Sariputta | Suttapitaka | KIṀCHANDA-JĀTAKA Sariputta

KIṀCHANDA-JĀTAKA

Kiṃ­chandajā­taka (Ja 511)

“Mengapa Anda tetap berada,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang pelaksanaan laku Uposatha1.
Suatu hari ketika sejumlah upasaka dan upasika, yang sedang menjalankan sila Uposatha, datang untuk mendengarkan khotbah Dhamma duduk di dalam balai kebenaran (dhammasabhā), Sang Guru bertanya kepada mereka apakah mereka sedang menjalankan sila Uposatha, dan sewaktu mereka menjawab dengan mengatakan mereka sedang melaksanakan sila Uposatha, Beliau menambahkan, “Kalian melakukan perbuatan baik dengan menjalankan sila Uposatha. Orang bijak di masa lampau, sebagai hasil dari menjalankan Uposatha setengah hari, memperoleh kejayaan yang amat besar.”

Dan atas permintaan mereka, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________

Dahulu kala di Benares, Brahmadatta memerintah kerajaannya sesuai dengan Dhamma (dengan benar). Ia adalah seorang yang memiliki keyakinan dan tekun dalam pelaksanaan laku Uposatha, pelaksanaan sila, dan dalam pemberian dana/derma. Ia juga meminta para menteri istananya dan orang-orang agar melaksanakan pemberian dana, berikut dengan yang lainnya.

Akan tetapi, pendeta kerajaannya adalah seorang pengkhianat, seorang penerima uang suap yang serakah, dan seorang pemberi keputusan yang tidak adil.

Di hari Uposatha, raja memanggil para menteri istananya dan meminta mereka untuk melaksanakan laku Uposatha pada hari itu. Pendeta tersebut tidak melaksanakan laku Uposatha, maka pada hari itu ia melewati harinya dengan menerima uang suap dan memberikan keputusan yang tidak adil.

Kemudian ia pergi ke istana untuk memberi hormat kepada raja dan raja bertanya kepadanya setelah terlebih dahulu bertanya kepada masing-masing menterinya apakah mereka melaksanakan laku Uposatha, dengan berkata, “Dan apakah Anda, Tuan, melaksanakan laku Uposatha?” Ia berbohong dan menjawab, “Ya,” dan meninggalkan istana. Kemudian seorang menteri mengecamnya dengan berkata, “Anda pasti tidak sedang melaksanakan laku Uposatha.” Ia berkata, “Tadi saya ada makan di siang hari, tetapi ketika saya pulang nanti, saya akan mencuci mulut dan melaksanakan laku Uposatha, [2] saya tidak akan makan di sore hari dan sepanjang malam, saya akan menjaga sila Uposatha. Dengan cara ini berarti saya sudah menjalankan Uposatha setengah hari.” “Bagus sekali, Tuan,” kata mereka. Ia pun pulang ke rumahnya dan melakukan hal yang demikian itu.

Suatu hari ketika ia berada di ruang pengadilan, seorang wanita yang menjaga sila, berada dalam suatu kasus dan karena tidak bisa pulang ke rumah, ia berpikir, “Saya tidak akan melewatkan pelaksanaan laku Uposatha,” dan ketika waktunya tiba, ia mulai mencuci mulutnya. Pada waktu itu, setumpuk buah mangga yang masak dibawakan untuk sang brahmana. Mengetahui bahwa wanita itu sedang menjalankan sila Uposatha, ia berkata, “Makanlah ini dan laksanakan laku Uposatha.” Wanita itu pun melakukannya. Demikianlah perbuatan yang dilakukan oleh sang brahmana. Akhirnya brahmana itu meninggal dan terlahir kembali di negeri Himalaya, di suatu tempat yang indah di tepi Sungai Kosiki, cabang Sungai Gangga, di hutan mangga yang luasnya tiga yojana, di sebuah tempat duduk yang megah dalam sebuah istana emas.

