Sariputta | Suttapitaka | GAṆḌATINDU-JĀTAKA Sariputta

GAṆḌATINDU-JĀTAKA

Gandha­tin­du­ka­jātaka (Ja 520)

“Ketidaklalaian adalah jalan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang nasihat kepada seorang raja.

Tentang nasihat kepada raja ini telah diceritakan secara lengkap51.
____________________

Dahulu kala di Kerajaan Kampilla, di sebuah kota sebelah utara Pancala, seorang raja yang bernama Pancala memerintah kerajaannya dengan tidak benar (tidak sesuai dengan Dhamma) karena berada di jalan yang salah dan bersifat ceroboh. Demikian juga para menterinya, sama seperti dirinya, menjadi tidak benar.

Tertindas dengan urusan pajak, rakyat-rakyatnya membawa istri dan keluarga mereka pergi ke dalam hutan seperti hewan liar. Tempat yang tadinya terdapat desa-desa menjadi tidak ada apa-apa lagi sekarang. [99] Disebabkan oleh rasa takut kepada anak buah raja, mereka tidak berani tinggal di dalam rumah pada siang hari, mereka memagari rumah dengan ranting-ranting pohon berduri; begitu hari mulai terang, mereka pun menghilang masuk ke dalam hutan. Pada siang hari, mereka dirampas oleh anak buah raja dan dirampas oleh perampok pada malam hari.

Pada waktu itu, Bodhisatta terlahir dalam wujud seorang dewa yang berdiam di satu pohon tinduka yang wangi, di luar kota tersebut.

Setiap tahun, ia mendapatkan sajian persembahan senilai seribu keping uang dari raja dan ia berpikir, “Ini adalah suatu kelalaian yang salah; seluruh kerajaannya akan hancur. Selain diriku, tidak ada orang lain lagi yang dapat membuat raja ini berada di jalan yang benar. Ia adalah penyokong hidup bagiku dan setiap tahun memujaku dengan sajian persembahan senilai seribu keping uang. Saya akan menasihatinya.”

Maka pada malam harinya, ia masuk ke dalam kamar tidur kerajaan, mengambil posisi di pangkal ranjang, berdiri melayang di udara, dan memancarkan cahaya yang terang. Ketika melihat dirinya yang bersinar demikian seperti matahari yang baru terbit, raja menanyakan siapa dirinya dan apa sebab kedatangannya.

Mendengar perkataannya ini, ia berkata, “Paduka, saya adalah dewa pohon tinduka dan saya datang untuk memberikan Anda nasihat yang baik.” “Nasihat apa yang akan Anda berikan padaku?” kata raja. “Paduka,” kata Sang Mahasatwa, “Anda telah bersifat lalai dalam pemerintahanmu, dan demikian kerajaanmu akan hancur, seperti mangsa bagi orang bayaran. Raja yang lalai dalam pemerintahannya bukanlah penguasa dari seluruh daerah kerajaannya, dalam kehidupan ini ia akan mengalami kehancuran dan dalam kehidupan berikutnya mereka akan terlahir kembali di alam neraka. Jika mereka lalai di dalam daerah kekuasaannya maka mereka juga lalai di luar daerah tersebut. Oleh karena itu, seorang raja harus benar-benar waspada (tidak lalai),” dan setelah berkata demikian, ia mengucapkan bait-bait kalimat berikut ini untuk mengajarkan Dhamma kepadanya:

Ketidaklalaian adalah jalan menuju nibbāna (nibbana),
sedangkan kelalaian menuntun pada kematian;
Jiwa yang penuh perhatian tidak pernah padam,
sedangkan jiwa yang lengah sama seperti mati.
Kelalaian timbul sebagai akar dari keangkuhan,
dengan adanya kelalaian muncullah perusakan,
dan perusakan adalah induk dari noda;
Jauhkanlah diri dari keangkuhan.
Dikarenakan kelalaian, jiwa-jiwa pemberani (kaum kesatria)
banyak sekali kehilangan harta kekayaan dan kekuasaan (kerajaan);
Dan demikian para penduduk desa menjadi seperti gelandangan,
tanpa rumah, semuanya menyedihkan.
[100] Ketika seorang kaum kesatria menjadi lengah,
tidak benar terhadap nama dan ketenarannya;
jika semua kekayaannya tiba-tiba habis,
maka sang kesatria (raja) itu dipandang sebagai noda.
Wahai raja, Anda menjadi lengah tidak pada waktunya,
melenceng jauh dari Dhamma;
Kerajaanmu yang dahulunya begitu makmur,
sekarang menjadi mangsa bagi para perampok.
Tidak ada putra yang dapat mewarisi kerajaanmu,
begitu juga dengan emas dan harta kekayaanmu;
Kerajaanmu menjadi mangsa bagi para perampas
dan seluruh kekayaanmu akan habis.
Raja yang kehilangan kerajaannya beserta dengan
harta kekayaannya yang banyak, tidak akan dianggap
dan dihormati oleh kerabat dan sanak keluarganya.
Ketika para penunggang gajah, hulubalang,
penunggang kereta pertempuran dan bala tentaranya yang pemberani,
melihat dirinya yang tidak memiliki apa-apa lagi,
mereka tidak lagi akan menganggap dan menghormati dirinya.
Orang bodoh yang dituntun oleh nasihat buruk
akan suatu perbuatan yang tidak benar akan kehilangan
kemasyhurannya, sama seperti ular
yang berganti kulit (membuang kulit lamanya).
Akan tetapi, orang gigih yang bangkit pada waktunya,
maka kekayaan, sapi dan hewan ternak lainnya akan bertambah.
Maharaja, bukalah telingamu dan dengarkan
apa yang dikatakan oleh orang-orangmu.
Dengan melihat dan mendengar yang sebenarnya itu
memungkinkan Anda untuk mendapatkan keberuntungan.


[101] Demikianlah Sang Mahasatwa menasihati raja dalam sebelas bait kalimat tersebut, dan ia berkata, “Pergilah, jangan tunda lagi, kembangkanlah kerajaanmu dan jangan menghancurkannya,” kemudian ia kembali ke kediamannya. Raja yang mendengarkan kata-katanya dan yang menjadi begitu tergugah, keesokan harinya ia mengalihkan kerajaan kepada para menterinya, dan ditemani dengan petapa kerajaannya, ia meninggalkan kota itu pagi-pagi sekali melalui gerbang timur [102] dan melewati jarak yang beryojana-yojana jauhnya.
Di sana, seorang lelaki tua, penduduk asli desa tersebut, membawa ranting-ranting berduri dari hutan, meletakkannya di sekeliling rumah, menutup pintu rumah, beserta dengan istri dan anak-anaknya masuk ke dalam hutan. Di malam hari ketika anak buah raja telah pergi, ia kembali ke rumah, dan kakinya tertusuk duri dekat pintu rumahnya. Setelah duduk dengan kaki disilangkan, sambil mengeluarkan duri itu, ia mencerca raja dalam bait kalimat berikut ini:

Semoga Pancala menderita karena tertusuk
oleh anak panah dalam suatu pertempuran,
seperti saya yang menderita hari ini
karena terluka oleh sebuah duri.
Cercaan terhadap raja ini terucapkan karena kekuatan dari Bodhisatta (dewa pohon tinduka), dan seperti orang yang dirasuki oleh Bodhisatta, ia mencerca raja. Demikianlah tindakannya harus dilihat. Persis saat itu, raja dan pendeta kerajaannya berdiri di depan laki-laki tersebut, dalam samaran. Jadi setelah mendengar perkataannya, pendeta kerajaan itu mengucapkan bait berikutnya:

Tuan, Anda sudah tua dan penglihatanmu sudah kabur
untuk melihat benda-benda dengan benar;
Dan mengenai Raja Brahmadatta, apa hubungan kakimu
yang tertusuk duri ini dengan dirinya?
Mendengar ini, laki-laki tua tersebut mengucapkan tiga bait kalimat berikut:

Ini disebabkan oleh Brahmadatta,
saya tersiksa dengan rasa sakit; sama seperti rakyat
yang tanpa penjagaan dimusnahkan oleh para penindas mereka.
Pada malam hari kami dirampas oleh para perampok,
pada siang hari oleh para pemungut pajak; Orang-orang jahat
makmur berlimpah di daerah kekuasaan kerajaan
ketika raja yang tidak benar memerintah.
Menderita oleh rasa takut yang demikian,
orang-orang melarikan diri ke dalam hutan
dan di sekeliling tempat tinggal mereka menyebarkan
ranting berduri, untuk keamanan mereka.
[103] Mendengar ini, raja menyapa pendeta kerajaanya, “Guru, orang tua ini berkata benar. Ini adalah kesalahan kita. Ayo, mari kita kembali dan pimpin kerajaan ini dengan benar.” Kemudian Bodhisatta, yang mengambil alih kekuasaan di badan pendeta kerajaan tersebut (merasukinya), berdiri di depan raja dan berkata, “Paduka, mari kita selidiki masalahnya (lebih lanjut).”
Dan setelah melewati desa tersebut, mereka pergi ke desa yang lain dan mendengar kata-kata yang diucapkan oleh seorang wanita tua. Dikatakan bahwa ia adalah seorang wanita yang miskin dan memiliki dua orang putri dewasa yang dirawatnya, yang tidak diizinkan olehnya untuk masuk ke dalam hutan. Akan tetapi, ia sendiri yang membawa kayu bakar dan dedaunan pohon dan melayani putri-putrinya. Suatu hari ia naik ke satu pohon untuk mengumpulkan dedaunan dan terjatuh ke tanah. Ia pun mencerca raja, mengutuk dirinya dengan kematian, dan mengucapkan bait berikut:

Oh! Kapankah Brahmadatta mati?
Karena selama ia yang berkuasa, putri-putri kami
akan hidup dengan tidak dapat menikah
dan tidak pernah mendapatkan suami.
Kemudian sang pendeta kerajaan yang ingin meminta penjelasan dari wanita itu, mengucapkan bait kalimat berikut:

Wahai wanita, kata-katamu tidaklah benar dan beralasan,
mengapa raja harus mencarikan seorang suami
bagi setiap wanita yang ada di daerah kekuasaannya?


[104] Mendengar perkataan ini, wanita tua itu mengucapkan dua bait kalimat berikut:
Tidaklah salah kata-kataku ini, juga tidak tanpa alasan,
selama rakyat yang tanpa penjagaan
dimusnahkan oleh para penindas mereka.
Pada malam hari kami dirampas oleh para perampok,
pada siang hari oleh para pemungut pajak; Orang-orang jahat
makmur berlimpah di daerah kekuasaan kerajaan
ketika raja yang tidak benar memerintah.
Di saat yang tidak baik, wanita-wanita miskin
menjadi sedih karena mereka tidak bisa memiliki suami.
Mendengar perkataannya tersebut, mereka berpikir, “Ia berbicara langsung pada sasarannya,” dan setelah pergi ke tempat yang lebih jauh lagi, mereka mendengar apa yang dikatakan oleh seorang petani. Dikatakan bahwa ketika sedang membajak, sapinya yang bernama Sāliya (Saliya) terbaring di tanah setelah terpukul oleh bajak, dan pemiliknya pun mencerca raja dan mengucapkan bait berikut:

Semoga Pancala jatuh ke tanah
terkena tusukan tombak musuhnya,
seperti Saliya, makhluk malang
yang terbaring di sini, terluka oleh bajak.
Kemudian untuk meminta penjelasannya, pendeta kerajaan itu berkata:



Meskipun tidak ada penyebab yang benar,
Anda murka kepada Brahmadatta dan mencerca sang raja,
yang kesalahan sebenarnya adalah milikmu sendiri.
Mendengar ini, petani tersebut menjawabnya dalam tiga bait kalimat berikut:

Saya marah kepada Brahmadatta
dan saya akan tetap demikian;
Rakyat yang tanpa penjagaan
dimusnahkan oleh para penindas mereka.
Pada malam hari kami dirampas oleh para perampok…
[105] Pelayan harus dua kali memasak makanan52
dan terlambat membawakannya untukku;
Di saat kami semua menantikan
dirinya (membawa makanan), sapiku terluka.
Setelah berjalan lebih jauh lagi, mereka tinggal di sebuah desa. Keesokan harinya pada waktu pagi-pagi sekali, seekor sapi yang galak menendang sang pemerah53 dan membuatnya terbalik, serta menumpahkan susu dan semuanya. Laki-laki tersebut mencerca Brahmadatta dan mengucapkan bait berikut:



Semoga Raja Pancala jatuh tertusuk oleh sebilah pedang
di dalam pertempuran, seperti saya yang hari ini
terjatuh karena tendangan sapi, ember susu dan semuanya.
Pendeta kerajaan berkata dalam satu bait kalimat:

Katakanlah seekor sapi menendang seseorang (yang bodoh),
atau menumpahkan seember susu.
Akan tetapi apa hubungannya ini dengan Brahmadatta
sehingga ia mendapatkan cercaan?
Mendengar ini, si pemerah mengucapkan tiga bait kalimat berikut:

Wahai brahmana, Raja Pancala sudah seharusnya disalahkan,
karena dalam kepemimpinannya rakyat yang tanpa penjagaan
dimusnahkan oleh para penindas mereka.
Pada malam hari kami dirampas oleh para perampok…
Seekor sapi yang liar dan ganas yang belum pernah
kami perah sebelumnya harus kami perah hari ini
disebabkan permintaan akan susu semakin meningkat.
[106] Mereka berkata, “Ia berkata benar,” dan setelah pergi dari desa itu, mereka sampai di jalan raya dan berjalan menuju ke arah kota. Di satu desa, para pemungut pajak membunuh seekor anak sapi yang berbintik-bintik dan mengambil kulitnya untuk membuat sebuah sarung pedang. Induk sapi ini sangat sedih karena kehilangan anaknya sehingga ia tidak makan maupun minum, hanya berkeliaran ke sana dan ke sini, sambil meratap tangis. Ketika melihat dirinya ini, anak-anak desa tersebut mencerca raja dan mengucapkan bait kalimat berikut:
Semoga Pancala menjadi kurus kering dan menangis
tanpa hasil untuk mendapatkan seorang anak, seperti sapi malang ini
yang menjadi kacau mencari anaknya yang telah dibunuh oleh mereka.
Kemudian pendeta kerajaan tersebut mengucapkan satu bait berikutnya:

Seekor hewan terpisah dari kelompoknya
dan bersuara keras untuk menenangkan rasa sakitnya;
Dalam hal ini alasan apa yang membuat kalian mencerca Brahmadatta?
Kemudian anak-anak desa itu mengulangi dua bait kalimat berikut:

Brahmana, kesalahan Raja Brahmadatta dalam hal ini cukuplah jelas;
Rakyat yang tanpa penjagaan dimusnahkan oleh para penindas mereka.
Pada malam hari kami dirampas oleh para perampok,
pada siang hari oleh para pemungut pajak; orang-orang jahat makmur
berlimpah di daerah kekuasaan kerajaan
ketika raja yang tidak benar memerintah.
Mengapa seekor anak sapi harus dibunuh,
hanya untuk sebuah sarung pedang?
“Kalian berkata benar,” kata mereka dan pergi. Kemudian di dalam perjalanan mereka berikutnya, di sebuah kolam yang kering, burung-burung gagak sedang menyerang katak-katak dengan paruhnya dan memakan mereka. Ketika mereka sampai di tempat ini, Bodhisatta dengan menggunakan kekuatannya mencerca raja melalui mulut salah satu katak tersebut, dengan berkata:

[107] Semoga Pancala terbunuh di pertempuran dan dimakan,
begitu juga anak-anak dan semuanya, seperti saya, katak hutan,
yang menjadi mangsa bagi burung gagak.
Mendengar perkataan ini, sang pendeta kerajaan berbicara dengan katak tersebut dengan mengucapkan bait kalimat berikut:

Katak, seperti yang kamu harus tahu,
raja tidak mampu menjaga semua makhluk yang ada di bawah ini.
Dalam hal ini, burung-burung gagak itu memakan makhluk hidup
seperti dirimu, ia bukanlah seorang raja yang jahat.
Ketika mendengar ini, katak tersebut mengucapkan dua bait kalimat berikut:

Brahmana dengan perkataan yang begitu meninggikan hati;
demikian dengan salah pula memperdaya raja.
Raja menganggap kebijaksanaan sang brahmana
sebagai yang terbaik meskipun orang-orangnya tertindas.
Jika memang diberkahi dengan segala kemakmuran,
daerah kerajaan ini seharusnya senang dan damai,
Burung gagak dapat menikmati makanan (persembahan)54,
sehingga tidak perlu menghancurkan kehidupan makhluk lain.
[108] Mendengar ini, raja dan pendeta kerajaan berpikir, “Semua makhluk, termasuk katak yang hidup di dalam hutan, mencerca kita,” dan setelah pergi ke kota dari sana, mereka memerintah kerajaan dengan benar dan dengan mengikuti nasihat dari Sang Mahasatwa, mereka mengabdikan diri mereka dalam pemberian dana dan melakukan kebajikan lainnya.
____________________
Sang Guru mengakhiri uraian kepada Raja Kosala ini dengan kata-kata berikut, “Paduka, seorang raja harus meninggalkan jalan-jalan yang tidak benar dan memerintah kerajaannya dengan benar,” dan Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, dewa pohon tinduka adalah diri saya sendiri.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com