Sariputta | Suttapitaka | Muga-Pakkha Jataka Sariputta

Muga-Pakkha Jataka

Mūga­pak­kha­jātaka (Ja 538)

“Jangan Tunjukkan Kecerdasan”, dan seterusnya.

Kisah ini diceritakan Guru di Jetavana mengenai pelepasan agung. Suatu hari para bhikkhu duduk di Balairung Kebenaran. Mereka berbincang dan memuji pelepasan agung Yang Penuh Berkah. Ketika Guru datang dan menanyakan apa topik pembicaraan ketika para bhikkhu tengah duduk berdiskusi di sana. Setelah mendengar apa topik pembicaran mereka, Beliau berkata, “Tidak, para bhikkhu, pelepasan-Ku terhadap dunia, setelah meninggalkan kerajaan-Ku, tidaklah luar biasa manakala Aku telah sepenuhnya melatih kesempurnaan; karena sebelumnya, bahkan ketika kebijaksanaan-Ku masih belum matang, dan selagi Aku masih berupaya meraih kesempurnaan, Aku meninggalkan kerajaan-Ku dan melepaskan keduniawian.” Kemudian atas permintaan mereka, la menceritakan kepada para bhikkhu sebuah kisah dari masa lampau.
Suatu ketika, Raja Kasiraja memerintah dengan arif di Benares. Beliau memiliki enam belas ribu orang istri, namun tak seorang pun yang mengandung baik putra ataupun putri. Rakyat berkumpul seperti dalam kisah Kusa Jataka2, dan berkata, “Raja kami tidak memiliki putra untuk meneruskan silsilahnya;” lalu mereka memohon raja agar berdoa meminta putra. Raja memerintahkan enam belas ribu istrinya untuk berdoa meminta putra; namun meski mereka memuja rembulan dan dewa-dewa lainnya serta berdoa, mereka tidak mendapat apa pun.

Lalu permaisuri utamanya Candadevi, putri Raja Madda, yang mendedikasikan dirinya dalam melakukan kebajikan, dimintai raja untuk juga berdoa meminta putra. Maka, pada hari purnama, ia mengambil ikrar uposatha, dan selagi berbaring di peraduan kecil, sambil merenungi hidupnya yang bajik, ia melakukan pernyataan kebenaran dengan ucapan ini, “Jika saya tidak pernah melanggar disiplin moral, oleh kebenaran dari pernyataan ini semoga seorang putra terlahir bagi saya.”

Melalui kekuatan keluhurannya, kediaman Sakka menjadi panas. Sakka, setelah merenungi dan memastikan musababnya, mengatakan, “Candadevi meminta seorang putra, aku akan memberinya seorang putra;” maka, ketika ia mencari-cari putra yang sesuai, ia melihat Bodhisatta. Saat itu, Bodhisatta setelah bertakhta selama dua puluh tahun di Benares, telah terlahir ulang di Neraka Ussada tempat ia menderita selama delapan puluh ribu tahun, dan kemudian telah terlahir ulang di alam tiga puluh tiga dewa, dan setelah berdiam di sana sampai kurun usianya, ia meninggal dari sana dan berniat pergi ke alam dewa yang lebih tinggi.

Sakka naik menemuinya dan berkata, “Sahabat, jika Anda lahir di dunia manusia, Anda akan sepenuhnya melatih kesempurnaan dan banyak umat manusia akan mendapat keuntungan; sekarang ada permaisuri utama Kasiraja, Canda, yang berdoa meminta seorang putra, mohon lahirlah ke dalam rahim permaisuri.” Bodhisatta menyetujui, dan sambil ditemani lima ratus orang dewa, Ia turun dan dikandung dalam rahim, sementara dewa-dewa lainnya dikandung dalam rahim istri-istri para menteri raja.

Rahim ratu tampak seperti dipenuhi permata; ketika permaisuri menyadarinya, ia menceritakannya kepada raja, yang segera memerintahkan semua upaya diambil untuk keselamatan anak dalam kandungan itu; dan akhirnya ratu melahirkan seorang putra yang memiliki tanda-tanda agung.

Pada hari yang sama, lima ratus putra bangsawan dilahirkan di rumah para menteri. Pada saat itu, raja tengah duduk di singgasananya, dikelilingi para menterinya, ketika datang kabar, “Oh Baginda, seorang putra telah lahir bagi Anda;” saat mendengarnya, kasih sayangnya sebagai orang tua muncul, dan menembus kulit hingga ke sumsum tulangnya; sukacita bangkit dalam dirinya dan hatinya menjadi riang. Ia bertanya kepada para menterinya, “Apakah kalian gembira akan kelahiran putra saya?” “Apa yang Baginda maksud?” jawab mereka, “kami sebelumnya tidak berdaya, kini kami mendapat pertolongan, kami telah mendapat seorang junjungan.”

Raja memberikan perintah kepada panglima besarnya, “Pengikut harus disiapkan bagi putra saya, cari tahu berapa banyak bangsawan yang lahir hari ini di rumah para menteri.” Panglima besar melihat lima ratus telah lahir dan pergi memberitahunya kepada raja. Raja mengirimkan busana bangsawan sebagai tanda kehormatan kepada lima ratus putra bangsawan yang baru lahir, dan ia juga mengirimkan lima ratus orang dayang. Tambah lagi, ia memberikan enam puluh empat orang dayang untuk Bodhisatta, semuanya bebas dari kekurangan seperti terlalu tinggi, dan sebagainya, dengan payudara tidak melorot, dan penuh dengan susu manis. Jika seorang anak minum susu, sambil duduk di paha seorang dayang yang terlalu tinggi, maka lehernya akan menjadi terlalu panjang; jika ia duduk di paha dayang yang terlalu pendek, maka tulang bahunya akan menjadi kecil; jika dayangnya terlalu kurus, maka paha bayi itu akan sakit; jika terlalu gemuk, bayi itu kakinya akan melengkung seperti busur; tubuh dayang berkulit sangat gelap terlalu dingin, yang berkulit sangat putih terlalu panas; anak yang minum susu dari dayang dengan payudara melorot, akan memiliki ujung hidung yang pesek; beberapa dayang memiliki susu yang masam, yang lainnya pahit, dan sebagainya. Karena itu, menghindari semua kekurangan ini, raja menyediakan enam puluh empat perawat yang semuanya memiliki susu manis dan tanpa kekurangan-kekurangan ini; dan setelah memberikan penghormatan besar kepada Bodhisatta, beliau memberikan anugerah kepada ratu. Ratu menerimanya dan mengingatnya baik-baik.

Pada hari pemberian nama anak, raja dan ratu melakukan penghormatan besar kepada para brahmana yang membaca berbagai pertanda yang berbeda, dan bertanya apakah ada bahaya yang mengancam. Para brahmana, menyaksikan betapa luar biasanya tanda-tanda Bodhisatta, menjawab, “Baginda, pangeran memiliki semua tanda kemujuran masa depan, ia mampu memerintah tidak hanya satu daratan namun seluruh empat daratan, tidak ada bahaya yang terlihat.” Raja, merasa senang, ketika mencanangkan nama putranya, memberinya nama Temiya-kumaro, karena pada hari lahirnya, turun hujan di seluruh Kerajaan KasI dan ia lahir dalam keadaan basah.

Ketika ia berumur satu bulan, mereka mendandaninya dan membawanya kepada raja dan raja setelah melihat anaknya yang terkasih, memeluknya dan menaruhnya di paha, dan duduk bermain dengannya. Pada saat itu, empat orang pencuri dibawa menghadap raja; yang satu ia berikan hukuman seribu kali cambukan yang berbalut duri, yang lainnya diberikan hukuman dipenjara dan dirantai, yang ketiga dipukuli dengan tombak, dan yang keempat dihukum ditusuk tembus.

Bodhisatta, mendengar kata-kata ayahnya, menjadi takut dan berpikir, “Ah! Ayahku, karena menjadi seorang raja, akan menerima derita karena perbuatan buruk, yang membawanya masuk ke neraka.” Keesokan harinya, mereka membaringkannya di atas peraduan mewah di bawah naungan sebuah payung putih. Lalu ia terbangun dari tidur sejenak. Ketika membuka matanya ia melihat payung putih dan kemewahan kerajaan, dan rasa takutnya makin bertambah; dan ketika ia merenungi “dari mana aku sampai bisa datang ke istana ini?” oleh ingatannya akan kelahiran-kelahirannya sebelumnya, ia ingat bahwa ia pernah datang dari alam para dewa, bahwa sebelum itu ia telah menderita di neraka, dan sebelum itu ia pernah menjadi raja di kota ini pula.

