Sariputta | Suttapitaka | TAKKĀRIYA-JĀTAKA Sariputta

TAKKĀRIYA-JĀTAKA

Tak­kāriya­jātaka (Ja 481)

“Saya mengatakannya,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang Kokalika.

Selama satu musim hujan, dua orang siswa utama149 yang berkeinginan meninggalkan rombongan untuk tinggal terpisah, meminta izin dari Sang Guru dan pergi ke kerajaan tempat dimana Kokalika berada.

Mereka pergi ke rumah Kokalika dan berkata kepadanya, “Āvuso Kokalika [243], karena bagi kami, bisa menyenangkan untuk tinggal bersama denganmu dan demikian juga halnya dengan dirimu, kami akan tinggal di sini selama tiga bulan.” Ia berkata, “Bagaimana bisa menyenangkan tinggal bersama denganku?” Mereka menjawab, “Jika Anda tidak memberitahukan seorang pun bahwa dua siswa utama tinggal di sini, kami sudah bisa menjadi senang, dan itu yang menjadi kesenangan kami tinggal bersama denganmu.” “Dan bagaimana itu bisa menjadi senang bagiku untuk tinggal bersama dengan Anda berdua?” “Kami akan memaparkan Dhamma kepadamu selama tiga bulan di rumahmu, kami akan melakukan perbincangan Dhamma denganmu, dan itu yang menjadi kesenanganmu untuk tinggal bersama dengan kami.” “Tinggallah di sini, Āvuso, sehendak Anda,” dan ia menyiapkan tempat peristirahatan yang nyaman bagi mereka. Di sana mereka dengan gembira berdiam dalam kebahagiaan pencapaian phala (buah) dan tidak ada seorang pun yang tahu mereka tinggal di tempat itu.

Setelah melewati musim hujan, mereka berkata kepadanya, “Āvuso, sudah cukup waktunya bagi kami tinggal bersama denganmu. Sekarang, kami harus pergi mengunjungi Sang Guru,” dan meminta izin pamit darinya. Ia menyetujuinya, dan pergi dengan mereka untuk berpindapata di desa seberang. Setelah selesai makan, para bhikkhu senior tersebut meninggalkan desa itu.

Kokalika kembali setelah mengantar mereka dan berkata kepada orang-orang, “Para upasaka, kalian semua seperti makhluk yang berjalan sejajar dengan tanah. Di sini tadinya ada dua orang siswa utama yang tinggal selama tiga bulan di vihara seberang, dan kalian sama sekali tidak tahu apa-apa tentang itu. Sekarang mereka telah pergi.” “Mengapa Anda tidak memberitahu kami sebelumnya, Bhante?” tanya orang-orang itu. Kemudian mereka mengambil mentega, minyak dan obat-obatan, kain dan pakaian dan menghampiri kedua bhikkhu senior tersebut, memberi salam hormat kepada mereka dan berkata, “Maafkan kami, Bhante. Kami tidak tahu bahwa Anda berdua adalah siswa utama, kami baru saja mengetahuinya hari ini dari perkataan Bhadanta Kokalika. Semoga Bhante memaafkan kami dan sudi menerima obat-obatan dan pakaian ini.”

Kokalika pun ikut menghampiri para bhikkhu senior tersebut bersama mereka karena ia berpikiran, “Kedua bhikkhu tersebut adalah orang yang tidak serakah, dan orang yang berkeinginan sedikit, puas dengan apa yang ada. Mereka tidak akan menerima pemberian benda-benda tersebut dan mereka pasti akan memberikannya kepadaku.” Akan tetapi, karena pemberian itu dikondisikan oleh seorang bhikkhu, mereka tidak menerimanya maupun menyuruh orang-orang untuk memberikannya kepada Kokalika. Para umat awam tersebut kemudian berkata, “Bhante, jika Anda tidak menerima pemberian ini, datanglah sekali lagi kemari untuk memberkati kami.” Kedua Thera tersebut berjanji kepada mereka dan kemudian melanjutkan perjalanan mereka untuk kembali kepada Sang Guru.

