Sariputta | Suttapitaka | CHADDANTA-JĀTAKA Sariputta

CHADDANTA-JĀTAKA

Chaddan­ta­jātaka (Ja 514)

“Yang bermata besar dan tiada tara,” dan seterusnya. Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhuni junior.

Dikatakan, seorang wanita dari keluarga baik-baik di Savatthi, menyadari akan penderitaan dari kehidupan duniawi, menjadi seorang pabbajita. Suatu hari bersama dengan bhikkhuni-bhikkhuni lainnya, ia pergi untuk mendengar khotbah Dhamma dari Bodhisatta yang duduk di atas takhta yang luar biasa megahnya.

Ketika melihat para pengikut-Nya yang diberkahi dengan kecantikan yang luar biasa yang ditimbulkan dari kekuatan jasa-jasa kebajikan yang tak terbatas, sang bhikkhuni junior berpikir, “Saya ingin tahu apakah dalam kehidupan sebelumnya, orang-orang yang saya layani itu adalah para istri dari orang ini.”

Pada saat itu juga, ingatannya akan kelahiran masa lampau muncul di dalam dirinya. “Pada masa Chaddanta, sang gajah, saya terlahir sebagai istri dari orang ini.” Dengan mengingat ini, kebahagiaan dan kegembiraan yang luar biasa menyelimuti perasaan hatinya. Dalam kebahagiaan yang penuh dengan kegembiraan ini, ia tertawa dengan keras, dan berpikir kembali, “Sedikit istri yang dapat berbaik hati dengan suami mereka. Kebanyakan mereka tidak berbaik hati. Saya ingin tahu apakah saya berbaik hati atau tidak kepada orang ini.”

Dengan mengingat kembali kelahiran masa lampaunya, ia mengetahui bahwa ia telah menaruh dendam di dalam hatinya kepada Chaddanta, gajah pemimpin yang berkuasa, yang berukuran seratus dua puluh ratana26, dan mengutus seorang pemburu yang dengan sebatang anak panah beracun melukai dan membunuhnya. Kemudian penyesalan mulai muncul dan hatinya ikut bersedih karenanya, tidak dapat mengendalikan perasaannya, ia pun menangis dengan keras, dengan tersedu-sedu.

Ketika melihat kejadian ini, Sang Guru tersenyum, dan ketika ditanya oleh rombongan siswa-Nya, “Bhante, apa yang menyebabkan Anda tersenyum?”

Beliau berkata, “Para Bhikkhu, bhikkhuni junior ini menangis karena mengingat sebuah perbuatan buruk yang dilakukannya terhadap diriku.”

Setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________

[37] Dahulu kala, delapan ribu ekor gajah yang besar, dengan gerakan kekuatan gaib berpindah melalui angkasa dan mengambil tempat tinggal di dekat Danau Chaddanta di pegunungan Himalaya.
Pada waktu ini, Bodhisatta terlahir sebagai anak dari gajah pemimpin itu. Ia memiliki badan yang berwarna putih murni, dengan kaki dan wajah yang berwarna merah.

Seiring berjalannya waktu, ketika dewasa, ia memiliki tinggi delapan puluh delapan hasta, dan panjang seratus dua puluh hasta. Ia memiliki belalai yang menyerupai tali perak, dengan panjang lima puluh delapan hasta, dan gading yang kelilingnya lima belas hasta, panjangnya tiga puluh hasta, dan mengeluarkan sinar enam warna. Ia menjadi pemimpin dari rombongan gajah yang berjumlah delapan ribu ekor dan memberikan penghormatan kepada para Pacceka Buddha.

Dua ratu pemimpinnya adalah Cullasubhaddā (Cullasubhadda) dan Mahāsubhaddā (Mahasubhadda). Dengan rombongannya yang berjumlah delapan ribu ekor, raja gajah itu membuat tempat tinggalnya di Gua Emas. Ketika itu, Danau Chaddanta panjangnya lima puluh yojana dan lebarnya dua belas yojana. Di bagian tengahnya, dalam satu tempat kosong seluas dua belas yojana, tidak dapat ditemukan tanaman sevāla ataupun paṇaka27 dan danau itu memiliki air yang terlihat seperti permata ajaib.

Di samping danau ini, yang mengelilingi perairan tersebut, adalah belukar yang ditumbuhi oleh bunga lili putih yang luasnya mencapai satu yojana. Di samping bunga ini dan yang mengelilinginya, terdapat belukar yang ditumbuhi oleh bunga bakung biru yang luasnya mencapai satu yojana. Berikutnya terdapat bunga bakung merah dan putih, bunga teratai merah dan putih, bunga seroja putih, masing-masing dengan luas satu yojana, dan saling mengelilingi satu dengan yang lain di depannya.

Berikutnya, di samping ketujuh jenis bunga-bunga ini terdapat semak yang ditumbuhi oleh bunga lili putih dan bunga lili jenis lainnya, yang juga memiliki luas satu yojana dan mengelilingi belukar yang ada di depannya. Berikutnya, di dalam air sedalam gajah dapat berdiri, terdapat belukar yang ditumbuhi oleh sala merah. Berikutnya, di sekeliling air itu terdapat sekumpulan belukar yang penuh dengan banyak jenis bunga yang cantik dan harum bermekaran dengan warna biru, kuning, merah dan putih. Demikianlah kesepuluh belukar itu memiliki luas masing-masing satu yojana.