Ketika ia merenung sendiri, “Aku dahulu menjadi raja selama dua puluh tahun, kemudian aku menderita selama delapan puluh ribu tahun dalam Neraka Ussada, dan kini sekali lagi aku lahir dalam rumah para perampok ini, dan ayahku, ketika empat orang pencuri dibawa menghadapnya, mengutarakan ucapan keji yang pasti membawa ke neraka; jika aku menjadi raja, aku akan lahir lagi di neraka dan merasakan penderitaan besar di sana.” Ia merasakan bahaya yang sangat besar, dan ia berbaring sambil berpikir bagaimana ia bisa meloloskan diri dari ‘rumah para perampok’ ini.

Kemudian sesosok dewi yang menghuni payung itu, yang dalam sebuah kelahiran lampau pernah menjadi ibunya, menghiburnya, “Janganlah takut, anakkn Temiya; jika engkau benar-benar ingin meloloskan diri, maka berpura-puralah cacat, meski sebenarnya tidak cacat; meski tidak tuli, berpura-puralah menjadi tuli, dan, meski tidak pandir, berpura-puralah pandir. Menunjukkan sifat-sifat ini, janganlah menunjukkan tanda-tanda kecerdasan.”

Demikian dewi itu mengucapkan bait pertama,

“Jangan tunjukkan kecerdasan, anakku, jadilah pandir di mata semua orang,

Berpuas dirilah menjadi cercaan semua orang, demikian akhirnya engkau pada akhirnya akan meraih tujuan.”

Merasa terhibur oleh kata-katanya, pangeran mengucapkan bait kedua,

“Wahai dewi, saya akan melakukan keinginan Anda, apa yang Anda perintahkan adalah yang terbaik,

Ibu, Anda menginginkan kesejahteraan bagi saya, Anda berhasrat melihat saya terberkahi.”

Sehingga demikianlah ia mempraktikkan tiga sifat ini. Raja, agar anaknya kehilangan sifat murungnya, meminta lima ratus putra bangsawan dibawa di dekatnya; anak-anak itu mulai menangis menjerit minta susu, namun Bodhisatta, karena takut akan neraka, merenungi bahwa mati kehausan lebih baik ketimbang menjadi raja, dan ia tidak menangis.

Para dayang mengabarkan hal ini kepada Ratu Canda dan ratu memberitahu kepada raja; raja memanggil beberapa brahmana yang piawai dalam pertanda dan berkonsultasi dengan mereka. Mereka menjawab, “Baginda, Anda harus memberikan pangeran susunya ketika waktu yang tepat sudah berlalu; ia akan kemudian menangis dan merengkuh buah dada dengan bersemangat dan minum sendiri.” Maka mereka memberinya susu setelah membiarkan waktu yang tepat berlalu, dan kadang-kadang membiarkan waktunya lewat sekali, dan kadang-kadang tidak memberikan susu kepadanya seharian. Namun, tersengat oleh rasa takut akan neraka, bahkan meski haus, ia tak menangis meminta susu.

Kemudian ibu atau dayang memberinya susu, meski ia tidak menangis memintanya, sambil mengatakan, “Bayi ini kelaparan.” Anak-anak lainnya menangis ketika tidak mendapatkan susu mereka, namun ia tidak menangis atau tidur atau menggelungkan tangan atau kakinya, ataupun ia mendengar suara. Kemudian, para dayangnya berpikir, “Tangan dan kaki orang cacat tidak seperti ini, bentuk tulang rahang para pandir tidak seperti ini, susunan telinga tuna rungu tidak seperti ini; pasti ada alasan untuk semua ini, mari kita memeriksanya.” Maka mereka bertekad mengujinya dengan susu, sehingga selama satu hari penuh mereka tidak memberinya susu; namun, meski demikian haus, ia tidak mengeluarkan suara meminta susu. Kemudian ibunya mengatakan, “Anakku kelaparan, berikanlah ia susu,” dan ia menyuruh mereka memberinya susu.

Demikianlah mereka menghabiskan waktu setahun mengujinya dengan menyusuinya secara berkala, namun mereka tidak menemukan kelemahannya. Kemudian sambil berkata, “Anak-anak lain menyukai kue dan makanan enak, kita akan mengujinya dengan ini;” mereka menaruh lima ratus anak di sekitarnya dan membawa berbagai makanan pilihan dan menaruhnya di dekat Bodhisatta, dan menyuruh mereka mengambil makanan yang mereka sukai, lalu dayang-dayang ini bersembunyi. Anak-anak lainnya bertengkar dan saling memukul dan merebut kue-kue dan memakan mereka, namun Bodhisatta berkata kepada dirinya sendiri, “Wahai Temiya, makanlah kue dan makanan lezat jika kamu menginginkan neraka,” sehingga dalam rasa takutnya akan neraka, ia tidak melirik kue dan makanan.

Demikian meski para dayang mengujinya dengan kue dan makanan enak selama setahun penuh mereka tidak menemukan kelemahannya. Kemudian mereka berkata, “Anak-anak menyenangi berbagai jenis buah,” dan mereka membawa semua jenis buah dan mencobainya; anak-anak lain berebut dan makan buah, namun ia tidak melirik mereka, dan demikian selama setahun penuh mereka mencobainya dengan berbagai jenis buah. Kemudian mereka berkata, “Anak-anak lain senang dengan mainan;” maka mereka menaruh emas dan patung lainnya seperti gajah, dan sebagainya, di dekatnya; anak-anak lainnya akan mengambil mainan seakan-akan mereka rampasan perang, namun Bodhisatta tidak melirik mainan itu, dan demikian selama setahun penuh mereka mencobainya dengan mainan.

Kemudian mereka berkata, “Ada makanan khusus bagi anak-anak berumur empat tahun, kita akan mencobainya dengan itu;” maka mereka membawa semua jenis makanan; anak-anak lain meremukkan makanan itu menjadi berkeping dan memakannya; namun Bodhisatta berkata kepada dirinya sendiri, “Wahai Temiya, tak terhitung banyaknya kelahiran lampau saat kamu tidak memperoleh makanan,” dan karena takut akan neraka ia tidak melirik makanan itu; sampai akhirnya ibundanya, dengan hatinya yang nyaris tercabik-cabik pilu, memberi Temiya makan dengan tangannya sendiri.

Kemudian mereka mengatakan, “Anak-anak berumur lima tahun takut api, kita akan mengujinya dengan itu;” maka, setelah membangun rumah besar dengan banyak pintu, dan menutupinya dengan daun nyiru, mereka menaruhnya di tengah-tengah dikelilingi oleh anak-anak lain dan membakar rumah itu. Anak-anak lainnya berlari sambil menjerit-jerit, namun Bodhisatta mengatakan kepada dirinya bahwa ini lebih baik ketimbang siksa di neraka, dan tetap diam saja seakan tidak sadar sama sekali, lalu ketika api menjalar mendekatinya mereka membopongnya menjauh.

Kemudian para dayang berkata, “Anak berumur enam tahun takut gajah liar;” sehingga mereka meminta seekor gajah dilatih, dan, ketika mereka telah mendudukkan Bodhisatta dengan anak-anak lainnya di halaman istana, mereka melepas gajah itu. Datanglah gajah itu menerompet dan memukuli tanah dengan belalainya dan mengamuk menebar ngeri; anak-anak lainnya melarikan diri ke segala arah demi menyelamatkan hidup mereka, namun Bodhisatta, takut akan neraka, duduk di tempat, dan hewan yang telah dilatih dengan baik ini melilitnya dan mengangkatnya ke atas dan ke bawah, lalu pergi tanpa melukainya.

Ketika ia berumur tujuh tahun, selagi ia duduk di antara teman-temannya, mereka melepaskan beberapa ekor ular yang taringnya telah dicabut, dan mulutnya telah diikat; anak-anak lain lari menjerit-jerit, namun Bodhisatta, ingat akan rasa takut akan neraka, tetap bergeming, sembari berkata, “Lebih baik mati digigit ular ganas;” kemudian ular-ular itu menyelubungi sekujur tubuhnya dan membentangkan tudung kepala mereka di atas kepala Bodhisatta, namun ia tetap bergeming. Demikian meski mereka mengujinya berulang kali, mereka tidak bisa menemukan kelemahannya.

