Sariputta | Suttapitaka | SAMBULA-JĀTAKA Sariputta

SAMBULA-JĀTAKA

Sambulājātaka (Ja 519)

“Terpaku diam di tempat,” dan seterusnya. Kisah ini dikisahkan oleh Sang Guru ketika bertempat tinggal di Jetavana, tentang Ratu Mallikā (Mallika).

Cerita pembukanya berhubungan dengan akhir cerita di dalam kisah Kummāsapiṇḍa-Jātaka46.

Dalam kisah ini, dengan pemberian dana makanan berupa tiga mangkuk bubur barli47kepada Sang Tathagata, ia (Ratu Mallika) pada saat itu juga naik kedudukan menjadi ratu utama, memiliki para pelayan pribadi, diberkahi dengan lima sifat yang bajik, berpengetahuan, dan merupakan seorang siswa Sang Buddha, ia menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang istri yang setia. Kesetiaannya tersebar ke seluruh kota.

Pada suatu hari, sebuah perbincangan dimulai di dalam balai kebenaran tentang bagaimana Ratu Mallika itu menjadi seorang istri yang setia.

Sewaktu datang ke sana, Sang Guru bertanya kepada para bhikkhu topik apa yang sedang mereka bicarakan dengan duduk berkumpul bersama. Dan ketika mendengar topik tersebut, Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini, para bhikkhu, tetapi juga di masa lampau, ia adalah seorang istri yang setia.”

Setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________

Dahulu kala, Raja Brahmadatta memiliki seorang putra yang bernama Sotthisena dan ketika ia dewasa, raja menjadikannya sebagai wakil raja. Permaisurinya saat itu bernama Sambulā (Sambula), yang sangat cantik dan diberkahi dengan rupa yang demikian berseri sehingga terlihat seperti cahaya yang bersinar di tempat yang terlindungi.

Kemudian penyakit lepra menyerang Sotthisena dan para tabib (dokter) tidak mampu mengobatinya. Ketika luka-lukanya mengeluarkan nanah, ia menjadi orang yang sangat menjijikkan sehingga dalam keputusasaannya, ia berteriak, “Apalah gunanya kerajaan bagiku? Saya akan memilih mati tanpa seorang teman pun di dalam hutan.” Dengan meminta mereka memberitahukan raja akan hal ini, ia meninggalkan kediaman selirnya dan berangkat pergi.

Meskipun Sotthisena mencoba berbagai cara untuk menghentikan Sambula, tetapi ia (Sambula) tetap menolak untuk kembali dan berkata, “Tuanku, saya akan menjagamu di dalam hutan,” ia pun keluar dari kota bersama dengannya.

Setelah masuk ke dalam hutan, Sotthisena membangun sebuah balai (yang terbuat dari) daun dan bertempat tinggal di sebuah tempat yang teduh dan memiliki perairan yang bagus, tempat buah-buahan berlimpah ruah. Kalau begitu bagaimana cara wanita kerajaan itu menjaga dirinya? Ia selalu bangun cepat di pagi hari, menyapu halaman tempat pertapaannya, menyiapkan air minum untuknya, [89] menyediakan sikat gigi dan air untuk mencuci muka. Dan setelah mukanya dicuci, ia menggiling tanaman obat-obatan dan mengoleskan ramuan itu pada lukanya, serta memberikannya buah yang manis untuk dimakan.

Setelah ia selesai mencuci muka dan membersihkan tangannya, Sambula memberi salam hormat kepadanya dan berkata, “Bersungguh-sungguhlah dalam melakukan kebajikan, Tuanku.” Kemudian dengan membawa sebuah keranjang, cangkul dan pengait, Sambula masuk ke dalam hutan untuk mengumpulkan buah-buahan, dan membawanya, kemudian meletakkannya di satu sisi. Dan setelah mengambil air sebanyak satu kendi, dengan berbagai macam bubuk dan tanah liat ia membersihkan tubuh Sotthisena dan memberikannya buah-buahan lagi. Ketika ia selesai makan, Sambula membawakan air yang harum untuknya dan ia sendiri memakan buah-buahan tersebut.