Berikutnya terdapat belukar yang ditumbuhi beragam jenis kacang-kacangan. Berikutnya terdapat kumpulan tumbuhan labu, mentimun, dan tumbuhan menjalar lainnya. Berikutnya terdapat kelompok tumbuhan tebu yang seukuran dengan pohon palem. Berikutnya terdapat kelompok pohon pisang yang buahnya seukuran dengan gading gajah. [38] Berikutnya terdapat ladang pohon sala. Berikutnya, kelompok pohon nangka yang buahnya seukuran dengan tempayan. Berikutnya ada kelompok pohon asam dengan buahnya yang enak. Berikutnya, kelompok pohon apel gajah28. Berikutnya, kelompok pohon-pohon yang jenis lainnya. Berikutnya terdapat hutan bambu.

Waktu itu adalah waktu yang paling cemerlang di daerah ini—kecermerlangannya di masa sekarang diuraikan di dalam Kitab Komentar Samyutta—dan yang mengelilingi hutan bambu itu adalah tujuh gunung. Dimulai dari bagian yang paling luar, pertama ada Gunung Hitam Kecil, kemudian Gunung Hitam Besar, Gunung Air, Gunung Bulan, Gunung Matahari, Gunung Permata, dan yang terakhir di urutan ketujuh adalah Gunung Emas. Gunung ini tingginya mencapai tujuh yojana, tumbuh mengelilingi Danau Chaddanta, seperti tepi lingkaran sebuah mangkuk. Bagian dalamnya berwarna keemasan.

Dari cahaya yang dipancarkan olehnya, Danau Chaddanta bersinar seperti matahari yang baru terbit. Tetapi gunung-gunung lainnya, tingginya ada yang mencapai enam yojana, ada yang lima, empat, tiga, dua, dan satu yojana. Di bagian timur laut dari sudut danau tersebut, yang dikelilingi oleh ketujuh gunung itu, di suatu tempat, angin berhembus pada air, terdapat sebuah pohon beringin yang besar. Keliling batang pohonnya mencapai lima yojana dan tingginya mencapai tujuh yojana. Empat cabangnya terbentang menjulur sejauh enam yojana di keempat arah mata angin dan cabang pohon yang tumbuh lurus mengarah ke atas mencapai panjang enam yojana. Jadi panjang dari bawah akar sampai ke cabang tersebut semuanya adalah tiga belas yojana.

Dan pohon ini dilengkapi dengan delapan ribu tunas yang semuanya tumbuh dalam segala keindahannya, seperti Gunung Permata yang terbuka. Di sebelah barat dari Danau Chaddanta, di Gunung Emas, terdapat sebuah gua emas yang luasnya dua belas yojana. Chaddanta, sang raja gajah, beserta dengan pengikutnya berupa delapan ribu ekor gajah, tinggal di dalam gua emas itu selama musim hujan. Pada musim kemarau, ia berdiri di bawah kaki pohon beringin yang besar itu, di antara tunas-tunasnya, menikmati hembusan angin sepoi-sepoi yang terbias dari air.

Suatu hari mereka memberitahu dirinya, “Hutan pohon sala berbuah.” Jadi dengan ditemani oleh kelompoknya, ia berkeinginan untuk bersenang-senang di hutan Sala tersebut, [39] sesampainya di sana, ia menyeruduk sebuah pohon sala yang sedang berbuah dengan gading depannya.

Pada waktu itu, Cullasubhadda berdiri searah dengan angin berhembus sehingga ranting-ranting pohon yang kering bercampur dengan dedaunan yang layu dan juga semut-semut merah jatuh kepadanya. Sedangkan Mahasubhadda berdiri berlawanan arah dengan angin berhembus sehingga bunga-bunga dengan serbuk sari dan tangkainya, serta dedaunan hijau jatuh kepadanya.

Cullasubhadda berpikir, “Untuk istri yang disayangnya, ia menjatuhkan bunga-bunga dengan serbuk sarinya, tangkai dan daun-daun yang segar. Sedangkan untukku, ia menjatuhkan campuran ranting-ranting kering, daun-daun layu, dan semut-semut merah. Baiklah, saya tahu apa yang harus dilakukan!” Ia pun menaruh rasa dendam kepada Sang Mahasatwa saat itu.

Pada hari lainnya, raja gajah itu dan rombongannya pergi ke Danau Chaddanta untuk mandi. Kemudian dua gajah muda mengambil seikat rumput usīra dengan belalai mereka dan memandikannya dengan menggosok badannya yang seperti Gunung Kelāsa. Ketika ia selesai dan keluar dari dalam air, mereka memandikan kedua ratu gajah tersebut. Sesudahnya, mereka keluar dari dalam air dan berdiri di hadapan Sang Mahasatwa. Kemudian kedelapan ribu ekor gajah tersebut masuk ke dalam danau dan bermain-main di dalam air, mencabut beraneka ragam bunga dari danau tersebut, menghiasi Sang Mahasatwa seolah-olah ia adalah sebuah stupa yang berwarna perak dan kemudian menghiasi kedua ratu gajah tersebut.

Kemudian ada seekor gajah, yang sewaktu berenang di dalam danau tersebut, mendapatkan satu bunga teratai yang besar dengan tujuh cabang dan memberikannya kepada Sang Mahasatwa. Setelah menerimanya dengan belalainya, ia memercikkan serbuk sari di keningnya dan mempersembahkan bunganya kepada ratu utamanya, Mahasubhadda. Melihat kejadian ini, saingan Mahsubhadda berkata, “Ia juga memberikan bunga teratai dengan tujuh cabang ini kepada ratu kesayangannya, bukan untukku,” dan sekali lagi ia menaruh dendam kepadanya.