Ia terlahir kembali seperti seseorang yang baru saja terbangun dari tidur, mengenakan pakaian dan perhiasan yang bagus, memiliki tubuh yang luar biasa indah, dan ditemani oleh enam belas ribu bidadari. Setiap malam, ia menikmati kejayaan ini karena terlahir sebagai peta di alam vimāna2, hasil ini sesuai dengan perbuatan masa lampaunya. Setiap hari menjelang fajar, ia masuk ke dalam hutan mangga. Di saat ia berjalan masuk, tubuh dewanya menghilang dan berubah menjadi besar seperti sebuah pohon palem yang tingginya delapan puluh hasta3, dan seluruh tubuhnya menyala terbakar seperti pohon plasa4 yang bermekaran bunganya. Ia hanya memiliki satu jari di kedua tangannya, sedangkan kukunya besar seperti sekop. Dan dengan kuku tersebut, ia menusuk ke dalam daging di punggungnya, mengoyaknya keluar, dan memakannya.

Dikarenakan menderita rasa sakit yang amat sangat, ia mengeluarkan suara teriakan yang keras. Di saat matahari terbenam, tubuh ini menghilang dan tubuh dewanya muncul kembali. Dewi-dewi penari dengan berbagai jenis alat musik di tangan mereka melayani dirinya, dan dalam menikmati kejayaan yang amat besar tersebut, ia naik ke sebuah istana dewa di dalam hutan mangga yang indah itu. Demikianlah yang ia dapatkan, sebagai hasil dari perbuatan masa lampaunya yang memberikan mangga kepada seorang wanita yang sedang menjalankan sila Uposatha, ia mendapatkan sebuah hutan mangga yang luasnya tiga yojana. Akan tetapi, sebagai hasil dari perbuatannya menerima uang suap dan memberikan keputusan yang tidak adil, [3] ia harus mengoyak dan memakan daging dari punggungnya sendiri. Walaupun demikian, dikarenakan menjalankan Uposatha setengah hari, ia menikmati kejayaan pada setiap malam dengan dikelilingi oleh pendamping berupa enam belas ribu gadis penari.

Saat ini Raja Benares, yang sadar akan ketidakgunaan dari kesenangan indriawi, menjadi seorang pabbajita5 dan bertempat tinggal di sebuah gubuk daun pada tempat yang menyenangkan di hilir Sungai Gangga, bertahan hidup dengan memakan apa saja yang bisa didapatkannya.

Suatu hari, satu buah mangga dari hutan itu, yang sebesar sebuah mangkuk besar, jatuh ke Sungai Gangga dan terbawa arus ke satu tempat yang berseberangan dengan tempat tinggal petapa ini. Ketika sedang mencuci mulutnya, ia melihat buah mangga tersebut yang terapung di tengah arus. Dengan menyeberangi sungai itu, ia mengambil dan membawa buah mangga tersebut ke tempat pertapaannya dan meletakkannya di dalam bilik kecil, tempat perapian sucinya berada6. Kemudian setelah memotong buah mangga itu dengan sebuah pisau, ia memakan secukupnya untuk tetap bertahan hidup. Sisanya ditutupi dengan dedaunan dari pohon pisang. Secara berulang-ulang setiap hari ia memakan buah mangga itu, sampai buah itu habis.

Ketika buah mangga itu habis semuanya, ia menjadi tidak bisa memakan buah jenis yang lainnya. Ia menjadi budak dari nafsu makannya akan makanan enak, ia bertekad bahwa ia hanya akan makan buah mangga yang matang. Kemudian ia pergi ke tepi sungai, duduk melihat ke arus sungai dan memutuskan untuk tidak pernah beranjak dari sana sampai ia mendapatkan buah mangga. Jadi ia berpantang makan di sana selama enam hari secara berturut-turut, dengan duduk sambil mencari buah itu sampai menjadi kurus kering oleh angin dan panas. Pada hari ketujuh, dewi sungai tersebut, yang mencari tahu akan masalahnya ini, mengetahui alasan dari perbuatannya tersebut dan berpikir, “Petapa ini, dengan menjadi budak dari nafsu makannya, telah duduk di sana selama tujuh hari, sambil melihat Sungai Gangga. Adalah hal yang salah untuk tidak memberikannya buah mangga yang matang karena bila tidak (diberikan), ia akan mati. Saya akan memberikannya satu buah mangga yang matang.” Maka ia muncul dan berdiri melayang di udara di atas Sungai Gangga, sambil berbicara kepada petapa tersebut dalam bait kalimat pertama berikut ini:

Mengapa Anda tetap berada di tepi sungai ini
meskipun panasnya musim panas melanda?
Brahmana, apa yang menjadi keinginan rahasiamu?
Tujuan apa yang ingin dicapai?
[4] Mendengar pertanyaan ini, petapa tersebut mengucapkan sembilan bait kalimat berikut ini:
Dewi cantik, dahulu saya melihat satu buah mangga
terapung di arus sungai ini,
dengan tangan yang dijulurkan panjang ke depan,
saya mengambil buah itu dan membawanya pulang.
Buah itu manis dalam rasa dan aromanya,
menurutku buah itu mahal harganya,
bentuknya yang indah mungkin dapat bersaing
dengan kendi air yang besar dalam segi ukuran.
Saya menyimpan sebagian buah itu, menutupinya dengan daun pisang,
dan memotong sebagian lagi dengan pisau,
sebagian kecil itu dijadikan sebagai makanan dan minuman
dalam menjalani kehidupan yang sederhana.
Persediaanku sekarang sudah habis,
rasa sakitku telah terobati, tetapi saya menyesal,
dalam buah-buah lain yang kutemukan,
tidak ada rasa enak yang dapat saya peroleh.
Saya merana, saya takut, buah mangga manis
yang saya selamatkan dari arus sungai
akan membawa kematianku.
Saya tidak mendambakan buah-buah lainnya.
Saya telah memberitahumu sebabnya
mengapa saya berpuasa meskipun tinggal dekat sungai
yang dikatakan terdapat banyak ikan
yang berenang di dalamnya.
Dan sekarang saya mohon kepada Anda
untuk memberitahuku, dan jangan kabur karena takut,
wahai wanita cantik, siapakah Anda
dan mengapa Anda berada di sini?
Para pelayan dewa adalah orang-orang yang cantik,
seperti emas yang berkilau,
anggun seperti anak-anak harimau
yang bermain di sepanjang lereng pegunungan mereka.
Di alam manusia ini wanitanya memang terlihat cantik,
tetapi tak satu pun dari mereka
atau dewa atau manusia
yang dapat dibandingkan dengan Anda.
Karena itu, saya bertanya kepadamu,
wahai dewi yang cantik, yang dilimpahi dengan keanggunan dewata,
katakan kepadaku nama dan keluargamu,
dan dari mana asalmu?
[5] Kemudian dewi tersebut mengucapkan delapan bait kalimat berikut:
Di sungai yang indah ini, tempat Anda duduk dekat dengannya,
wahai brahmana, saya berkuasa,
dan tinggal di bawah, di kedalaman yang luas,
di bawah ombak Sungai Gangga.
Saya memiliki seribu gua gunung,
semuanya ditumbuhi dengan hutan,
dari mana terjadilah aliran sungai-sungai kecil
yang nantinya bergabung dengan aliran sungaiku.
[6] Setiap hutan dan rimba, yang disukai para nāga,
menghasilkan banyak aliran sungai,
dan memiliki warna biru
untuk mengisi jalur sungaiku.
Dalam arus sungai yang terhormat ini,
sering kali terdapat buah-buahan yang berasal dari tiap pohon,
orang dapat melihat buah jambu, sukun,
lontar dan elo7 serta mangga.
Dan semua benda yang tumbuh di kedua tepi sungai
dan yang jatuh dalam jangkauanku,
saya menyatakan itu sebagai kepunyaanku yang sah
dan tidak ada seorang pun yang boleh meragukan katakataku itu.
Setelah mengetahui ini dengan baik,
dengarkan kepadaku, wahai raja yang bijak dan terpelajar,
berhentilah menuruti nafsu keinginan dirimu;
tinggalkanlah benda terkutuk itu.
Wahai pemimpin dari tempat yang luas,
saya tidak dapat memuji tindakanmu;
Menantikan kematian, dalam usia muda,
pastinya adalah orang yang amat sangat dungu, yang mengkhianati dirinya.
Para brahmana dan bidadari, dewa dan manusia,
semuanya mengetahui nama dan perbuatanmu,
dan para petapa yang dengan kesucian mereka
mendapatkan ketenaran di bumi.
Ya, mereka semuanya adalah orang-orang
yang terkenal dan bijaksana, mereka semuanya
menyatakan bahwa perbuatanmu itu salah.
[7] Kemudian petapa tersebut mengucapkan empat bait kalimat berikut:
Seseorang yang mengetahui betapa rapuhnya kehidupan ini,
dan betapa tidak kekalnya benda-benda duniawi,
tidak akan pernah berpikir untuk membunuh yang lainnya,
melainkan hidup dalam kesucian.
Pernah dihormati oleh para resi,
pemilik sebuah nama yang bajik,
sekarang berbicara dengan orang yang rendah,
Anda akan mendapatkan nama buruk yang terkenal.
Jika saya meninggal di tepi sungaimu,
bidadari yang diberkahi dengan tubuh yang indah,
nama buruk akan mendatangi dirimu
seperti bayangan awan.
Oleh karena itu, dewi yang cantik, saya mohon kepadamu,
hindarilah setiap perbuatan yang salah, kalau tidak,
sebuah kata perpisahan dari orang-orang,
Anda akan menyesal telah menyebabkan kematianku.
[8] Mendengarnya berkata demikian, dewi itu membalasnya dalam lima bait kalimat berikut:
Saya mengetahui dengan baik
akan keinginan rahasiamu yang ditahan demikian sabarnya,
saya menyerahkan diriku menjadi pelayanmu
dan buah mangga akan diberikan kepadamu.
Kesenangan indriawi sulit dihentikan dan dihilangkan,
Anda telah mencapai kesucian dan
ketenangan pikiran untuk dijaga selama-lamanya.
Ia yang tadinya memeluk rantai bertekad
untuk tidak melakukannya; terbebas dari ikatan,
tergesa-gesa menjalani jalan yang tidak suci,
malah semakin melakukan perbuatan yang salah.
Saya akan mengabulkan keinginanmu yang sungguh-sungguh itu
dan akan menghentikan permasalahanmu,
menuntunmu ke tempat peristirahatan yang sejuk,
tempat Anda dapat tinggal dengan damai.
Burung bangau, burung madu dan burung tekukur,
dengan angsa merah yang menyukai sari dari bunga yang bermekaran,
angsa yang terbang berkelompok di udara,
burung murai padi dan burung merak berkumpul,
membangunkan hutan dengan suara kicauan mereka.
Bunga-bunga dari pohon kurkuma dan nipa8
terjatuh di tanah seperti tumpukan jerami,
buah lontar yang sudah masak, buah palem yang memikat,
tergantung berkelompok di sekelilingnya,
dan di tengah-tengah cabang pohon yang penuh dengan buah,
lihatlah bagaimana banyaknya mangga yang ada di sini!
[9] Setelah melantunkan pujian terhadap tempat tersebut, ia (bidadari) membawa petapa itu ke sana, memberitahukannya untuk memakan buah mangga di dalam hutan ini sampai ia memuaskan rasa laparnya, kemudian ia pergi.
Setelah memakan buah mangga sampai memuaskan selera makannya, petapa itu beristirahat sejenak. Kemudian di saat ia berkeliling di dalam hutan tersebut, ia melihat peta ini yang berada dalam penderitaan dan tidak berani berbicara kepadanya. Akan tetapi, di saat matahari terbenam, ia melihat peta itu dilayani oleh para bidadari, menikmati kejayaan kedewaannya, dan ia menyapanya dalam tiga bait kalimat berikut:

