Sariputta | Suttapitaka | SAṀKICCA-JĀTAKA Sariputta

SAṀKICCA-JĀTAKA

Saṅkiccajātaka (Ja 530)

“Ketika melihat Raja Brahmadatta,” dan seterusnya.

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di hutan mangga Jīvaka132, tentang pembunuhan yang dilakukan oleh Ajātasattu terhadap ayahnya sendiri. Disebabkan oleh Devadatta [262] dan atas hasutan dari dirinyalah ia membunuh ayahnya. Tetapi ketika penyakit menyerang diri si pemecah belah saṅgha, Devadatta, memutuskan untuk pergi dan meminta maaf kepada Sang Tathāgata. Di saat ia berangkat, dengan berbaring di ranjang dalam tandu, menuju Sāvatthi (Savatthi), ia ditelan oleh bumi di pintu gerbang Kota Savatthi. Ketika mendengar ini, Ajātasattu (Ajatasattu) berpikir, “Dikarenakan menjadi seorang musuh dari Yang Tercerahkan Sempurna (Sammāsambuddha), Devadatta menghilang masuk ke dalam bumi dan muncul di Alam Neraka Avīci. Disebabkan oleh dirinyalah kubunuh ayahku, raja kebenaran yang bertindak benar. Saya juga pasti akan ditelan oleh bumi.” Ia menjadi begitu takutnya sehingga tidak bisa mendapatkan ketenangan dalam keagungan kerajaannya. Berpikir untuk istirahat sejenak, ia pun kemudian tertidur. Tak lama setelah ia tertidur kemudian ia merasa seperti terjatuh ke Alam Besi (ayapaṭhāvī) yang tebalnya sembilan yojana, jatuh di dasar bersula besi dan digigiti oleh anjing-anjing, dengan suara jeritan yang mengerikan ia terbangun.

