang tumbuh berdekatan.

Pohon yang penuh buah di sana berdiri tertinggalkan, daun-daunnya semua gugur, dahan-dahannya telanjang,

Pohon tanpa buah berdiri hijau dan kuat, dedaunannya melambai dalam angin.

Kami raja adalah seperti pohon penuh buah, dengan begitu banyak musuh yang menginginkan kehancuran kami,
Dan merampok buah enak kami yang hanya sebentar saja kami tunjukkan.

Gajah dibantai untuk gadingnya, macan kumbang untuk kulitnya.

Tanpa rumah dan sahabat pada akhirnya orang kaya menemukan kekayaan adalah kutukan mereka;

Sepasang pohon itu adalah guru saya, dari mereka saya mendapat pelajaran.”

Migajina, setelah mendengar raja, membabarkannya agar gigih dan tekun, kemudian kembali ke kediamannya sendiri.

Ketika ia telah pergi, Ratu Slvali bersujud di kaki raja, dan berkata:

“Dengan kereta kuda atau menunggang gajah, prajurit pejalan kaki atau berkuda, semuanya bagaikan satu kesatuan,

Rakyat Anda menyerukan ratapan bersama, ’Raja kami telah meninggalkan kami dan pergi! ’

Mohon hiburlah dahulu hati mereka yang terdera dan nobatkan putra Anda untuk memerintah menggantikan Anda;

Saat itu, jika Anda ingin, tinggalkanlah keduniawian dan tapakilah jalan spiritual yang sendirian.”

Bodhisatta menjawab:

“Saya telah meninggalkan semua rakyat saya, sahabat saya, sanak keluarga saya, rumah dan tanah kelahiran saya;

namun bangsawan Videha, Dighavu dilatih untuk memerintah,
Janganlah takut, wahai Ratu Mithila, mereka akan berada dekat untuk menyokong tanganmu.”

Ratu kemudian berseru, “Wahai Raja, Anda telah menjadi seorang petapa, apa yang hams saya perbuat?” Kemudian Bodhisatta berkata kepadanya, “Saya akan memberi Anda nasihat, laksanakanlah kata-kata saya;” maka ia berkata kepadanya demikian:

“Jika Anda hendak mengajari putra saya bagaimana memerintah, bersalah dalam batin, kata-kata, dan perbuatan,

Maka akhir yang buruk akan menjadi milik Anda, inilah yang dinyatakan takdir;

Bagian seorang pengemis, yang didapat dari meminta-minta adalah semua yang kita butuhkan, kata orang bijaksana.”

Demikian ia menasihatinya, dan selagi mereka berjalan terus, berbicara, matahari telah terbenam.

Ratu bermukim di tempat yang sesuai, selagi raja pergi ke kaki sebatang pohon dan melewatkan malam di sana, dan keesokan harinya, setelah membasuh diri, ia melanjutkan perjalanan. Ratu memberikan perintah agar pasukan mengejar, mengikutinya.

Pada saat itu, untuk meminta makanan mereka mencapai kota bernama Thuna. Pada saat itu, seorang pria dalam kota telah membawa sepotong besar daging dari rumah pejagalan dan, setelah memasaknya di atas cagak dengan nyala batu bara, telah menaruhnya di atas talenan untuk mendinginkannya; namun ketika ia tengah sibuk mengerjakan hal lain, seekor anjing mencuri daging itu. Pria itu mengejar sampai sejauh gerbang selatan kota, namun berhenti di sana karena lelah. Raja dan ratu datang secara terpisah di depan anjing itu [63], Anjing itu, karena kaget melihat mereka, menjatuhkan daging itu dan pergi.

Bodhisatta melihat hal ini dan merenung, “Anjing itu telah menjatuhkannya dan pergi, meninggalkan daging itu, pemilik sejati daging itu tidak diketahui, tidak ada pemberian derma makanan yang sebaik ini; saya akan memakannya;” maka mengambil mangkuk tanah liatnya, ia mengambil daging itu, membersihkannya, dan memasukkannya ke dalam mangkuk, lalu pergi ke tempat yang memiliki air dan memakannya.

Ratu berpikir dalam hati, “Jika raja layak menguasai kerajaan ia tidak akan makan sisa makanan berdebu dari anjing, ia benar-benar bukanlah suamiku.” Kemudian ia berseru keras, “Raja Agung, mengapa Anda makan daging menjijikkan seperti itu?” “Ini adalah kebodohan Anda sendiri yang membuta,” jawab Bodhisatta, “yang menghalangi Anda melihat nilai khusus dari derma makanan ini;” maka ia dengan saksama memeriksa tempat di mana daging itu dijatuhkan, dan memakannya seakan-akan itu adalah makanan dewata, kemudian membasuh mulut, tangan, dan kakinya.

