Sariputta | Suttapitaka | ALAMBUSĀ-JĀTAKA Sariputta

ALAMBUSĀ-JĀTAKA

Alambusājātaka (Ja 523)

“Kemudian Dewa Indra yang agung,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang godaan nafsu terhadap seorang bhikkhu oleh mantan istrinya (dalam kehidupan berumah tangga).
Kisah ini diuraikan secara lengkap dalam Indriya-Jātaka86.

Sekarang Sang Guru bertanya kepada bhikkhu tersebut, “Apakah itu benar, Bhikkhu, bahwa Anda menyesal?” “Benar, Bhante.” “Disebabkan oleh siapa?” “Oleh mantan istri saya (dalam kehidupan berumah tangga).”

“Bhikkhu,” kata Beliau, “Wanita ini membawa kehancuran bagi Anda. Disebabkan oleh dirinyalah Anda mundur dalam jhana, dan berada dalam kondisi yang tidak terarah, dan kacau selama tiga tahun, dan sewaktu mendapatkan kembali kesadaranmu Anda meneriakkan ratapan yang amat keras,” dan setelah berkata demikian, Beliau menceritakan kepadanya sebuah kisah masa lampau.
____________________

Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga brahmana di Kerajaan Kasi.

Ketika dewasa, ia memperoleh kesempurnaan dalam semua cabang ilmu pengetahuan. Dengan meninggalkan kehidupan berumah tangga dan hidup mengembara sebagai seorang resi, ia bertahan hidup dengan makanan berupa akar-akaran dan buah-buahan di dalam hutan.

Waktu itu, di sekitar kediaman brahmana tersebut, seekor rusa betina memakan rumput, meminum air yang tercampur dengan sperma (air mani) sang brahmana sehingga ia menjadi hamil. Dan sejak saat itu, pikiran rusa tersebut terikat pada sang brahmana dan ia selalu mencari makanannya di dekat tempat pertapaan sang brahmana.

Dengan menyelidiki permasalahan ini, Sang Mahasatwa pun memahami penyebabnya. Seiring berjalannya waktu, rusa betina itu melahirkan seorang anak manusia (berjenis kelamin) laki-laki dan Sang Mahasatwa merawatnya dengan kasih sayang layaknya seorang ayah. Nama yang diberikan kepadanya adalah Isisiṅga87(Isisinga).

Ketika anak itu tumbuh dewasa, sang ayah menahbiskannya menjadi seorang pabbajita, dan ketika brahmana itu berusia lanjut, ia membawa anaknya pergi ke Nārivana dan demikian menasihatinya, “Anakku, di negeri Himalaya ini, wanita-wanita cantiknya sama bentuknya seperti bunga-bunga ini. Mereka membawa kehancuran yang besar bagi orang yang jatuh ke dalam kekuasaan mereka. Anda tidak boleh berada di dalam kekuasaan mereka.” Dan segera setelah memberikan wejangan, ia muncul di alam brahma. Sedangkan Isisinga, dengan berhibur dalam jhana, membuat tempat tinggalnya di daerah Himalaya. Ia adalah seorang yang diri dan indra-indranya terjaga dengan baik.

Disebabkan oleh kekuatan dari silanya, kediaman Dewa Sakka bergetar. Setelah memeriksanya, Sakka mengetahui penyebabnya dan berpikir, “Orang ini akan membuatku turun dari kedudukanku sebagai Dewa Sakka. Saya akan mengutus seorang bidadari untuk menyebabkan ia merusak silanya.” Setelah memeriksa di semua alam dewa, di antara dua puluh lima juta bidadari, selain Alambusā (Alambusa), ia tidak menemukan bidadari lainnya yang cocok untuk tugas tersebut. Maka setelah memanggil dirinya, Sakka memintanya untuk menyebabkan petapa itu merusak silanya.