Kemudian mereka berkata, “Anak laki-laki senang akan acara sosial;” maka, mereka menaruhnya di halaman istana bersama lima ratus anak, dan memanggil perkumpulan ronggeng untuk berkumpul; bocah lain melihat pertunjukan ronggeng, berteriak, “Bagus!” dan tertawa keras, namun Bodhisatta, berkata kepada dirinya bahwa jika ia lahir di neraka tidak akan ada satu kejap pun saat tawa atau sukacita. Ia tetap bergeming sambil merenungi tentang neraka, dan tidak pernah melihat tarian di depannya.

Demikian mereka mencobainya berulang kali dan tidak menemukan titik lemah dalam dirinya. Kemudian mereka berkata, “Kita akan mengujinya dengan pedang;” maka mereka menaruhnya bersama bocah lainnya di halaman istana, dan selagi mereka bermain, seorang pria bergegas mendatangi mereka, mengeluarkan pedang seperti kristal, berteriak, dan melompat-lompat, sambil berkata, “Mana anak setan Raja KasI ini? Aku akan penggal kepalanya.” Anak-anak lainnya kabur, menjerit ketakutan melihat orang ini, namun Bodhisatta setelah merenungi kengerian akan neraka, duduk seakan tidak sadar. Pria itu, meski menggosokkan pedang di kepalanya dan mengancam memenggalnya, tidak bisa menakutinya dan akhirnya pergi. Demikianlah meski mereka mencobainya berulang kali, mereka tidak bisa menemukan titik lemahnya.

Ketika ia berumur sepuluh tahun, demi menguji apakah ia benar-benar tuli, mereka menggantungkan tirai di sekitar peraduan dan membuat lubang di empat sisinya dan memasang peniup sangkakala di bawahnya tanpa terlihat olehnya. Seketika dan bersamaan mereka meniup sangkakala, terjadi letupan suara; namun para menteri, meski mereka berdiri di empat sisi dan mengawasi melalui lubang di tirai, tidak bisa selama sepanjang hari melihat adanya kebingungan dalam dirinya, atau adanya pikiran atau gangguan di tangan atau kaki, ataupun kejut satu pun.

Maka setelah setahun berlalu, mereka mengujinya selama setahun lagi dengan gendang; namun bahkan meski mereka mencobainya berulang kali, mereka tidak bisa menemukan titik kelemahannya. Kemudian mereka berkata, “Kita akan mengujinya dengan lampu;” maka pada waktu malam, demi melihat apakah ia menggerakkan tangan atau kaki dalam kegelapan mereka menyalakan beberapa lampu dalam guci, menciptakan pada saat bersamaan sebuah nyala terang, dan mengawasi perilakunya namun meski mereka berulang kali mengujinya demikian selama setahun penuh, mereka tidak pernah melihatnya bergeming bahkan sekali saja. [8] Kemudian, mereka berkata, “Kita akan mengujinya dengan gula;” maka mereka membalur seluruh tubuhnya dengan gula dan menaruhnya di tempat yang dipenuhi lalat dan mengusik lalat itu; lalat menutupi tubuhnya dan menggigitnya seakan mereka menembusnya dengan jarum, namun ia tetap bergeming seakan benar-benar tidak peduli; demikian mereka mencobainya selama setahun, namun tidak menemukan titik kelemahannya.

Kemudian ketika ia berusia empat belas tahun, mereka berkata, “Pemuda ini sekarang telah terbiasa menyenangi apa yang bersih dan tidak suka akan apa yang tidak bersih, kita akan mencobainya dengan apa yang tidak bersih;” dari sejak saat itu mereka tidak membiarkannya mandi atau membersihkan mulutnya atau melakukan pembersihan tubuh apa pun, sampai ia menjadi momok yang menyedihkan, dan ia terlihat seperti tahanan yang baru dibebaskan. Ketika ia berbaring, dikerubungi lalat, orang-orang datang dan mengejeknya, “Wahai Temiya, kamu sudah besar sekarang, siapakah yang mau menungguimu? Apa kamu tidak malu? Mengapa kamu berbaring di sana? Bangkit dan bersihkanlah dirimu.” Namun ia, mengingat akan siksaan di neraka Gutha, berbaring diam dalam kekotorannya; dan meski mereka mengujinya berulang kali selama setahun, mereka tidak menemukan kelemahan dalam dirinya.

Kemudian mereka menaruh bara api di bawah peraduannya sambil berkata, “Ketika ia terganggu oleh panas, mungkin ia tidak akan mampu menanggung rasa sakit dan akan menunjukkan tanda-tanda menggeliat;” luka lecur tampak bermunculan di tubuhnya, namun Bodhisatta memasrahkan dirinya sambil berkata, “Api neraka Avici menyala hingga seratus yojana, api ini seratus kali, seribu kali lebih baik ketimbang itu,” maka ia tetap bergeming. Kemudian orang tuanya, dengan hati hancur, menyuruh orang-orang kembali dan membawanya keluar dari api, dan memohon kepadanya, “Wahai Pangeran Temiya, kami tahu bahwa Anda sama sekali tidak cacat sejak lahir, karena orang cacat tidak memiliki kaki, wajah, telinga seperti yang Anda miliki; kami memperolehmu sebagai anak kami setelah banyak doa, janganlah kini menghancurkan kami, namun selamatkanlah kami dari celaan semua raja JambudTpa;” namun, meski diminta demikian oleh mereka, ia tetap berbaring bergeming, seakan ia tidak mendengar mereka. Kemudian orang tuanya pergi sambil menangis; dan kadang-kadang ayah dan ibunya datang sendirian, dan memohon kepadanya; dan demikian mereka mencoba berulang kali selama setahun penuh, namun mereka tidak menemukan titik lemah dalam dirinya.

Kemudian ketika ia berusia enam belas tahun mereka menimbang, “Apakah ia cacat, tuli, atau pandir, namun tak ada seorang pun, yang hahkan ketika mereka dewasa, tidak mendapatkan kesenangan dalam apa yang menyenangkan dan membenci apa yang tidak menyenangkan; ini semua alami dalam waktunya seperti mekarnya bunga. Kita akan mengadakan sandiwara dipentaskan di hadapannya dan akan mencobainya seperti ini.” Maka mereka memanggil beberapa perempuan yang penuh keanggunan, dan secantik putri para dewa, dan mereka menjanjikan siapa pun dari mereka yang bisa membuat pangeran tertawa, atau bisa membangkitkan nafsunya akan menjadi permaisuri utamanya. Kemudian mereka memandikan pangeran dalam air wangi dan didandani seperti putra dewa, dan dibaringkan di peraduan kerajaan yang disiapkan dalam kamar kerajaan seperti kediaman dewa, dan memenuhi ruangan itu dengan campuran aroma dedaunan wangi, untaian bunga, dupa, balsam, minuman keras, dan macam-macam. Setelah itu mereka menyingkir. Sementara itu, para perempuan ini mengelilinginya dan berupaya keras menyenangkannya dengan tarian dan nyanyian dan segala jenis kata-kata yang menyenangkan; namun ia melihat mereka dengan kebijaksanaan sempurna dan menghentikan napas masuk dan napas keluarnya karena takut mereka akan menyentuh tubuhnya, sehingga tubuhnya menjadi cukup kaku. Karena tidak mampu menyentuhnya, mereka berkata kepada orang tuanya, “Seluruh tubuhnya kaku, ia bukan pria, melainkan ia pastilah setan.” Demikian orang tuanya, meski mereka mengujinya berulang kali, tidak menemukan kelemahan dalam dirinya.

Demikianlah meski mereka mengujinya selama enam belas tahun dengan enam belas ujian besar dan banyak ujian kecil lainnya, mereka tidak mampu melihat titik lemah dalam dirinya. Kemudian raja, penuh kekesalan, memanggil para peramal nasib dan berkata, “Ketika pangeran lahir kalian mengatakan bahwa ia memiliki tanda kemujuran dan keagungan, ia tidak memiliki perintang yang membahayakan; namun ia lahir cacat, tub, dan pandir; kata-kata Anda tidak sesuai dengan kenyataan.” “Raja Agung,” jawab mereka, “tidak ada yang luput dari perhatian guru-gurumu, namun kami mengetahui betapa Baginda akan berduka jika kami memberitahu Anda bahwa anak yang dinanti setelah begitu banyak doa kerajaan akan penuh nasib buruk; maka kami tidak mengatakannya.” “Lalu, apa yang harus dilakukan sekarang?” “Baginda, jika pangeran tetap berada di rumah ini, tiga bahaya akan mengancam, yaitu terhadap nyawa Anda atau kekuasaan raja Anda, atau kepada ratu; karena itu cara yang terbaik adalah memasangkan kuda-kuda yang sial kepada kereta yang tidak mujur, dan menaruh pangeran di dalamnya, melepasnya lewat gerbang barat dan menguburnya di tanah pekuburan6.”