Maka suatu hari di saat bulan purnama133 dalam acara festival cātumāsiniyā, di saat dikelilingi oleh rombongan besar para pejabat kerajaan, ia memikirkan keagungan dirinya sendiri, mengingat dalam dirinya bahwa keagungan ayahnya jauh lebih besar daripada ini, dan disebabkan oleh Devadatta, ia telah membunuh seorang raja kebenaran yang demikian bagusnya. Ketika memikirkan tentang hal ini, suhu tubuhnya meninggi dan seluruh tubuhnya bermandikan keringat. Setelah mempertimbangkan siapa yang dapat menghalau rasa takut ini dari dalam dirinya, ia menyimpulkan bahwa selain Dasabala, tak ada yang lain lagi yang mampu melakukannya, dan dengan pikiran, “Saya telah berbuat kesalahan besar terhadap Sang Tathāgata. Siapa yang bersedia membawaku ke hadapan Beliau?” Setelah menyimpulkan tidak ada orang lain kecuali Jīvaka, ia memikirkan suatu cara untuk dapat membuat Jīvaka (Jivaka) pergi dan membawa serta dirinya bersama, dengan mengucapkan suatu perkataan yang penuh kegembiraan, “Teman, betapa terangnya malam indah ini,” ia berkata, “Bagaimana jika kita mengunjungi petapa atau brahmana hari ini?” Dan ketika kebajikan dari Purāṇa dan guru-guru lainnya disebutkan oleh masing-masing siswa mereka, tanpa memedulikan apa yang mereka katakan, Ajatasattu mempertanyakannya kepada Jivaka, dan di saat Jivaka memberitahukan kebajikan dari Sang Tathāgata dan berkata dengan keras, “Paduka, sebaiknya mengunjungi, memberi hormat kepada Yang Terberkahi (Bhagavā ),” Ajatasattu memberi perintah untuk menyiapkan kereta gajah dan pergi ke hutan mangga Jīvaka. Setelah menghampiri Sang Tathāgata dengan memberi salam hormat dan dibalas kembali dengan baik oleh Beliau, Ajatasattu menanyakan buah dari kepetapaan (sāmaññaphala) dalam kehidupan ini. Dan setelah mendengar khotbah Dhamma mengenai buah dari kepetapaan dari Sang Tathāgata, ia menyatakan dirinya menjadi upāsaka (upasaka) pada akhir uraian khotbah tersebut. Ia pun pergi setelah memohon maaf dari Sang Tathāgata. Mulai saat itu dengan memberikan derma dan menjalankan sila, ia pun terus berhubungan dengan Sang Tathāgata. Dengan mendengarkan wejangan-wejangan Dhamma nan indah dan bergaul dengan teman-teman yang bajik, rasa takutnya menjadi berkurang dan rasa cemasnya menjadi hilang, ia malah mendapatkan kembali ketenangan pikiran dan mendapatkan kebahagiaan dalam empat sikap tubuh. Kemudian suatu hari para bhikkhu memulai sebuah diskusi di dalam balai kebenaran dengan berkata, “Āvuso, setelah membunuh ayahnya, Ajātasattu diserang oleh rasa takut dan karena tidak mendapatkan ketenangan dalam keagungan kerajaannya, ia merasakan sakit dalam semua sikap tubuhnya. Kemudian ia pergi mengunjungi Sang Tathāgata dan dengan bergaul dengan teman-teman yang bajik, rasa takutnya menjadi hilang dan ia menikmati kebahagiaan dalam kepemimpinan.” Sang Guru datang dan bertanya, dengan berkata, “Pembicaraan apa, Para Bhikkhu, yang sedang kalian diskusikan dalam pertemuan ini?” [263] dan ketika diberitahukan jawabannya, Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau, setelah membunuh ayahnya, dikarenakan aku, orang ini mendapatkan kembali ketenangan pikirannya,” dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala, Raja Brahmadatta memerintah di Benares. Ia mendapatkan kelahiran seorang putra yang kemudian diberi nama Pangeran Brahmadatta. Pada waktu yang sama, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga pendeta kerajaannya, yang kemudian diberi nama Saṁkicca (Samkicca). Kedua anak lakilaki ini tumbuh besar bersama di dalam istana dan menjadi teman akrab. Dan ketika dewasa dan setelah memperoleh semua ilmu pengetahuan di Takkasilā, mereka pulang kembali ke rumah. Kemudian raja menunjuk putranya untuk menjadi