Suatu hari ketika Bodhisatta telah menyiapkan buah-buahan yang manis, akar dan serat bunga teratai dengan sarinya, untuk menjamu lima ratus Pacceka Buddha, Cullasubhadda memberikan buah-buahan yang didapatkannya kepada para Pacceka Buddha tersebut dan ia mengajukan permohonan berikut atas pemberiannya itu: “Di kelahiran berikutnya, di saat saya melewati (kehidupan) ini, semoga saya terlahir sebagai Subbhada, wanita kerajaan, di dalam keluarga Raja Madda, dan seiring dengan bertambahnya usia semoga saya mendapatkan kehormatan sebagai ratu utama dari Raja Benares. Oleh karenanya, saya harus kelihatan cantik dan memikat di mata raja dan mendapatkan kedudukan sehingga saya bisa melakukan apa pun yang kuinginkan. Demikian saya akan dapat berbicara kepada raja dan mengutus seorang pemburu dengan anak panah beracunnya untuk melukai dan membunuh gajah ini. [40] Dan dengan demikian saya dapat memperoleh sepasang gadingnya yang mengeluarkan sinar enam warna.”

Mulai saat itu, ia tidak memakan apa pun, dan dalam waktu yang tidak lama ia pun mati, kemudian terlahir kembali sebagai anak dari ratu yang sedang berkuasa di Kerajaan Madda dan diberi nama Subhadda. Ketika umurnya sudah cukup, mereka menikahkannya dengan Raja Benares. Ia juga menjadi cantik dan memikat di depan mata raja, ia menjadi pemimpin dari enam belas ribu istri raja yang lainnya. Ia teringat akan kelahiran masa lampaunya dan berpikir, “Permohonanku terkabulkan. Sekarang saya akan menyuruh seseorang untuk membawakan kepadaku gading dari gajah tersebut.”

Kemudian ia mengoleskan minyak di tubuhnya, mengenakan pakaiannya yang usang, dan berbaring di tempat tidur dengan berpura-pura sedang sakit. Raja berkata, “Di mana Subhadda?” Mendengar bahwa ia sakit, raja masuk ke dalam kamar tidur kerajaan, duduk di tempat tidurnya, mengusap punggungnya dan mengucapkan bait pertama berikut ini:

Yang bermata besar dan tiada tara,
ratuku, bersedih karena sesuatu hal.
Mengapa bersedih seperti kalung bunga
yang diinjak oleh kaki?
Mendengar ini, sang ratu mengucapkan bait kedua:

Seperti yang terlihat, saya memiliki
satu hal yang sangat didambakan;
semuanya dalam satu impian.
Keinginanku adalah sia-sia untuk didapatkan,
itulah sebabnya saya bersedih.
Raja yang mendengarnya, mengucapkan bait berikutnya:

Semua kebahagiaan yang diinginkan
oleh orang di dunia yang bahagia ini,
mengabulkan apa pun yang mereka inginkan
adalah tugasku, jadi katakanlah kepadaku apa keinginanmu.
Mendengar hal ini, ratu berkata, “Raja yang agung, keinginanku ini sulit untuk dipenuhi. Saya tidak akan mengatakannya sekarang ini, tetapi saya ingin semua pemburu yang ada di kerajaanmu untuk berkumpul. [41] Kemudian saya baru akan memberitahukannya di hadapan mereka.” Dan untuk menjelaskan maksudnya, ia mengucapkan bait berikutnya:

Buatlah semua pemburu yang bertempat tinggal
di dalam kerajaan ini mematuhi panggilanmu,
dan saya akan mendapatkan apa yang saya inginkan dari mereka.
Saya akan memberitahukannya di depan mereka.
Raja menyetujuinya dan setelah keluar dari kamar tidur kerajaan, ia memberikan perintah kepada para menterinya dengan mengatakan: “Umumkan, dengan tabuhan genderang, bahwa semua pemburu yang ada di Kerajaan Kasi, yang luasnya tiga belas yojana, harus berkumpul.” Mereka melaksanakan perintahnya, dan dalam waktu singkat, para pemburu yang bertempat tinggal di Kerajaan Kasi dengan membawa hadiah sesuai dengan kekayaan masing-masing, mengirimkan pesan kepada raja bahwa mereka telah tiba. Mereka semua berjumlah enam puluh ribu.

Mendengar bahwa mereka telah tiba, raja berdiri di jendela yang terbuka dan dengan membentangkan tangannya, ia memberitahukan kedatangan para pemburu tersebut kepada ratu dengan berkata:

Lihatlah ke sini para pemburu kita yang berani,
yang terlatih dengan sangat baik dalam berburu,
keahlian mereka adalah membunuh hewan buas,
dan semuanya bersedia mati untuk diriku.
Ketika mendengar ini, ratu menyapa mereka dengan mengucapkan satu bait kalimat berikut:

Kalian para pemburu pemberani, yang berkumpul di sini, dengarkan kata-kataku:
Dalam mimpi,saya melihat seekor gajah yang bergading enam29, tanpa cacat.
Saya menginginkan gadingnya dan akan menjadi senang ketika mendapatkannya.
Tidak ada hal lain lagi yang dapat membantu menyelamatkan hidupku.
Mendengar ini, para pemburu tersebut membalas:

Para pendahulu kami di masa lampau
tidak pernah melihat seekor gajah bergading enam.
[42] Beritahukanlah kami jenis hewan apakah
yang muncul di dalam mimpi Anda.
Setelah bait kalimat tersebut di atas, mereka juga mengucapkan bait berikut:

Dari empat arah mata angin yang dilihat: Utara, Selatan, Timur, Barat;
empat arah pertengahan: Timur Laut, Tenggara, Barat Daya, Barat Laut;
ditambah dengan titik terendah dan tertinggi,
Katakan di arah manakah dari kesepuluh arah tersebut
gajah besar yang muncul di dalam mimpimu.
Setelah mengucapkan kata-kata ini, Subhadda melihat ke semua pemburu tersebut dan matanya tertuju kepada satu di antara mereka semua yang memiliki kaki panjang, dengan betis yang besar seperti keranjang nasi, mata kaki dan tulang kaki yang besar, berewokan, dengan gigi berwarna kuning, wajah rusak dengan bekas luka, mencolok di antara semuanya sebagai orang yang jelek dan besar yang bernama Sonuttara, yang pernah menjadi musuh dari Sang Mahasatwa.

Dan kemudian ratu berpikir, “Ia pasti dapat melakukan permintaanku,” dengan izin dari raja, ratu membawanya naik ke lantai paling atas dari istana tujuh lantai tersebut, membuka satu jendela yang menghadap ke arah utara, menjulurkan tangannya ke arah pegunungan Himalaya di sebelah utara dan mengucapkan empat bait kalimat berikut ini:

Di arah utara itu, di belakang tujuh gunung yang luar biasa besarnya,
di ujungnya orang akan tiba di Puncak Emas.
Suatu ketinggian yang dimiliki oleh kimpurisa30 dan dicerahkan
dengan bunga-bunga dari lembah sampai ke atas puncaknya.
Di bawah Puncak Kinnara31 tersebut terlihat sesuatu yang berwarna hijau gelap
seperti kumpulan berbentuk awan,
[43] sebuah pohon beringin yang akarnya memberikan kekuatan
bagi delapan ribu buah cabangnya.
Di sana tinggallah yang tidak terkalahkan dalam keperkasaan,
gajah itu, berwarna putih dan bergading enam,
dengan rombongan delapan puluh ribu ekor gajah untuk bertempur.
Gading-gading mereka sama seperti galah, bergerak secepat angin.
Mereka digunakan untuk berlindung atau menyerang.
Dengan sangat berhasrat dan bengis mereka berdiri dan menatap,
dibangkitkan oleh hembusan udara yang paling pelan
ketika mereka melihat seorang manusia,
maka kemarahan mereka akan benar-benar menghabisinya.
Mendengar perkataan ini, Sonuttara menjadi takut akan kematian dan berkata:

Ratu, permata biru atau mutiara yang memiliki kilauan yang luar biasa,
ditambah dengan banyak hiasan emas lainnya, terdapat di dalam tempat tinggal kerajaan.
[44] Kalau begitu apa yang akan Anda lakukan dengan gading tersebut,
atau apakah Anda sebenarnya hanya akan membunuh para pemburu?
Kemudian ratu mengucapkan satu bait kalimat lagi:

Di saat teringat akan luka penderitaanku,
saya akan terbawa oleh rasa sedih dan dendam diriku ini.
Kabulkanlah, wahai pemburu, apa yang saya inginkan,
dan lima desa pilihan akan menjadi milikmu.
Kemudian ratu menambahkan lagi, “Teman pemburu, dahulu ketika saya memberikan persembahan kepada para Pacceka Buddha, saya meminta sebuah permohonan bahwa saya akan memiliki kekuasaan untuk membunuh gajah bergading enam tersebut dan mendapatkan sepasang gadingnya. Hal ini bukan hanya terlihat olehku dalam penglihatan, tetapi juga permohonan yang saya minta itu akan terkabulkan. Anda pergilah dan jangan takut.” Dengan berkata demikian, ratu menyakinkan kembali diri pemburu tersebut.

Ia setuju dengan perkataannya dan berkata, “Baiklah kalau begitu, ratu. Akan tetapi pertama-tama jelaskanlah dan beritahukan kepadaku di mana tempat tinggalnya berada,” sambil menanyakannya, ia mengucapkan bait kalimat berikut:

Di manakah ia tinggal? Di manakah dapat menemukannya?
Jalan mana yang dilewatinya untuk pergi mandi?
Di mana makhluk besar ini berenang?
Beri tahu kami cara untuk menangkapnya.
[45] Kemudian dengan mengingat kelahiran masa lampaunya, ia melihat tempat itu dengan jelas dan memberitahunya dalam dua bait kalimat berikut:
Tempat pemandiannya ini tidak jauh, berupa sebuah kolam yang dalam dan besar.
Di sana terdapat lebah-lebah berkelompok
dan beraneka ragam bunga berlimpah ruah.
Dan di sana dapat ditemukan hewan besar itu.
Selesai mandi, ia biasanya langsung menuju ke tempat tinggalnya
dengan berhiaskan mahkota bunga teratai,
Ia berjalan dengan badannya yang seputih bunga teratai putih.
Di belakangnya adalah ratu yang sangat dicintainya.
Mendengar jawabannya ini, Sonuttara menyetujuinya dan berkata, “Ratu yang cantik, saya akan membunuh gajah itu dan membawakan gadingnya untukmu.” Dalam kegembiraannya, ratu memberikan pemburu itu uang seribu keping dan berkata, “Sementara ini pulanglah terlebih dahulu, pada hari ketujuh Anda baru akan berangkat ke sana,” setelah memintanya untuk pulang, ratu memanggil para tukang pandai besi dan memberikan perintah berikut kepada mereka, “Tuan-tuan, kami memerlukan beliung, kapak, pacul, sekop, palu, alat pemotong bambu, pedang, alat pemotong herba, pedang, gergaji, parang dan tonggak kuningan. Buatlah semuanya itu secepat mungkin dan bawa kepada kami.”