Raja setuju karena takut akan ancaman bahaya itu. Ketika Ratu CandadevI mendengar berita itu ia mendatangi raja, “Baginda, Anda memberi saya anugerah dan saya tetap menyimpannya tanpa pernah saya pinta, sekarang berikanlah anugerah kepada saya.” “Ambillah anugerah Anda, wahai Ratu.” “Berikanlah kerajaan kepada putra saya.” “Saya tak bisa, wahai Ratu; putra Anda penuh nasib buruk.” “Jika Baginda tidak bisa memberikan takhta demi menyelamatkan hidupnya, maka berikanlah kepadanya waktu tujuh tahun lagi.” “Saya tak bisa, wahai Ratu.” “Kalau begitu berikanlah kepadanya enam tahun, lima, empat, tiga, dua, satu tahun. Berikanlah ia tujuh bulan, enam, lima, empat, tiga, dua, satu bulan, setengah bulan.” “Saya tidak bisa, wahai Ratu.” “Kalau begitu berikanlah kepadanya waktu tujuh hari.” “Baiklah,” kata Raja, “ambillah anugerah Anda.”

Maka ratu mendandani putranya, dan kota dihias dengan meriah, sebuah pernyataan dikumandangkan dengan tabuhan gendang, “Inilah masa pemerintahan Pangeran Temiya,” dan ia didudukkan di atas seekor gajah dan dibawa dengan penuh kemegahan mengelilingi kota, dengan sebuah payung putih menaungi kepalanya. Ketika ia kembali, dan dibaringkan di peraduan kerajaan, ratu memohon kepadanya sepanjang malam, “Wahai anakku, Pangeran Temiya, demi dirimu selama enam belas tahun aku telah menangis dan tidak tidur; sekarang mataku kering, dan hatiku ditembus kesedihan; aku tahu bahwa engkau tidak benar-benar cacat, tuli, atau pandir, jangan membuatku benar-benar patah hati.”

Dengan cara ini ratu memohon kepadanya hari demi hari, selama lima hari. Pada hari ke-6, raja memanggil kusir kereta bernama Sunanda dan berkata kepadanya, “Besok pagi-pagi sekali, ikatkan beberapa kuda yang memiliki pertanda sial ke kereta yang tidak mujur, dan taruh pangeran di dalamnya, dan bawa dia keluar melalui gerbang barat dan gali lubang dengan empat sisinya di tanah pekuburan; lemparkan pangeran ke dalamnya, dan hancurkan kepalanya dengan sisi belakang sekop dan bunuh dia, kemudian sebarkan tanah meliputinya dan buatlah gundukan tanah di atasnya dan setelah membersihkan dirimu, kembalilah kemari.” Pada malam ke-6 itu ratu memohon kepada pangeran, “Anakku, Raja KasT telah memberi perintah agar engkau dikubur besok di tanah pekuburan, besok engkau pasti akan mati, Putraku.”

Ketika Bodhisatta mendengar hal ini, ia berpikir, “Wahai Temiya, enam belas tahun upayamu telah sampai pada akhirnya,” dan ia bergembira; namun hati ibunya seakan-akan terbelah menjadi dua. Namun ia tidak berbicara kepadanya karena khawatir keinginannya tidak terpenuhi. Pada akhir malam itu, pagi-pagi sekali, Sunanda si kusir kereta menyiapkan kereta kuda di depan gerbang, dan memasuki kamar kerajaan ia berkata, “Ratu, janganlah marah, ini adalah perintah raja.” Sambil berucap demikian, karena ratu berbaring memeluk putranya, kusir mendorongnya dengan punggung tangannya dan mengangkat pangeran seperti karangan bunga dan pergi dari istana. Ratu ditinggalkan dalam kamarnya, memukuli dadanya dan meratap dengan suara keras. Kemudian Bodhisatta melihat ibunya dan merenung, “Jika aku tidak bicara, ia akan mati dengan hati hancur,” namun meski ia hendak bicara, ia merenung, “Jika aku bicara, upayaku selama enam belas tahun akan sia-sia; namun jika aku tidak bicara, aku akan menyelamatkan7 diriku dan orang tuaku.”

Kemudian kusir mengangkat dirinya ke dalam kereta dan berkata, “Aku akan mengemudi kereta menuju gerbang barat.” Ia mengemudikannya ke gerbang timur istana, dan roda kereta menghantam serambi gerbang. Bodhisatta saat mendengar suara itu berkata, “Keinginanku telah mencapai tujuannya,” dan hatinya menjadi makin gembira. Ketika kereta telah pergi meninggalkan kota, kereta itu menempuh tempat sejauh tiga yojana dengan kekuatan para dewa, dan di ujung sebuah hutan yang tampak bagi kusir kereta itu seperti tanah pekuburan. Maka, berpikir bahwa itu adalah tempat yang sesuai, ia meminggirkan kereta kuda dari jalan, dan menghentikannya di tepi jalan tempat ia keluar dan membawa semua perhiasan Bodhisatta dan memasukkannya menjadi satu buntalan dan meletakkannya, kemudian mengambil sekop dan mulai menggali lubang.

Kemudian Bodhisatta berpikir, “Inilah waktunya bagiku melakukan upaya; selama enam belas tahun aku tidak pernah menggerakkan tangan atau kaki, apakah mereka masih ada dalam kendaliku atau tidak?” Maka ia bangkit dan menggosokkan tangan kanannya dengan tangan kirinya, tangan kirinya dengan tangan kanannya, dan kedua kakinya dengan kedua tangannya, dan bertekad turun dari kereta. Ketika kakinya menjejak, bumi naik seperti kantung kulit yang diisi udara dan menyentuh bagian belakang kereta; ketika ia telah turun, dan berjalan mondar-mandir selama beberapa kali, ia merasa bahwa ia memiliki kekuatan untuk berjalan sepanjang seratus yojana dengan cara ini dalam waktu satu hari.

Kemudian ia merenung, “Jika kusir ini hendak mencekalku, apa aku memiliki kekuatan untuk mengalahkannya?” Maka ia memegang bagian ujung buritan kereta dan mengangkatnya seakan-akan itu adalah mainan anak kecil, dan ia berkata kepada dirinya bahwa ia memiliki kekuatan untuk menandingi kusir kereta; ketika mencerapnya, sebuah keinginan muncul untuk menghias dirinya. Pada saat itu, istana Sakka menjadi panas. Sakka, mencerap alasannya, berkata, “Keinginan Pangeran Temiya telah mencapai akhirnya, ia ingin didandani, namun bagaimana mungkin ia didandani dengan perhiasan manusia?” dan ia memerintahkan Dewa Visakamma untuk mengambil perhiasan surgawi dan mendandani Putra Raja Kasl. Maka pergilah Visakamma dan membalut pangeran dengan sepuluh ribu potong kain dan mendandaninya seperti Sakka dengan perhiasan surgawi dan manusia. Pangeran, yang memiliki semua kemegahan raja para dewa, pergi ke lubang yang tengah digali kusir kuda, dan berdiri di ujungnya mengucapkan bait ketiga:

“Mengapa demikian buru-buru, wahai kusir? Dan untuk siapa Anda menggali lubang itu?

Jawablah pertanyaan saya dengan jujur, apa yang Anda ingin perbuat dengan lubang itu?”

Kusir kereta terus menggali lubang tanpa melihatnya dan mengucapkan bait keempat:

“Raja kami menyadari bahwa putra tunggalnya cacat dan pandir, seorang dungu; dan saya diperintahkan menggali lubang ini dan mengubur putranya sampai tak terlihat lagi dari pandangan.”

Bodhisatta menjawab:
“Saya tidak tuli ataupun pandir, sahabat, bukan cacat, ataupun saya tak berdaya:

Jika dalam hutan ini Anda mengubur diri saya, maka Anda akan melakukan kejahatan besar.