wakil raja, dan Bodhisatta masih tetap tinggal bersamanya. Suatu hari, di saat ayahnya pergi bersantai di taman, wakil raja ini melihat keagungannya yang besar dan muncul keserakahan dalam dirinya untuk mendapatkannya, dengan berpikir, “Bagi diriku, ayahku itu lebih seperti seorang saudara. Jika harus menunggu sampai ia mati, saya pasti akan menjadi seorang laki-laki tua sebelum dapat menggantikannya naik takhta. Apa gunanya bagiku mendapatkan kerajaan di saat itu? Saya akan membunuh ayahku dan menjadikan diriku sebagai raja,” dan ia memberi tahu Bodhisatta tentang apa yang dipikirkannya itu. Bodhisatta menolak pemikiran tersebut dengan berkata, “Teman, membunuh ayah adalah perbuatan serius (berat), perbuatan yang mengarahkan jalan ke alam neraka. Anda tidak boleh melakukan perbuatan ini; Jangan lakukan ini.” Ia terus mengatakannya, tetapi ditentang oleh temannya itu sampai sebanyak tiga kali. Kemudian ia berunding dengan para pengawalnya dan mereka mendapatkan sebuah gagasan sertamerancang sebuah rencana untuk membunuh raja. Tetapi Bodhisatta yang mendengar tentang hal ini berpikir, “Saya tidak akan berteman dengan orang-orang seperti ini,” dan tanpa berpamitan kepada ayah dan ibunya, ia keluar melalui pintu rumah134 dan bersembunyi di Himalaya. Di sana ia menjalani kehidupan petapa dan memperoleh kesaktian dari jhana, bertahan hidup dengan memakan akar-akaran dan buah-buahan. Sedangkan, ketika temannya telah pergi, wakil raja itu membunuh ayahnya dan menikmati keagungan yang besar tersebut. Ketika mendengar bahwa Saṁkicca (Samkicca) telah menjadi petapa, banyak pemuda dari keluarga baik-baik meninggalkan keduniawian dan ditahbiskan olehnya menjadi petapa. Dan demikian di sana ia tinggal, dikelilingi oleh rombongan resi, yang semuanya telah memperoleh pencapaian. Setelah membunuh ayahnya, wakil raja itu menikmati kebahagiaan dari kedudukannya sebagai raja untuk waktu yang singkat, dan kemudian diserang oleh rasa takut dan hilangnya ketenangan pikiran, seperti orang yang mendapatkan hukumannya135 di alam neraka. Kemudian teringat kepada Bodhisatta, ia berpikir, “Temanku dahulu berusaha untuk menghentikan diriku, dengan mengatakan bahwa membunuh ayah adalah perbuatan berat, tetapi karena gagal membujuk diriku, ia pergi agar dirinya bebas dari kesalahan. Jika dahulu ia tetap tinggal di sini, ia pasti tidak akan membiarkanku membunuh ayahku dan ia akan dapat membebaskan diriku dari rasa takut ini. Di mana gerangan ia tinggal sekarang? Jika kutahu di mana ia tinggal, saya akan memanggilnya. Siapakah yang dapat memberitahuku tempat tinggalnya?” Sejak saat itu, baik di kediaman selir maupun di dalam istana, ia selalu melantunkan pujian terhadap Bodhisatta. Setelah sekian lama berlalu, di saat telah tinggal di Himalaya selama lima puluh tahun, Bodhisatta berpikir, “Raja teringat akan diriku. Saya harus pergi menjumpainya dan mengajarkan kepadanya tentang kebenaran, serta menghilangkan rasa takutnya.” Maka ditemani dengan rombongan lima ratus orang petapa, ia terbang di angkasa dan turun di taman yang bernama Dāyapassa, dan dengan dikelilingi oleh rombongan petapanya, ia duduk di papan batu. Ketika melihat dirinya, penjaga taman bertanya dengan berkata, “Bhante, siapakah pemimpin rombongan petapa ini?” Dan ketika mendengar pemimpinnya adalah Samkicca Yang Mulia, dan karena ia mengenali Samkicca, ia berkata, “Bhante, tetaplah di sini sampai saya membawa raja ke sini. Ia resah ingin berjumpa dengan Anda.” Dan setelah memberikan hormat, ia bergegas pergi ke istana dan memberitahukan raja tentang kedatangan temannya. Raja datang untuk menjumpainya dan setelah memberi segala salam yang sepantasnya, ia menanyakan sebuah pertanyaan kepadanya:

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:

Ketika melihat Raja Brahmadatta duduk di takhta
kerajaannya, ia berkata, ‘Wahai raja, teman yang Anda
kasihi,

Saṁkicca, ada di sini–ia adalah pemimpin rombongan
resi–bergegaslah untuk berangkat dan jangan berlambatlambat
untuk bertemu dengan petapa suci ini.’

Maka dengan cepat naik ke kereta yang telah disiapkan
atas perintahnya, raja beserta teman pejabat istananya,
berangkat pergi.

Lima lambang kebesaran (kerajaan) ditanggalkan oleh
Raja Kasi: kipas bulu ekor sapi yak, mahkota, pedang,
payung, dan sepatu.

Kemudian setelah melangkah keluar dari kereta,
menanggalkan perhiasan yang berkilauan, raja berjalan
menuju Dāyapassa, tempat Saṁkicca duduk.

Raja menghampirinya dan menyapanya memberi salam,
mengingat kembali percakapan yang pernah mereka
ucapkan di masa lalu.

Dan di saat raja telah duduk di sampingnya, ketika waktu
yang tepat tiba, sebuah pertanyaan tentang perbuatan
buruk dengan cepat diajukannya.

‘Saṁkicca, Pemimpin rombongan resi, Petapa suci, yang
kujumpai hari ini sedang duduk dalam taman Dāyapassa,
saya ingin bertanya kepadamu,

[265] Bagaimanakah nasib para pelaku perbuatan buruk
setelah kematian? Terlahir di alam apakah mereka?
Saya juga telah berbuat kesalahan atas kebenaran. Saya
mohon Anda cepat menjawabnya.’

Untuk menjelaskannya, Sang Guru berkata:

Demikian Saṁkicca, yang duduk di dalam taman Dāyapassa, menyapa raja yang memerintah Kerajaan Kasi:
‘Dengarkanlah dan pahamilah, Paduka:

Jika Anda menunjukkan jalan keluar bagi seseorang
yang tersesat dengan tidak berdaya, dan ia mengikuti
nasihatmu, maka tak kan ada rintangan di jalannya.

Ia yang berjalan di jalan yang tidak benar, jika dengan
benar Anda mengarahkannya kembali, dan ia mengikuti
nasihatmu, ia akan terbebas dari keadaan menyedihkan.’

[266] Demikianlah ia menasihati raja, dan kemudian ditambah lagi dengan mengajarkannya kebenaran:

Kebenaran(Dhamma) adalah jalan yang benar,
Ketidakbenaran(Adhamma) adalah jalan yang salah;

Kebenaran menuntun jalan ke alam menyenangkan,
Ketidakbenaran menuntun jalan ke alam penuh siksaan.

Orang yang menapaki jalan ketidakbenaran, dan hidup
dengan tidak benar, apa yang akan mereka alami di
alam neraka setelah kematian, wahai paduka,
dengarkanlah aku sekarang:

Sañjīva, KāỊasutta dan Roruva, Saṅghāta, Mahāvīci,
adalah nama-nama yang demikian mengerikan,
ditambah dengan Athāpara, Tāpana dan Patāpana;
semuanya adalah delapan alam penuh siksaan (neraka).

Tak ada harapan bagi mereka untuk lepas dari tempattempat
ini, dan dikatakan juga adanya alam (neraka)
Ussada, alam neraka kecil, masing-masing berjumlah
enam belas136;

Siksaan dahsyat menyerang mereka, api menjadi
ancaman besar;
Ketidakbahagiaan yang menggidikkan bulu roma,
mengerikan, menciutkan nyali, mengerikan berada di
sekelilingnya.

Keempat sisi tertutup oleh pintu gerbang, diberi jarak
dalam ukuran yang sesuai, ditutupi oleh kubah besi,
dikelilingi oleh dinding besi.

Bahan besi terbentuk sedemikian rupa, tak ada kobaran
api yang mampu melelehkannya; Meskipun demikian,
kekuatannya tetap terasa sampai sejauh seratus yojana.

Ia yang berbuat buruk melampaui batas kepada para resi
dan petapa yang mengamalkan pengendalian diri, jatuh
terjungkir di alam neraka, sulit untuk bangkit.

Dalam keadaan mengerikan badan mereka tercabik
berkeping-keping, seperti ikan yang terpanggang,
disebabkan oleh kesalahan mereka, selama satu kurun
waktu tak terhingga menjalani hukuman.

Anggota tubuh mereka menjadi bahan bakar bagi
kobaran api yang menyiksa mangsa-mangsa ketakutan,
yang meskipun ingin melarikan diri darinya tak akan
pernah menemukan jalan.

Bolak-balik ke arah timur, barat, utara, atau selatan
mereka mencoba bergerak cepat, mencari sesuatu yang
sia-sia, karena setiap pintu gerbang ada penjaganya.

[267] Malang, selama ribuan tahun, mereka berada di alam
neraka, mereka meratap dengan menyedihkan atas
penderitaan yang diderita, dengan tangan terentang.