Sepanjang malam dilayani, dijamu,
dengan mahkota di atas dahi,
leher dan lengan dihiasi dengan permata,
tetapi sepanjang siang Anda mengalami penderitaan yang mendalam!
Ribuan bidadari melayanimu.
Betapa gaibnya kekuatan ini!
Alangkah luar biasanya perubahan keadaan itu
dari penderitaan menjadi kebahagiaan!
Apa yang telah menyebabkan penderitaanmu?
Perbuatan salah apa yang telah Anda perbuat?
Mengapa Anda makan daging dari punggung sendiri setiap harinya?
[10] Peta ini mengenali dirinya dan berkata, “Anda tidak mengenali diriku, tetapi dalam kehidupan sebelumnya saya adalah pendeta kerajaanmu. Kebahagiaan yang saya nikmati di setiap malam hari adalah disebabkan oleh dirimu, sebagai hasil dari perbuatanku yang menjalankan Uposatha setengah hari. Sedangkan penderitaan yang kualami di siang hari adalah akibat dari perbuatan salah yang saya lakukan sendiri. Di saat saya ditunjuk menjadi hakim oleh Anda, saya menerima uang suap, memberikan keputusan-keputusan yang tidak adil, dan juga adalah seorang pengkhianat. Dikarenakan perbuatan jahat yang saya lakukan itulah, saya harus mengalami penderitaan ini sekarang,” dan ia mengucapkan dua bait kalimat berikut:
Dalam kehidupan sebelumnya,
saya melakukan perbuatan salah di dalam lingkungan istana,
bekerja sama mengenai hal yang buruk bersama dengan kerajaan tetangga,
saya melewatkan banyak tahun dalam keadaan yang demikian.
Ia yang suka memangsa nama baik dengan mengkhianati orang lain,
maka daging dari punggungnya sendiri harus diambil dan dimakan,
seperti yang saya alami kali ini.
Setelah berkata demikian, ia bertanya kepada petapa tersebut mengapa ia datang ke sini. Petapa itu menceritakan semuanya secara panjang lebar. “Dan sekarang, Bhante,” kata sang peta, “Apakah Anda akan tetap tinggal di sini atau pergi?” “Saya tidak akan tinggal di sini, saya akan kembali ke tempat pertapaanku.” Peta itu berkata, “Bagus sekali, Bhante. Saya akan terus menyediakan buah mangga yang matang untukmu,” dan dengan menggunakan kekuatan gaibnya, ia membawanya kembali ke tempat pertapaan sambil memintanya untuk tinggal di sana dengan rasa puas.

