Sariputta | Suttapitaka | ROHANTA-MIGA-JĀTAKA Sariputta

ROHANTA-MIGA-JĀTAKA

Rohaṇa­mi­gajā­taka (Ja 501)

“Dengan rasa takut terhadap kematian,” dan seterusnya—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Veluvana, tentang Yang Mulia Ananda yang melepaskan kehidupan duniawinya.
Pelepasan kehidupan duniawi ini akan dijelaskan di dalam Culla-Haṁsa-Jātaka256 , penaklukkan Dhanapāla.

Ketika Yang Mulia ini telah meninggalkan kehidupan duniawi mengikuti Sang Guru, mereka membicarakan tentangnya di dhammasabhā: “Āvuso, Yang Mulia Ananda meninggalkan kehidupan duniawi mengikuti Dasabala.”

Sang Guru berjalan masuk ke dalam dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan sambil duduk di sana. Mereka memberitahu-Nya.

Beliau berkata, “Para bhikkhu, ini bukan pertama kalinya Ananda mengabdikan hidupnya kepadaku, sebelumnya ia juga pernah melakukannya.”

Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.
____________________

Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja di Benares, ratunya yang berkuasa bernama Khema.

Pada waktu itu, Bodhisatta terlahir di daerah pegunungan Himalaya, sebagai seekor rusa jantan. Ia memiliki warna keemasan dan indah sekali. Adik jantannya yang bernama Citta-miga atau Rusa Belang, juga memiliki warna keemasan, dan begitu juga halnya dengan adik betinanya, Sutanā. Waktu itu, Sang Mahasatwa bernama Rohanta dan ia adalah raja rusa.

Setelah melintasi dua barisan pegunungan, di barisan yang ketiga ia tinggal di samping sebuah danau yang disebut Danau Rohanta dan dikelilingi oleh sekumpulan rusa yang berjumlah delapan puluh ribu ekor. Ia terbiasa menghidupi kedua orang tuanya yang sudah tua dan buta.

Waktu itu seorang pemburu yang tinggal di sebuah desa pemburu dekat Benares, datang ke pegunungan Himalaya dan melihat Sang Mahasatwa. Ia kemudian pulang kembali ke desanya, dan di ranjang kematiannya ia memberitahukan putranya, “Anakku, di tempat anu, di tanah buruan kita ada seekor rusa emas. Jika raja nanti ingin mencarinya, Anda bisa memberitahukannya tentang hal ini.”

Suatu hari ratu Khema bermimpi di saat fajar menyingsing dan berikut ini adalah cerita dalam mimpinya; Seekor rusa jantan yang berwarna emas duduk di sebuah tempat duduk keemasan dan memberikan khotbah kepada ratu mengenai kebenaran dengan suara yang semanis madu, seperti suara lonceng emas yang berdenting. Ratu mendengarkan khotbahnya itu dengan penuh kegembiraan, tetapi sebelum khotbahnya selesai, rusa itu bangkit dan pergi; ratu pun terbangun, sambil berteriak—“Tangkap rusa itu untukku!” Para pelayannya yang mendengar teriakannya itu tertawa terbahak-bahak. “Pintu dan jendela rumahnya ini tertutup rapat; bahkan hembusan angin tidak dapat masuk, dan dengan keadaan yang seperti ini ratu berteriak untuk menangkap rusa itu untuknya!”

[414] Setelah itu, ratu baru sadar kalau itu hanya mimpi. Tetapi ia berkata dalam dirinya sendiri, “Jika saya mengatakan bahwa ini adalah mimpi, raja tidak akan mempedulikannya. Jika saya mengatakan ini adalah permintaan seorang wanita, ia akan mempedulikannya. Saya akan dapat mendengar khotbah dari rusa jantan yang berwarna emas itu!” Kemudian ia berbaring seolah-olah ia sedang sakit.
Raja datang: “Ada apa ratuku?” katanya. “Oh, Paduka, hanya permintaan biasa saja.”—“Apa yang Anda inginkan?”—“Saya ingin mendengar khotbah dari seekor rusa jantan emas yang benar.”—“Ratu, apa yang Anda inginkan itu tidak ada. Makhluk seperti rusa jantan emas itu tidak pernah ada hal yang demikian.” Ratu berkata, “Jika saya tidak mendapatkannya, saya pasti akan mati di tempat ini.” Ia membalikkan punggungnya ke arah raja dan berbaring tak bergerak. “Jika rusa itu memang ada, ia pasti akan kutangkap,” kata raja. Kemudian ia menanyakan kepada para pejabat istana dan brahmananya, sama persis dengan cerita di dalam Mora-Jātaka 257 , apakah rusa jantan emas itu benar-benar ada.

