Sariputta | Suttapitaka | SATTIGUMBA-JĀTAKA Sariputta

SATTIGUMBA-JĀTAKA

Satti­gumba­jātaka (Ja 503)

“Dengan rombongan besar,” dan seterusnya—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di taman rusa Maddakucchi, tentang Devadatta.

Ketika Devadatta melempar batu 265 dan satu pecahannya menusuk kaki Sang Bhagava, timbul rasa sakit yang amat sangat karenanya.

Sejumlah bhikkhu berkumpul untuk melihat keadaan Sang Tathagata. Di saat Sang Bhagava melihat orang-orang berkumpul bersama, Beliau berkata kepada mereka, “Para bhikkhu, tempat ini ramai: akan ada suatu pertemuan yang besar. Ayo sekarang bawa saya dengan tandu ke Maddakucchi. Kemudian para bhikkhu itu pun melakukannya.

Jīvaka membuat kaki Sang Tathagata menjadi baik. Para bhikkhu yang duduk di depan Sang Guru membicarakan hal itu: “Āvuso, Devadatta adalah seorang pendosa dan begitu juga dengan para pengikutnya. Para pendosa berteman dengan orang-orang yang berdosa.”

Sang Guru bertanya, “Apa yang Anda sekalian bicarakan, para bhikkhu?” Mereka memberitahu Beliau. Beliau berkata, “Sebelumnya, hal ini juga sama dan ini bukanlah pertama kalinya Devadatta sang pendosa memimpin kawanan pendosa.”

Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________

Dahulu kala, seorang raja bernama Pañcāla berkuasa di kota Uttara-Pañcāla. Sang Mahasatwa terlahir sebagai anak dari raja burung nuri, yang tinggal di hutan pohon simbali, yang berada di dataran tinggi di tengah suatu hutan rimba: ada dua orang petapa di sana.

Di atas bukit ada sebuah desa perampok, tempat dimana lima ratus orang perampok tinggal; di bawah tempat teduh itu terdapat sebuah tempat petapaan yang dihuni oleh lima ratus orang suci.

Persis ketika burung-burung nuri berganti bulu, terjadilah suatu angin puyuh yang menerbangkan salah seekor burung nuri itu, [431] dan ia jatuh di desa para perampok di antara tumpukan senjata mereka. Dikarenakan jatuh di tempat itu, mereka memberinya nama Sattigumba, atau Tombak Berbulu.

Burung nuri yang satunya lagi jatuh di tempat petapaan, di antara bunga-bunga yang tumbuh di tempat yang berpasir. Dari itu ia diberi nama Pupphaka, Burung Bunga. Sattigumba tumbuh besar di antara para perampok, sedangkan Pupphaka tumbuh besar di antara orang suci.

Suatu hari, raja dengan rombongan pengawalnya yang berani, sebagai pemimpin mereka, menunggang kereta perangnya yang luar biasa untuk berburu rusa. Tidak jauh dari kota, ia masuk ke dalam suatu hutan indah yang penuh dengan bunga dan buah-buahan. Raja berkata, “Jika ada yang membiarkan rusa berlari melewati dirinya, ia akan menanggung akibatnya!” Kemudian ia turun dari keretanya dan mencari tempat bersembunyi, berdiri dengan busur di tangan, di dalam gubuk.

Para pemukul memukul semak-semak untuk memulai permainannya. Seekor rusa muncul dan mencari jalan untuk lari; ia melihat ada celah di tempat raja, melewatinya dan melarikan diri. Semua orang bertanya siapa yang telah membiarkan rusa itu lari. Orang itu adalah raja! Mendengar ini, mereka pergi dan mengolok-olok raja. Dalam kesombongannya, raja tidak bisa menerima ejekan tersebut. “Sekarang saya akan menangkap rusa itu!” teriaknya, dan naik ke keretanya. “Kecepatan penuh!” katanya kepada sang penunggang, dan ia pun pergi mengejar rusa yang tadi itu.