Ia membuat sebuah janji kepadanya dan kemudian kembali. Mulai dari saat itu, sang peta memberikannya buah mangga secara berkesinambungan. Sang petapa, dalam menikmati buah itu, melakukan meditasi pendahuluan kasiṇa9 untuk mencapai jhāna (jhana) dan kesaktian (abhiññā) dan terlahir di alam brahma.
____________________

[11] Setelah menyampaikan uraian Dhamma ini kepada para upasaka, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran ini:—Di akhir kebenarannya, beberapa di antara mereka mencapai tingkat kesucian Sotāpanna (Sotapanna), beberapa lainnya mencapai Sakadāgāmi (Sakadagami), dan sebagian lagi mencapai Anāgāmi (Anagami):—“Pada masa itu, dewi itu adalah Uppalavaṇṇā, petapa itu adalah saya sendiri.”
____________________
Catatan kaki :

1 termasuk tidak melakukan kesalahan terhadap orang lain.

2 Yang terlahir sebagai peta di alam vimana adalah yang peta yang berbahagia, beda dengan yang terlahir di alam setan (peta vatthu). Peta ini menikmati kebahagiaan dan juga menjalani hukuman, sesuai dengan kamma masing-masing.

3 hasta = hattha. Menurut Bhikkhu Thanissaro, 1 (sugata) hattha = 50 cm.

4 kiṃsuka = palāsa, Butea frondosa.

5 pabbajita adalah orang yang telah meninggalkan kehidupan berumah tangga, termasuk di dalamnya para bhikkhu, petapa, maupun samanera.

6 Bandingkan Mahāvagga, I. 15. 2.

7 udumbara; Ficus glomerata

8 Curcuma domestica atau Crocus sativus; dan Nauclea cadamba atau Nauclea cordofolia.

9 kasiṇa adalah salah satu kelompok objek meditasi samatha, yang mana hasil yang dicapai adalah jhāna.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com