Kemudian ratu berkata kepadanya dengan kata-kata menyalahkan:

“Seandainya waktu makan keempat telah datang, seorang akan mati jika ia masih berpuasa: namun semua orang mulia itu membenci cita rasa makanan yang demikian menjijikkan;

Perbuatan Anda ini tidaklah benar, sungguh malu, malu diri Anda, Baginda;

Makan sisa makanan seekor anjing, Anda telah melakukan hal yang paling tidak pantas.”

Bodhisatta menjawab:

“Sisa makanan perumah-tangga atau anjing bukanlah makanan yang dilarang, menurut saya;

Jika didapatkan dengan cara yang pantas, semua makanan murni dan pantas, Ratu.”
Ketika sedang berbicara berdua, mereka mencapai gerbang kota. Beberapa bocah sedang bermain; dan seorang gadis mengguncang pasir dalam keranjang ayakan kecil. Di salah satu tangannya ada satu gelang, dan di tangan lainnya dua gelang. Kedua gelang ini bergemerincing, sedangkan yang satu tidak berbunyi. Raja melihat hal ini dan merenung dalam hati, “STvalT terus mengikutiku; istri adalah kutukan bagi petapa, dan orang-orang akan mempersalahkanku dan mengatakan bahwa ketika aku telah meninggalkan keduniawian aku tidak bisa meninggalkan istriku; jika anak gadis ini bijaksana, ia akan mampu memberitahu Slvall alasan mengapa ia seharusnya kembali dan meninggalkanku. Aku akan mendengar kisahnya dan membuat SlvalT pergi.” Maka ia berkata kepadanya:

“Berdiam di bawah asuhan ibumu, gadis kecil, dengan terikat perhiasan itu,

Mengapa satu tangan berbunyi selagi tangan lainnya tidak pernah bersuara?”

Gadis kecil menjawab:

“Petapa, di tangan ini saya memakai dua gelang alih-alih satu,

Dari kontak mereka timbullah suara, karena yang kedua suara timbul.

Namun perhatikanlah tangan saya yang lain: hanya memakai gelang tunggal,

Gelang ini tetap di tempatnya dan tidak bersuara, sunyi karena tiada yang lainnya.

Yang kedua berdencing dan bergetar, yang sendirian tidak bisa bergetar;

Maukah engkau bahagia? Sendirianlah: hanya yang sendirian yang bahagia.”

Setelah mendengar kata-kata gadis itu, ia mengambil gagasan itu dan berkata kepada ratu:
“Dengar apa yang ia katakan, gadis pelayan ini akan memenuhi kepala saya dengan rasa malu jika saya sampai menyerah pada permintaanmu; adalah yang kedua yang membawa kecaman.

Di sini ada dua jalan: ambillah jalan pertama, dan saya jalan lainnya;

Jangan panggil saya ’suami saya’ mulai sekarang, Anda bukan lagi istri saya; selamat tinggal.”

Ratu, ketika mendengarnya, memintanya mengambil jalan ke kanan yang lebih bagus, sementara ia memilih jalan sebelah kiri, namun setelah berjalan sebentar, tidak mampu menahan kesedihannya, ia kembali lagi padanya, dan ratu dan raja memasuki kota bersama-sama.

Menjelaskan hal ini, Guru berkata: “Dengan kata-kata ini di bibir, mereka memasuki Kota Thuna.”

Setelah masuk, Bodhisatta melanjutkan pindapatanya dan mencapai pintu rumah seorang pembuat panah, sementara Sivali berdiri di satu sisi. Pada saat itu, pembuat panah tengah memanaskan anak panah di atas tumpukan batu bara dan membasahinya dengan bubur nasi asam, dan menutup satu matanya, ia melihat dengan mata satunya selagi ia meluruskan anak panah itu. Bodhisatta merenung, “Jika pria ini bijaksana, ia akan mampu menjelaskan peristiwa ini, aku akan menanyainya;” maka ia mendatanginya.
Guru mengungkapkan apa yang terjadi dalam bait:

“Ke rumah pembuat panah ia datang berpindapata; pria dengan satu mata tertutup berdiri, melihat ke sisi dengan mata lainnya untuk membentuk panah di tangannya.”

Kemudian Bodhisatta berkata kepadanya:

“Satu mata Anda tutup dan Anda menatap dengan satu lagi ke sisi, apakah ini benar? Mohon jelaskanlah mengapa Anda berbuat demikian; apakah menurut Anda ini memperbaiki penglihatan Anda?”