Begitu cepatnya raja pergi sehingga yang lainnya tidak bisa mengikutinya: raja dan sang penunggang kereta, mereka berdua ini, tetap melanjutkan pengejaran sampai tengah hari tetapi tidak melihat satu ekor rusa pun. Kemudian raja kembali dan sewaktu melihat ada lembah yang menyenangkan di dekat desa perampok itu, raja singgah sebentar, mandi, minum dan kemudian keluar dari dalam air.

Kemudian sang penunggang membawa keluar sebuah permadani dari dalam kereta dan membentangkannya di bawah satu pohon yang rindang; raja berbaring di atasnya, sedangkan sang penunggang duduk di bawah kakinya sambil memijatnya. Raja sebentar-sebentar tertidur dan terbangun.

Para penduduk desa perampok, bahkan semua perampok, pergi keluar dari hutan untuk menjumpai raja mereka. Dengan demikian tidak ada seorang pun di dalam desa itu yang tertinggal selain Sattigumba dan tukang masak, seorang laki-laki yang bernama Patikolamba. Waktu itu, Sattigumba yang keluar dari desa tersebut melihat raja dan berpikir, “Bagaimana kalau kami membunuh orang yang ada di sana selagi ia tidur dan mengambil perhiasannya!” Maka ia kembali untuk menjumpai Patikolamba dan memberitahunya tentang semua itu.

[432] Untuk menjelaskan ini, Sang Guru mengucapkan lima bait kalimat berikut:
“Dengan rombongan besar pengawal,
raja Pañcala pergi berburu rusa;
Jauh ke dalam hutan raja tersesat dan
tidak ada satu jiwa pun yang berada di dekatnya.
“Lo, ia melihat di dalam hutan tersebut
ada sebuah tempat berlindung yang dibuat oleh para perampok.
Seekor burung nuri datang dan segera ia mengatakan
kata-kata yang kejam berikut ini:—
“ ‘Seorang pemuda yang menunggang kereta,
dengan mengenakan banyak permata,
dan di atas dahinya ada sebuah mahkota emas
yang bersinar kemerah-merahan seperti matahari!
“ ‘Baik raja maupun penunggang keretanya itu
berbaring tidur di sana di saat tengah hari:
Ayo kita rampas kekayaan mereka
dan cepat bawa pergi!
“ ‘Ini sangat tenang seperti di saat tengah malam:
baik raja maupun penunggangnya sedang tidur:
Ayo kita ambil dan simpan harta benda dan permata mereka,
Bunuh mereka, dan tumpukan dahan-dahan pepohonan untuk menimbun mereka.”
Setelah disapa dengan demikian, laki-laki itu pergi melihat keluar. Di saat melihat bahwa itu adalah seorang raja, ia menjadi ketakutan dan mengucapkan bait berikut:



“Apa, Sattigumba, apakah Anda sudah gila?
Perkataan apa ini yang saya dengar?
Raja itu seperti api unggun yang membara dan
adalah orang yang paling berbahaya untuk didekati.”
Burung tersebut menjawab dalam bait berikutnya:

“Ini adalah pembicaraan yang bodoh, Patikolamba.
Anda yang gila, bukan saya:
Ibu saya tidak berpakaian;
Mengapa Anda memandang rendah cara hidup kita266?”
[433] Waktu itu raja terbangun, dan ketika mendengar mereka berbicara satu sama lain dalam bahasa manusia, raja mengetahui bahaya itu dan mengucapkan bait berikut untuk membangunkan penunggang keretanya:
“Cepatlah bangun, Teman penunggang,
dan siapkanlah keretanya:
Kita pergi cari tempat berlindung yang lain
karena saya tidak menyukai burung nuri ini.”
Sang penunggang bangun dengan cepat, menyiapkan sepasang kudanya dan mengucapkan satu bait kalimat berikut:

“O raja agung, keretanya sudah siap,
sudah siap di sana: Naiklah, O raja!
dan mari kita pergi
cari tempat berlindung lainnya.”
Tidak lama setelah raja berada di kereta, kemudian kuda-kuda berdarah murni tersebut lari secepat angin. Ketika melihat kereta itu pergi, Sattigumba diliputi dengan kegelisahan dan mengucapkan dua bait kalimat berikut:

“Sekarang kemana perginya orang-orang
yang tadi menghuni tempat ini?
Pañcala melarikan diri,
terlepas karena mereka tidak melihatnya.
“Apakah ia akan berhasil lari hidup-hidup?
Ambil lembing, tombak, dan busur:
Lihatlah, Pañcala melarikan diri!
O jangan biarkan ia lolos!”
Demikianlah Sattigumba mengoceh sambil terbang ke sana dan ke sini. Sementara itu, dalam pelariannya raja sampai di tempat petapaan para orang suci. Pada waktu itu, mereka semua sedang pergi mengumpulkan buah-buahan dan akar tetumbuhan, [434] hanya ada Puppha, si burung nuri, di sana. Ketika melihat raja, ia menjumpainya dan menyapanya dengan hormat.

Kemudian Sang Guru mengucapkan empat bait kalimat untuk menjelaskannya:

Burung nuri yang berparuh merah itu berkata dengan sopan,
“Selamat datang, O raja! Merupakan suatu kesempatan
yang berbahagia Anda datang kemari!
Anda adalah orang yang agung dan berjaya:
Katakan, keperluan apa yang membawa Anda datang?
“Buah tiṇḍukā, buah piyālā, dan kāsumārī yang manis267,
Meskipun sedikit jumlahnya, ambillah yang terbaik
yang kami miliki ini dan makanlah, O raja.
“Dan air dingin ini, dari sebuah gua yang tersembunyi
di bukit yang tinggi,
O raja agung, ambillah air ini
dan minum jika berminat.
“Semua orang yang tinggal di hutan ini
sedang pergi mengumpulkan makanan:
Bangun dan ambillah sendiri, O raja,
saya tidak memiliki tangan untuk memberikannya.”
Raja yang merasa senang mendapatkan sapaan yang sopan ini, menjawabnya dalam dua bait kalimat berikut:

“Tidak ada unggas yang lebih baik
yang pernah dilahirkan: seekor burung yang bijak:
Tetapi burung yang satunya lagi di sebelah sana
mengatakan banyak kata-kata yang kejam.
“ ‘O jangan biarkan ia pergi dari sini hidup-hidup,
O bunuh atau ikat dirinya!’ teriaknya,
Kemudian saya menemukan tempat berlindung ini
dan mendapatkan rasa aman di sini.”
Setelah demikian dijawab oleh raja, Pupphaka mengucapkan dua bait kalimat berikut:

“Kami adalah saudara, O raja agung,
masing-masing berasal dari satu induk yang sama,
Dibesarkan bersama di sebuah pohon,
tetapi kemudian terpisah di ladang yang berbeda.
“Sattigumba berada di tempat para perampok,
sedangkan saya berada di tempat para orang suci;
Orang-orang itu buruk, sedangkan orang-orang ini baik,
dan oleh sebab itu, cara perlakuan kami berdua tidak sama.”
[435] Kemudian ia menjelaskan perbedaannya secara rinci, dengan mengucapkan dua bait kalimat lagi:


“Di sana luka, kurungan, penipuan, pembohongan
dan penampilan yang kotor selalu terjadi silih berganti,
Menyerang dan perbuatan kekerasan lainnya:
demikianlah pengetahuan yang dipelajarinya.
“Di sini pengendalian diri, ketenangan hati,
kebaikan, keadilan dan kebenaran,
Tempat berlindung dan minuman bagi orang asing:
keadaan seperti ini yang ada di saat saya tumbuh besar.”
Kemudian ia memaparkan kebenaran kepada raja dalam bait-bait kalimat berikut ini:

“Kepada siapa saja, baik atau jahat,
seseorang harus memberi hormat,
Keji atau bajik, orang tersebut
melindunginya dalam kekuasaanya.
“Seperti teman yang disukai seseorang,
seperti teman pilihan,
Demikianlah yang akan terjadi bagi orang
yang berada di sampingnya, pada akhirnya.
“Persahabatan mempengaruhi, dan sentuhan menular,
Anda akan melihat ini sebagai kebenaran:
Dengan menaruh racun di anak panah,
tempat anak panah itu pun akan menjadi beracun.
“Orang yang bijak menjauhkan diri dari kumpulan orang yang jahat,
dikarenakan takut akan sentuhan yang bernoda,
Jika Anda membungkus ikan busuk di rumput,
maka Anda akan mendapatkan rumput menjadi sama busuknya dengan ikan.
Dan demikianlah orang-orang yang berteman
dengan kumpulan orang yang jahat, akan segera menjadi jahat.
[436] “Kemenyan harum yang dibungkus dengan daun,
maka daun akan menjadi sama harumnya.
Demikianlah mereka yang duduk di bawah kaki orang yang bijak,
akan segera tumbuh menjadi bijak.
“Dengan perumpamaan ini, orang yang bijak seharusnya
mengetahui keuntungannya sendiri,
Membuat dirinya menghindari kumpulan orang yang jahat
dan berteman dengan orang yang baik:
Surga menunggu orang yang baik, sedangkan
orang yang jahat akan berakhir di bawah, alam Neraka.”
Raja merasa senang dengan pemaparan kebenaran ini. Kemudian para orang suci tersebut kembali. Raja menyapa mereka dengan berkata, “Berbaik hatilah, Bhante, datang dan tinggallah di tempatku,” dan berhasil membuat mereka menerima undangannya itu.

Sesampainya di rumah, raja mengumumkan perlindungan (kekebalan) kepada semua burung nuri. Para orang suci itu datang juga ke sana mengunjungi raja. Raja memberikan tamannya kepada mereka sebagai tempat tinggal dan merawat mereka selama hidupnya. Ketika raja terlahir di alam Surga, putranya yang mengambil alih payung putih tersebut di atas kepalanya. Dan putranya ini juga tetap merawat para orang suci tersebut.

Demikian seterusnya dari ayah ke anak, sampai tujuh generasi dari raja tersebut, semuanya sangat murah hati dalam pemberian dana. Dan Sang Mahasatwa tetap tinggal di dalam hutan sampai meninggal sesuai dengan perbuatannya sendiri.
____________________

Setelah uraian ini selesai disampaikan, Sang Guru berkata, “Demikianlah, para bhikkhu, Anda mengetahui bahwa Devadatta berteman dengan kumpulan orang jahat sebelumnya, seperti yang dilakukannya sekarang.”

Kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Devadatta adalah Sattigumba, [437] para pengikut Devadatta adalah para perampok, Ananda adalah raja, pengikut Sang Buddha adalah para orang suci, dan saya sendiri adalah burung nuri Pupphaka.”

____________________

Catatan kaki :

265 Hardy, Manual, hal. 320.

266 “Yang dimaksudnya di sini adalah istri dari ketua perampok tersebut, yang pergi kemanamana hanya dengan mengenakan pakaian yang terbuat dari daun-daun pepohonan. ‘Ibuku saja tidak berpakaian; mengapa anda menghina cara hidup perampok?”—Para ahli. Kaum Jūang atau Patua di Orissa atau ‘Pemakai daun,’ hanya mengenakan seikat dedaunan yang diikatkan di bagian depan dan belakang.

267 Dinamakan Diospyros embryopteris dan Buchanania latifolia.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com