Kemudian setelah memanggil pekerja yang ahli dalam bahan kulit, ia memberikan mereka tugas dengan berkata, “Tuan-tuan, Anda sekalian harus membuatkan kami sebuah karung kulit, yang dapat menahan beban (seberat) gajah, kami juga memerlukan tali dan sabuk kulit, sepatu yang cukup besar untuk ukuran seekor gajah, dan parasut kulit. Buatlah semuanya itu secepat mungkin dan bawa kepada kami.” Baik tukang pandai besi maupun pekerja yang ahli dalam barang kulit membuat segala sesuatunya [46] dan membawakan serta memberikannya kepada ratu.

Setelah menyiapkan segala keperluan dalam perjalanan bersama dengan kayu bakar dan sebagainya, ratu meletakkan semua peralatan dan keperluan di dalam perjalanan itu, seperti bekal makanan dan sejenisnya, di dalam karung kulit. Semuanya itu hampir sama berat dengan beban seekor gajah.

Setelah menyelesaikan rencananya, Sonuttara datang pada hari ketujuh dan berdiri dengan memberi hormat di hadapan ratu. Ratu berkata, “Teman, semua peralatan untuk perjalananmu sudah lengkap. Bawalah karung ini.” Sebagai orang jahat yang kuat, sekuat lima ekor gajah, ia mengangkat naik karung tersebut seperti karung itu seolah–olah adalah karung yang berisikan kue. Dengan meletakkan karung itu di pinggulnya, ia berdiri seolah-olah tidak membawa apa pun.

Cullasubhadda memberikan bagian perlengkapan kepada para pembantu pemburu tersebut, melapor kepada raja dan menyuruh Sonuttara untuk pergi. Setelah memberikan penghormatan kepada raja dan ratu, pemburu itu keluar turun dari istana, meletakkan barang-barangnya di dalam kereta bogi32, berangkat keluar dari kerajaan dengan diikuti rombongan besar. Setelah melewati deretan desa-desa dan dusun-dusun kecil, mereka tiba di daerah perbatasan. Kemudian ia memulangkan para penduduk kota yang mengikutinya dan melanjutkan perjalanannya dengan penduduk daerah perbatasan itu sampai ia masuk ke dalam hutan.

Setelah melewati daerah yang di luar pemukiman, ia meminta para penduduk perbatasan itu untuk pulang juga. Ia sendirian melanjutkan perjalanan berikutnya sejauh tiga puluh yojana, melintasi belukar yang ditumbuhi oleh rerumputan, belukar yang ditumbuhi oleh gelagah33, semak-semak belukar, selasih34, belukar yang ditumbuhi oleh rumput munja, belukar yang ditumbuhi oleh pohon tirivaccha dan pohon sejenisnya, belukar yang ditumbuhi oleh tanaman berduri dan bambu, belukar yang ditumbuhi oleh tebu, belukar yang ditumbuhi oleh beraneka macam rumput yang menyerupai rumput munja yang tidak dapat dilewati oleh ular, belukar yang amat lebat, belukar yang dipenuhi oleh pohon-pohon, belukar yang ditumbuhi oleh tanaman bambu, belukar yang dipenuhi oleh tanah lumpur, belukar yang dipenuhi oleh air, belukar yang dipenuhi oleh pegunungan; semuanya berjumlah delapan belas, dilewatinya satu per satu.

Belukar yang ditumbuhi oleh rerumputan itu dipotongnya dengan parang, belukar yang ditumbuhi oleh selasih dan sejenisnya itu dibersihkannya dengan alat pemotong bambu, pepohonan itu ditebangnya dengan kapak, dan yang ukuran melebihi batas normal digunakannya sekop. Demikian ia melanjutkan perjalanannya: ia membuat sebuah tangga di dalam hutan bambu. Untuk naik ke atas kelompok bambu tersebut, ia meletakkan sebatang bambu, yang telah dipotongnya terlebih dahulu, di atas kumpulan pohon bambu berikutnya dan merangkak demikian di sepanjang bambu di atas kelompok bambu tersebut, sampai ia tiba di tanah lumpur.