[153] Sang Guru mengucapkan bait berikut dalam penjelasan masalah ini:
Kemudian Dewa Indra yang agung, raja para dewa,
Dewa Vatra penakluk asura, memanggil seorang bidadari muda
–Alambusa–ke Sudhamma88 karena mengetahui bahwa ia mampu.
‘Alambusa yang cantik,’ katanya dengan keras,
‘Bidadari pemimpin di Alam Tāvatiṁsā, pergilah ke tempat tinggal Isisinga
untuk menggoda dirinya.’
Sakka memerintahkan Alambusa dengan berkata, “Pergilah dan dekati Isisinga, dan hancurkan silanya dengan membuatnya berada dalam kekuasaanmu,” dan ia mengucapkan bait berikut:

Pergilah, Penggoda, hentikan langkahnya; Karena ia,
yang menapaki kehidupan suci, akan mendapatkan kebahagiaan tertinggi,
memenangkan kejayaanku.
Mendengar ini, Alambusa mengucapkan dua bait berikut:

Mengapa, raja dewa, dari semua bidadari Anda hanya memanggil
diriku seorang saja, dan memintaku untuk menggoda resi
yang mengancam takhtamu?
Di Nandanavana89 yang menyenangkan terdapat banyak bidadari;
Kepada salah satu dari mereka—ini adalah giliran mereka—
serahkanlah tugas penggodaan ini.
[154] Kemudian Sakka mengucapkan tiga bait kalimat berikut:
Perkataanmu benar; di Nandanavana yang menyenangkan
terdapat banyak bidadari yang terlihat dapat menyaingimu,
dalam hal kecantikan.
Tetapi tidak ada yang sama seperti Anda, wahai bidadari
yang tiada tara, dalam hal kemampuan menggoda.
Petapa suci ini pasti dapat tergoda olehmu
dalam membuat kesalahan.
Pergilah, wahai gadis terunggul, bidadari cantik,
dan dengan kekuatan dari kecantikanmu,
buatlah orang suci tersebut mengikuti godaanmu.
Mendengar ini, Alambusa mengucapkan dua bait kalimat berikut:

Saya tidak akan gagal, raja dewa, menjalankan perintahmu
meskipun masih terdapat rasa takut di saat saya berusaha
untuk menggoda brahmana ini.
Karena banyak sekali yang lain, orang-orang bodoh,
terjatuh (saya gemetaran memikirkan hal ini) di alam neraka
untuk menerima siksaan atas perbuatan salah
yang dilakukan terhadap para resi.
Setelah mengatakan ini, Alambusa, bidadari cantik, pergi dengan kecepatan penuh untuk menggoda Isisinga yang terkemuka, agar melakukan perbuatan salah.

[155] Ke dalam hutan sejauh setengah yojana yang diterangi dengan merahnya buah-buahan, hutan tempat Isisinga tinggal, bidadari itu menghilang dari pandangan.


Di saat fajar mulai menyingsing, sebelum matahari terbit tinggi di langit, bidadari itu menghampiri Isisinga yang sedang menyapu balainya.

Bait-bait kalimat di atas diucapkan oleh Ia Yang Sempurna Kebijaksanaan-Nya (abhisambuddha).

Kemudian petapa itu bertanya kepadanya dan berkata:
Siapakah Anda, seperti kilat yang bercahaya,
terang seperti bintang di pagi hari, dengan telinga dan tangan
yang dihias dengan permata yang berkilauan dari kejauhan?
Berbau harum seperti cendana emas,
terang seperti matahari; Anda adalah seorang wanita yang langsing
dan memikat hati, begitu indah untuk dilihat.
Begitu lembut dan murni, dengan pinggang ramping
dan gaya jalan yang anggun; Gerakan-gerakanmu begitu penuh
keanggunan, menghanyutkan pikiranku.
Pahamu, seperti belalai gajah, terlihat mengecil
di ujungnya dengan bagus;
Pinggulmu, lembut untuk disentuh,
bulat seperti perisai gandar.
Pusarmu seperti ditandai oleh filamen bunga teratai,
Seolah-olah seperti dikerumuni oleh pelembab mata
berwarna hitam, dilihat dari kejauhan.
Payudara kembar yang samar, seperti buah labu
yang terbelah dua, menyembulkan bundaran mereka,
berada pada posisi yang kencang, meskipun mereka
tidak disokong oleh satu gagang apa pun.
Bibirmu semerah lidahmu, dan, wahai petanda baik,
lehermu panjang seperti leher jerapah yang tertanda dengan tiga garis90.
[156] Gigimu yang disikat dengan serat kayu,
selalu terjaga bersih dan putih, bersinar di dalam rahang
atas dan bawahmu dengan sinar putih yang murni.
Matamu memiliki bentuk yang besar dan panjang,
suatu pandangan yang indah untuk dilihat, hitam dengan lingkaran
kemerah-merahan, seperti buah saga91.
Rambutmu yang halus, tidak terlalu panjang dan terikat
dengan ikatan yang rapi, berwarna emas di ujungnya
dan di-bau-i oleh cendana yang terbaik.

