Sariputta | Suttapitaka | SĀDHĪNA-JĀTAKA Sariputta

SĀDHĪNA-JĀTAKA

Sādhinajātaka (Ja 494)

[355] “Suatu keajaiban di dunia,” dan seterusnya—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang umat awam yang melaksanakan laku uposatha.
Pada kesempatan itu, Sang Guru berkata, “Upasaka, orang bijak di masa lampau, dikarenakan kebajikan mereka melaksanakan laku uposatha, masuk ke alam Surga dan tinggal di sana untuk waktu yang lama.”

Kemudian atas permintaan mereka, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________

Dahulu kala ada seorang raja Sādhīna (Sadhina) di Mithila yang memerintah dengan benar. Di empat penjuru gerbang kota, di tengah-tengah kota, dan di depan pintu istananya sendiri ia meminta orang membangun enam dānasālā. Dengan pemberian dermanya ini, ia menggemparkan seluruh India.

Setiap hari enam ratus ribu keping uang dihabiskan untuk memberikan derma. Ia mematuhi Pancasila (Buddhis), melaksanakan sila uposatha. Dan seluruh penduduk kota juga sama, dengan mengikuti nasehatnya, memberikan derma dan melakukan perbuatan baik. Setelah meninggal, mereka tumimbal lahir di alam Dewa.

Para pangeran dewa, yang secara lengkap duduk di sidang tertutup dalam Sudhamma228, memuji kebajikan hidup dan kebaikan Sadhina. Berita tentang dirinya itu membuat para dewa lainnya berkeinginan untuk bertemu dengannya.

Sakka, raja para dewa, yang mengetahui pemikiran mereka, bertanya, “Apakah kalian berkeinginan untuk bertemu dengan raja Sadhina?” Mereka mengiyakannya. Kemudian ia memerintahkan Matali, “Pergi ke istanaku Vejayanta, tungganglah kereta perangku, dan bawalah Sadhina kemari.” Matali mematuhi perintahnya, menunggang kereta perang, dan pergi ke kerajaan Videha.

Hari itu adalah malam bulan purnama. Ketika orang-orang selesai makan malam dan sedang duduk di depan pintu dengan santai, Matali menunggang kereta perangnya berdampingan dengan cakra bulan. Semua orang berteriak, “Lihat, ada dua bulan di langit!” Tetapi ketika mereka melihat kereta tersebut melewati bulan dan datang menuju ke arah mereka, mereka berkata dengan keras, “Ini bukanlah bulan, melainkan sebuah kereta perang; kelihatannya ia adalah seorang putra dari para dewa. Untuk siapakah ia membawa kereta surga ini, beserta dengan kumpulan kuda ras terbaiknya, para makhluk khayalan? Apakah ini bukan untuk raja kita? Ya, raja kita adalah raja yang benar dan baik!”

Dalam kegembiraan mereka, mereka bergandengan tangan dengan memberikan hormat dan berdiri mengucapkan bait pertama berikut:

“Suatu keajaiban di dunia terlihat,
yang membuat bulu merinding:
Untuk raja Videha yang agung,
dikirimkan sebuah kereta perang dari langit!”


[356] Matali membawa keretanya mendekat dan selagi orang-orang menyembah dengan bunga-bunga dan minyak wangi, ia mengendarainya tiga kali mengelilingi kota dari arah kanan. Kemudian ia lanjut menuju ke pintu istana raja dan meletakkan keretanya di sana, berdiri diam di depan jendela arah barat, dan membuat suatu tanda bahwa ia akan bangkit.
Waktu itu, raja sendiri telah selesai memeriksa dānasālā-nya dan memberi pengarahan tentang bagaimana mereka harus membagikannya; yang sudah selesai dikerjakan. Raja melaksanakan laku uposatha dan demikianlah ia melewati hari-harinya. Setelah itu, ia duduk di tempat duduk tinggi yang sangat indah, menghadap ke jendela arah timur, dengan semua pejabat istana di sekelilingnya, memberikan ajaran kepada mereka mengenai kebenaran dan keadilan.

Pada saat itu, Matali mengundangnya untuk masuk ke dalam keretanya. Selesai semuanya ini dilakukan, Matali membawa raja pergi bersama dengannya.

