Sariputta | Suttapitaka | MAHĀ-MORA-JĀTAKA Sariputta

MAHĀ-MORA-JĀTAKA

Mahāmorajātaka (Ja 491)

“Jika saya ditangkap,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang bhikkhu yang menyimpang ke jalan yang salah.

Sang Guru berkata kepadanya, [333] “Apakah itu benar, seperti apa yang diberitahukan kepadaku, bahwasannya Anda telah menyimpang ke jalan yang salah?”

“Ya, Bhante.”

“Bhikkhu,” kata Beliau, “tidakkah nafsu keinginan akan kesenangan ini membingungkan orang seperti Anda? Angin badai yang melanda Gunung Sineru tidak akan reda di hadapan sehelai daun yang layu. Di masa lampau, nafsu keinginan ini telah membingungkan makhlukmakhluk suci, yang selama tujuh ribu tahun menahan diri dari mengikuti nafsu keinginan yang muncul di dalam diri mereka.”

Dengan kata-kata ini Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________

Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam rahim seekor burung merak betina di suatu negeri perbatasan.

Di saat waktunya tiba, induk burung tersebut bertelur di tempat ia mencari makan dan kemudian pergi. Waktu itu, telur dari induk burung yang sehat akan baik-baik saja apabila tidak ada bahaya yang datang dari ular atau hewan liar sejenisnya. Telur yang berwarna keemasan ini yang seperti kuntum kaṇikāra216, di saat waktunya menetas, pecah dengan kekuatannya sendiri dan mengeluarkan seekor anak burung merak yang berwarna keemasan, dengan kedua bola mata seperti buah gunja, paruh batu karang, tiga garis merah di sekeliling lehernya sampai ke punggung bagian tengah. Di saat tumbuh dewasa, badannya menjadi besar seperti gunung para pedagang, sangat bagus untuk dipandang, dan semua burung merak yang berwarna gelap berkumpul bersama dan memilihnya menjadi raja mereka.

Suatu hari ketika sedang minum air di sebuah kolam, ia melihat kecantikan dirinya sendiri dan berpikir, “Saya adalah yang paling cantik dari semua burung merak. Jika saya tetap tinggal bersama mereka dalam kehidupan manusia, saya akan berada dalam bahaya. Saya akan pergi ke Himalaya dan tinggal menyendiri di sana di suatu tempat yang menyenangkan.” Maka di malam harinya, di saat semua burung merak lainnya berada di tempat peristirahatan rahasia masing-masing, tanpa diketahui oleh siapapun, ia pergi ke Himalaya, dan setelah melintasi tiga barisan pegunungan, ia menetap di barisan pegunungan yang keempat.

Tempat ini berada di dalam hutan dimana ia menemukan sebuah danau alami yang luas yang ditumbuhi oleh bunga teratai, dan tidak jauh dari kolam ini terdapat sebuah pohon beringin yang besar dekat sebuah bukit dan ia bertengger di cabang pohon tersebut. Di tengah bukit itu terdapat sebuah gua yang menyenangkan. Dikarenakan keinginannya untuk tinggal di sana, ia hinggap di satu tanah datar persis di depan mulut gua. Tempat tersebut tidak mungkin bisa didaki, baik dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas. [334] Tempat itu bebas dari ancaman burung-burung, kucing liar, hewan melata, ataupun manusia. “Di sini adalah tempat yang menyenangkan bagiku!” pikirnya.

Pada hari itu ia tinggal di sana dan keesokan harinya ia keluar dari gua itu, duduk di puncak bukit dengan menghadap ke arah timur. Ketika melihat bola matahari terbit, ia melindungi dirinya terhadap hari yang akan segera tiba dengan mengucapkan syair “Di sana ia terbit, raja yang melihat segalanya.” Setelah melakukan ini, ia pergi keluar mencari makanan. Di sore harinya ia kembali lagi, dan duduk di puncak bukit dengan menghadap arah barat. Kemudian ketika melihat bola matahari mulai tenggelam menghilang dari penglihatan, ia melindungi dirinya terhadap malam yang akan segera tiba dengan mengucapkan bait “Di sana ia terbenam, raja yang melihat segalanya.” Dengan cara demikian ia melewati kehidupannya.