Waktu itu, Kokalika menjadi marah karena kedua Thera tersebut tidak menerima pemberian itu maupun meminta orang-orang untuk memberikan itu kepada dirinya. Sementara itu, setelah tinggal beberapa lama dengan Sang Guru, kedua bhikkhu senior tersebut membawa lima ratus bhikkhu sebagai pengikut rombongan mereka untuk mengembara berpindapata ke negeri Kokalika. Para penduduk keluar untuk berjumpa dengan mereka dan menuntun mereka ke vihara yang sama dengan sebelumnya, serta memberikan penghormatan yang tinggi kepada mereka dari hari ke hari.

[244] Banyak sekali benda yang diberikan kepada mereka berupa pakaian dan obat-obatan. Para pengikut kedua bhikkhu senior tersebut membagikan pakaian yang mereka dapatkan kepada orang-orang yang datang. Tetapi mereka tidak memberikan apapun kepada Kokalika, begitu juga halnya dengan kedua bhikkhu senior tersebut.
Karena tidak mendapatkan pakaian, Kokalika mulai mencerca dan mencaci-maki bhikkhu senior tersebut: “Sariputta dan Moggallana adalah orang yang beritikad jahat. Sebelumnya mereka tidak mau menerima apa yang diberikan kepada mereka, tetapi kali ini mereka menerima semua barang-barang ini. Mereka tidak memiliki rasa puas hati. Mereka juga tidak peduli terhadap yang lain.” Akan tetapi, kedua bhikkhu senior tersebut yang mengetahui bahwa ia menaruh dendam kepada mereka, pergi beserta dengan rombongannya. Mereka tidak kembali walaupun para penduduk meminta mereka untuk tinggal beberapa hari lagi.

Kemudian seorang bhikkhu muda berkata, “Dimanakah para Thera itu akan tinggal, para upasaka? Bhikkhu senior Anda sendiri tidak menginginkan mereka untuk tinggal di sini.” Kemudian orang-orang pergi menjumpai Kokalika dan berkata, “Bhante, kami diberitahu bahwa Anda tidak menginginkan para bhikkhu senior tersebut untuk tinggal di sini. Tolong bujuk dan bawa mereka kembali, kalau tidak, Anda yang pergi dan cari tempat tinggal yang lain!” Karena merasa takut terhadap orang-orang itu, ia pergi memohon kepada kedua bhikkhu senior tersebut. “Kembalilah, Āvuso,” jawab para Thera tersebut, “kami tidak akan kembali ke sana.” Jadi karena tidak berhasil membujuk mereka, ia kembali ke vihara. Kemudian para penduduk bertanya kepada dirinya apakah para Thera telah kembali bersamanya. “Saya tidak berhasil membujuk mereka untuk kembali,” jawabnya. “Mengapa tidak, Bhante?” tanya mereka. Dan mereka mulai berpikir bahwa karena orang ini hidup dalam keburukan, maka para bhikkhu yang berperilaku baik tak mau tinggal di sana; mereka harus menyingkirkannya. “Bhante,” kata mereka, “pergilah dari sini, kami tidak mempunyai apapun lagi untukmu.”

Demikianlah setelah tidak dihormati oleh penduduk, ia mengambil patta dan jubahnya pergi ke Jetavana. Setelah memberi salam hormat kepada Sang Guru, ia berkata, “Bhante, Sariputta dan Moggallana adalah orang yang hidup dalam keburukan, mereka berada dalam kekuasaan nafsu keinginan!” Sang Guru menjawab, “Jangan berbicara seperti itu, Kokalika. Biarlah hatimu berbaikan dengan Sariputta dan Moggallana dan ketahui bahwa mereka adalah bhikkhu yang berperilaku baik.”

Kokalika berkata, “Anda pasti percaya dengan kedua muridmu sendiri. Saya melihatnya dengan mata saya sendiri; mereka memiliki nafsu keinginan yang jahat, mereka memiliki rahasia tersembunyi, mereka adalah orang-orang yang jahat.” Ia mengatakan hal yang demikian sebanyak tiga kali (walaupun Sang Buddha tidak mendengarkannya), kemudian ia bangkit dari duduknya dan pergi.