Pembuat panah menjawab:

“Cakrawala lebar kedua mata hanya mengganggu pandangan;

Jika Anda mendapat penglihatan tunggal, maka sasaran Anda teguh, pandangan Anda benar.

Adalah yang kedua yang membuat getaran, yang mana yang tunggal tidak bergetar;

Apakah Anda ingin bahagia? Sendirianlah: hanya sendirian yang bahagia.”

Setelah mendengar kata-kata nasihat ini, ia diam. Bodhisatta melanjutkan pindapatanya, kemudian setelah mengumpulkan berbagai macam makanan, ia pergi ke luar kota, duduk di tempat menyenangkan yang memiliki air; dan setelah melakukan semua yang harus dikerjakan, ia menaruh mangkuknya ke dalam tasnya dan berkata kepada Sivall:
“Anda mendengar pembuat panah itu: seperti gadis kecil, ia akan memenuhi kepala saya dengan rasa malu jika saya menyerah kepada permintaan Anda; adalah yang kedua yang membawa kecaman.

Di sini ada dua jalan: ambillah jalan pertama, dan saya jalan lainnya;

Jangan panggil saya ’suami saya’ mulai sekarang, Anda bukan lagi istri saya: selamat tinggal.”

Ia masih terus mengikutinya bahkan setelah mendengar ucapan ini; namun ia tidak bisa membujuk raja untuk berbalik, dan rakyat mengikutinya. Pada saat itu, ada sebuah rimba tidak jauh di sana dan Bodhisatta melihat serumpun pepohonan yang gelap. Ia ingin membuat ratu kembali, dan ia melihat beberapa rumput munja tumbuh di dekat jalanan; sehingga ia memotong daunnya dan berkata kepadanya, “Lihatlah, Sivali, batang rumput ini tidak bisa disatukan lagi, maka hubungan kita tidak akan pernah bisa disatukan lagi.” Kemudian ia mengulang separuh bait; “Seperti buluh munja dewasa, hiduplah terus sendirian, Sivali.”

Ketika mendengarnya, ratu berkata, “Saya sejak kini tidak lagi memiliki hubungan dengan Raja Mahajanaka;” dan karena tidak mampu mengendalikan kesedihannya, ia memukuli dadanya dengan kedua tangan dan jatuh tak sadarkan diri [68] di jalan. Bodhisatta, mengetahui ia tidak sadarkan diri, masuk ke dalam rimba, setelah dengan saksama menghapus jejak kakinya. Para menteri datang dan memerciki tubuh ratu dengan air dan menggosok tangan dan kakinya, dan akhirnya ratu siuman.

Ratu bertanya, “Di mana raja?” “Tidakkah Anda tahu?” tanya mereka. “Cari dia!” jerit ratu. Namun meski mereka berlari ke sana kemari mereka tidak menemukannya. Sehingga ratu begitu berduka, dan setelah membangun stupa di tempat ia berdiri, ia memberikan persembahan bunga dan wewangian, lalu kembali. Bodhisatta memasuki wilayah Himavat, dan dalam tempo tujuh hari ia menyempurnakan kemampuan dan pencapaian adibiasa, dan ia tidak lagi kembali ke alam manusia. Ratu juga mendirikan stupa di tempat-tempat raja bercakap-cakap dengan pembuat panah, dengan gadis kecil, dan tempat ia makan daging, tempat ia bercakap-cakap dengan Migajina dan Narada, dan memberikan persembahan dengan bunga dan wewangian; dan kemudian, dikelilingi pasukan, ia memasuki Mithila dan mengadakan penobatan putranya di kebun mangga, dan memintanya memasuki kota bersama pasukan. Namun ia sendiri, setelah mengikuti kehidupan pertapaan seorang rishi, berdiam dalam taman itu dan melatih upacara persiapan untuk melakukan meditasi mistik hingga ia mencapai tahapan konsentrasi penyerapan dan dipastikan lahir di alam brahma.

Guru, saat pelajaran-Nya berakhir, berkata: “Ini bukanlah pertama kalinya Tathagata melakukan pelepasan agung: Ia melakukannya juga sebelumnya.” Usai berkata demikian, Beliau mengidentifikasi kisah kelahiran itu: “Saat itu dewi laut adalah Uppalavanna, Narada adalah Sariputta, Migajina adalah Moggallana, gadis kecil adalah putri Khema, pembuat panah adalah Ananda, Sivali adalah ibu Rahula, Pangeran Dighavu adalah Rahula, kedua orang tua adalah anggota kerajaan, dan Saya sendiri adalah Raja Mahajanaka.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com