Tetapi pada suatu hari, seorang pemburu yang tinggal di dalam hutan kebetulan melihat dirinya sewaktu ia duduk di puncak bukit, dan kemudian pulang ke rumahnya. Di saat ajalnya tiba, pemburu ini memberitahu putranya tentang hal tersebut: “Anakku, di barisan pegunungan keempat, di dalam hutan, hiduplah seekor burung merak emas. Jika nantinya raja menginginkan burung yang demikian, Anda tahu dimana untuk menemukannya.”

Suatu hari, ratu utama dari raja Benares (namanya adalah Khema) bermimpi di saat hari menjelang fajar, dan mimpinya adalah sebagai berikut: seekor burung merak emas sedang memberikan wejangan dan ia mendengarkannya dan menyetujuinya. Setelah selesai memberikan khotbahnya, ketika burung merak itu bangkit untuk pergi, permaisuri berteriak, “Raja burung merak itu akan terbang pergi, tangkap ia!” Dan ia terbangun di saat mengucapkan kata-kata tersebut.

Ketika bangun dan menyadari bahwa itu adalah sebuah mimpi, ia berpikir, “Jika saya memberitahu raja bahwa ini adalah sebuah mimpi, ia tidak akan mempedulikannya. Akan tetapi jika saya mengatakan bahwa ini adalah permintaan dari seorang wanita yang sedang mengandung, maka ia akan mempedulikannya.” Maka ia bersikap seolah-olah ia memiliki permintaan, seperti mereka yang yang sedang mengandung, dan berbaring.

Raja mengunjunginya dan menanyakan apa yang menjadi penyakitnya. “Saya memiliki sebuah permintaan,” katanya. “Apa yang Anda inginkan?” “Paduka, keinginanku adalah mendengar khotbah dari seekor burung merak emas.” “Tetapi dimana kita dapat menemukan burung yang demikian, ratu?” “Jika ia tidak dapat ditemukan, Paduka, saya akan mati.” “Jangan khawatir akan hal ini, ratuku. Jika memang ada burung yang demikian, dimanapun itu, pasti akan saya bawakan untukmu.” Demikian raja menghiburnya dan pergi.

Setelah duduk, raja menanyakan pertanyaan kepada para menteri istana, “Perhatian semuanya, ratuku ingin mendengar khotbah dari seekor burung merak emas. [335] Apakah makhluk yang demikian, burung merak emas, ada di dunia ini?” “Para brahmana pasti mengetahui tentang ini, Paduka.” Raja menanyakannya kepada para brahmana. Demikian mereka menjawabnya, “O raja yang agung! Dikatakan dalam syair kami tentang tanda-tanda yang beruntung, di air– ikan, kura-kura, dan kepiting yang besar; di darat–rusa, angsa liar, burung merak, dan ayam hutan yang besar; makhluk-makhluk tersebut dan manusia dapat memiliki warna emas.”

Kemudian raja mengumpulkan semua pemburu yang berada dalam daerah kekuasannya dan bertanya kepada mereka apakah mereka pernah melihat seekor burung merak emas. Mereka semua menjawab tidak pernah, kecuali satu pemburu yang ayahnya telah memberitahukan dirinya tentang apa yang dilihatnya. Pemburu yang satu ini berkata, “Saya belum pernah melihat burung demikian dengan mata kepala sendiri, tetapi ayahku pernah memberitahuku tentang suatu tempat dimana seekor burung merak emas dapat ditemukan.” Kemudian raja berkata, “Teman baikku, ini merupakan masalah hidup dan mati bagiku dan ratuku. Tangkaplah burung itu dan bawa kemari.” Raja memberikan uang yang banyak kepada laki-laki itu dan memintanya pergi.