[47] Dengan cara membentangkan satu papan kering di atas lumpur kemudian setelah melangkah ke atasnya, langsung membentangkan papan lainnya ke depan, ia melewati tanah lumpur tersebut. Kemudian ia membuat sebuah kano untuk melewati tempat yang dipenuhi dengan air, dan akhirnya berdiri di bawah kaki pegunungan. Kemudian ia mengikatkan tali pada tombak besi, dan dengan melemparkannya tinggi ke atas, ia berhasil menambatkannya dengan kuat di gunung. Kemudian sewaktu mendaki gunung dengan menggunakan tali itu, ia membuat lubang di gunung tersebut dengan tongkat kuningan, memukul masuk tonggak ke dalam lubang tersebut dan berdiri di atasnya. Kemudian setelah mengeluarkan tombak besi itu, sekali lagi ia menambatkannya tinggi di atas gunung. Dari posisi ini dengan membiarkan tali kulit itu tergantung ke bawah, ia berpegangan padanya, bergerak turun dan mengikatkan tali pada tonggak di bawahnya.
Kemudian dengan memegang tali di tangan kirinya dan palu di tangan kanannya, ia memukul tonggak tersebut. Setelah mengeluarkan tonggak itu, kemudian ia naik lagi ke atas. Dengan cara yang sama ia naik terus sampai ke puncak gunung yang pertama. Untuk turun dari gunung tersebut menuju yang berikutnya, setelah menancapkan tonggak di puncak gunung pertama dan mengikatkan tali pada karung kulitnya serta membungkusnya, ia duduk di tas tersebut dan terjun ke bawah, seraya menguraikan tali seperti seekor laba-laba yang mengeluarkan benangnya. Kemudian dengan membiarkan parasut kulitnya terhembus angin, ia turun seperti layaknya seekor burung—setidaknya itu yang dikatakan orang-orang.

Sang Guru demikian ini memberitahukan bagaimana patuhnya pemburu itu terhadap kata-kata Subhadda, mulai dari berangkat keluar kerajaan dan melewati tujuh belas jalur yang berbeda sampai tiba di daerah pegunungan, dan bagaimana di sana ia menyeberangi dari atas enam gunung dan tiba di puncak Gunung Emas:

Pemburu itu yang patuh (mendengar), tidak takut,
berangkat dilengkapi peralatan seperti panah dengan tempat anak panah,
dan dengan menyeberangi tujuh gunung besar, akhirnya sampai di
Gunung Emas yang agung.
Memiliki ketinggian yang dimiliki oleh kinnara,
berapa besar kumpulan berbentuk awan yang dapat menghalangi pandangannya?
Sebuah pohon beringin besar yang akarnya memberikan kehidupan
bagi delapan ribu akar lainnya yang menyebar.
[48] Di sana tinggallah yang tidak terkalahkan dalam kekuatan,
seekor gajah yang berwarna putih dan memiliki enam gading,
dengan rombongan delapan puluh ribu ekor gajah lainnya untuk bertempur.

Gading-gading mereka sama dengan tiang kereta perang:
secepat angin, dan digunakan untuk melindungi diri atau bertarung.
Di dekatnya terdapat sebuah kolam yang airnya penuh sampai ke tepian,
merupakan tempat yang cocok bagi raja gajah itu untuk mandi;
Tepi sungainya yang indah dihias oleh beraneka ragam bunga
dan kelompok lebah yang beterbangan di sekitarnya.
Suatu ketika pasangan gajah itu menandai jalan yang akan dilalui oleh makhluk tersebut
di saat ia hendak mandi, dan raja gajah itu terjatuh ke dalam sebuah lubang.
Perbuatan yang demikian kejam ini dilakukan
karena didesak oleh kemarahan dari ratunya yang dengki.
Berikut ini ikutilah ceritanya dari awal sampai akhir: dikatakan bahwa setelah tujuh tahun, tujuh bulan, dan tujuh hari, pemburu itu baru tiba di tempat tinggal Sang Mahasatwa dengan cara yang telah disebutkan di atas. Ia membuat catatan tentang tempat tinggalnya dan menggali sebuah lubang di sana, dengan berpikir, “Saya akan berdiri di sini, membuat raja gajah itu terluka dan menyebabkan kematiannya.”

Setelah demikian menyusun rencananya, kemudian ia masuk ke dalam hutan, menebang pohon untuk membuat tiang dan mempersiapkan banyak bahan lainnya. [49] Kemudian ketika gajah itu pergi mandi, di tempat ia biasa berdiri, ia menggali sebuah lubang persegi dengan menggunakan sekop yang besar, tanah yang digalinya tersebut ditaburkan di atas air seolah-olah seperti sedang menabur benih, dan juga di atas batu seperti adukan semen ia memasang tiang-tiang, ditambah dengan beban dan tali yang dibentangkan di atasnya. Kemudian ia membuat satu lubang yang seukuran dengan roda kereta, mengeluarkan tanah dan sampah di atasnya, di satu sisi yang lain ia membuat tempat masuk bagi dirinya. Maka ketika lubangnya selesai dibuat, di tengah hari ia mengenakan rambut petapa palsu dan jubah kuning. Ia turun ke dalam lubang itu dan berdiri, sambil membawa busur dan sebatang anak panah beracun.

