Sariputta | Suttapitaka | UDDĀLAKA-JĀTAKA Sariputta

UDDĀLAKA-JĀTAKA

Uddālakajātaka (Ja 487)

“Dengan gigi yang tidak bersih,” dan seterusnya—Kisah ini diceritakan Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang laki-laki yang tidak jujur.

Orang ini, meskipun telah mengabdikan dirinya kepada keyakinan yang menuntun ke penyelamatan, dengan tidak dapat menahan keinginan akan kebutuhan hidup melakukan tiga jenis praktik penipuan.

Para bhikkhu menjelaskan bagian yang jahat dalam diri orang tersebut di saat berdiskusi di dhammasabhā: “Orang itu, Āvuso, setelah mengabdikan dirinya pada keyakinan terhadap Sang Buddha yang menuntun ke penyelamatan, tetapi melakukan tindakan penipuan!”

Sang Guru berjalan masuk dan ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan di sana. Mereka memberitahu Beliau.

Beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya, sebelumnya juga ia pernah menipu,” dan setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________

[298] Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja di kota Benares, Bodhisatta menjadi pendeta kerajaannya, dan ia adalah orang yang bijak dan terpelajar.
Suatu hari, ia pergi ke taman untuk bersenang-senang, dan sewaktu melihat seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian yang bercahaya, ia menjadi jatuh cinta kepadanya, kemudian tinggal bersama dengan wanita itu. Ia membuat wanita itu mengandung, dan ketika menyadari kehamilannya, wanita itu berkata kepadanya, “Tuan, saya hamil sekarang.

Saat anak ini lahir dan di saat pemberian nama, saya akan memberikan ia nama kakeknya.” Tetapi brahmana itu berpikir, “Tidak boleh memberikan nama dari keluarga yang mulia kepada anak seorang budak.” Kemudian berkata kepadanya, “Sayangku, pohon ini disebut Uddāla 186. Anda boleh memberi nama kepada anak itu dengan Uddālaka karena ia dikandung di sini.” Kemudian ia memberikan kepadanya sebuah cincin bersegel, dan berkata, “Jika ia adalah seorang putri, gunakan cincin ini untuk membantumu membesarkannya; tetapi jika ia adalah seorang putra, bawalah ia kepadaku di saat ia dewasa.”

Di saat waktunya tiba, wanita itu melahirkan seorang putra dan memberinya nama Uddālaka. Ketika dewasa, putranya itu bertanya kepada ibunya, “Ibu, siapakah ayahku?”—“Sang pendeta kerajaan, putraku.”—“Jika itu memang benar, saya akan mempelajari kitab suci.”

Maka setelah menerima cincin dari ibunya dan uang untuk membayar guru, ia pergi ke Takkasila dan belajar di sana dengan seorang guru yang terkenal. Di sela-sela pembelajarannya, ia melihat serombongan petapa. “Orang-orang ini pastinya memiliki pengetahuan yang sempurna,” pikirnya, “saya akan belajar dari mereka.” Oleh karena itu, ia meninggalkan kehidupan duniawi.

Karena sukanya pada ilmu pengetahuan, ia memberikan pelayanan kepada mereka dengan meminta mereka mengajarkan kebijaksanaan kepadanya sebagai imbalan. Maka mereka mengajarkannya semua yang mereka tahu. Di antara mereka yang berjumlah lima ratus orang, tidak ada satupun yang dapat menandinginya dalam pengetahuan, ia menjadi yang paling bijak di antara semuanya.

Kemudian mereka berkumpul bersama dan menunjuknya menjadi guru mereka. Ia berkata kepada mereka, “ Yang Terhormat (Mārisā 187 ), Anda selalu tinggal di dalam hutan dengan memakan buah-buahan dan akar tetumbuhan. Mengapa Anda tidak pergi ke tempat tinggal orang-orang?” “Mārisa, orang-orang bersedia memberikan kita dana, tetapi mereka akan membuat kita menunjukkan rasa terima kasih dengan memberikan wejangan, mereka juga menanyakan pertanyaanpertanyaan. Dikarenakan rasa takut terhadap hal ini, kami tidak pergi ke tempat mereka.” Ia menjawab, “Mārisā, Jika ada diriku, biarlah seorang raja seluruh jagad raya menanyakan pertanyaannya, serahkan itu kepadaku, dan jangan takut akan apapun.” Maka ia pergi dalam perjalanannya bersama dengan mereka, berpindapata, dan akhirnya sampai ke Benares, [299] dan tinggal di taman kerajaan.