Laki-laki itu memberikan uangnya kepada istri dan putranya, kemudian pergi ke tempat tersebut dan melihat Sang Mahasatwa. Ia membuat perangkap untuknya dengan setiap hari berkata kepada dirinya sendiri bahwa makhluk itu pasti dapat tertangkap. Akan tetapi, ia meninggal sebelum dapat menangkapnya. Dan ratu juga meninggal sebelum mendapatkan keinginan hatinya. Raja menjadi sangat marah dan murka, oleh karenanya ia berkata, “Ratu tercintaku telah meninggal disebabkan oleh burung merak ini.” Dan ia membuat cerita ini tertulis di sebuah piring emas, bahwa di barisan keempat pegunungan Himalaya hiduplah seekor burung merak emas, dan mereka yang memakan dagingnya akan menjadi muda selamanya dan abadi. Ia meletakkan piring ini di dalam tempat harta karunnya dan setelah itu, ia meninggal.

Sesudahnya, raja yang lain naik tahta, yang membaca apa yang tertulis di piring tersebut. Raja yang berkeinginan untuk menjadi abadi dan muda selamanya, mengutus seorang pemburu untuk menangkapnya. Akan tetapi pemburu ini meninggal terlebih dahulu sebelum berhasil, sama seperti yang pertama. Dalam kejadian yang sama, enam raja bergantian naik tahta dan meninggal, dan enam orang pemburu meninggal sebelum berhasil menangkap burung tersebut di pengunungan Himalaya. Tetapi, pemburu ketujuh, yang diutus oleh raja ketujuh, yang tidak dapat menangkap burung itu selama tujuh tahun meskipun setiap hari terus berharap untuk dapat melakukannya, mulai bertanya-tanya mengapa kaki burung merak ini tidak pernah tertangkap di dalam perangkap.

Maka ia mengawasinya dan melihatnya saat berdoa untuk mendapatkan perlindungan di pagi dan sore hari, kemudian demikian pikirannya berkecamuk: “Tidak ada burung merak lain di tempat ini, pasti ini adalah seekor burung yang menjalani kehidupan suci. [336] Adalah karena kekuatan dari kesucian dirinya dan doa perlindungannya sehingga kakinya tidak pernah tertangkap di dalam perangkapku.” Setelah menyimpulkan ini, ia pergi ke daerah perbatasan dan menangkap seekor burung merak betina, yang kemudian dilatihnya untuk bernyanyi di saat ia memetik jarinya, menari di saat ia menepuk tangannya.

Dengan membawa burung merak betina itu bersamanya, ia kembali. Kemudian dengan menyiapkan perangkap sebelum Bodhisatta mengucapkan doanya, ia memetik jarinya dan membuat burung merak betina itu bernyanyi. Burung merak jantan mendengarnya; pada saat itu juga, nafsu dosa yang selama tujuh ribu tahun terpendam, menggelora dalam dirinya seperti seekor ular cobra yang melebarkan sayap kepalanya sewaktu diganggu. Dirundung oleh nafsu, ia tidak mampu mengucapkan doa perlindungannya, dengan segera ia pergi menuju ke tempat burung merak betina tersebut. Ia terbang turun dengan kakinya tepat berada di dalam perangkap tersebut, perangkap yang selama tujuh ribu tahun tidak memiliki kekuatan untuk menangkapnya, sekarang menjerat kakinya dengan kuat.