Dari semuanya, yang hidup dengan barang dagangan,
yang hidup dengan ternak atau dengan bajak,
dari semua resi yang menapaki kehidupan suci;
Di antara mereka semua di dalam dunia ini
saya tidak pernah melihat orang seperti dirimu.
Oleh karenanya, saya merasa senang untuk mengetahui
siapa namamu dan anak siapakah dirimu.
[157] Selagi petapa itu demikian melantunkan pujian terhadap dirinya dimulai dari kaki sampai ke ujung rambut, Alambusa tetap diam. Dan setelah melihat bagaimana terganggunya pikiran sang petapa dari perkataannya yang panjang lebar itu, Alambusa mengucapkan bait berikut:
Dewa memberkatimu, Kassapa92, temanku,
waktunya telah lewat dan berlalu bagi pertanyaan yang tak ada gunanya seperti ini
—karena bukankah cuma ada kita berdua?—Ayo mari kita masuk ke dalam
tempat pertapaanmu, sembari merangkul kesempatan untuk membuktikan
ribuan kenikmatan yang terkenal bagi semua penggemar cinta.
Setelah berkata demikian, Alambusa berpikir, “Jika saya tetap berdiri saja, ia tidak akan berada dalam jangkauanku. Saya akan membuat seolah-olah saya akan pergi,” dan dengan segala tipu muslihat seorang wanita, ia menggoyahkan tujuan dari petapa tersebut di saat ia pergi dari tempat ia tadinya datang menghampiri petapa itu.

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru mengucapkan bait kalimat berikut:

Setelah ini dikatakan, Alambusa, bidadari yang cantik,
hendak pergi dengan kecepatan penuh, dengan tujuan
menggoda Isisinga yang suci agar melakukan perbuatan salah.
[158] Kemudian petapa tersebut berteriak ketika melihat ia yang hendak pergi, “Ia akan pergi,” dan dengan satu gerakan cepat, ia menghadang bidadari itu ketika sedang berusaha pergi dengan lambatnya, dan dengan tangannya petapa itu menahan dirinya pada bagian rambut.
Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Untuk menahan kepergiannya, petapa itu dengan kecepatan
seperti angin berhembus kencang menghalangi bidadari tersebut
dan menahannya dengan memegang rambutnya.
Persis di tempat petapa itu berdiri, bidadari tersebut memeluknya
dalam rangkulan tangannya, dan seketika itu juga konsentrasi pikirannya terganggu
berhadapan dengan daya tarik bidadari.
Dengan kekuatan pikirannya, sang bidadari terbang ke tempat Dewa Indra di Nandanavana;
Dewa itu segera mengabulkan keinginannya dan mengirimkan sebuah kereta emas,
Dengan karpet yang dibentangkan dan seluruhnya dihias dengan perhiasaan yang beraneka ragam:
Dan di sana sang petapa larut dalam kekuasaan bidadari dalam waktu yang lama.
Tiga tahun berlalu melewati kepalanya seolah-olah itu seperti kurun waktu yang singkat,
Sampai akhirnya petapa itu sadar dari kesalahannya.
Ia melihat pohon-pohon hijau di setiap sisi; sebuah altar berdiri di dekatnya,
dan hutan yang menghijau itu menggemakan suara keras burung tekukur.
Ia melihat sekelilingnya dan dengan ratap tangis ia mencucurkan air mata yang menyedihkan;
‘Saya tidak memberikan persembahan, tidak membaca sutta; tidak ada persembahan di sini.
Tinggal di dalam hutan ini sendirian, siapakah penggodaku?
Siapa yang dengan perbuatan jahat telah mengalahkan semua indra di dalam diriku,
seperti sebuah kapal dengan muatan berharga yang karam di laut?’
[159] Mendengar ini, Alambusa berpikir, “Jika saya tidak memberitahunya, ia akan mengutuk diriku. Saya akan memberitahu ia yang sesungguhnya,” dan dengan berdiri di dekatnya dalam wujud yang dapat dilihat, bidadari itu mengucapkan bait ini:
Diutus oleh Dewa Sakka, saya berdiri di sini,
seorang pelayan yang siap melayanimu;
Keadaan pikirankulah yang menyebabkan kehancuran kebahagiaanmu,
dan Anda lengah tidak mengetahuinya.
Mendengar perkataannya, petapa itu teringat akan nasihat ayahnya, dan meratapi bagaimana ia mengalami kehancuran yang besar karena tidak mematuhi kata-kata ayahnya itu, ia mengucapkan empat bait kalimat berikut:

Kassapa, ayahku, suatu ketika menasihati seorang pemuda agar tidak lengah:
‘Wanita itu secantik bunga teratai ini; Jangan lengah, Anak muda,
terhadap kekuatan mereka yang sesungguhnya.
Jangan lengah terhadap daya pikat mereka yang tersembunyi,
waspadalah akan bahaya yang mengintai di sana.’ Demikianlah ayahku,
tergerak oleh rasa welas asih, telah memperingatkan putra yang dikasihinya.
[160] Kata-kata bijak ayahku, karena lalai, tidak kuhiraukan;
Dan sekarang sendirian, di dalam penderitaan yang menyedihkan,
saya tinggal di hutan belantara ini.
Terkutuklah perbuatan lampau-ku itu; Mulai saat ini
saya akan melakukan seperti apa yang dinasihatkan kepadaku.
Karena lebih baik menghadapi kematian itu sendiri,
daripada berada dalam masalah demikian lagi.
Maka ia melenyapkan semua nafsu kesenangan indriawi, dan memunculkan jhana. Kemudian Alambusa yang melihat kecemerlangannya sebagai seorang petapa dan mengetahui bahwa ia telah memasuki jhana, menjadi takut dan meminta maaf.

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru mengucapkan dua bait kalimat berikut:

Tidak lama setelah Alambusa mengetahui kekuatan
dan ketetapan hati dari Isisinga,
Kemudian dengan membungkuk rendah, untuk berkata
kepada petapa tersebut, bidadari itu langsung menyembah di kakinya.

‘Wahai maharesi, hilangkanlah semua kemarahan,
sebuah kesalahan besar telah kuperbuat,’ teriaknya,
‘di saat para dewa bergetar ketakutan mendengar namamu.’
Kemudian petapa itu melepaskannya dengan berkata, “Saya memaafkanmu, Wanita. Pergilah dengan sukacita.” Dan ia mengucapkan satu bait kalimat:

Ampunanku kepada dewa-dewa Tāvatiṁsā
Dan kepadaVāsava, pemimpin mereka, juga kepadamu:
Pergilah, Wanita, karena Anda telah bebas.
Setelah memberi hormat kepadanya, bidadari itu pergi kembali ke kediaman para dewa dengan menggunakan kereta yang berwarna emas itu juga.

[161] Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru mengucapkan tiga bait kalimat berikut:
Kemudian setelah menyentuh kaki resi tersebut
dan berputar ke arah kanan, dengan kedua tangan
dalam sikap anjali, bidadari itu menghilang dari pandangannya,
Dan setelah menaiki kereta emas itu
yang memiliki banyak tali kekang dan terhias sangat bagus,
bidadari itu melaju cepat menuju ke alam dewa.

Seperti obor yang menyala atau kilat yang bercahaya,
ia mengarah tepat ke langit;
Dan Sakka, yang bersukacita, berseru, ‘
Tidak ada keinginan yang tidak kukabulkan.’
Untuk mendapatkan keinginan darinya, bidadari itu mengucapkan bait terakhir berikut:

Jika Sakka, raja para dewa, bersedia
mengabulkan keinginan hatiku, maka jangan
meminta diriku untuk menggoda seorang
yang suci lagi untuk melanggar janjinya.
____________________

Sang Guru menyelesaikan uraian-Nya di sini kepada bhikkhu itu, memaklumkan kebenarannya, dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna—“Pada masa itu, Alambusa adalah mantan istri dari bhikkhu tersebut, Isisinga adalah bhikkhu yang menyesal, dan ayahnya, sang maharesi, adalah diri saya sendiri.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com