Lihatlah tangan dan kaki saya, dan dengarlah suara saya dan apa yang saya katakan: jika dalam hutan ini Anda mengubur saya, maka Anda akan melakukan perbuatan buruk besar hari ini.”
Kemudian kusir berkata, “Siapa ini? Baru sejak saya datang kemari ia menjadi apa yang ia menjadi seperti apa yang ia gambarkan sendiri.” Maka ia meninggalkan pekerjaan menggali lubang dan melihat ke atas; dan melihat keindahan megah Bodhisatta dan tidak tahu apakah Bodhisatta dewa atau manusia, ia mengucapkan bait ini:

“Sesosok gandhabba, atau dewa, atau apakah Anda Sakka, penguasa segalanya?

Mohon beritahu, siapakah Anda; putra siapakah Anda? Bagaimana kami sebaiknya memanggil nama Anda?”

Kemudian Bodhisatta berbicara, menguak jati dirinya dan menyatakan ajaran,

“Bukanlah gandhabba ataupun dewa, ataupun saya8 adalah Sakka, penguasa segalanya; saya adalah putra Raja KasT yang hendak Anda kubur dengan kejam.

Saya adalah putra raja yang sama dengan yang, di bawah kekuasaannya, Anda layani dan hidup darinya, Anda akan melakukan perbuatan buruk besar hari ini jika Anda mengubur saya hidup-hidup.

Jika di bawah pohon saya duduk dan beristirahat selagi kerindangan dan keteduhannya ada9, dan jika Anda seorang pejalan, kusir, yang duduk dan beristirahat di bawah keteduhannya; jika di hutan ini Anda mengubur saya, perbuatan buruk besar akan menimpa kepala Anda.”

Namun meski Bodhisatta mengatakan hal ini, pria ini tidak memercayainya. Kemudian Bodhisatta bertekad meyakinkannya, dan membuat hutan bergema dengan suaranya disertai tepuk tangan para dewa, selagi ia menguncarkan sepuluh gatha yang menyatakan penghormatan akan sahabat.
“Ia yang setia kepada sahabatnya bisa berkelana jauh dan luas,

Banyak yang dengan gembira akan melayaninya, makanan baginya akan tersedia.

Apa pun negeri yang ia kelanai, dalam kota besar ataupun kota kecil,

Ia yang setia kepada sahabat-sahabatnya akan menemukan penghormatan dan reputasi.

Tidak ada perampok yang berani melukainya, tidak ada khattiya yang akan membencinya;

Ia yang setia kepada sahabat-sahabatnya meloloskan diri dari semua musuh.

Disambut oleh semua orang ketika ia kembali, tidak ada perhatian yang mengikis dadanya,

la yang setia kepada sahabat-sahabatnya adalah yang terbaik di antara semua saudara.

Ia menghormati dan juga dihormati, penghormatan diraih dan ia berikan;

Ia yang setia kepada sahabat-sahabatnya meraih balasan setimpal dari semuanya.

Ia dihormati orang Iain yang kepada mereka ia berikan penghormatan sepantasnya,

Ia yang setia kepada sahabat-sahabatnya memenangkan reputasi dan pujian bagi dirinya.

Seperti api ia menyala terang, dan memancarkan cahaya luhur,

Ia yang setia kepada sahabat-sahabatnya akan bersinar terang dengan kemegahan baru.

Ternaknya pasti akan berlipat ganda, benihnya pasti akan tumbuh,

Ia yang setia kepada sahabat-sahabatnya pasti akan menuai semua yang ia tabur.

Jika dari puncak gunung ia jatuh atau dari pohon atau tebing,

Ia yang setia kepada sahabat-sahabatnya pasti akan menemukan pijakan yang kukuh.

Pohon banyan tegak melawan angin, tegak dengan dahan-dahannya mengakar bulat,

Ia yang setia kepada sahabat-sahabatnya menghancurkan seluruh kemurkaan lawan-lawannya.”

Bahkan meski ia telah membabarkan demikian, Sunanda tidak mengenalinya dan bertanya siapa dirinya; namun ketika ia mendekati kereta, bahkan sebelum ia melihat kereta dan perhiasan yang sebelumnya dipakai pangeran, ia mengenalinya ketika ia melihatnya, dan ia bersujud di kakinya dan merangkapkan kedua tangannya sambil mengucapkan bait ini:
“Marilah, saya akan mengantar Anda kembali, Pangeran, ke rumah Anda yang sepantasnya;

Dudukilah takhta dan bertindaklah sebagai raja, mengapa berkeliaran di hutan ini?”

Bodhisatta menjawab:

“Saya tidak menginginkan takhta atau kekayaan, saya tidak menginginkan sahabat atau saudara,

Karena hanya dengan perbuatan jahat sajalah takhta itu bisa saya raih.”

Kusir berkata:

“Secawan penuh sambutan, wahai Pangeran, akan disiapkan untuk Anda:

Dan kedua orang tua Anda dalam sukacita akan memberikan hadiah besar kepada saya.

Permaisuri dan selir kerajaan, Pangeran, vaisya dan brahmana bersama-sama,

Hadiah-hadiah besar akan mereka berikan kepada saya dengan penuh kepuasan, tanpa merasa enggan.

Mereka yang mengendarai gajah dan kereta, prajurit pejalan kaki, pengawal kerajaan,

Ketika Anda kembali ke rumah lagi, pasti akan memberikan saya hadiah.

Rakyat pedesaan dan kota akan berkumpul penuh sukacita,

Dan ketika mereka melihat pangeran mereka kembali, pasti memberikan hadiah kepada saya.”

Bodhisatta berkata:
“Oleh orang tua, saya ditinggal tanpa harapan, oleh kotaraja dan kota,

Para pangeran meninggalkan saya menjemput takdir sendiri, saya tidak memiliki rumah sendiri.

Ibu merelakan saya pergi, ayah membuang saya,

Sendirian di dalam hutan liar ini, saya mengambil ikrar menjadi petapa.”

Ketika Bodhisatta mengingat kebajikannya sendiri, sukacita bangkit dalam batinnya dan dalam kegiurannya ia mengucapkan bait kemenangan:

“Bahkan bagi mereka yang tidak terburu-buru, hasrat hati menuai keberhasilan;

Ketahuilah, wahai kusir, bahwa hari ini saya meraih kesucian yang matang.

Bahkan oleh mereka yang tidak terburu-buru, tujuan terakhir telah diraih;

Dimahkotai kesucian matang, saya pergi, sempurna dan tidak takut akan apa pun.”

Kusir menjawab:

“Kata-kata Anda, Baginda, adalah menyenangkan, terbuka dan jernih ucapan Anda;

Mengapa Anda pandir, ketika melihat ayah dan ibu berada di dekat Anda?”

Bodhisatta menjawab:

“Saya tidak cacat karena tidak memiliki sendi, ataupun tub karena tidak bertelinga,

Saya tidak pandir karena tidak berlidah seperti yang sekarang jelas engkau lihat.

Dalam kelahiran lampau saya menjadi raja, seperti yang saya ingat dengan jelas,

Namun ketika saya jatuh dari tampuk itu, saya menemukan diri saya berada dalam neraka.

Dua puluh tahun kemewahan saya lewatkan di atas singgasana,

Namun delapan puluh ribu tahun dalam neraka saya jalani untuk membayar perbuatan jahat itu.

Selera lampau saya akan kekuasaan kerajaan memenuhi hati saya dengan ketakutan;
Karena itu saya pandir meski melihat ayah dan ibuku di dekat saya.

Ayah membawa saya duduk di atas pangkuannya, namun ketika ia bermain dan mendekap saya,

Saya mendengar perintah keras yang ia berikan, “Segera bantai penjahat ini, belah tubuhnya hingga berkeping, pergilah, segera tembusi penjahat itu tanpa menunda.”

Mendengar ancaman seperti itu, lebih baik saya berupaya menjadi cacat dan dungu,

Dan berkubang tanpa daya dalam kotoran seperti seorang pandir dengan sukarela.

Mengetahui bahwa hidup paling hanya singkat dan dipenuhi penderitaaan,

Siapakah yang demi kepentingannya sendiri akan membiarkan amarahnya bangkit?

Siapakah yang kepada orang lain akan membiarkan dendamnya sendiri menyala,

Karena tidak memiliki kekuatan merengkuh kebenaran dan buta terhadap yang benar?”

Kemudian Sunanda merenung, “Pangeran ini, meninggalkan semua kemewahan kerajaan seakan-akan mereka bangkai membusuk, telah masuk ke dalam hutan, tidak goyah tekadnya untuk menjadi petapa, apa yang harus kulakukan terhadap hidup yang menyedihkan ini? Aku juga akan menjadi petapa bersamanya;” maka ia mengucapkan bait ini:
“Saya pun akan memilih hidup sebagai petapa bersama Anda;

Terimalah saya, wahai Pangeran, karena saya akan menjadi seperti Anda.”