Untuk menjelaskan semua ini, Sang Guru berkata:

Lubang itu ditutupinya dengan papan terlebih dahulu,
kemudian dengan busur di tangan ia masuk ke dalam.
Dan di saat gajah itu lewat, orang jahat itu
melepaskan anak panah yang beracun.
Hewan besar yang terluka itu meraung kesakitan
dan semua rombongannya membalas raungan itu:
Menghancurkan dahan-dahan dan menginjak rumput
karena kepanikan yang menuntun jalan mereka.
Demikian sakitnya sang gajah sehingga ia hampir membunuh musuhnya itu.
Tetapi tidak dilakukannya ketika matanya tertuju pada jubah kuning,
lambang kesucian, tampilan seorang petapa,
yang harus dihormati oleh yang bijaksana.
[50] Sang Guru yang kemudian berbincang dengan pemburu tersebut mengucapkan dua bait kalimat berikut:
Barang siapa yang diliputi dengan kotoran batin mengenakan jubah kuning,
tidak menjalankan pengendalian diri dan tidak bertindak benar,
maka ia tidak pantas mengenakan jubah kuning itu.
Barang siapa yang terbebas dari kotoran batin mengenakan jubah kuning,
menjalankan pengendalian diri dan bertindak benar,
maka ia pantas untuk mengenakan jubah kuning itu.
[51] Setelah berkata demikian, Sang Mahasatwa menghilangkan semua perasaan marah terhadap dirinya dan bertanya, “Mengapa Anda melukaiku? Apakah ini untuk keuntunganmu sendiri atau Anda disuruh oleh orang lain?”
Sang Guru yang menjelaskan masalah ini berkata:

Hewan yang besar itu terbaring di tanah
dengan anak panah yang mematikan,
setelah merasa tidak marah, menyapa musuhnya:
‘Apa tujuanmu, temanku, dengan membunuhku,
dan katakan, siapa yang menyuruhmu?’


Kemudian pemburu tersebut memberitahunya dengan mengucapkan bait berikut:

Ratu kesayangan dari Raja Kasi, Subhaddā,
memberitahuku bahwa ia telah melihat Anda di dalam mimpinya,
‘Dan saya harus mendapatkan gading-gadingnya,’ katanya,
‘pergilah, bawa gading-gading itu untukku.’
Mendengar perkataan ini dan mengetahui bahwa ini adalah kerjaan dari Cullasubhadda, ia menahan penderitaannya dengan penuh kesabaran dan berpikir, “Ia bukanlah menginginkan gadingku. Ia mengutus pemburu ini karena ingin membunuhku,’ dan untuk menggambarkan permasalahannya, ia mengucapkan dua bait kalimat berikut:

Saya memiliki banyak gading yang bagus,
peninggalan dari para leluhurku.
Dan wanita kejam tersebut mengetahui akan hal ini dengan baik.
Orang kejam itu menginginkan nyawaku.
[52] Bangkitlah, pemburu, dan sebelum saya mati,
potonglah gading-gadingku ini.
Pergi beritahukan wanita kejam itu menjadi gembira,
‘Hewan besar itu telah mati; ini gading-gadingnya.’
Mendengar perkataannya ini, pemburu itu bangkit dari tempat ia duduk dengan membawa gergaji di tangannya dan mendekatinya untuk memotong gading-gading tersebut. Gajah itu tingginya seperti gunung yang tingginya delapan puluh hasta, sehingga gading-gadingnya tidak dapat dipotong karena lelaki tersebut tidak dapat menjangkaunya. Maka Sang Mahasatwa membungkukkan badan di hadapannya dan berbaring dengan kepalanya di bawah. Kemudian pemburu tersebut memanjat naik melalui belalainya, menekan dengan kaki seolah-olah itu tali perak, dan berdiri di dahinya seperti puncak Gunung Kelāsa. Kemudian ia memasukkan kakinya ke dalam mulut gajah, menghantam bagian yang berdaging dengan lututnya, turun dari dahi hewan besar tersebut dan menusukkan gergaji itu ke dalam mulutnya.

Sang Mahasatwa mengalami siksaan derita rasa sakit dan mulutnya berdarah. Pemburu itu yang bergerak ke sana dan ke sini masih tidak dapat memotong gadingnya dengan gergaji tersebut. Sang Mahasatwa yang membiarkan darah mengalir keluar dari mulutnya dengan menahan rasa sakit, bertanya, “Tuan, Anda tidak bisa memotongnya?” Dan ketika dijawab, “Tidak,” ia mendapatkan kesadaran pikiran kembali dan berkata, “Baiklah kalau begitu, karena saya sendiri tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menaikkan belalaiku, tolong Anda bantu saya untuk mengangkatnya dan letakkan ujung gergaji itu di sana.” Pemburu itu pun melakukan permintaannya.

Sang Mahasatwa mengambil gergaji tersebut dengan belalainya dan menggerakkannya ke depan dan ke belakang, dan gading-gadingnya pun terpotong seolah-olah seperti menyembur ke luar. Kemudian untuk memintanya mengambil gading-gading tersebut, ia berkata, “Saya tidak memberikanmu benda-benda ini, teman pemburu, karena saya tidak menilai mereka berharga, [53] begitu juga dengan halnya seseorang yang menginginkan kedudukan dari Sakka, Mara atau Brahma, melainkan gading dari Yang Mahatahu adalah seratus ribu kali lebih berharga bagiku daripada gading-gading ini. Semoga jasa-jasa kebajikan yang kuperbuat ini akan menyebabkan dicapainya Yang Mahatahu.” Ketika memberikan gading-gadingnya, gajah itu bertanya, “Berapa lama Anda menghabiskan waktu untuk datang ke sini?” “Tujuh tahun, tujuh bulan, tujuh hari.” “Kalau begitu pulanglah dengan kesaktian dari gading-gading ini, Anda akan sampai di Benares dalam tujuh hari.” Dan ia memberikan pemburu itu petunjuk yang aman dan membiarkannya pulang. Setelah mengantarnya pulang dan sebelum gajah-gajah lain datang, begitu juga Subhadda, ia pun mati.