Kemudian ia menyiapkan sebuah papan dengan alasnya, ketika Sotthisena berbaring di atasnya, ia membasuh kakinya. Dan setelah memakaikan pakaiannya serta membersihkan kepala, punggung, dan kakinya, Sambula masuk dan berbaring di samping tempat tidur; dengan cara inilah ia menjaga suaminya.

Suatu hari, ketika membawa buah dari dalam hutan, ia melihat sebuah gua gunung. Dengan menurunkan keranjang dari kepalanya, ia berdiri di sisi gua tersebut, dan dengan melangkah turun untuk mandi, ia menggosok seluruh badannya dengan warna kuning dan mandi. Setelah membersihkan dirinya, ia naik kembali, mengenakan pakaian kulit kayunya dan berdiri di sisi kolam. Dan seluruh isi hutan diterangi oleh sinar yang terpancar dari dari tubuhnya.

Pada waktu itu, sesosok asura yang sedang berkeliaran mencari mangsa melihat dirinya dan menjadi jatuh cinta kepadanya. Sang asura mengucapkan dua bait kalimat berikut:

Terpaku diam di tempat dan seperti gemetar ketakutan,
siapa itu yang sedang berdiri di gua berbatu ini?
Katakanlah kepadaku, wahai wanita yang berpinggang ramping,
siapa sanak keluargamu dan siapa namamu.
Siapakah Anda, Nona, yang sangat cantik dan cerah,
Dan apa yang kau lakukan sehingga kelahiranmu ini dapat menerangi hutan ini,
tempat tinggal yang cocok bagi setiap hewan pemangsa?
Saya, seorang asura, memberikan penghormatan kepadamu.
[90] Mendengar apa yang dikatakannya tersebut, Sambula menjawabnya dalam tiga bait kalimat:
Pangeran Sotthisena, yang sangat terkenal,
adalah ahli waris takhta Kerajaan Kasi.
Dan saya, istri yang dinikahi oleh pangeran ini,
dikenal dengan nama Sambula.
Putra mahkota Videha sedang sakit dan berbaring di dalam hutan;
Saya sendirian menjaga dirinya yang diserang oleh rasa sakit.
Jika tidak, ia pasti telah mati.
Sedikit daging rusa yang lezat ini saya dapatkan dari dalam hutan,
dan akan saya berikan kepada suamiku hari ini,
yang saat ini sedang terbaring lemah menantikan makanan.
Kemudian diikuti dengan bait-bait kalimat yang diucapkan secara bergantian oleh asura dan wanita tersebut:

Wahai Sambula, apalah gunanya suamimu yang sakit ini bagimu?
Yang ia butuhkan bukanlah seorang istri, melainkan seorang perawat.
Saya bersedia menjadi suamimu.
Diliputi dengan penderitaan, saya adalah orang yang malang,
saya tidak mengatakan bahwa diriku cantik.
Jika Anda ingin mencari seorang istri,
cobalah pergi cari wanita yang lebih cantik.
Empat ratus istri saya miliki untuk menghiasi rumahku di bukit sana;
Wahai nona, sudilah kiranya Anda menjadi
pemimpin mereka, dan mengabulkan permintaanku.
Wanita cantik yang demikian cerah dengan cahaya emas,
apa pun yang kau inginkan adalah tugasku untuk memberikannya.
Jadi ikutlah dan jalani kehidupan dengan kesenangan bersamaku.
[91] Tetapi jika menolak untuk menjadi istriku, maka kau
akan menjadi mangsaku, dan akan bagus disajikan
sebagai santapan untuk sarapanku hari ini.
(Asura kejam itu dengan tujuh ikatan rambutnya yang menunjukkan kengerian yang menakutkan, yang melihat Sambula tersesat, menangkap tangannya.

Walaupun demikian tertangkap olehnya, pisaca48 kejam itu, musuhnya yang penuh nafsu dan kotoran batin, tetapi Sambula masih mencintai suaminya yang sedang sendirian dan juga tidak bisa melupakan penderitaannya.)