Seperti ular berbisa yang ganas, yang kemarahannya
sangat fatal untuk dibangkitkan,
Demikianlah juga hindari berbuat buruk terhadap para
petapa yang mengamalkan pengendalian diri.

137Ajjuna, Pemimpin Kekaka138, pemanah hebat, yang
membunuh Aṅgīrasa Gotama, luluh lantak meskipun ia
memiliki seribu tangan.

Demikian juga Daṇḍaki, yang mengotori Kisavaccha
yang tidak bersalah, hancur seperti pohon lontar yang
dicabut sampai ke akar-akarnya.

139Mejjha, melukai Mātaṅga, terjatuh dari tempat
kebanggaannya, tanah kerajaannya musnah,
menjadi hutan belantara.

Karena menyerang dan membunuh Kaṇhadīpāyana140,
Andhakaveṅhudāsaputtā terjatuh di alam neraka, yang
satu terbunuh oleh tongkat kebesaran yang lainnya.

Dikarenakan seorang suci, Cecca141 yang tadinya
mampu berjalan di udara, menghilang dan ditelan bumi
pada hari kematiannya.

Orang dungu yang berhati keras tidak akan pernah
menjadi orang bijak,
Orang yang jujur, disertai dengan kebenaran, lambat
untuk mengucapkan kebohongan.

Ia yang ikut serta dalam rencana berbuat buruk terhadap
mereka yang sempurna dalam pengetahuan dan
perilaku, akan terlempar jatuh ke alam neraka, segera
menyesali rencana kejamnya.

Tetapi ia yang menyerang mereka dengan kejam, akan
seperti tunggul pohon lontar yang hampir mati, tidak
memiliki tunas baru, musnah.

Ia yang membunuh mereka, pabbajita yang bertindak
sesuai kewajibannya, akan menderita siksaan
di Alam Neraka KāỊasutta.

Dan jika seorang raja dungu yang memerintah
kerajaannya dengan tidak benar, ketika meninggal, ia
akan mengalami penderitaan di Neraka Tāpana.

Selama ribuan tahun, seperti para dewa yang
menghitung tahun-tahunnya, ia akan berakhir dengan
menghuni, seperti mengenakan pakaian dari nyala api
yang berkobar-kobar, alam neraka.

[268] Kobaran api yang menyala terang di semua sisi
menyembur keluar dari badannya yang tersiksa, anggota
tubuhnya, bulu badannya, kuku dan semuanya, menjadi
makanan bagi kobaran api itu.

Dan di saat badannya terbakar cepat, benar-benar
tersiksa dengan rasa sakit, seperti gajah yang dipukul
dengan tongkat, makhluk malang, ia akan meratap
sekuat-kuatnya.

Ia yang membunuh ayahnya dikarenakan keserakahan
atau kebencian, makhluk hina, akan menderita dalam
kobaran api di alam neraka KāỊasutta dalam waktu yang
lama.

Ia akan direbus di dalam bejana kuningan (lohakumbhī )
sampai terkelupas, orang yang membunuh ayah, akan
ditusuk dengan tombak besi, kemudian dibutakan, dan
diberikan kotoran sebagai makanan, diceburkan ke
dalam air garam, untuk menerima hasil atas
perbuatannya.

Penjaga neraka142 akan mematahkan rahang jika mereka
mendekat, bola dan mata bajak besi yang panas berada
di antaranya;

Semuanya ini, ditambah lagi dengan tali mengganjal kuat
mulutnya, mereka juga dimasukkan ke dalam aliran air
yang penuh dengan kotoran.

Burung hering dan anjing berwarna hitam dan berbintik
beraneka warna, kumpulan burung gagak, dan burungburung
dengan paruh besi,
mematuknya menjadi potongan kecil, melahap potongan
kecil itu, darah dan semuanya.