Ketika diminta demikian, Bodhisatta merenung,

“Jika aku mengizinkannya segera masuk dalam hidup pertapaan, ayah dan ibuku tidak akan datang kemari dan mereka akan menderita kerugian, dan kuda serta kereta serta perhiasan akan hancur, dan kesalahan akan menjadi milikku, karena orang-orang akan berkata, ’la adalah setan, ia telah memangsa kusir kereta?’”

Maka, berkeinginan menyelamatkan dirinya sendiri dari kecaman dan memberikan kesejahteraan kepada orang tuanya, ia memercayakan kuda dan kereta serta perhiasan kepada kusir dan mengucapkan bait ini:

“Kembalikan kereta ini dahulu, saat ini, Anda bukanlah orang yang bebas;

Mereka berkata, bayarlah hutang Anda dahulu, baru kemudian mengambil ikrar petapa.”

Kusir itu berpikir dalam hati,

“Jika aku pergi ke kota sementara ia pergi ke tempat lain, maka ayah dan ibunya ketika mendengar kabar dariku pasti akan kembali bersamaku untuk menemuinya; dan jika mereka tidak menemukannya mereka akan menghukumku; maka aku akan memberitahunya keadaan yang akan kutemukan dan memintanya berjanji untuk tetap di sini.”

Maka ia mengucapkan dua bait:

“Karena saya telah melakukan permintaan Anda, Pangeran, saya mohon agar Anda berkenan melakukan apa yang akan saya katakan.

Tinggallah di sini sampai saya menjemput raja, tinggallah di sini sebagai berkah,

Beliau akan bersukacita ketika melihat wajah Anda.”

Bodhisatta menjawab:
“Baiklah, seperti yang Anda katakan, kusir;

Saya pun akan gembira melihat ayah saya di sini.

Pergi dan berikan salam untuk semua sanak saudara saya, dan berikanlah pesan khusus demi kepentingan orang tua saya.”

Kusir itu melaksanakan perintahnya. Ia merangkapkan kakinya dan, setelah memberikan penghormatan, memulai perjalanan seperti yang dipesankan gurunya.

Pada saat itu, Candadevi membuka jendela gerbang dan ketika ia bertanya-tanya apakah ada kabar mengenai putranya dan melihat ke jalan yang akan dilewati kusir ketika kembali, ia melihatnya kembali sendirian dan ratap tangisnya meledak.

Guru menggambarkannya seperti ini:

“Melihat kereta kosong dan kusir yang sendirian,

Mata ibunda dipenuhi air mata, dadanya dipenuhi ketakutan;

’Kusir kembali, anakku telah terbunuh;

Di sana ia terbaring, tanah kembali bercampur dengan tanah.

Sungguh sayang, musuh kami yang paling keji akan bergembira!

Melihat pembunuhnya kembali dengan selamat,

Dungu, cacat, ia bahkan tidak bisa menjerit sekali pun,

Terbaring di tanah ia bergeliat tanpa daya?

Tidakkah tangan dan kakinya memaksanya pergi,

Meski dungu dan tanpa daya, selagi ia terbaring di tanah?’”

Kusir berkata:
“Janjikanlah saya pengampunan, Baginda, atas kata-kata saya,

dan saya akan menceritakan segala yang saya lihat dan dengar.”

Ratu menjawab:

“Pengampunan saya janjikan untuk setiap kata-kata; Ceritakan lengkap apa pun yang Anda lihat atau dengar.”

Kemudian kusir kereta bicara:

“Tidaklah ia cacat, ia tidak tuli, ucapannya jernih dan bebas;

Ia berpura-pura demikian di rumah, karena rasa takut akan kekuasaan kerajaan.

Dalam kelahiran lampau yang ia ingat dengan jelas, ia memainkan peran sebagai raja,

Namun ketika ia jatuh dari tampuk itu ia menemukan dirinya berada dalam neraka.

Dua puluh tahun kemewahan ia lewatkan di atas takhta itu,

Namun delapan puluh ribu tahun di neraka untuk membayar perbuatan jahat itu,

Selera lampaunya akan takhta kerajaan memenuhi hatinya dengan rasa takut:

Demikian ia dungu meski ia melihat ayah dan ibunya di dekatnya.

Benar-benar sehat seluruh tubuhnya, tanpa cela, tinggi dan kekar,

Ucapannya jernih, dan kecerdasannya tidak tercela, ia menapaki jalan menuju keselamatan.

Jika Anda ingin melihat putra Anda, maka segera ikut bersama saya.

Anda akan melihat pangeran Temiya, sepenuhnya damai dan bebas.”

Namun ketika pangeran telah menyuruh kusir pergi, ia ingin mengambil ikrar petapa. Mengetahui keinginannya, Sakka memerintahkan Vissakamma, “Pangeran Temiya ingin mengambil ikrar petapa, pergi dan buatlah gubuk dedaunan untuknya, dan benda-benda kebutuhan bagi seorang petapa.” Vissakamma bergegas melakukan yang diperintahkan, dan dalam rerimbunan pepohonan sepanjang tiga yojana ia membangun sebuah gubuk pertapaan dilengkapi kamar pertapaan untuk malam hari dan kamar untuk siang hari, sebuah bak penyimpanan air, sebuah lubang pembuangan, dan pohon-pohon buah, dan ia menyiapkan semua benda kebutuhan petapa dan kemudian kembali ke tempatnya sendiri.
Ketika Bodhisatta melihatnya, ia mengetahui bahwa ini adalah pemberian Sakka; maka ia masuk ke dalam gubuk dan melepaskan pakaiannya dan mengenakan pakaian atas dan bawah dari kulit pohon warna merah, dan menyelempangkan kulit rusa hitam di salah satu pundak, dan mengikat rambutnya yang panjang, membawa galah di salah satu pundaknya, dan tongkat berjalan di tangan, ia pergi ke luar gubuk. Kemudian ia berjalan bolak balik, menunjukkan pakaian lengkap seorang petapa, dan berteriak dengan penuh kemenangan, “Oh bahagianya, oh bahagianya,” lalu kembali ke dalam gubuk; dan duduk di atas alas kasar ia memasuki lima kemampuan adibiasa. Kemudian, pergi ke luar pada malam hari dan mengumpulkan dedaunan dari pohon kara14 di dekat sana, ia mencelupkan mereka ke dalam wadah yang diberikan Sakka berisi air tanpa garam, mentega, atau rempah, dan memakan mereka seperti seakan makanan para dewa, dan kemudian, ia merenungi empat keadaan sempurna, ia bertekad berdiam di sana.

Sementara itu, Raja KasT, setelah mendengar kisah Sunanda, memanggil panglima utamanya dan memerintahkannya membuat persiapan untuk perjalanan. Ia bersabda:

“Ikatkan kuda-kuda kepada kereta, pasangkan tali kekang pada gajah dan datanglah;

Bunyikan sangkakala dan genderang kecil hingga jauh, dan suarakan gendang perunggu yang bersuara keras.

Biarkan suara tamtam nyaring mengisi udara, gendang berderum menaikkan gema manis, mintalah segenap isi kota ini mengikuti saya, saya pergi sekali lagi menemui putra saya.

Biarkan perempuan istana, semua pangeran, saudagar, dan brahmana,

Menyiapkan kereta kuda mereka, saya pergi menyambut kembali putra saya.

Biarkan semua penunggang gajah, pengawal istana, pasukan berkuda dan pejalan kaki,

Semuanya bersiap pergi, saya pergi menyambut kembali putra saya.

Biarkan rakyat desa dan kota berkumpul bersama di setiap jalan,

Semuanya bersiap pergi, saya pergi sekali lagi menemui putra saya.”

Para kusir kereta kemudian menyuruh memasang kuda ke kereta, dan setelah membawa kereta kuda ke gerbang istana mereka melapor kepada raja.
Guru menggambarkannya seperti demikian:

“Kuda-kuda Sindhu dari keturunan paling mulia berdiri dengan tali kekang terpasang di gerbang istana;

Para kusir kereta membawa kabar, ’Kereta, Baginda, menunggu kehadiran Baginda.’”

Raja berkata:

“Jangan bawa kuda-kuda lalai, jangan ada kuda lemah dalam barisan kita,”

(Mereka memberitahu para kusir, ’Pastikan jangan membawa kuda seperti itu.’)

Demikianlah perintah kerajaan dititahkan, dan seperti itulah para kusir mematuhi.