Tidak ada penderitaan bagiku jika harus menjadi
mangsa dari raksasa yang penuh dengan kebencian ini.
Akan tetapi adalah penderitaan bagiku
bahwa suami terkasihku harus berpisah denganku.
Tidak ada satu dewa pun di sini, mereka berada jauh dari dirimu,
tidak ada juga penjaga dunia yang kulihat,
untuk menjaga tidak terjadinya perbuatan (kejam) ini
dan mencegah segala tindakan perbuatan tidak bermoral yang tak terkendali.
[92] Kemudian kediaman Sakka tergoyang oleh ketaatan dari sila Sambula, takhta marmernya yang berwarna kuning mengeluarkan tanda panas. Dengan memeriksa (mencari tahu), Sakka menemukan penyebabnya, dan dengan membawa batu permatanya, ia datang dengan segala kecepatannya. Dan setelah berdiri di atas asura itu, ia mengucapkan bait berikut:
Di antara para wanita, pemimpin yang terkenal,
ia adalah orang yang bijak dan sempurna, terang seperti cahaya (api).
Jika kamu memakan dirinya, wahai raksasa,
kepalamu akan terpecah menjadi tujuh bagian.
Jadi jangan melukainya; lepaskanlah dirinya,
karena ia adalah seorang istri yang setia.
Mendengar ini, sang asura melepaskan Sambula. Dewa Sakka berpikir, “Asura ini nantinya akan melakukan kesalahan dalam hal yang sama lagi,” maka ia mengikat tubuhnya dengan rantai dewa dan melepaskan dirinya di gunung ketiga dari sana sehingga tidak mungkin kembali lagi. Setelah memberikan nasihat secara sungguh-sungguh kepada wanita kerajaan tersebut, Sakka kembali ke kediamannya. Dan setelah matahari terbenam, putri itu sampai di tempat pertapaan tersebut dengan bantuan sinar bulan.

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru mengulangi delapan bait kalimat berikut:

Terlepas dari raksasa itu, Sambula kembali ke gubuknya,
seperti induk burung yang kembali menemukan anaknya mati.
Atau seperti lembu yang anaknya dirampas, meratap sedih dan menangis.
Sambula, sang wanita kerajaan, meratap demikian ini
dengan mata terbeliak, tidak berdaya, sendirian di dalam hutan.
Terpujilah para petapa dan brahmana, juga para resi.
Dalam kesendirian, saya mencari tempat berlindung kepadamu.
Terpujilah kalian para singa dan harimau
serta semua hewan lainnya yang tinggal di dalam hutan.
Terpujilah rumput-rumput, tanaman herba dan tanaman menjalar.
Terpujilah hutan-hutan yang hijau dan gununggunung yang tinggi.
Terpujilah sang malam, yang dihiasi oleh bintang-bintang di ketinggian,
yang gelap seperti bunga teratai biru dengan warna paling tua.
[93] Terpujilah Sungai Gangga, ia adalah induk dari sungai-sungai,
yang dikenal oleh manusia sebagai Bhāgīrathī.
Terpujilah Himalaya, yang merupakan raja gunung,
kumpulan barisan pegunungan yang tinggi besar, melebihi segalanya.
Berkenaan dengan keadaan dirinya ketika ia mengucapkan ratapan ini, Sotthisena berpikir, “Ia meratap tangis berlebihan, saya tidak tahu pasti apa makna dari semua ini. Jika ia melakukannya karena cintanya kepadaku, hatinya pasti hancur. Saya akan mengujinya.” Ia pergi dan duduk di pintu gubuknya. Sambula, yang masih meratap sedih, sampai di pintu, dan dengan membungkuk memberi hormat ia berkata, “Tuanku pergi ke mana saja?” “Istriku,” katanya, “pada hari-hari biasa Anda tidak pernah datang pada jam begini. Hari ini, Anda sangat telat,” [94] dan dalam bentuk sebuah pertanyaan ia mengucapkan bait kalimat berikut ini:

Wanita yang termashyur, mengapa begitu telat hari ini?
Ada gerangan apa yang menyebabkan keterlambatan ini?
Kemudian ia menjawab, “Tuanku, ketika saya sedang berjalan pulang membawa buah-buahan, saya bertemu dengan satu asura dan ia jatuh cinta kepadaku, dan dengan menahan tanganku, ia berkata dengan keras: ‘Kalau Anda tidak mematuhi kata-kataku, saya akan memakanmu hidup-hidup.’ Dan pada waktu itu, dengan merasa sedih kepada hanya dirimu, saya mengucapkan ratapan ini; dan ia mengulangi bait kalimat berikut:

Tertangkap oleh musuhku, penuh dengan penderitaan,
kata-kata ini saya ucapkan kepadanya:
‘Tidak ada penderitaan bagiku jika harus menjadi mangsa
dari raksasa yang penuh dengan kebencian ini. Akan tetapi
adalah penderitaan bagiku bahwa suami terkasihku harus berpisah denganku.’ ”
Kemudian ia menceritakan semuanya kepada Sotthisena, dengan mengatakan, “Jadi ketika saya ditangkap oleh asura ini dan tidak dapat membuatnya melepaskanku, saya melakukan sesuatu untuk mendapatkan perhatian dari para dewa. Kemudian Dewa Sakka datang, dengan batu permata di tangannya dan berdiri melayang di udara, ia mengancam asura itu dan membuatnya membebaskan diriku. Ia mengikatnya dengan rantai dewa dan membuangnya ke barisan pegunungan ketiga dari sini, kemudian pergi kembali. Demikianlah saya diselamatkan oleh tindakan dari Dewa Sakka.”

Sotthisena yang mendengar ini, membalas berkata: “Baiklah, Istriku, mungkin memang begitu keadaannya. Sangatlah sulit untuk mengetahui kebenaran dari para wanita. Di daerah pegunungan Himalaya terdapat banyak pemburu, petapa, dan pesakti. Siapa yang akan memercayaimu?” Dan setelah berkata demikian, ia mengucapkan satu bait kalimat berikut:

Kalian, para pelaku perzinaan, benar-benar pintar;
Kebenaran di antara orang yang demikian
adalah suatu kelangkaan yang besar.
Jalannya percintaan cukup membingungkan,
seperti arah jalan seekor ikan di dalam laut.
Mendengar perkataannya ini, Sambula berkata: “Tuanku, meskipun Anda tidak memercayai diriku, tetapi dengan kekuatan dari kebenaran, saya katakan, saya akan menyembuhkanmu.” Maka setelah mengisi sebuah cangkir dengan air dan membuat pernyataan kebenaran, ia menuangkan air itu di kepala suaminya dan mengucapkan bait kalimat berikut:

[95] Semoga kebenaran menjadi pelindungku,
seperti saya yang mencintaimu melebihi siapa pun.
Semoga dengan kebenaran ini,
penyakitmu tersembuhkan hari ini juga.
Ketika ia telah membuat pernyataan kebenaran tersebut, tak lama setelah air dituangkan ke kepala Sotthisena, kemudian penyakit lepra itu hilang dari dirinya, seperti karatan tembaga yang tercuci bersih di dalam larutan asam. Setelah tinggal beberapa hari di sana, mereka meninggalkan hutan tersebut dan sesampainya di Benares, mereka masuk ke dalam taman.

Mendapat kabar tentang kedatangan mereka, raja pergi ke taman. Di sana raja meminta agar payung kerajaan dialihkan kepada Sotthisena dan memberi perintah bahwa Sambula, dengan pemberkatan, harus dinaikkan kedudukannya menjadi ratu utama. Kemudian setelah mengantar mereka ke kota, ia sendiri menjadi seorang pabbajita dan mengambil tempat tinggal di dalam taman itu, tetapi ia masih secara berkesinambungan menerima dana makanannya dari istana.

Dan Sotthisena hanyalah sekedar menganugerahkan Sambula kedudukan sebagai ratu utama, tidak ada kehormatan yang diberikan kepada dirinya dan ia mengabaikan keberadaannya, bersenang-senang dengan wanita-wanita lain. Dikarenakan rasa cemburu kepada para saingannya, Sambula menjadi semakin kurus dan pucat, dan urat-uratnya terlihat timbul di badannya. Suatu hari ketika ayah mertuanya, sang pabbajita, datang untuk menerima dana makanan, untuk menghilangkan kesedihannya, Sambula datang kepadanya sewaktu ia telah selesai makan dengan duduk di satu sisi setelah memberikan salam hormat. Sewaktu melihat Sambula dalam keadaannya yang lemah tersebut, ia mengucapkan satu bait kalimat:

Tujuh ratus ekor gajah sepanjang malam dan siang menjaga Anda,
semuanya siap untuk bertarung; Beratus-ratus pemanah
melindungi Anda dari bahaya.
Dari mana datangnya musuh
yang mengisi dirimu dengan kecemasan?
[96] Sewaktu mendengar perkataannya, Sambula berkata, “Tuan, putramu tidak lagi bersikap sama (seperti yang dulu) kepadaku,” dan mengucapkan lima bait kalimat berikut:
Cantik seperti bunga teratai para wanita yang disukainya,
suara mereka yang seperti suara angsa menggerakkan nafsu terdalamnya,
dan karena ia mendengarkan gaya bicara mereka yang ahli,
maka dalam cintanya saya tidak lagi berkuasa.
Dalam rupa manusia tetapi menyerupai bidadari surga,
mereka bersinar terang berhiaskan (warna) emas, dengan wujud
yang sempurna wanita-wanita itu berbaring dalam pose yang anggun,
untuk memikat mata sang raja.
Jika sekali lagi saya harus mengembara di dalam hutan,
merapu49 makanan untuk makanan kesehariannya, sekali lagi
saya dapat memiliki kembali cinta dari seorang suami,
saya akan mengundurkan diri dari kerajaan untuk berada di dalam hutan.
Ya, orang malang yang kasihan yang tidur di atas tempat tidur jerami50,
jika saja ia mendapatkan kedudukan di mata suaminya.
Ia menikmati kebahagiaan
yang tidak diketahui oleh siapa pun,
kaya dalam segalanya, kecuali dalam cinta.
[97] Ketika ia telah demikian menjelaskan kepada petapa itu tentang penyebab dari keadaan tubuhnya yang kurus kering, raja memanggil Sotthisena dan berkata, “Sotthisena terkasih, di saat Anda dihancurkan oleh penyakit lepra dan mengasingkan diri di dalam hutan, Sambula pergi bersama denganmu dan melayani kebutuhanmu dan dengan kekuatan dari kebenarannya-lah ia menyembuhkan penyakitmu itu. Sekarang setelah ia menjadi alatmu sehingga dapat naik takhta, Anda bahkan tidak tahu di mana ia duduk dan berdiri. Ini adalah perbuatan yang sangat salah. Suatu perbuatan pengkhianatan kepada seseorang seperti ini adalah sebuah perbuatan salah,” dan untuk memarahi putranya, petapa itu mengulangi bait kalimat berikut:
Seorang istri yang penuh kasih sayang sulit ditemukan,
begitu juga halnya dengan seorang suami yang baik kepada istrinya.
Istrimu adalah orang yang bajik dan penuh kasih sayang;
Wahai raja, setialah kepada Sambula.
[98] Setelah demikian memarahi putranya, ia bangkit dan pergi. Ketika ayahnya pergi, raja memanggil Sambula dan berkata, “Istriku, maafkanlah kesalahan yang telah kulakukan selama ini. Mulai saat ini, saya akan menganugerahkan semua kekuasaan kepada dirimu,” dan ia mengucapkan bait terakhir berikut:
Jika Anda, yang memiliki kekayaan berlimpah ruah,
masih tetap kurus kering karena tertekan oleh rasa cemburu,
maka saya dan para wanita ini, makhluk-makhluk bawahanmu,
akan patuh terhadap perintahmu.
Mulai saat itu, pasangan tersebut hidup bahagia bersama dan setelah kehidupan yang dilaluinya dengan berdana dan berbuat kebajikan, mereka pergi menuai hasilnya sesuai dengan perbuatan masing-masing. Setelah menerbitkan jhana dan kesaktian, petapa tersebut muncul di alam brahma.
____________________

Sang Guru menyelesaikan uraian-Nya sampai di sini dan dengan berkata, “Bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau, Mallika menjadi seorang istri yang setia,” Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Sambula adalah Mallika, Sotthisena adalah Raja Kosala, dan ayah, sang petapa, adalah diri saya sendiri.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com