Keesokan harinya, ditemani dengan mereka semua, ia berpindapata di sebuah desa di depan gerbang kota. Para penduduk desa memberikan mereka banyak derma. Pada keesokan harinya lagi, para petapa tersebut mengelilingi kota, dan para penduduk kota juga memberikan derma yang banyak kepada mereka. Petapa Uddālaka berterima kasih, memberkati mereka dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Para penduduk menjadi bertobat dan memberikan segala yang mereka butuhkan dalam jumlah yang berlimpah ruah. Seluruh kota menyebarkan berita ini, “Seorang guru yang bijak telah datang, seorang petapa suci,” dan raja pun mendengar kabar ini. “Dimana mereka tinggal?” tanya raja. Mereka memberitahunya, “Di taman.” “Bagus,” katanya, “hari ini saya akan pergi menjumpai mereka.” Seseorang pergi memberitahu Uddālaka dengan berkata, “Raja akan datang menjumpai Anda hari ini.” Ia mengumpulkan rombongannya dan berkata, “Āvuso, raja akan datang. Dapatkan perhatian di hadapan raja agung untuk satu hari, itu sudah cukup dalam satu kehidupan.” “Apa yang harus kita lakukan, guru?” tanya mereka. Kemudian ia berkata, “Sebagian dari kalian harus berada di gantungan penebusan dosa188, sebagian jongkok di tanah189, sebagian berbaring di atas ranjang berduri, sebagian melakukan penebusan dosa dengan lima api190, yang lainnya masuk ke dalam air, yang lainnya lagi lafalkan syair-syair suci di sini atau di sana.” Mereka melakukan seperti yang dimintanya. Dirinya sendiri bersama dengan delapan atau sepuluh orang bijak lainnya duduk di tempat yang sudah disiapkan dengan bertumpu pada kepala, barisan indah di sampingnya membuat pemandangan yang cantik, dan di sekelilingnya terdapat para pendengar. Pada waktu itu, raja bersama dengan pendeta kerajaannya dan rombongan pengawal datang ke taman. Ketika melihat semuanya terhanyut dalam penyiksaan diri mereka, raja merasa gembira dan berpikir, “Mereka semuanya terbebas dari rasa takut akan alam menyedihkan di kemudian hari.” Dengan mendekati Uddālaka, raja menyapanya dengan ramah dan duduk di satu sisi.

Kemudian dengan perasaan hatinya yang gembira, raja mulai berbicara kepada pendeta kerajaan, dan mengucapkan bait pertama:

“Dengan gigi yang tidak bersih, dan
pakaian dari kulit kambing dan rambut
Semuanya kusut, menggumamkan kata-kata suci dalam kedamaian.
Pastilah mereka tidak melakukan hal yang baik,
Mereka tahu akan Kebenaran, dan
mereka telah mendapatkan pembebasan.”
[300] Mendengar ini, pendeta kerajaan itu membalas, “Raja merasa gembira atas hal yang tidak sepatutnya, dan saya tidak boleh tinggal diam.” Kemudian ia mengucapkan bait kedua berikut ini:
“Seorang suci yang terpelajar mungkin dapat melakukan perbuatan jahat, O raja:
Seorang bijak yang terpelajar mungkin akan menyeleweng dari tugasnya:
Seribu kitab suci Veda tidak akan membawakan keselamatan,
Gagal adalah hal biasa, atau terbebas dari keadaan yang jahat.”
Uddālaka berpikir dalam dirinya sendiri ketika mendengar perkataan ini, “Raja merasa gembira dengan para petapa, biarlah mereka menjadi seperti yang Anda inginkan. Akan tetapi laki-laki ini seperti muncul di depan hidung kerbau ketika berjalan terlalu cepat, membuang kotoran pada makanan yang sudah siap dimakan. Saya harus berbicara kepadanya.” Maka ia berbicara kepadanya dalam bait ketiga berikut ini:

“Seribu kitab suci Veda tidak akan membawakan keselamatan,
Gagal adalah hal biasa, atau terbebas dari keadaan yang jahat:
Kalau begitu kitab suci Veda pastilah sebuah benda yang tidak berguna:
Ajaran yang benar adalah—kendalikan dirimu, lakukan perbuatan benar.”
[301] Atas perkataan ini, pendeta kerajaan itu mengucapkan bait keempat berikut ini:
“Bukan begitu: kitab suci Veda bukanlah benda yang tidak berguna:
Walaupun pengendalian diri menjadi ajaran yang benar:
Mempelajari kitab Veda dengan baik akan membawa ketenaran,
Tetapi dengan perbuatan benar kita mendapatkan kebahagiaan.”
Waktu itu Uddālaka berpikir, “Tidak akan bisa berhasil jika bermusuhan dengan laki-laki ini. Jika saya memberitahu dirinya bahwa saya adalah putranya, ia pasti akan menyayangiku. Saya akan memberitahunya bahwa saya adalah putranya.” Kemudian ia mengucapkan bait kelima berikut ini:

“Orang tua dan sanak keluarga masing-masing menuntut perhatian;
Orang tua adalah diri kita yang kedua:
Saya adalah Uddālaka, satu cabang,
Brahmana mulia, yang berasal dari akarmu.”
“Apakah Anda benar-benar adalah Uddālaka?” tanya brahmana tersebut. “Ya,” jawabnya. Kemudian ia berkata, “Saya memberikan ibumu satu tanda kenang-kenangan, dimana benda itu?” Ia menjawab, “Ini dia, brahmana,” dan memberikan cincin itu kepadanya. Brahmana itu mengenali cincin tersebut dan berkata, “Tidak diragukan lagi, Anda adalah seorang brahmana. Tetapi apakah Anda tahu kewajiban dari seorang brahmana?” Ia menanyakan hal yang berhubungan dengan kewajiban itu dalam perkataannya di bait keenam berikut ini:

[302] “Apa yang membuat seseorang menjadi brahmana?
bagaimana caranya ia menjadi sempurna?
Beritahu saya tentang ini:
Apa itu orang bijak, dan
bagaimana mendapatkan kebahagiaan nibbana?”
Uddālaka menjelaskan jawabannya dalam bait ketujuh:

“Meninggalkan kehidupan duniawi, dengan api, ia memberikan pemujaan
Menuang air, mengangkat tiang pengorbanan:
Orang-orang memuji dirinya sebagai seseorang yang melakukan kewajibannya,
Dan brahmana yang demikian mendapatkan kedamaian jiwa dalam dirinya.”
Pendeta kerajaan itu mendengar jawabannya atas pertanyaan tentang kewajiban brahmana, tetapi mencari kesalahannya dengan mengucapkan bait kedelapan berikut ini:

“Tidak memercikan air membuat brahmana suci,
ini bukanlah kesempurnaan,
Bukan juga kedamaian atau kebaikan yang didapatkannya
ataupun kebahagiaan nibbana.”
Di sini Uddālaka bertanya, “Jika ini tidak dapat membuat seorang brahmana sempurna, maka apa yang dapat membuatnya?” sambil mengucapkan bait berikutnya:

“Apa yang membuat brahmana sempurna?
Bagaimana ia dapat menjadi sempurna?
Beritahu saya tentang ini:
Apa itu orang yang benar? Dan bagaimana
ia mendapatkan kebahagiaan nibbana?”
[303] Pendeta kerajaan menjawabnya dengan mengucapkan satu bait kalimat berikut:
“Ia tidak memiliki ladang, barang-barang, keinginan, sanak keluarga,
Tidak peduli dengan kehidupan, tidak ada nafsu, tidak ada cara perbuatan jahat:
Bahkan seorang brahmana yang demikian mendapatkan kedamaian jiwa,
Jadi orang-orang memujinya sebagai seseorang yang taat pada kewajiban.”
Setelah ini, Uddālaka mengucapkan satu bait kalimat berikut ini:

“Khattiya, Brahmana, Vessa, Sudda, dan Caṇḍāla, Pukkusa,
Semuanya ini dapat menjadi berwelas asih,
dapat mencapai kebahagiaan nibbana:
Apakah ada siapa yang lebih baik atau lebih buruk
di antara semua ariya tersebut?”
Kemudian brahmana itu mengucapkan satu bait kalimat berikutnya untuk menunjukkan bahwa tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah dari saat kesucian dicapai:

“Khattiya, Brahmana, Vessa, Sudda, dan Caṇḍāla, Pukkusa,
Semuanya ini dapat menjadi berwelas asih,
dan mendapatkan kebahagiaan nibbana”
Tidak ada ditemukan di antara para ariya
orang yang lebih baik atau lebih buruk.”
Tetapi Uddālaka mencari kesalahan kalimat ini, dengan mengucapkan bait kalimat berikut ini:

“Khattiya, Brahmana, Vessa, Sudda, dan Caṇḍāla, Pukkusa,
Semuanya ini dapat menjadi bijak, dan mendapatkan kebahagiaan nibbana”
Tidak ada ditemukan di antara para ariya orang yang lebih baik atau lebih buruk.
Anda adalah seorang brahmana, kalau begitu,
kedudukanmu adalah sia-sia, tidak berguna, saya katakan.”
[304] Berikut ini pendeta kerajaan tersebut mengucapkan dua bait kalimat lagi, dengan sebuah kiasan:
“Dengan kuas kanvas yang dicelupkan ke dalam cat dapat membuat paviliun:
Atapnya, kubah yang beraneka ragam warna: bayangannya hanya memiliki satu warna.
“Demikian halnya dengan manusia, ketika ia ditahbiskan, pasti tetap berada di sini, di bumi:
Orang baik mengetahui bahwa mereka adalah orang suci dan tidak pernah menanyakan kelahiran mereka.”
Saat ini Uddālaka tidak dapat membantah perkataan tersebut dan ia duduk terdiam. Kemudian pendeta kerajaan berkata kepada raja. “Semuanya ini adalah penipu, O raja, seluruh India akan mengalami kehancuran karena penipuan. Bujuklah Uddālaka untuk meninggalkan kehidupan petapanya dan menjadi pendeta di bawah pengawasanku. Minta yang lainnya juga meninggalkan kehidupan petapa mereka, berikan tameng dan tombak kepada mereka, jadikan mereka sebagai anak buah Anda.” Raja menyetujuinya dan melakukan seperti apa yang dikatakan, dan mereka semuanya menjadi anak buah raja.
____________________

Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya, para bhikkhu, laki-laki ini menjadi seorang penipu.” Kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, bhikkhu yang tidak jujur tersebut adalah Uddālaka, Ananda adalah raja, dan saya adalah pendeta kerajaan.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com