Ketika pemburu itu melihatnya tergantung berayun-ayun di ujung batang, ia berpikir dalam dirinya, “Enam orang pemburu tidak berhasil menangkap raja burung merak ini dan saya juga tidak mampu melakukannya selama tujuh ribu tahun. Akan tetapi hari ini, begitu dikuasai oleh nafsu terhadap burung merak betina ini, ia tidak mampu mengucapkan doanya, masuk ke dalam perangkap dan tertangkap, dan akhirnya di sana ia tergantung dengan kepalanya di bawah. Betapa bajiknya makhluk yang telah saya lukai ini! Menyerahkan makhluk yang demikian kepada orang lain untuk mendapatkan imbalan uang sogokan merupakan hal yang tidak pantas. Apalah artinya hadiah kehormatan raja bagiku? Saya akan melepaskannya.” Tetapi kemudian ia berpikir, “Ini adalah seekor burung raksasa yang kuat dan perkasa. Jika saya mendekatinya, ia mungkin berpikir saya datang untuk membunuhnya, ia akan menjadi takut kehilangan nyawanya dan mungkin akan mengalami patah sayap atau kaki dalam usahanya untuk melepaskan diri. Saya tidak akan mendekatinya, saya akan berdiri dalam persembunyian dan memotong perangkapnya dengan anak panah. Kemudian ia dapat pergi kemanapun sesuka hatinya.” Maka ia berdiri dengan tersembunyi, mengarahkan busurnya, memasang anak panah di tali busurnya, dan menariknya ke belakang.

Waktu itu, merak jantan berpikir, “Pemburu ini telah membuatku mabuk dengan nafsu, dan ketika melihat diriku tertangkap, ia pasti tidak akan melepaskanku. Dimana gerangan ia berada?” Ia melihat ke arah sini dan melihat ke arah sana, dan melihat laki-laki tersebut berdiri dengan busur yang siap untuk memanah. [337]“Tidak diragukan lagi, ia pasti ingin membunuhku dan pergi,” pikirnya, dan dalam rasa takut akan kematian, ia mengucapkan bait pertama berikut untuk meminta keselamatan nyawanya:

“Jika saya ditangkap dan mendatangkan kekayaan untukmu,
Maka janganlah melukaiku, tetapi bawalah diriku dalam keadaan hidup.
Saya memohon padamu, teman, antar saya kepada raja:
Menurutku, ia akan memberikan imbalan yang sangat berharga.”
Mendengar ini, pemburu tersebut berpikir, “Burung merak agung itu berpikir saya akan menembaknya dengan anak panah ini. Saya harus menenangkan pikirannya,” yang kemudian mengucapkan bait kedua berikut ini:

“Saya mengarahkan anak panah ini hari ini
bukan untuk melukaimu, O raja burung merak,
Saya ingin memotong perangkapnya dan membebaskanmu,
Sehingga nantinya Anda bisa terbang pergi kemanapun sesuka hati.”
Setelah mendengarnya, burung merak membalasnya dalam dua bait kalimat berikut:

“Tujuh tahun, O pemburu, mulanya Anda benar-benar memburu diriku,
Dengan menahan rasa haus dan lapar di siang dan malam:
Sekarang saya berada di dalam perangkap, apa yang Anda lakukan?
Mengapa bersedia melepaskanku, membiarkanku terbang pergi?
“Pastinya semua makhluk hidup menjadi aman karena Anda:
Hari ini Anda telah bersumpah untuk menghentikan pembunuhan:
Karena sekarang saya berada di dalam perangkap, Anda malah akan membebaskanku,
Anda malah akan melepaskanku, membiarkanku terbang pergi.”
[338] Kemudian bait-bait berikut menyusul:
“Ketika seseorang bersumpah untuk tidak melukai makhluk hidup:
Ketika mereka semua yang hidup, karena dirinya, terbebas dari rasa takut:
Berkah apa yang akan didapatkan dalam kehidupan berikutnya?
O burung merak yang besar, jawablah ini untukku!”
“Ketika mereka semua yang hidup, karena dirinya, terbebas dari rasa takut,
Ketika ia bersumpah untuk tidak melukai makhluk hidup,
Bahkan dalam kehidupan sekarang, ia menjadi sangat dipuji,
Setelah meninggal, kebajikannya akan membawanya ke alam Surga.”
“Tidak ada dewa, begitu yang dikatakan oleh banyak orang:
Kebahagiaan tertinggi dapat dibawakan oleh kehidupan ini sendiri;
Ini membuahkan hasil dari jalan yang baik atau jahat;
Dan memberi dikatakan suatu hal yang bodoh.
Maka saya menangkap burung dengan perangkap,
karena orang suci yang telah mengatakannya:
Saya bertanya, apakah kata-kata mereka tidak pantas
mendapatkan kepercayaan dariku?”
Kemudian Sang Mahasatwa bertekad untuk memberitahu laki-laki ini tentang kenyataan dari kehidupan alam lain, dan ketika ia berayun di ujung batang pohon dengan posisi kepala di bawah, ia mengucapkan satu bait kalimat:

“Semuanya jelas dalam pandangan bulan dan matahari
Muncul di langit tinggi bersamaan dengan jalan mereka yang bersinar.
Dengan nama apa manusia menyebut mereka di bawah ini, di alam ini?
Apakah mereka berada di alam ini atau alam yang lainnya, katakan!”
[339] Pemburu tersebut mengucapkan satu bait kalimat:
“Semuanya jelas dalam pandangan bulan dan matahari
Muncul di langit tinggi bersamaan dengan jalan mereka yang bersinar.
Mereka bukanlah bagian dari alam kita di bawah ini,
Tetapi bagian dari alam lain. Itu yang orang-orang katakan.”
Kemudian Sang Mahasatwa berkata kepadanya:

“Kalau begitu mereka salah, mereka berbohong yang mengatakan hal yang demikian;
Tanpa penyebabnya, siapa yang mengatakan alam ini sendiri dapat
Sendirinya membawakan hasil dari jalan baik atau jahat
Atau siapa yang mengatakan memberi itu adalah suatu hal yang bodoh.”
Ketika Sang Mahasatwa mengatakan ini, sang pemburu berpikir dan kemudian mengucapkan dua bait kalimat:

“Sesungguhnya benar yang Anda katakan:
Bagaimana bisa seseorang mengatakan bahwa pemberian tidak akan membawa hasil?
Bahwa di sini seseorang menuai hasil dari
Jalan jahat atau baik; bahwa memberi adalah suatu hal yang bodoh?
“Bagaimana seharusnya saya bertindak, lakukan, jalan suci apa
Yang saya harus ikuti, raja burung merak, O katakan!
Cara apa dari kebajikan petapa—katakan,
Sehingga saya bisa selamat dari terjatuh ke alam Neraka!”
[340] Ketika mendengar ini, Sang Mahasatwa berpikir, “Jika saya memecahkan permasalahan ini untuknya, alam ini akan kelihatan kosong dan tidak bermakna. Kali ini saya akan memberitahunya tentang sifat dari para brahmana petapa yang suci dan benar.” Dengan niat ini di dalam dirinya, burung tersebut mengucapkan dua bait kalimat berikut:
“Mereka di bumi, yang mengambil sumpah petapa,
Dengan pakaian kuning, tidak tinggal di dalam rumah,
Yang pergi keluar di waktu pagi sekali untuk mendapatkan makanan,
Bukan di siang hari217. Orang-orang yang demikian adalah baik.
“Kunjungi mereka pada waktunya, orang-orang yang demikian baik seperti ini,
Dan silahkan tanya pertanyaan apapun:
Mereka akan menjelaskan permasalahannya, karena mereka tahu,
Tentang alam lain dan alam di bawah ini.”
Dengan berbicara demikian, ia membuat pemburu itu takut dengan rasa takutnya akan alam Neraka. Burung merak itu mencapai keadaan sempurna dari seorang Pacceka Bodhisatta karena ia hidup dengan pengetahuannya yang sudah berada di ujung waktu masaknya, seperti kuncup bunga teratai yang mau mekar mencari sentuhan dari sinar matahari. Setelah mendengar khotbahnya, dengan berdiri di tempat ia berada, pemburu tersebut mengerti dalam sekejap tentang unsur-unsur dari benda-benda yang ada di alam ini, mengerti tiga sifat benda218 dan menembus masuk ke dalam pengetahuan dari seorang Pacceka Buddha. Pemahamannya ini dan pembebasan Sang Mahasatwa dari perangkapnya terjadi secara bersamaan. Setelah menghilangkan keinginan dan nafsu keinginannya, Pacceka Buddha tersebut mengucapkan aspirasinya dalam bait berikut sambil berdiri di ambang keberadaan yang paling tepi219:

[341] “Seperti ular yang menukar kulit keringnya,
Sebuah pohon menggugurkan daunnya
di saat yang daun yang muda mulai tumbuh:
Demikianlah kutinggalkan keahlian berburuku hari ini,
Keahlian berburuku ditinggalkan selamanya.”
Setelah mengucapkan aspirasi yang maha tinggi ini, ia berpikir, “Saya baru saja terbebas dari ikatan nafsu dosa. Tetapi di rumah masih ada banyak burung yang terkurung di dalam sangkar, bagaimana saya membebaskan mereka?” Maka ia bertanya kepada Sang Mahasatwa: “Raja burung merak, di rumahku ada banyak burung yang saya tempatkan di dalam sangkar, bagaimana saya dapat membebaskan mereka semuanya?”

Para Bodhisatta, Yang Maha Tahu, mempunyai suatu pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik akan jalan dan cara dibandingkan dengan seorang Pacceka Buddha. Oleh karenanya, Bodhisatta menjawab, “Karena Anda telah menghancurkan kekuatan dari nafsu dan menembus pengetahuan dari seorang Pacceka Buddha, dengan dasar itu buatlah suatu tindak kebenaran sehingga di seluruh India tidak akan ada makhluk hidup yang berada di dalam kurungan.”

Kemudian dengan masuk ke dalam pintu yang dibuka oleh Bodhisatta baginya, ia mengucapkan bait kalimat berikut untuk membuat suatu tindak kebenaran:

“Semua unggas berbulu yang saya kurung,
Beratus-ratus jumlahnya, terkurung di dalam rumahku,
Kepada mereka semua kuberikan kehidupan hari ini,
Dan juga kebebasan.
Biarlah mereka terbang pulang ke rumah masing-masing.”
[342] Kemudian dengan tindak kebenarannya tersebut yang meskipun terlambat, mereka semua terbebas dari kurungannya dan pulang ke rumah masing-masing dengan bercicit penuh kegembiraan.
Pada waktu yang bersamaan, di seluruh negeri India, semua makhluk yang berada dalam kurungan dibebaskan, tidak ada satupun yang dikurung, bahkan tidak seekor kucingpun.

Pacceka Buddha tersebut mengangkat tangannya dan mengusap keningnya. Seketika itu juga, tanda lahirnya menghilang dan tanda dari orang suci muncul menggantikannya. Kemudian ia, seperti seorang Thera yang berusia enam puluh tahun, berpakaian lengkap, dengan membawa delapan benda yang dibutuhkan 220 , membungkuk memberikan penghormatan kepada burung merak besar tersebut, berjalan mengelilinginya dari arah kanan, terbang di udara dan pergi ke gua yang ada di puncak Gunung Nanda.

Demikian juga halnya dengan burung merak itu, yang setelah terbebas dari perangkap itu, mengambil makanannya dan pergi kembali ke tempat dimana ia tinggal.
____________________

Bait terakhir berikut ini diulangi oleh Sang Guru untuk memberitahukan bagaimana selama tujuh tahun pemburu itu mengembara dengan membawa perangkap di tangannya, yang kemudian dibebaskan dari penderitaan tersebut oleh raja burung merak:

“Pemburu itu mengembara di semua daerah hutan
Untuk menangkap raja burung merak, dengan membawa perangkap di tangannya.
Raja burung merak yang agung dibebaskannya
Dari penderitaan, begitu ia tertangkap, seperti diriku.”
Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru membabarkan kebenarannya: Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang tadinya menyimpang itu mencapai tingkat kesucian.

Kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini dengan mengatakan, “Pada masa itu, saya adalah burung raja merak.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com