Di saat ia berjalan pergi, sekujur tubuhnya muncul bisul-bisul kecil seukuran biji mustard yang semakin lama semakin besar sampai seukuran buah pohon vilva150, kemudian pecah, berlumuran darah sekujur tubuhnya. Ia terjatuh di depan pintu gerbang Jetavana, tersiksa dengan rasa sakitnya. Terdengar suara teriakan yang keras bahkan sampai ke alam Brahma—“Kokalika telah mencerca dua siswa utama!” Kemudian upajjhayanya, dewa Brahma, yang bernama Tudu, [245] yang mengetahui kejadian ini, datang dengan tujuan untuk membujuk para bhikkhu senior tersebut, dan berkata sambil berdiri melayang di udara, “Kokalika, Anda telah melakukan suatu perbuatan yang jahat. Anda harus minta maaf kepada siswa utama tersebut!” “Siapakah Anda, Āvuso?” tanya laki-laki tersebut. “Namaku adalah Brahma Tudu,” jawabnya. “Apakah Anda belum diberitahukan oleh Sang Bhagava,” kata laki-laki tersebut, “tentang salah satu dari mereka yang tidak akan kembali151? Kata itu berarti orang yang demikian tidak akan terlahir kembali di bumi ini. Anda akan menjadi yakkha di tempat tumpukan kotoran!” Demikian ia menghina Sang Mahabrahma. Karena ia tidak dapat membujuknya melakukan sesuai dengan nasehatnya, ia menjawab, “Semoga Anda tersiksa atas perkataanmu sendiri.” Kemudian ia kembali ke tempat kediamannya yang penuh dengan kebahagiaan (Suddhavāsa). Setelah meninggal, Kokalika terlahir kembali di alam Neraka Paduma (padumaniraya).

Setelah mengetahui bahwa ia terlahir di sana, Brahma Sahampati memberitahukannya kepada Sang Tathagata dan Beliau memberitahukannya kepada para bhikkhu. Di dalam dhammasabhā, mereka membicarakan tentang kejahatan laki-laki tersebut: “Āvuso, dikatakan bahwa Kokalika mencerca Sariputta dan Moggallana. Dan dikarenakan perkataan dari mulutnya sendiri, ia terlahir di alam Neraka Paduma.” Sang Guru berjalan masuk ke ruangan tersebut dan berkata, “Apa yang sedang para bhikkhu bicarakan sambil duduk di sini?” Mereka memberitahu Beliau. Kemudian Beliau berkata, “Ini bukan kali pertama, para bhikkhu, Kokalika mengalami kehancuran karena perkataannya sendiri dan dikarenakan perkataaannya itu ia mengalami siksaan penderitaan, tetapi demikian juga kejadiannya di masa lampau.”

Dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.
____________________

Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja Benares, pendeta kerajaannya memiliki kulit berwarna kuning kecoklatan dan tidak mempunyai gigi lagi. Istrinya melakukan perzinaan dengan brahmana lain. Brahmana ini sama seperti brahmana yang satunya lagi. Berkali-kali pendeta kerajaan tersebut mencoba untuk menahan istrinya, tetapi tidak berhasil. Kemudian ia berpikir, “Musuhku ini tidak bisa dibunuh dengan tanganku sendiri, tetapi saya harus membuat sebuah rencana untuk membunuhnya.”

Maka ia pergi menghadap raja dan berkata, “O raja, kerajaan Anda adalah kerajaan utama di seluruh India dan Anda adalah raja utama. Walaupun demikian, pintu gerbang sebelah selatan kerajaan Anda kurang beruntung dan bernasib buruk.” “Baiklah, guru. Apa yang harus dilakukan?” “Kita harus merobohkan pintu tua tersebut, ganti dengan kayu yang baru, yang memiliki keberuntungan, berikan kurban persembahan kepada makhluk-makhluk yang menjaga kota tersebut, dan pasanglah pintu baru itu bersesuaian dengan gugusan bintang yang membawa keberuntungan.” “Kalau begitu, lakukanlah,” kata raja.

Pada waktu itu, Bodhisatta terlahir menjadi seorang pemuda yang bernama Takkāriya (Takkariya), [246] yang menjadi murid dari brahmana tersebut.