Para penjaga neraka bolak-balik menyerang mereka
dengan banyak pukulan, di bagian dadanya yang hangus
terbakar atau anggota tubuh lain yang terluka, memukuli
mereka dengan riangnya.
Kebahagiaan menjadi milik mereka, sedangkan
penderitaan menjadi milik yang menghuni neraka atas
perbuatan mereka membunuh ayahnya.

Anak yang membunuh ibunya akan langsung dikirim ke
kediaman Dewa Yama (dewa kematian), untuk menuai
hukuman sesuai dengan perbuatannya.

Di sana penjaga neraka menghukumnya, menusuk
punggungnya dengan mata bajak besi dalam lekukan
yang dalam dan lebar.

[269] Mereka mengambil darah yang mengalir dari lukanya
seperti kuningan yang meleleh, dan memberikannya
kepada orang rendah yang bersalah itu, untuk
memuaskan rasa dahaganya yang amat sangat.

Ia diberdirikan di dalam kolam merah yang seperti
berairkan gumpalan-gumpalan darah, menghirup bau
busuk yang menyengat hidung dari bangkai, kotoran
atau lumpur.

Ulat-ulat raksasa dengan gigi (setajam) besi, menusuk
tembus kulit mangsa mereka, melahap daging mereka
dengan rakusnya dan mengisap darah mereka.

Terlihat ia terbenam di alam neraka yang dalammya
seratus porisa143, menghirup bau busuk yang menyengat
hidung sampai sejauh seratus yojana.

Dikarenakan bau busuk yang menyengat hidung,
keadaannya demikian menyedihkan, meskipun
sebelumnya memiliki penglihatan tajam, tetapi ia akan
menderita kehilangan penglihatan.

Alam neraka Khuradhāra, penjara yang sulit untuk
meloloskan diri, para pelaku aborsi tidak bisa lari dari
dasar sungaimu yang mengerikan, Vetaraṇī 144.

Pohon-pohon simbali145 dengan duri sepanjang enam
belas aṅgula yang runcing, di kedua tepimu;
Mereka tidak bisa lari dari dasar sungaimu yang
mengerikan,Vetaraṇī.

Mereka berbusanakan api, gugusan api, api yang
berkobar-kobar,semuanya berdiri terbalik dengan kepala
di bawah, setinggi tiga gāvuta146.

Yang terlahir di alam neraka (Simbali) ini, yang berdiri
pada duri-duri tajam, adalah mereka para wanita yang
berselingkuh dan laki-laki pezina.

Ditusuk dengan sula, mereka jatuh dengan kepala
dahulu, berputar-putar dalam pelarian,
dan di sana dengan anggota tubuh yang tercabik-cabik,
mereka berbaring terbangun sepanjang malam.

Setelah malam berlalu, mereka dimasukkan ke dalam
bejana kuningan147, sebesar gunung, dan penuh dengan
air yang menyamai bara api.

Demikianlah orang-orang yang terselubung oleh
kegelapan batin dan kelakuan buruk melewati siang dan
malam, atas perbuatan salah mereka, menanggung hasil
dari perbuatan.

Istri yang belanja dengan uang suaminya tetapi
mengabaikan suaminya, mertuanya, atau sanak
keluarganya yang lain, mengalami siksaan dengan
lidahnya ditarik keluar dengan kail.

[270] Ia hanya mampu melihat lidahnya ditarik keluar, penuh
dengan ulat, tak mampu berkata, terpaksa diam,
menanggung siksaan yang dahsyat di Tāpana.

Penyembelih domba, penjagal babi, penangkap ikan,
penjagal sapi, pemburu, pengkhianat yang kejam,

Diserang dengan belati dan palu kuningan (lohakūṭa),
orang-orang ini berlumuran darah;
Dikejar oleh tombak dan panah sampai terjatuh, dengan
terjungkir, ke dalam sungai asin.

Pemberi keputusan tidak benar, diserang siang dan
malam dengan palu besi yang panas, hanya dapat
memakan kotoran menjijikkan yang dikeluarkannya

Burung gagak, serigala, burung hering, dan burung hitam
besar berparuh besi, memangsa orang malang yang
memberontak ini hidup-hidup di dalam perut mereka
yang tidak pernah puas.