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru mengucapkan bait-bait kalimat berikut ini:

“Dewa yang paling besar, Matali,
sang penunggang kereta, membawa
Suatu panggilan kepada Vedeha,
yang merupakan raja di Mithila.
“ ‘O raja yang berkuasa, raja mulia,
naiklah ke atas kereta ini bersamaku:
Dewa Indra dan para dewa lainnya,
ketiga puluh tiga dewa, ingin berjumpa denganmu
Sekarang mereka semua sedang duduk dalam rapat tertutup,
memikirkan tentang Anda.’
“Kemudian raja Sadhina memalingkan wajahnya
dan naik ke atas kereta itu:
Yang mana dengan ribuan kudanya kemudian membawanya
ke tempat para dewa di tempat yang jauh.
“Para dewa melihat raja tiba: dan
kemudian menyapa tamu mereka
Dengan berkata, ‘Selamat datang raja besar,
kami sangat senang bertemu dengan Anda!
O raja! Kami persilahkan Anda duduk
di samping raja para dewa.’
“Dan Sakka menyambut Vedeha, raja kota Mithila,
Vasava menawarkan kepadanya segala kegembiraan,
dan mempersilahkannya untuk duduk.
“ ‘Di tengah para pemimpin dunia
selamat datang di tempat kami:
Tinggallah bersama para dewa,
O raja! yang memenuhi semua keinginan,
Nikmatilah kesenangan abadi,
dimana alam Tavatimsa berada.’ ”


[357] Sakka, raja para dewa, memberikan kepada raja setengah dari kota para dewa yang luasnya mencapai sepuluh ribu yojana, dua puluh lima juta peri, dan istana Vejayanta. Dan di sana ia tinggal selama tujuh ratus tahun dalam hitungan alam Manusia, menikmati kebahagiaan. Tetapi kemudian jasa-jasa kebajikannya habis di alam Surga dalam kedudukannya tersebut; ketidakpuasan muncul di dalam dirinya, dan ia berkata demikian kepada Sakka dengan mengucapkan satu bait kalimat berikut:
“Saya berbahagia dulu di saat datang ke alam Surga,
Dalam tarian, lagu dan musik yang jelas:
Sekarang saya tidak merasakan hal yang sama lagi.
Apakah hidupku akan berakhir, apakah kematian mendekati diriku,
Atau apakah saya bodoh, raja, karena merasa takut?”
Kemudian Sakka berkata kepadanya:

“Hidupmu belum berakhir dan kematian masih jauh,
Anda juga bukan orang bodoh, raja besar:
Melainkan jasa kebajikanmu telah habis
Dan sekarang semua jasa kebajikanmu telah berakhir.
“Tetaplah tinggal di sini, O raja besar,
dengan perintah dewaku
Nikmatilah kesenangan abadi,
dimana alam Tavatimsa berada229.”
[358] Akan tetapi Sang Mahasatwa menolaknya dan berkata kepadanya:
“Seperti ketika sebuah kereta perang atau
barang-barang diberikan pada saat diminta,
Demikianlah pula halnya dengan menikmati kebahagiaan
yang diberikan dari tangan orang lain.
“Saya tidak menginginkan untuk menerima berkah
yang diberikan dari tangan orang lain,
Barang-barangku adalah milikku dan milikku sendiri
di saat saya berdiri di atas perbuatanku sendiri.
“Saya akan pergi dan melakukan banyak kebajikan pada manusia,
memberikan derma di seluruh tempat,
Akan menjalankan kebajikan,
melatih pengendalian dan pengaturan diri:
Ia yang berbuat demikian akan berbahagia,
dan tidak takut akan penyesalan dalam dirinya.”
Mendengar ini, Sakka memberi perintah kepada Matali: “Pergilah sekarang, antarkan raja Sadhina ke Mithila dan turunkan ia di tamannya.” Matali pun melaksanakan perintah tersebut.

Raja berjalan mondar-mandir di dalam tamannya. Tukang taman melihatnya, dan setelah menanyakan siapa dirinya, pergi menjumpai raja Narada untuk menyampaikan berita tersebut. Ketika mengetahui kedatangannya, Narada mengutus kembali tukang taman tersebut dengan pesan berikut ini: “Anda pergilah terlebih dahulu dan siapkan dua tempat duduk, satu untuk dirinya dan satu lagi untukku.” Tukang taman melaksanakan perintahnya.