Brahmana tersebut menyuruh orang untuk merobohkan pintu gerbang yang sudah tua itu dan membuat yang baru. Ia pergi menjumpai raja dan berkata, “Pintu gerbangnya sudah siap, Paduka. Besok adalah waktu dari gugusan bintang yang baik; sebelum matahari terbenam besok, kita harus memberikan kurban persembahan dan memasang pintu gerbang yang baru tersebut.” “Baiklah, guru. Apa saja yang diperlukan untuk upacara kurban persembahan tersebut?” “Paduka, sebuah pintu gerbang yang kuat dihuni dan dijaga oleh roh-roh yang hebat. Seorang brahmana yang memiliki kulit berwarna kuning kecoklatan, tidak mempunyai gigi lagi, dan berdarah murni dari kedua sisi (ayah dan ibu) harus dijadikan kurban persembahan; daging dan darahnya akan dijadikan kurban persembahan dengan badannya diletakkan di bawah pintu gerbang yang baru tersebut. Ini akan membawa keberuntungan bagi Paduka dan kota Anda152.” “Bagus sekali, guru. Jadikanlah brahmana itu sebagai kurban persembahan dan dirikanlah pintu gerbang itu diatas badannya.”

Pendeta kerajaan itu merasa senang. “Besok,” katanya, “saya akan melihat mayat musuhku!” Dipenuhi dengan semangat kembali ke rumah, ia tak mampu menjaga mulutnya dan berkata kepada istrinya, “Ah, wanita candala153, dengan siapa lagi Anda akan bersenang-senang? Besok saya akan membunuh kekasih gelapmu dan membuatnya menjadi kurban persembahan!” “Mengapa Anda ingin membunuh seseorang yang tidak bersalah?” “Raja telah memerintahkanku untuk membunuh dan mengurbankan seorang brahmana berkulit kuning kecoklatan dan membangun pintu gerbang yang baru di atas badannya. Kekasihmu berkulit kuning coklat, dan saya bermaksud untuk membunuhnya sebagai kurban persembahan.” Ia kemudian mengirim pesan kepada kekasihnya, yang berbunyi, “Katanya raja memberi perintah untuk membunuh seorang brahmana berkulit kuning kecoklatan sebagai korban persembahan. Jika ingin selamat, pergilah sekarang dan bawa pergi orang-orang yang sama seperti dirimu.” Laki-laki itu melakukannya. Berita tersebar di seluruh kota, dan semua orang yang berkulit kuning kecoklatan melarikan diri.

Pendeta kerajaan tersebut yang tidak mengetahui tentang musuhnya yang telah lari, pergi menjumpai raja di pagi hari dan berkata, “Paduka, brahmana yang berkulit kuning kecoklatan dapat ditemukan di tempat anu. Perintahkan pengawal untuk membawanya kemari.” Raja mengerahkan beberapa pengawalnya untuk membawanya. Tetapi mereka tidak menemukan siapa-siapa, kemudian mereka kembali dan memberitahu raja bahwa ia telah melarikan diri. “Cari di tempat lain,” kata raja. [247] Mereka mencari di seluruh isi kota, tetap tidak menemukannya. “Cepat cari!” kata raja. “Paduka, selain pendeta kerajaan Anda, tidak ada yang lainnya lagi.” “Seorang pendeta kerajaan tidak boleh dibunuh.” “Apa yang Anda katakan, Paduka? Menurut pendeta kerajaan, kota akan berada dalam bahaya jika pintu gerbang tidak didirikan hari ini. Di saat brahmana tersebut menjelaskan masalah ini, ia mengatakan bahwa jika kita membiarkan hari ini berlalu, waktu keberuntungan itu tidak akan datang lagi sampai akhir tahun. Kota tanpa pintu gerbang selama satu tahun merupakan suatu kesempatan bagus bagi musuh-musuh kita! Biarlah kita membunuh satu orang dan mengorbankannya dengan bantuan brahmana bijak yang lain untuk mendirikan pintu gerbang tersebut.” “Tetapi apakah ada brahmana bijak lain yang sama seperti guru saya?” “Ada, Paduka, muridnya, seorang pemuda yang bernama Takkariya. Angkatlah ia sebagai pendeta kerajaan dan laksanakan upacara tersebut.” Raja memanggil pemuda itu, mengangkatnya sebagai pendeta kerajaan, dan memerintahkannya untuk melakukan seperti yang disarankan kepada raja tadi. Pemuda tersebut pergi ke pintu gerbang selatan diikuti dengan rombongan pengawal istana. Atas perintah raja, mereka menangkap dan membawa mantan pendeta kerajaan tersebut. Sang Mahasatwa menyuruh pengawal untuk menggali lubang di tempat dimana pintu itu akan didirikan, dan juga sebuah tenda di atasnya. Bersama dengan gurunya, ia masuk ke dalam tenda tersebut. Gurunya yang melihat lubang itu dan melihat bahwa tidak ada jalan untuk lari, berkata kepadanya, “Tujuanku berhasil. Saya adalah orang yang bodoh, tak mampu menahan lidahku dan terburu-buru memberitahu wanita jahat tersebut. Saya telah membunuh diriku dengan senjata sendiri.” Kemudian ia mengucapkan bait pertama berikut:

“Saya mengatakannya dengan bodoh,
seperti seekor kodok Memanggil ular di dalam hutan:
demikianlah saya jatuh Ke dalam lubang ini, Takkāriyā. Benar sekali,
Kata-kata yang diucapkan tidak pada waktunya
akan menyebabkan bahaya bagi orang tersebut!”
[248] Kemudian Bodhisatta membalasnya dengan mengucapkan bait kalimat berikut ini:
“Orang yang berbicara tidak pada waktunya
akan Berakhir seperti ini, ratapan, penderitaan:
Kali ini Anda harus menyalahkan diri sendiri,
sekarangAnda harus menjadikan lubang ini sebagai liang kuburmu, guru.”
Ia juga menambahkan ini: “O guru, bukan hanya Anda, tetapi banyak juga orang lainnya yang mengalami penderitaan seperti ini karena tidak berhati-hati dengan ucapannya.” Setelah berkata demikian, ia menceritakan sebuah kisah masa lampau untuk membuktikannya.

Dikatakan bahwa dahulu kala hiduplah seorang pelacur kelas tinggi yang bernama Kālī di Benares, yang mempunyai seorang saudara laki-laki bernama Tuṇḍila. Dalam satu hari, Kālī bisa memperoleh seribu keping uang. Tuṇḍila adalah seorang yang bermoral jahat, pemabuk, penjudi. Kālī yang memberinya uang; apapun yang dimilikinya akan dihabiskannya. Segala upaya telah dicoba untuk mencegahnya melakukan itu, tetapi tidak berhasil.

Suatu hari ia dipukul saat mabuk dan pakaiannya yang dipakainya juga diambil. Menutupi dirinya dari punggung ke bawah dengan kain, ia pergi ke rumah kakaknya. Akan tetapi kakaknya berpesan kepada pembantunya, [249] Jika Tuṇḍila datang, mereka tidak boleh memberi apapun kepadanya, mereka harus menyeret dan mengusirnya keluar. Dan mereka pun bertindak sesuai pesan yang diberikan, ia hanya bisa berdiri di dekat ambang pintu dan mengerang kesakitan.

Saat itu, seorang anak saudagar kaya yang biasa datang dan memberi seribu keping uang kepada Kālī, kebetulan melihatnya dan berkata, “Mengapa Anda bersedih, Tuṇḍila?” Ia menjawab, “Tuan, saya kalah dalam judi dadu dan datang kemari untuk menjumpai kakakku, tetapi para pembantunya malah menyeret dan mengusirku keluar.” “Baiklah, tunggu di sini” kata pemuda tersebut, “saya akan berbicara dengan kakakmu.” Ia masuk ke dalam rumah itu dan berkata, “Adikmu sedang berdiri menunggumu, hanya mengenakan kain yang menutupi punggung ke bawah. Mengapa Anda tidak memberikannya pakaian?” “Benar sekali,” jawab Kālī, “saya tidak akan memberinya apapun. Jika Anda suka padanya, anda saja yang berikan pakaian itu kepadanya.”