Ia yang menggunakan binatang148 yang satu untuk
menangkap atau bahkan membunuh binatang yang
lainnya, atau menangkap bahkan membunuh satu
unggas dengan menggunakan unggas yang lainnya,
diliputi dengan hasil dari perbuatan buruk mereka, akan
terlahir di alam neraka Ussada.

[276] Demikianlah Sang Mahasatwa menguraikan semuannya tentang alam-alam neraka ini, dan kemudian untuk menjelaskan tentang alam-alam dewa, ia berkata:

Dikarenakan jasa-jasa kebajikan yang ditanam sewaktu
masih hidup, pelaku kebajikan akan terlahir
di alam-alam surga;
Di alam-alam surga ini, para Dewa, Brahma, Indra,
menuai buah yang matang dari jasa-jasa kebajikan.

Oleh karenanya ini kukatakan:
Jalankanlah pemerintahan di kerajaanmu dengan benar,
Maharaja, karena setiap kebajikan yang diperbuat akan
mendapatkan buah perbuatan yang baik pula, tidak akan
pernah membuahkan penderitaan.

[277] Setelah mendengar khotbah dari Sang Mahasatwa, raja memperoleh kepuasan. Dan setelah tinggal beberapa lama di sana, Bodhisatta pun kemudian kembali ke kediamannya.
Sang Guru mengakhiri uraian-Nya di sini dan berkata, “Bukan hanya kali ini, tetapi di masa lampau juga, ia dihibur olehku,” dan Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada
masa itu, Ajātasattu (Ajatasattu) adalah raja, rombongan resi adalah pengikut Buddha, dan saya adalah Yang Bijak Saṁkicca (Samkicca).”


133 Komudī, hari bulan purnama pada bulan Kattika
134 Kapan saja orang ingin meninggalkan rumah tanpa diketahui yang lainnya, orang itu akan keluar melalui aggadvāra, mungkin itu adalah pintu samping atau pintu belakang, berlawanan dengan pintu utama. Bandingkan Jātaka, Vol. I. 114, Vol. V. 132.
135 kammakāraṇā. Bandingkan Morris atas kata ini di dalam Jurnal Pali Text Society, 1884, hal. 76.
136 Jumlah alam neraka ussada yang disebutkan oleh para ahli ada sebanyak 128. Bandingkan L’Enfer Indien par M. L. Feer, Journal Asiatique, 1892 (viii. sér. 20), hal. 185 sqq.
Pañca-gati-dīpana, Pali Teks Soc. Journ. 1884. Senart’s Mahāvastu, i. 4. 12–27. 1 (ringkasan di hal. xxii). Śikshāsamuccaya, ed. Bendall, hal. 69-73.
137 Vol. V. No. 552, Sarabhaṅga-Jātaka, hal. 72, versi bahasa Inggris.
138 sebuah kota yang dianggap sebagai salah satu dari tiga kota terpenting di Jambudīpa, selain Uttarapañcāla dan Indapatta.
139 Vol. IV. No. 497, Mātaṅga-Jātaka, hal. 244, versi bahasa Inggris.
140 Vol. IV. No. 454, Ghata-Jātaka, hal. 53–7, versi bahasa Inggris.
141 Apacara, Raja Ceti. Vol. III. No. 422, Cetiya-Jātaka, hal. 275, versi bahasa Inggris.
142 nirayapālā
143 PED: porisa = tinggi seorang laki-laki.
144 sebuah sungai di alam neraka.
145 Bombax heptaphyllum
146 gāvuta = ¼ yojana; 1 yojana = + 16 km.
147 Jātaka III. hal. 29 (versi bahasa Inggris).
148 Hal ini merujuk kepada pemburuan rusa dengan menggunakan anjing atau cheetah, atau juga pemburuan elang/rajawali.



Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com