Mengetahui bahwa memang ada, raja memanggil para pemburunya dan berkata, “Siapakah di antara kalian yang pernah melihat atau mendengar tentang makhluk tersebut?” Putra dari pemburu tersebut yang kita bicarakan tadi, memberitahukan ceritanya sesuai dengan apa yang didengarnya. “Saudaraku,” kata raja “di saat Anda membawakan rusa itu kepadaku, saya akan memberimu imbalan dengan sangat banyak. Pergi dan bawalah rusa itu kemari.” Raja memberikan uang untuk biaya pengeluarannya dan memintanya pergi. Laki-laki itu berkata, “Jangan takut. Jika saya tidak dapat membawa rusa itu, saya akan membawakan kulitnya; jika saya tidak bisa membawa kulitnya, saya akan membawa bulunya.” Kemudian ia pulang ke rumah dan memberikan uang raja itu kepada keluarganya. Setelah itu, ia pergi keluar dan melihat rusa besar tersebut. “Dimanakah harus saya letakkan perangkapku ini,” ia merenung, “sehingga dapat menangkapnya?” Ia melihat kesempatan itu di tempat rusa tersebut minum. Ia melingkarkan segulung tali kulit yang kuat dan meletakkannya dengan sebuah tiang di tempat dimana Sang Mahasatwa biasanya turun untuk meminum air.

Keesokan harinya, Sang Mahasatwa beserta dengan delapan puluh ribu ekor rusa lainnya, sewaktu mencari makanan, datang ke sana untuk minum air di sungai dangkal yang biasa itu. Persis ketika ingin turun ke sana, ia terikat di perangkap tersebut. Kemudian ia berpikir, “Jika saya mengeluarkan suara jeritan hewan yang tertangkap, semua rombonganku akan lari ketakutan tanpa minum air.” [415] Meskipun terikat dengan kuat di ujung tiang tersebut, ia berdiri dengan berpura-pura untuk minum, seolah-olah ia bebas tidak terikat apapun. Ketika delapan puluh ribu ekor rusa tersebut telah selesai minum dan berada di tempat yang jauh dari air sungai, ia menyentak jerat itu sebanyak tiga kali untuk memutuskannya jika memungkinkan.

Pertama kali, ia memotong kulitnya; kedua kalinya ia memotong dagingnya; dan ketiga kalinya ia memotong uratnya sehingga jerat itu menyentuh tulangnya. Kemudian karena tidak bisa melepaskan dirinya, ia mengeluarkan suara hewan yang tertangkap; semua rombongan rusa tersebut melarikan diri dengan ketakutan dalam tiga kelompok. Citta-miga yang tidak dapat melihat Sang Mahasatwa dalam tiga kelompok rombongan rusa tersebut: “Bahaya ini,” pikirnya, “yang datang kepada kami ini telah menimpa abangku.” Kemudian sekembalinya ke sana, ia melihat abangnya terjerat dalam ikatan yang kuat. Sang Mahasatwa melihat adiknya tersebut dan berteriak, “Jangan berdiri di sini, saudaraku, ada bahaya di sini!”