Waktu itu kebiasaan di dalam rumah tersebut adalah dari seribu keping uang yang diterima, lima ratus keping itu menjadi milik wanita tersebut, sedangkan lima ratus keping lagi adalah untuk pakaian, minyak wangi dan karangan bunga; para laki-laki yang datang ke rumah itu mendapatkan pakaian tersebut untuk dipakai sendiri bila menghabiskan waktu malam di sana, kemudian keesokan harinya mereka melepaskan pakaian tersebut dan kembali dengan mengenakan pakaian yang dipakai pada saat mereka datang baru kemudian pergi. Pada kejadian tersebut, putra saudagar kaya itu mengenakan pakaian yang disediakan kepadanya dan memberikannya pakaiannya sendiri kepada Tuṇḍila. Ia pun segera memakainya dan pergi ke rumah makan. Tetapi Kālī memberi pesan kepada pelayannya jika pemuda itu datang lagi lain kali, mereka harus mengambil pakaiannya. Oleh karenanya, ketika ia datang lagi, mereka mendatanginya dari beberapa sisi, seperti para perampok, mengambil pakaiannya dan membuatnya telanjang, kemudian berkata, “Sekarang pergilah tuan muda!” Demikianlah cara mereka mengusirnya. Ia pun pergi dengan keadaan telanjang; orang-orang mengolok-olok dirinya dan ia menjadi sangat malu, sedih dan berkata, “Ini terjadi karena saya tidak bisa menjaga mulutku!” Untuk memperjelas ini, Sang Mahasatwa mengucapkan bait ketiga berikut:

“Mengapa bertanya kepada Tuṇḍila
bagaimana ia seharusnya dapat bertahan
Dibawah asuhan kakaknya? Sekarang lihat!
Pakaianku sudah tidak ada, saya telanjang;
Keadaan yang menyedihkan ini
sama seperti apa yang terjadi kepadamu sebelumnya.”
[250] Orang lain menghubungkan cerita ini. Dikarenakan kelalaian kambing penggembala, dua ekor domba berkelahi di padang rumput di Benares. Di saat mereka sedang berkelahi, seekor burung kulingga, “Kedua makhluk ini akan menghancurkan diri sendiri dan akan mati dengan kepala terbelah. Saya harus menahan mereka.” Maka ia berusaha untuk menahan mereka dengan meneriakkan—“Paman, jangan berkelahi lagi!” Ia tidak mendapat balasan apa-apa dari mereka. Kemudian di tengah perkelahian itu, burung tersebut naik ke punggung salah satu domba dan kemudian ke atas kepalanya. Ia meminta mereka untuk berhenti berkelahi, tetapi tidak berhasil.
Akhirnya ia berteriak, “Kalau begitu silahkan berkelahi, tetapi bunuh diriku terlebih dahulu!” dan ia membuat dirinya berada di tengah-tengah kepala mereka berdua. Mereka tetap melagakan kepala dan burung itu mati, menemui ajalnya karena perbuatannya sendiri. Untuk menjelaskan cerita ini, Sang Guru mengucapkan bait keempat berikut ini:

“Di antara dua domba yang sedang berkelahi,
seekor burung kulingga terbang,
Meskipun tidak ada hubungan dengan perkelahian itu.
Kepala dari kedua domba tersebut menghancurkan dirinya di sana.
Nasib burung yang menyedihkan itu sama
seperti nasibmu!”
Kisah yang lainnya; Ada sebuah pohon lontar yang biasa disinggahi oleh kawanan gembala sapi. Penduduk kota Benares yang melihatnya ini menyuruh seseorang untuk naik ke atas pohon tersebut mengambil buahnya. Di saat ia sedang melempar buah itu ke bawah, seekor ular hitam yang keluar dari sarangnya mulai naik ke atas pohon tersebut.

Orang-orang yang berada di bawah berusaha untuk mengusir ular itu dengan menggunakan kayu dan benda lainnya, tetapi tidak berhasil. Kemudian mereka berteriak kepada laki-laki yang ada di atas, “Ada seekor ular yang sedang naik ke atas pohon!” dan ia menjerit ketakutan. Mereka yang ada di bawah mengambil kain yang tebal, menahannya di keempat sudut dan memintanya untuk melompat ke kain tersebut. Ia melompat dan mendarat di tengah kain, di antara mereka berempat. Karena ia turun dengan cepat, mereka berempat tidak dapat menahannya, [251] menubruk kepala mereka berempat dan hancur, kemudian mati. Untuk menjelaskan cerita ini, Sang Mahasatwa mengucapkan bait kelima berikut ini:

“Empat orang, untuk menyelamatkan temannya,
Menahan sebuah kain dari empat sudut di bawah pohon.
Mereka semua mati, dengan kepala yang pecah.
Menurutku, orang-orang ini sama seperti dirimu.”
Orang yang lain menceritakan ini. Beberapa orang pencuri kambing yang tinggal di Benares berniat untuk makan-makan di dalam hutan setelah mencuri seekor kambing betina pada suatu malam. Untuk mencegahnya mengembik, mereka menutup mulutnya dan mengikatnya di pohon bambu. Keesokan harinya, di saat ingin membunuh kambing tersebut, mereka lupa membawa pisau. “Sekarang kita akan bunuh kambing ini dan memasaknya,” kata mereka, “bawa pisaunya kemari!” Tetapi tak seorang pun dari mereka membawa pisau. Mereka berkata, “Tanpa pisau kita tidak bisa makan daging hewan ini meskipun kita membunuhnya. Lepaskan saja hewan ini! Ini terjadi disebabkan karena jasa-jasa kebajikannya.” Jadi mereka pun melepaskannya.