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Pemburu itu memotong gading-gading tersebut
keluar dari rahang makhluk yang agung itu.
Dan dengan hadiahnya yang berkilau dan tiada bandingannya,
ia pulang ke rumah dengan cepat.
Setelah ia mati, rombongan gajah itu datang kembali
setelah melihat musuhnya pergi.
Sang Guru menjelaskan masalah ini dengan berkata:

Sedih atas kematiannya dan diliputi rasa takut,
rombongan gajah yang lari dalam keadaan panik,
melihat tidak ada tanda-tanda musuh kejam itu lagi,
kemudian kembali dan melihat pemimpin mereka terbaring.
[54] Dan bersama dengan mereka juga ada Subhadda. Dengan ratapan dan tangisan di sana, mereka pergi ke tempat para Pacceka Buddha yang dekat dengan Sang Mahasatwa ketika masih hidup dan berkata, “Bhante, ia yang menyediakan benda kebutuhan Anda sehari-hari telah mati terkena panah beracun. Datang dan lihatlah tempat ia terbaring.”
Dan lima ratus Pacceka Buddha itu terbang melayang di udara dan turun di tempat suci tersebut. Waktu itu, dua gajah muda mengangkat badan dari raja gajah tersebut dengan gading mereka, membuatnya seperti memberikan penghormatan kepada Pacceka Buddha, mengangkatnya naik ke atas tumpukan kayu, dan membakarnya. Para Pacceka Buddha melafalkan ayat-ayat suci di tempat pemakaman tersebut. Sedangkan delapan puluh ribu ekor gajah tersebut kembali ke tempat tinggal mereka dengan Subhadda sebagai pemimpin setelah terlebih dahulu memadamkan apinya dan mandi.

Sang Guru menjelaskan masalah ini dengan berkata:

Seperti yang dikatakan, mereka meratap (tangis) sedih,
masing-masing menaruh tanah di kepalanya.
Kemudian terlihat mereka kembali ke rumah,
di belakang ratu mereka yang anggun.
Dan dalam tujuh hari Sonuttara telah sampai di Benares dengan gading-gading tersebut.

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Pemburu itu dengan cepat menuju ke Kasi
dengan membawa hadiahnya yang berkilau dan tiada bandingannya itu—
gading dari makhluk mulia itu, yang mencerahkan hati semua orang dengan sinar emasnya—
Dan ia berkata kepada wanita kerajaan tersebut,
‘Ini dia gading-gadingnya: hewan besar itu telah mati.’
[55] Sewaktu memberikannya kepada ratu, ia berkata, “Gajah yang Anda dendam itu karena suatu hal yang kecil, telah saya bunuh, ratu.” “Apakah Anda mengatakan bahwa ia telah mati?” teriaknya. Pemburu itu memberikan gading-gading itu kepadanya, sambil berkata, “Yakinlah bahwa ia telah mati. Ini dia gading-gadingnya.”
Ratu menerima gading-gading itu yang dihias dengan sinar enam warna pada kipas permatanya. Dengan meletakkannya di pangkauan, ia menatap padanya yang merupakan milik dari seseorang yang dalam kehidupan sebelumnya adalah suami tercintanya, dan berpikir, “Orang ini telah kembali dengan membawa gading yang dipotongnya dari gajah yang baik, yang dibunuhnya dengan menggunakan panah beracun.” Teringat kembali kepada Sang Mahasatwa, ia dipenuhi dengan rasa sedih yang tidak dapat ditahannya sehingga hatinya hancur dan ia meninggal pada hari itu juga.



Sang Guru menjelaskan masalah ini dengan berkata:

Tidak lama setelah melihat gading-gading itu
—gajah itu adalah pasangannya yang terkasih dahulu—
kemudian karena rasa kesedihan, hatinya hancur
dan ia, orang dungu yang malang, mati karenanya.
Ketika Yang Telah Mencapai Penerangan dan
Yang Paling Bijaksana tersenyum di hadapan para bhikkhu,
mereka langsung berpikir, ‘Pastinya Buddha tidak pernah tersenyum tanpa suatu sebab.’
‘Wanita muda yang kalian lihat ini,’ katanya, ‘pabbajita yang berjubah kuning,
dahulunya adalah seorang ratu,’ katanya dengan keras,
‘dan saya adalah raja gajah yang mati tersebut.’
‘Orang jahat yang mengambil gading-gading putih itu,
yang tiada bandingannya di bumi ini,
yang bersinar demikian terangnya,
[56] dan yang membawanya ke Kota Benares,
adalah yang dikenal sebagai Devadatta pada masa ini.’
Sang Buddha dari pengetahuan-Nya sendiri menceritakan kisah masa lampau ini
dengan panjang lebar dalam segala bentuk kesedihannya,
tetapi Beliau terbebas dari penderitaan dan kesedihan.
Gajah yang di masa lampau itu adalah diriku,
pemimpin rombongan gajah tersebut.
Para Bhikkhu, saya telah membuat kalian mengerti
dengan benar akan kisah kelahiran ini.
Bait–bait kalimat ini diingat oleh para bhikkhu senior ketika mereka membabarkan Dhamma dan melantunkan pujian terhadap Sang Dasabala.

[57] Sehabis mendengarkan uraian Dhamma ini, banyak orang mencapai tingkat kesucian Sotapanna, sedangkan bhikkhuni tersebut, dengan melatih meditasi vipassana setelahnya, mencapai tingkat kesucian Arahat.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com