Kemudian dengan tujuan mendesak adiknya untuk menyelamatkan dirinya sendiri, ia mengucapkan bait pertama berikut ini:

“Dengan rasa takut terhadap kematian, O Cittaka,
rombongan makhluk itu melarikan diri:
Pergilah kamu dengan mereka, dan jangan berlama-lama,
karena mereka akan hidup dengan adanya dirimu.”
Tiga bait kalimat berikut ini diucapkan oleh mereka berdua secara bergantian:

“Tidak, tidak, Rohanta. Saya tidak akan pergi:
hatiku telah membawaku kembali ke sini:
Saya siap untuk mengorbankan hidupku,
saya tidak akan meninggalkan dirimu di sini.”
“Kalau begitu, kedua orang tua kita yang tua dan buta
pasti akan mati karena tidak ada yang merawat:
O pergilah, biarkan mereka hidup bersama denganmu:
O jangan berlama-lama di sini!”
“Tidak, tidak, Rohanta. Saya tidak akan pergi:
hatiku telah membawaku kembali ke sini;
Saya siap untuk mengorbankan hidupku,
saya tidak akan meninggalkan dirimu di sini.”
[416] Ia mengambil tempatnya untuk berdiri, menyangga Bodhisatta di sisi sebelah kanan dan menghibur dirinya.
Sutanā juga, rusa yang paling bungsu, berlari di antara rombongan rusa tersebut dan tidak menemukan kedua abangnya dimanapun. “Bahaya ini,” pikirnya, “pasti telah menimpa kedua saudaraku.” Ia kembali dan menjumpai mereka. Sang Mahasatwa mengucapkan bait kelima ini ketika melihat adik bungsunya:

“Pergilah rusa yang pemalu, dan selamatkan dirimu;
sebuah jerat besi menahanku:
Pergilah dengan yang lainnya, dan jangan berlama-lama,
mereka akan hidup dengan adanya dirimu.”
Tiga bait kalimat berikut ini diucapkan secara bergantian seperti sebelumnya:

“Tidak, tidak, Rohanta. Saya tidak akan pergi:
hatiku telah membawaku kembali ke sini:
Saya siap untuk mengorbankan hidupku,
saya tidak akan meninggalkan dirimu di sini.”
“Kalau begitu, kedua orang tua kita yang tua dan buta
pasti akan mati karena tidak ada yang merawat:
O pergilah, biarkan mereka hidup bersama denganmu:
O jangan berlama-lama di sini!”
“Tidak, tidak, Rohanta. Saya tidak akan pergi:
hatiku telah membawaku kembali ke sini;
Saya siap untuk mengorbankan hidupku,
saya tidak akan meninggalkan dirimu di sini.”
Demikianlah adik bungsunya juga menolak untuk mematuhi dirinya, dan berdiri di sisi sebelah kirinya sambil menghibur dirinya juga. Waktu itu, pemburu tersebut mendengar suara para rusa yang lari terbirit-birit dan mendengar suara jeritan rusa yang tertangkap. “Itu pasti raja rombongan rusa yang tertangkap!” katanya. Dengan mengencangkan sabuknya, ia mengambil tombaknya untuk membunuh rusa itu dan berlari dengan cepat ke tempat tersebut. Sang Mahasatwa mengucapkan bait kesembilan berikut ketika melihat pemburu itu datang:

“Pemburu yang marah, dengan senjata di tangan,
lihatlah ia datang mendekat!
Dan ia akan membunuh kita semua di sini hari ini
dengan anak panah ataupun dengan tombak.”
[417] Citta tidak lari meskipun melihat pemburu itu datang. Tetapi Sutanā yang tidak cukup kuat untuk tetap berdiri di sana, mencoba untuk melarikan diri karena takut akan kematian. Kemudian dengan pemikiran—“Ke mana saya akan pergi jika meninggalkan kedua saudaraku sendiri?” ia pun kembali, dengan tidak mempedulikan hidupnya sendiri258, dengan kematian di dahinya, dan berdiri di sisi sebelah kiri dari saudaranya.
Untuk menjelaskan ini, Sang Guru mengucapkan bait kesepuluh berikut ini:

“Rusa yang lemah tersebut
awalnya melarikan diri karena panik,
Kemudian ia melakukan hal yang sulit,
ia kembali untuk menerima kematian.”
Ketika tiba, sang pemburu melihat tiga makhluk tersebut yang sedang berdiri bersama. Suatu perasaan iba muncul di dalam dirinya karena ia menerka bahwa mereka adalah abang adik yang berasal dari satu rahim. “Hanya raja kelompok rusa itu,” pikirnya, “yang tertangkap di dalam jerat. Yang dua lagi itu adalah terikat oleh ikatan kehormatan. Hubungan saudara apa yang mereka miliki dengannya?” yang kemudian ditanyakannya sebagai berikut:

“Apa hubungan rusa-rusa ini yang melayani tawanan,
meskipun sebenarnya bebas,
Tidak demi nyawa sendiri
mereka meninggalkannya di sini dan lari?”
Kemudian Bodhisatta menjawab:

“Mereka ini adalah adik-adikku,
yang dilahirkan oleh ibu yang sama:
Tidak demi nyawa sendiri
mereka akan meninggalkanku sendiri dengan meyedihkan.”
Kata-kata ini semakin membuat hati pemburu itu menjadi lemah. Mengetahui hatinya yang menjadi lemah, Citta berkata, “Teman pemburu, jangan mengira bahwa makhluk ini hanya sekedar seekor rusa saja. Ia adalah raja dari delapan puluh ribu ekor rusa, rusa yang bajik, ramah kepada makhluk apapun, rusa yang memliki kebijaksanaan yang besar; ia juga menghidupi yang menghidupi ayah dan ibunya, yang sekarang sudah buta dan tua. Jika Anda membunuh suatu makhluk yang demikian baik seperti ini, berarti Anda juga membunuh ayah dan ibu kami, adik betinaku dan saya, yang berjumlah lima ekor semuanya; Akan tetapi jika Anda mengampuni nyawa abangku, Anda berarti telah memberikan kehidupan kepada kami berlima.” [418] Kemudian ia mengucapkan satu bait kalimat berikut:

“Sudah buta, tidak memiliki siapapun untuk merawatnya,
mereka berdua juga akan mati:
O berikanlah kehidupan kepada kami berlima,
dan lepaskanlah abangku!”
Ketika mendengar perkataan yang berbakti ini, pemburu itu menjadi senang hatinya. “Jangan takut, Rusa,” katanya, dan mengucapkan bait berikutnya ini:

“Baiklah, sekarang lihat, saya akan melepaskan
rusa yang berbakti kepada orang tuanya ini:
Di saat melihatnya kembali,
mereka akan bersorak riang.”
Ketika mengucapkan ini, ia juga bepikir, “Apalah gunanya raja dan segala kehormatannya? Jika saya melukai raja rusa ini, bumi akan terbuka menganga dan menelanku ataupun halilintar akan menyambarku. Saya akan melepaskan dirinya.” Maka dengan menghampiri Sang Mahasatwa, ia merobohkan tiangnya dan memotong tali kulit tersebut. Kemudian ia menggendong rusa tersebut dan membaringkannya dekat ke air, dengan lemah lembut melepaskannya dari jerat, menyambung urat, dagingnya yang terluka, dan bagi tepi kulitnya, membersihkan darahnya dengan air, dengan iba mengelusnya secara berulang-ulang. Dengan kekuatan dari kasih sayangnya dan juga kesempurnaan dari Sang Mahasatwa, semuanya kembali menjadi seperti semula; urat, daging, dan kulit. Bulu-bulu tumbuh menutupi kakinya sehingga tidak seorang pun dapat menebak dimana bekas lukanya berada. Sang Mahasatwa berdiri di sana, penuh dengan kebahagiaan. Citta yang melihatnya demikian, juga menjadi riang dan mengucapkan terima kasih kepada pemburu tersebut dalam bait kalimat ini:

“Pemburu, berbahagialah sekarang,
dan semoga sanak keluargamu juga berbahagia,
Seperti saya yang bahagia
melihat rusa yang agung itu dibebaskan.”
Kemudian Sang Mahasatwa berpikir, “Apakah karena keinginannya sendiri pemburu ini memasang jerat untuk menangkapku, atau atas permintaan orang lain?” dan ia menanyakan alasan penangkapan dirinya. Pemburu berkata, “Rusa, saya tidak menginginkan apapun darimu, tetapi ratu yang berkuasa, Khema, berkeinginan mendengarmu memberikan khotbah tentang kebenaran. Oleh karenanya, saya memasang jerat untuk menangkapmu atas perintah raja.”—“Kalau memang demikian, teman baikku, Anda telah melakukan suatu perbuatan yang lancang dengan melepaskanku. [419] Ayo, bawa saya kepada raja dan saya akan memberikan khotbah di hadapan ratu.”—“Sebenarnya, Tuanku, raja itu kejam. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi nanti? Saya tidak peduli lagi dengan kehormatan apa yang mungkin akan diberikan kepadaku; pergilah sesuka hatimu ke mana saja.”

Tetapi lagi Sang Mahasatwa berpikir bahwa itu adalah suatu perbuatan yang lancang dengan melepaskannya; Ia harus memberikan kesempatan kepada pemburu itu untuk mendapatkan kehormatan yang dijanjikan kepadanya. Maka ia berkata, “Teman, gosok bagian punggungku dengan tanganmu.” Pemburu itu melakukannya; sekujur tangannya itu tumbuh bulu-bulu rambut yang berwarna keemasan. “Apa yang harus saya lakukan dengan bulu-bulu ini, Tuanku?”—“Ambil saja, temanku, tunjukkan kepada raja dan ratu, beritahu mereka bahwa itu adalah bulu-bulu dari rusa jantan tersebut. Ambil alih kedudukanku dan berikan mereka khotbah dengan kata-kata di dalam sajak ini; saya akan mengucapkannya; Ketika ratu mendengar perkataanmu, kata-kata itu akan cukup untuk memuaskan permintaannya.”

“Ucapkanlah kebenaran itu, O raja!” kata pemburu tersebut, dan Sang Mahasatwa mengajarkannya sepuluh bait kalimat dari kehidupan melaksanakan laku uposatha dan menjelaskan Pancasila (Buddhis), dan menyuruhnya pergi dengan memberikan peringatan agar tetap waspada (jangan lengah).

Pemburu itu melayani Sang Mahasatwa seperti seseorang yang melayani gurunya. Sebanyak tiga kali, pemburu itu berputar mengelilinginya, melakukan empat penghormatan, membungkus bulu-bulu tersebut di sehelai daun teratai dan pergi. Ketiga hewan tersebut mengantarnya sampai beberapa jauh dan kemudian pergi kembali ke tempat orang tua mereka setelah selesai makan dan minum.

Ayah dan ibunya bertanya kepada dirinya: “Rohanta, anakku, kami mendengar bahwa Anda tertangkap. Bagaimana Anda bisa bebas dan datang kemari?” Mereka memasukkan pertanyaan tersebut di dalam bait berikut:

“Bagaimana Anda mendapatkan kebebasan
di saat nyawa hampir melayang:
Bagaimana pemburu itu melepaskanmu
dari jerat yang membahayakan itu, anakku?”
Untuk menjawabnya, Bodhisatta mengucapkan tiga bait kalimat berikut ini:

“Cittaka membuatku mendapatkan kebebasan
dengan kata-katanya yang enak didengar,
Yang menyentuh hati, yang masuk ke hati bagian dalam,
kata-kata yang diucapkan dengan manis dan jelas.
“Sutanā membuatku mendapatkan kebebasan
dengan kata-katanya yang enak didengar,
Yang menyentuh hati, yang masuk ke hati bagian dalam,
kata-kata yang diucapkan dengan manis dan jelas.
[420] “Pemburu itu memberikan kebebasanku,
mendengar kata-kata yang memikat tersebut,
yang menyentuh hati, yang masuk ke hati bagian dalam,
kata-kata yang diucapkan dengan manis dan jelas.”
Kedua orang tuanya mengungkapkan rasa terima kasih dengan mengatakan:

“Ia bersama dengan istri dan keluarganya,
O semoga mereka bahagia,
Seperti kami yang bahagia
melihat Rohanta yang bebas sekarang!”
Waktu itu, sang pemburu keluar dari dalam hutan dan pergi menjumpai raja. Setelah memberikan salam hormat kepada raja, ia berdiri di satu sisi. Melihatnya datang, raja berkata:

“Ayo, beritahu saya, pemburu:
apakah Anda akan berkata, ‘Lihat, saya membawa kulit rusa’:
Atau apakah Anda tidak memiliki kulit rusa
untuk ditunjukkan karena sesuatu hal?”
Sang pemburu menjawabnya:

“Ke tanganku makhluk itu datang, ke dalam jeratku,
Dan terikat dengan kuat: Tetapi rusa lainnya,
yang tidak terkena jerat, menemaninya di sana.
“Kemudian rasa iba membuat bulu romaku berdiri,
suatu perasan iba yang baru dan aneh.
Jika saya membunuh rusa ini (pikirku)
maka saya juga akan mati.”
“Rusa-rusa jenis apakah ini, O pemburu,
bagaimana sifat mereka, dan tingkah laku mereka,
Apa warna tubuh mereka,
Kepribadian apa yang mereka miliki,
sehingga mencapai suatu tindakan yang demikian terpuji?”
Raja menanyakan ini beberapa kali secara berulang-ulang seperti orang yang sangat terkagum-kagum. Sang pemburu menjawabnya dalam bait kalimat berikut ini:

[421] “Dengan tanduk perak dan bentuk yang anggun,
dengan kulit dan bulu yang berwarna cerah,
Lingkaran mata warna merah
yang bersinar indah yang enak dipandang.”
Sewaktu mengucapkan bait kalimat ini, pemburu tersebut meletakkan bulu-bulu rusa yang berwarna keemasan tersebut ke tangan raja, dan dalam bait kalimat berikutnya meringkas uraian dari karakter rusa-rusa ini:

“Demikian sifat dan cara mereka, Paduka,
dan demikian rusa-rusa ini:
Mereka biasa mencari makanan untuk orang tua mereka:
Saya tidak bisa membawa mereka kemari.”
Dengan kata-kata ini, ia menguraikan sifat-sifat dari Sang Mahasatwa, Citta, dan Sutanā si rusa betina, dengan menambahkan ini, “Raja rusa jantan itu, O raja, menunjukkan padaku bulu-bulunya dengan memintaku untuk menggantikan dirinya memberikan khotbah kebenaran di hadapan ratu dalam sepuluh bait kalimat dari kehidupan melaksanakan laku uposatha259.” [422] Kemudian dengan duduk di sebuah tahta emas, ia memaparkan kebenaran dalam sepuluh bait kalimat itu. Keinginan ratu telah dipuaskan.

Raja pun menjadi senang dan mengucapkan bait-bait kalimat berikut ini di saat ia menghadiahkan kehormatan yang besar kepada pemburu tersebut:

“Saya berikan kepadamu anting permata,
emas seratus nikkha260,
Sebuah tahta yang indah seperti bunga rami,
dengan tonjolan di empat sisi.
“Dua istri dengan status dan nilai yang sama,
seekor sapi dan seratus ekor ternak,
Penyelamatku! Dan saya akan tetap memerintah
dengan penuh keadilan selamanya.
“Perdagangan, peternakan, pengumpulan makanan
(dan barang-barang yang terbuang atau tidak berguna), riba261, apapun namanya itu,
Pastikan Anda tidak melakukan dosa,
tetapi hidupilah keluargamu dengan kebenaran-kebenaran ini.”
[423] Ketika mendengar perkataan raja ini, ia menjawab, “Bukan rumah atau tempat tinggal lainnya yang saya minta. Kabulkanlah permintaanku, Paduka, untuk menjadi seorang petapa.” Setelah persetujuan raja diberikan, sang pemburu menyerahkan semua hadiah mewah raja kepada istri dan keluarganya, sedangkan ia sendiri pergi ke Gunung Himalaya dimana ia menjalani kehidupan suci dan mengembangkan Delapan Pencapaian, dan ditakdirkan terlahir di alam Brahma.
Raja yang memegang teguh ajaran dari Sang Mahasatwa tersebut, terlahir menjadi makhluk penghuni alam Surga. Ajaran ini pun bertahan selama ribuan tahun.
____________________

Setelah uraian ini selesai disampaikan, Sang Guru berkata, “Demikianlah, para bhikkhu, di masa lampau sama seperti sekarang Ananda meninggalkan kehidupan duniawi demi diriku.

Kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Channa adalah pemburu, Sariputta adalah raja, seorang bhikkhuni adalah ratu Khema; Sebagian keluarga kerajaan adalah ayah dan ibu sang rusa, Uppalavaṇṇā adalah Sutanā, Ananda adalah Citta, suku Sākiya adalah delapan puluh ribu ekor rusa, dan saya sendiri adalah rusa jantan agung Rohanta.”

____________________

Catatan kaki :

256 Vol. V. No. 533.

257 Vol. II. No. 129.

258 Menerima kematian takdirnya (tertulis di dahinya).

259Penelitian orang Burma mengatakan: Kemudian raja mendudukkan pemburu tersebut di atas tahta kerajaannya yang diukir dengan tujuh jenis permata. Duduk bersama dengan ratunya di tempat duduk yang lebih rendah, di satu sisi, dengan penghormatan yang mulia, raja memintanya untuk mulai berbicara.

Demikian ini sang pemburu berbicara, dengan memaparkan Dhamma:

“Kepada kedua orang tuamu, raja ksatria,
berikan perlakukan adil;
Dengan menjalani kehidupan yang adil demikian,
raja akan masuk ke alam Surga.
“Kepada anak dan istri, O raja ksatria,
berikan perlakuan adil;
Dengan menjalani kehidupan yang adil demikian,
raja akan masuk ke alam Surga.
“Kepada teman dan pejabat istana, raja ksatria,
berikan perlakuan adil;
Dengan menjalani kehidupan yang adil demikian,
raja akan masuk ke alam Surga.
“Dalam peperangan dan persahabatan, raja ksatria,
berikan perlakuan adil;
Dengan menjalani kehidupan yang adil demikian,
raja akan masuk ke alam Surga.
“Di daerah perkotaan dan pedesaan, raja ksatria,
berikan perlakuan adil;
Dengan menjalani kehidupan yang adil demikian,
raja akan masuk ke alam Surga.
“Di seluruh pelosok kerajaan, O raja,
berikan perlakuan dengan adil;
Dengan menjalani kehidupan yang adil demikian,
raja akan masuk ke alam Surga.
“Kepada semua brahmana dan petapa,
berikan perlakuan adil;
Dengan menjalani kehidupan yang adil demikian,
raja akan masuk ke alam Surga.
Kepada hewan dan burung, O raja ksatria,
berikan perlakuan adil;
Dengan menjalani kehidupan yang adil demikian,
raja akan masuk ke alam Surga.
“Berikanlah perlakuan adil selalu, O raja ksatria;
dari semuanya ini akan menghasilkan berkah.
“Dengan kewaspadaan yang hati-hati, O raja,
tetaplah berada di dalam jalan kebajikan:
Dengan cara yang demikianlah, para brahmana, dewa Indra
dan dewa-dewa lainnya mendapatkan kedudukan mereka.
“Ini adalah pepatah yang dikatakan pada masa lampau,
dan dengan mengikuti jalan kebijaksanaan
Dewi dari segala kebahagiaan mendapatkan
dirinya sendiri masuk di alam Surga.”
Dengan cara demikian di atas, pemburu itu memaparkan khotbah Dhamma seperti yang telah ditunjukkan oleh Sang Mahasatwa, dengan keahlian seorang Buddha seolah-olah seperti ia membawa bumi turun ke sungai Gangga. Kerumunan dengan seribu suara menyatkan persetujuan mereka. Kerinduan ratu terpuaskan setelah mendengar khotbah ini.

260 1 nikkha=5 suvaṇṇa (emas lantakan).

261 KBBI mendefinisikan kata riba sebagai: pelepas uang, lintah darat; bunga uang, rente.



Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com