Kemudian raja (Sadhina) bertanya kepadanya, “Untuk siapakah Anda menyiapkan dua tempat duduk ini?” Ia menjawab, “Satu untuk Anda dan satu lagi untuk raja kami.” Kemudian raja berkata, “Makhluk lain apa lagi yang akan duduk di hadapanku?” Ia duduk di satu tempat duduk tersebut dan meletakkan kakinya di tempat duduk yang lainnya. Raja Narada muncul. Setelah memberi hormat di kakinya, ia duduk di satu sisi.

Waktu itu dikatakan bahwa ia (Narada) adalah keturunan ketujuh langsung dari raja (Sadhina), dan usia manusia adalah seratus tahun. Demikian lama pula waktu yang dihabiskan oleh Sang Mahasatwa dengan kebesaran dari kebaikannya. Ia memegang tangan Narada, naik turun dalam kebahagiaan, mengucapkan tiga bait kalimat berikut:

“Di sini adalah tempatnya,
saluran besar yang dilewati oleh perairan,
Rumput hijau menyelimuti sekitarnya,
anak sungai mengairinya,
[359] “Danau yang indah, yang mendengar
di saat angsa merah bersuara memanggil,
Dimana bunga teratai putih dan biru
dan pepohonan tumbuh seperti terumbu karang230,
—Tetapi, O katakan, dimana perginya mereka semua
yang dulunya menyukai tempat ini bersama denganku?
“Ini adalah hektarnya, ini adalah tempatnya,
Kebahagiaan dan padang rumput ada di sini:
Tetapi karena tidak melihat wajah yang dikenal,
Bagiku tempat ini kelihatan seperti padang pasir yang suram.”
Berikut ini Narada berkata kepadanya: “Paduka, tujuh ratus tahun telah berlalu sejak Anda pergi ke alam Dewa. Saya adalah generasi yang ketujuh dari Anda, semua pelayanmu telah masuk ke dalam cengkeraman kematian. Akan tetapi ini adalah kerajaanmu yang sah dan saya memohon kepadamu untuk menerimanya.”

Raja menjawab, “Anakku, Narada, saya datang kemari bukan untuk menjadi raja, tetapi untuk berbuat kebaikan dan saya akan melakukannya.”

Kemudian ia berkata sebagai berikut:

“Telah kulihat istana surga yang megah,
yang bersinar di semua tempat,
Ketiga puluh tiga peri dan
para pemimpin mereka secara langsung.
“Telah kurasakan kebahagiaan melebihi manusia,
tempat tinggal surga adalah milikku,
Dengan segala hal yang dinginkan hati,
di antara tiga puluh tiga dewa.
“Ini telah kulihat, dan untuk berbuat kebajikan
saya turun kemari:
Dan saya akan menjalani kehidupan suci:
saya tidak menginginkan tahta kerajaan.
[360] “Jalan yang tidak pernah mengarah ke penderitaan,
jalan yang ditunjukkan oleh para Buddha,
Saya akan masuk ke dalam jalan itu sekarang,
yang juga dijalani orang suci.”
Demikian Sang Mahasatwa berkata, dengan pengetahuannya merangkumkan semua dalam bait-bait ini. Kemudian Narada berkata kepadanya lagi, “Pimpinlah kerajaan ini,” dan ia menjawab, “Anakku tercinta, saya tidak menginginkan kerajaan; tetapi selama tujuh hari saya ingin membagikan lagi derma yang diberikan selama tujuh ratus tahun.”

Narada bersedia melakukan apa yang dimintanya dan menyiapkan sebuah hadiah yang besar untuk dibagikan. Selama tujuh hari raja memberikan derma. Dan pada hari ketujuh, raja meninggal dan terlahir kembali di alam Tavatimsa.
____________________

Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata, “Demikianlah pelaksanaan dari sumpah hari suci, yang mana wajib dijalankan,” dan memaparkan kebenarannya: (Di akhir kebenarannya, sebagian dari umat awam tersebut mencapai tingkat kesucian sotapanna, dan sebagian mencapai tingkat kesucian sakadagami:) dan Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Ananda adalah raja Narada, Anuruddha adalah Sakka, dan saya sendiri adalah raja Sadhina.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com