Raja, ketika ia pergi menemui putranya, mengumpulkan empat kasta, delapan belas serikat mata pencaharian, dan seluruh pasukannya, dan tiga hari dihabiskan untuk mengumpulkan seluruh barisan ini. Pada hari keempat, setelah mempersiapkan semua hal yang harus dipersiapkan untuk pawai barisan, ia pergi menuju pertapaan dan di sana menyapa putranya, dan putranya membalas sapaannya.

Guru menggambarkannya sebagai berikut :

“Kereta kerajaannya telah disiapkan, raja tanpa menunda menaiki, dan berseru kepada selir-selirnya, ’Segeralah ikut bersamaku!’”

Dengan kipas bulu ekor yak dan turban menjulang, dan payung kerajaan putih, ia menaiki kereta kencana, yang dihiasi emas terbaik.

Kemudian raja menitahkan berangkat segera, kusirnya berada di sisinya, dan segera mereka tiba di tempat Temiya yang berdiam dengan sangat damai.

Ketika Temiya menyaksikannya datang dengan megah dan berkilau, dikelilingi pasukan khattiya yang mendampingi, ia berkata demikian:
“Ayah, semoga kabar Anda baik, semoga Anda memiliki berita baik untuk disampaikan. Saya harap semua pengawal kerajaan, ibu-ibu saya, juga sejahtera?”

“Ya, kabarku baik, Putraku, aku memiliki kabar baik untuk disampaikan, dan semua ratu kerajaan pun, ibu-ibumu, semuanya sejahtera.”

“Saya harap Anda tidak minum minuman keras, menghindari semua alkohol, batin Anda mengarah ke perbuatan bajik dan berderma selalu.”

“Oh ya, minuman keras tak pernah kusentuh, semua alkohol aku hindari, batinku selalu mengarah ke perbuatan bajik dan berderma.”

“Kuda-kuda dan gajah, saya harap semuanya sehat dan kuat, tidak ada penyakit jasmani yang menyakitkan, kelemahan, dan tidak ada yang kurang.”

“Oh ya, semua gajah sehat, kuda-kuda sehat dan kuat, tidak ada penyakit jasmani yang menyakitkan, tidak ada kelemahan, tidak ada yang kurang.”

“Perbatasan, ibukota, semuanya ramai penduduk, damai, harta mustika dan gudang harta cukup penuh, katakanlah, bagaimana dengan ini?”

“Kini selamat datang kepada Anda, Baginda, selamat datang kepada Anda kini!

Biarkanlah mereka menyiapkan tempat duduk, di sanalah raja akan duduk.”

Raja, karena menghormati Bodhisatta, tidak mau duduk alas duduk itu.

Bodhisatta mengatakan, “Jika raja tidak duduk di singgasananya, biarlah alas duduk dari daun disebarkan baginya,” demikian ia mengucapkan sebuah bait:
“Duduklah di atas hamparan dedaunan yang disebarkan untuk Anda sesuai adat, mereka akan mengambil air dari tempat ini dan membasuh kaki Anda.”

Raja dalam penghormatannya bahkan tidak mau menerima alas dedaunan, melainkan duduk di atas tanah. Kemudian Bodhisatta memasuki gubuk daun, dan membawa keluar sebuah daun kara18. Mengundang raja, ia mengucapkan sebuah bait:

“Tanpa garam, hanya dedaunan ini yang saya santap, Baginda; sekarang Anda telah datang kemari sebagai tamu saya, mohon bergembiralah menerima hadiah yang saya bawa.”

Raja menjawab:

“Janganlah daun itu buat saya, itu bukanlah untuk saya; berikanlah saya semangkuk penuh padi bukit, dimasak dengan rasa daging19 untuk membuat rasanya enak.”

Pada saat itu, Ratu CandadevI dikelilingi perempuan istana, datang, dan setelah memeluk kaki putranya yang tersayang dan memberi hormat padanya, duduk di satu sisi dengan mata penuh air mata. Raja berkata kepadanya, “Ratu, lihatlah makanan putramu,” dan meletakkan sebagian daun itu ke tangannya dan memberikan sedikit kepada perempuan lainnya, yang mengambilnya dan mengatakan, “Tuanku, apakah benar Anda makan makanan seperti ini? Anda menanggung kesulitan besar.”

Baginda duduk, kemudian mengatakan, “Putraku, ini tampaknya luar biasa bagiku,” dan ia mengucapkan sebuah bait:

“Sungguh aneh tampaknya bagi saya bahwa engkau pergi sendirian, hidup dengan makanan demikian sederhana namun warna parasmu belum pudar.”

Pangeran kemudian menjawab:
“Di atas pembaringan daun yang disebar di sini saya memang berbaring sendirian,

Pembaringan menyenangkan dan warna paras saya tidak pudar;

Tidak ada pengawal kejam dengan pedang mereka terpasang yang berdiri mengawasi dengan tegas,

Pembaringan menyenangkan dan warna wajah saya tidak pudar;

Saya tidak meratapi masa lalu ataupun menangisi masa depan,

Saya menemui masa kini saat ia datang, dan demikianlah warna paras saya belum pudar.

Meratapi mengenai masa lalu yang tanpa harapan ataupun berbagai kebutuhan masa depan yang tidak pasti,

Hal ini mengeringkan daya hidup seorang pemuda seperti memotong buluh segar berwarna hijau.”

Raja berpikir dalam hati, “Aku akan menobatkannya sebagai raja dan membawanya pergi bersamaku;” sehingga ia mengucapkan bait-bait ini mengundangnya berbagi kerajaan:

“Gajah, kereta, pasukan berkuda, dan prajurit pejalan kakiku,

Dan semua istanaku yang menyenangkan, akan kuberikan kepadamu, Putraku.

Juga kamar-kamar ratu akan aku berikan, dengan semua kemewahan dan kemegahan mereka, engkau akan menjadi raja tunggal membawahi kami, tidak akan ada penguasa yang lain.

Perempuan cantik yang piawai dalam tarian dan lagu dan terlatih untuk setiap suasana hati

Akan menghibur batinmu dalam damai dan sukacita, mengapa berdiam di hutan ini?

Anak perempuan raja-raja sainganmu akan datang dengan bangga untuk melayanimu;

Ketika mereka telah melahirkan putra-putra bagimu, maka barulah engkau menjadi petapa.

Mari, putra sulung dan penerusku, dalam keagungan perdana usiamu,

Nikmatilah kerajaan milikmu sepenuhnya, apa gunanya engkau di pertapaan ini?”

Bodhisatta bicara:

“Tidak, biarkanlah pemuda ini meninggalkan dunia dan melepaskan diri dari semua kesia-siaannya,

Kehidupan sebagai petapa paling sesuai untuk yang muda, demikianlah nasihat semua orang bijak.

Tidak, biarkanlah pemuda ini meninggalkan dunia, menjadi petapa dan sendirian;
Saya akan menjalani kehidupan petapa, tidak memerlukan kemewahan atau takhta.

Memperhatikan bocah itu, dengan bibir kekanak-kanakan; ia menjerit ’ayah’, ’ibu’, ia sendiri mendapat seorang putra, dan kemudian juga menua dan mati.

Demikian juga anak gadis dalam masa mekarnya menjadi bahagia dan riang, dan terlihat cantik, namun segera ia memudar, terpotong kematian seperti pohon bambu yang hijau.

Laki-laki, perempuan, betapa pun mudanya, akan musnah, siapa sesungguhnya yang akan menaruh kepercayaan terhadap kehidupan fana, yang dicurangi oleh masa muda yang disukainya?

Seperti malam demi malam bergeser menjadi fajar, kehidupan makin memendek jangkanya;

Seperti ikan dalam air yang mengering, apa artinya masa muda manusia?

Dunia kita ini seperti luka borok yang terpukul, selalu dijaga dan diawasi oleh kita,

Mereka berlalu dan berlalu dengan tujuan jahat, mengapa bicara soal mahkota dan takhta?

’Siapa yang memukul dunia kita ini dengan kesakitan? Siapa yang menyaksikan dengan kekecewaan? Dan siapa yang berlalu dengan tujuan jahat? Mohon beritahu aku makna teka-teki ini.’

’Adalah kematian yang mendera dunia ini, usia tua yang mengawasi gerbang kita, dan adalah malam yang berlalu dan akan memenangkan tujuan mereka cepat atau lambat. ’

Ketika perempuan dengan roda pemintalnya duduk memintal seharian,

Dengan tugasnya makin lama makin sedikit, mengapa menyia-nyiakan kehidupan kita.