Pada waktu itu kebetulan ada seorang tukang bambu yang sebelumnya berada di sana untuk mengambil bambu, meninggalkan sebuah pisau pembuat keranjang yang tersembunyi di antara pepohonan. Ia bermaksud untuk menggunakannya di saat ia kembali lagi nanti. Akan tetapi, kambing yang merasa dirinya bebas itu bermain di sekitar daerah pohon bambu tersebut. Ia menendang-nendang dengan kaki belakangnya sehingga tidak sengaja menjatuhkan pisau tersebut. Para pencuri yang mendengar bunyi suara pisau jatuh mendatangi kambing tersebut dan menjadi gembira ketika melihat pisau tersebut. Kemudian mereka membunuh kambing itu dan memakan dagingnya. Untuk menjelaskan bagaimana kambing betina ini terbunuh karena perbuatannya sendiri, Sang Guru mengucapkan bait kalimat berikut ini:

“Seekor kambing betina, berada di semak-semak pohon bambu
Merasa gembira melompat ke sana ke sini, ia menemukan sebuah pisau.
Dengan pisau itu pula, orang-orang tersebut memotong leher makhluk tersebut.
Terlintas di pikiranku bahwa keadaanmu yang menyedihkan ini sama seperti kambing tersebut.”
[252] Setelah menceritakan ini, ia menjelaskan, “Walaupun demikian, orang-orang yang tenang dalam ucapannya dan memperhatikan kata-katanya, sering kali terbebas dari kematian,” dan kemudian ia menceritakan sebuah kisah tentang peri154.
Dikatakan, seorang pemburu yang tinggal di Benares sewaktu berada di daerah pegunungan Himalaya dengan suatu cara menangkap sepasang makhluk gaib, seorang peri wanita dan suaminya, yang kemudian dibawa dan dipersembahkan kepada raja. Raja tidak pernah melihat makhluk yang demikian sebelumnya. Raja berkata, “Pemburu, makhluk jenis apakah ini?” Jawab laki-laki tersebut, “Paduka, makhluk-makhluk ini dapat bernyanyi dengan suara merdu, mereka dapat menari dengan anggun. Tidak ada manusia yang dapat bernyanyi dan menari sebagus mereka ini.”

Raja memberikan hadiah yang besar kepada pemburu itu dan memerintahkan kedua peri tersebut untuk bernyanyi dan menari. Tetapi mereka berpikir, “Jika kami tidak dapat menyanyikan lagu kami dengan sempurna, maka lagu itu akan menjadi tidak enak didengar, mereka akan menyiksa dan melukai kami. Lagipula, mereka yang berbicara terlalu banyak akan melakukan kesalahan.” Maka dikarenakan takut berbuat kesalahan dan yang lainnya, mereka tidak bernyanyi dan menari meskipun raja terus-menerus meminta kepada mereka. Akhirnya raja menjadi murka dan berkata, “Bunuh makhluk-makhluk ini, masak mereka, dan sajikan kepadaku.” Perintah ini disampaikan raja dalam bait ketujuh berikut ini:

“Mereka ini bukan dewa maupun pemusik dari surga155,
Orang yang bertujuan untuk mendapatkan hadiah
bagi dirinya sendiri membawa makhluk-makhluk ini.
Jadi untuk makan malam, masak satu dari mereka menjadi santapanku,
Dan satunya lagi untuk sarapan pagi esok.”
Kemudian peri wanita tersebut berpikir dalam dirinya sendiri, “Sekarang raja menjadi murka. Tidak diragukan lagi, ia akan membunuh kami. Sekarang waktunya untuk bersuara.” Dengan segera ia mengucapkan satu bait kalimat berikut:

“Seratus ribu peri pernah menyanyikan lagu yang salah
Mereka semua tidak dapat menyanyikan lagu yang baik.
Adalah suatu kesalahan untuk bernyanyi dengan lagu yang salah.
Itulah sebabnya (Bukan karena kebodohan) peri tidak mau mencobanya.”
[253] Raja yang menjadi senang dengan perkataan peri wanita itu, segera mengucapkan satu bait kalimat berikut:
“Lepaskan peri wanita yang telah berbicara itu pergi
Agar dapat melihat pegunungan Himalaya kembali,
Tetapi bawa dan bunuh yang satunya lagi,
Jadikan ia sebagai santapan sarapan pagiku esok.”
Kemudian peri yang satunya lagi itu, “Jika saya tetap tidak bersuara, raja pasti akan membunuhku. Sekarang adalah waktunya untuk berbicara,” dan kemudian ia mengucapkan satu bait kalimat berikut ini:

“Raja bergantung kepada awan156,
dan manusia bergantung kepada hewan ternak,
Dan saya, O raja! bergantung kepada Anda,
peri wanita itu adalah istriku.
Lepaskanlah saya sebagai pasangannya
untuk dapat bersama melihat pegunungan.”
Setelah mengatakan ini, ia juga mengucapkan dua bait kalimat lagi untuk menjelaskan bahwa mereka tidak bersuara tadinya bukan karena tidak bersedia mematuhi perintah raja, tetapi karena mereka berpikir bahwa mengeluarkan suara saat itu dapat menjadi sebuah kesalahan.

“O Paduka! beda orang, beda caranya:
Ini sangat sulit untuk membuatmu bebas dari kesalahan.
[254] Hal yang sama bagi satu orang bisa mendatangkan pujian,
Sedangkan bagi orang yang lain bisa juga mendatangkan hukuman.
“Selalu ada seseorang yang merasa bahwa orang itu bodoh;
Masing-masing dengan khayalannya;
Semuanya berbeda-beda, banyak orang dan banyak pemikiran,
Tidak ada hukum universal bagi keinginan orang-orang tersebut.”
Raja kemudian berkata, “Ia mengatakan yang sebenarnya, peri yang bijak ini,” dan merasa sangat senang, mengucapkan bait terakhir berikut ini:

“Mereka tadinya tidak bersuara, peri bijak itu dan pasangannya:
Dan sekarang ia bersuara karena takut,
Biarkan ia pergi bebas, tanpa terluka, bahagia.
Ini adalah perkataan yang membawa kebaikan,
sama seperti yang sering kita dengar.”
Kemudian raja menempatkan kedua peri tersebut di dalam sebuah sangkar emas dan memanggil pemburu itu untuk melepaskan mereka kambali di tempat yang sama dimana ia menangkap mereka.

[255] Sang Mahasatwa menambahkan, “Lihat, guruku! Dengan cara ini kedua peri itu berhati-hati dengan ucapan mereka, dan dengan bersuara di saat yang tepat mereka terbebas. Sedangkan Anda, dikarenakan ucapanmu yang tidak pada waktunya, mengalami keadaan yang menyedihkan seperti ini.”
Kemudian setelah menunjukkan penyebab ini, ia menghibur gurunya dengan berkata, “Jangan takut, guru. Saya akan menyelamatkan nyawamu.” “Apakah benar ada jalan keluarnya,” tanya gurunya, “bagaimana Anda dapat menyelamatkan diriku?” Ia menjawab, “Hari ini bukanlah waktu gugusan planet yang tepat.” Ia membiarkan siang hari itu berlalu, dan di tengah malamnya membawa seekor kambing yang sudah mati. “Pergilah dan tinggal dimana Anda bisa, brahmana,” katanya.

Kemudian ia membebaskan gurunya, tidak mengambil nyawanya. Dan ia melakukan upacara persembahan korban itu dengan daging kambing yang dibawanya, kemudian mendirikan pintu gerbang tersebut di atasnya.

____________________

Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru berkata: “Ini bukan pertama kalinya, para bhikkhu, Kokalika mengalami kehancuran dirinya karena perkataannya sendiri, tetapi di masa lampau juga sama halnya.” Setelah itu, Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Kokalika adalah laki-laki berkulit kuning kecoklatan, dan saya sendiri adalah Takkariya yang bijak.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com