Seperti arus sungai terus mengalir terburu-buru, terus tanpa pernah mengalir kembali,

Demikian juga kehidupan manusia terus maju;

Dan seperti sungai yang menyapu pepohonan di tepiannya hingga terberai,

Demikian juga oleh kematian dan usia kita manusia sedang bergerak menuju kehancuran sejak lahir.”

Raja, ketika mendengar pembabaran Bodhisatta, ia menjadi jijik akan kehidupan perumah-tangga, dan berhasrat meninggalkan dunia; dan ia berkata, “Saya tidak akan kembali ke kota, saya akan menjadi petapa di sini; jika putra saya akan kembali ke kota, saya akan memberinya payung putih (takhta).”
Demikianlah ia mencoba sekali lagi mengundang anaknya untuk mengambil alih kerajaannya:

“Gajah, kereta, pasukan berkuda, dan prajurit pejalan kakiku,

Dan semua istanaku yang menyenangkan, akan kuberikan kepadamu, Putraku.

Juga kamar-kamar ratu akan aku berikan, dengan semua kemewahan dan kemegahan mereka, engkau akan menjadi raja tunggal membawahi kami, tidak akan ada penguasa yang lain.

Perempuan cantik yang piawai dalam tarian dan lagu dan terlatih untuk menangani setiap suasana hati

Akan menghibur batinmu dalam damai dan sukacita, mengapa berdiam di hutan ini?

Anak perempuan raja-raja sainganmu akan datang dengan bangga untuk melayanimu;

Ketika mereka telah melahirkan putra-putra bagimu, maka barulah engkau menjadi petapa.

Harta mustika saya dan gudang harta negara, prajurit pejalan kaki dan berkudaku,

Dan semua istana saya yang menyenangkan, wahai putraku tercinta, aku berikan kepadamu.

Dengan pasukan budak melayanimu, dan ratu-ratu untuk dipeluk,

Nikmatilah takhtamu, semoga berkah kesehatan menaungimu, mengapa berdiam di tempat terpencil ini?”

Namun Bodhisatta menjawab dengan menunjukkan betapa ia tak menginginkan kerajaan.

“Mengapa mencari kekayaan, kekayaan tidak bertahan selamanya; mengapa mencumbu istri, ia segera akan mati;

Mengapa berpikir akan kemudaan, itu akan segera berlalu; dan usia bahaya tetap mengancam dekat.

Apakah sukacita yang bisa dibawa kehidupan? Kecantikan, kesenangan, kekayaan, atau kekuasaan?

Apakah istri atau anak bagi saya? Saya terbebas dari semua jerat.

Inilah hal yang saya tahu, ke mana pun saya pergi, karma mengawasi tanpa pernah tidur;

Apa gunanya kekayaan atau sukacita bagi orang yang merasakan cengkeraman kematian?20

[28] Lakukan apa yang harus Anda lakukan hari ini, siapa yang bisa menjamin matahari terbit esok?
Kematian adalah panglima tertinggi yang tidak memberi jaminan kepada siapa pun.

Pencuri selalu berjaga untuk mencuri harta kita, saya terbebas dari segala belenggu;

Kembali dan ambillah mahkota Anda; apa yang saya hendaki dengan wilayah kekuasaan raja?”

Pembabaran Bodhisatta berikut penjelasannya pun berakhir, dan setelah mendengarnya, tidak hanya raja dan ratu Canda, namun enam belas ribu permaisuri kerajaan semuanya ingin menjalani kehidupan petapa.

Raja memerintahkan sebuah pernyataan dibuat di kota dengan iringan suara genderang, bahwa semua yang berniat menjadi petapa bersama putranya sebaiknya melakukannya;

ia memerintahkan pintu gudang hartanya dibuka, dan sebuah prasasti ditulis di lempeng emas, dan dipasang di bambu tinggi sebagai pilarnya, bahwa guci-guci hartanya akan ditaruh di tempat-tempat tertentu dan semua yang mau boleh mengambilnya. Para warga juga meninggalkan rumah mereka dengan pintu terbuka seakan-akan itu adalah pasar terbuka dan berkerumun di sekitar raja. Raja dan kerumunan rakyat mengambil ikrar petapa bersama di hadapan Bodhisatta.
Sebuah pertapaan didirikan oleh Sakka membentang sampai sepanjang tiga yojana. Bodhisatta pergi melewati gubuk-gubuk yang terbuat dari ranting dan daun, dan ia menetapkan gubuk di bagian tengah untuk para perempuan, karena mereka secara alami pemalu, sementara yang berada di lingkar luar adalah untuk laki-laki. Semua petapa pada hari uposatha berdiri di lapangan, berkumpul dan makan buah dari pepohonan yang diciptakan Vissakamma, dan mengikuti peraturan kehidupan petapa. Bodhisatta, mengetahui batin semua orang, apakah orang memiliki pemikiran nafsu, atau kebencian atau kekejaman, duduk melayang di udara, dan mengajarkan kebenaran kepada masing-masing, dan ketika mereka mendengar, mereka dengan cepat mengembangkan Kemampuan batin dan Pencapaian.

Raja di negeri tetangga, mendengar bahwa Kasiraja telah menjadi seorang petapa, bertekad mengembangkan kekuasaannya di Benares. Maka ia memasuki kota, dan melihat bahwa seluruh kota dihias ia pergi ke dalam istana, dan melihat tujuh macam batu berharga di sana, ia berpikir dalam hati bahwa berbagai macam bahaya pasti berkumpul di sekitar semua harta ini; maka ia menyuruh beberapa pemabuk yang kebetulan ada di sana dan menanyai mereka dari gerbang mana raja pergi ke luar. Mereka mengatakan kepadanya, “Lewat gerbang timur;” maka raja sendiri pergi ke gerbang timur dan menyusuri tepian sungai. Bodhisatta tahu akan kedatangannya, dan setelah menemuinya, duduk mengambang di udara, ia membabarkan kebenaran. Kemudian raja penyerbu itu mengambil ikrar petapa bersama seluruh rombongannya; dan hal yang sama terjadi pada raja lain. Dengan cara ini, tiga kerajaan ditinggalkan; gajah dan kuda dibiarkan berkeliaran liar di hutan, kereta kuda ditinggalkan hingga berkeping dalam hutan, dan uang dalam gudang harta dianggap hanya bagaikan pasir, disebar-sebarkan di sekitar pertapaan. Semua penghuninya di sana mencapai delapan Jhana; dan di akhir kehidupan, mereka lahir di alam brahma. Ya, bahkan hingga hewan-hewan, seperti gajah dan kuda, setelah batinnya ditenangkan karena melihat para petapa bijaksana, pada akhirnya terlahir ulang dalam enam alam dewa.

Guru, setelah mengakhiri pelajarannya, berkata, “Tidak hanya kini, namun sebelumnya juga, Saya meninggalkan kerajaan dan menjadi petapa.” Kemudian ia mengidentifikasi kisah kelahiran itu: “Dewi dalam payung adalah Uppalavanna, kusir kereta adalah Sariputta, ayah dan ibu adalah keluarga kerajaan, seluruh penghuni istana adalah perkumpulan Buddha, dan Mugapakkha yang bijaksana adalah Saya.”

Setelah para bhikkhu tiba di pulau Sri Lanka, Thera Khuddakatissa, yang asli berasal dari Mangana, Thera Mahavamsaka, Thera Phussadeva, yang berdiam di Katakandhakara, Thera Maharakkhita, penduduk asli Uparimandakamala, Thera Mahatissa, penduduk asli Bhaggari, Thera Mahasiva, penduduk asli Vamattapabbhara, Thera Mahamaliyadeva, penduduk asli Kalavela, semua thera ini disebut pendatang terakhir dalam perkumbulan kelahiran Kuddalaka, kelahiran Mugapakkha, kelahiran Ayoghara, dan kelahiran Hatthipala.

Lebih lanjut Thera Mahanaga, yang asli kelahiran Maddha, dan Thera Maliyamakadeva, berkomentar pada hari Parinibbana, “Tuan, perkumpulan kelahiran Mugapakkha hari ini telah padam.” “Bagaimana bisa?” “Saya pada saat itu, dengan penuh nafsu tergila-gila kepada minuman keras, dan saya tidak bisa membawa bersama saya mereka yang dahulu minum-minum bersama saya, sehingga saya adalah yang terakhir dari semuanya yang meninggalkan keduniawian dan menjadi petapa.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com