Sariputta | Suttapitaka | AMBA-JĀTAKA Sariputta

AMBA-JĀTAKA

Ambajātaka (Ja 474)

[200] “Siswa muda, ketika,” dan seterusnya.

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang Devadatta. Devadatta tidak mau mengakui gurunya, dengan berkata, “Saya akan menjadi seorang Buddha sendiri, dan petapa Gotama bukanlah guru atau pembinaku.” Maka, setelah bangun dari meditasi gaibnya, ia melakukan pelanggaran di dalam saṅgha. Kemudian, selangkah demi selangkah ia melanjutkan perjalanannya sampai ke Savatthi, dan di luar Jetavana, bumi terbelah dan ia jatuh ke dalam alam Neraka Avīci.

Kemudian mereka mulai membicarakan tentang dirinya di dalam dhammasabhā:—“Āvuso, Devadatta meninggalkan gurunya dan mengalami kehancuran dirinya dengan tumimbal lahir di alam Neraka Avīci!” Sang Guru yang berjalan masuk menanyakan apa yang sedang dibicarakan, dan mereka memberitahu Beliau. Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau sama seperti sekarang, Devadatta meninggalkan gurunya dan mengalami kehancuran dirinya.” Setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja Benares, keluarga dari pendeta kerajaannya musnah karena demam malaria125. Hanya satu orang putranya yang berhasil melewati
rintangan tersebut dan menyelamatkan diri. Ia pergi ke Takkasila, dan dibawah bimbingan seorang guru yang terkenal, ia mempelajari semua ilmu pengetahuan dan pencapaian.
Kemudian ia berpamitan dengan gurunya dan pergi, dengan tujuan mengembara ke daerah yang berbeda; dan ia tiba di sebuah desa perbatasan. Di dekat desa ini terdapat sebuah desa yang besar milik kaum Caṇḍāla yang berkasta rendah. Kemudian Bodhisatta, seorang bijak yang terpelajar, memilih untuk tinggal di desa ini. Ia mengetahui sebuah mantera yang dapat digunakan untuk memanen buah-buahan di luar musim berbuahnya. Setiap pagi ia membawa keranjang galah dan pergi keluar dari desa tersebut ke dalam hutan, sampai ia melihat sebuah pohon mangga. Dengan berdiri sejauh tujuh langkah dari pohon tersebut, ia melafalkan manteranya, [201] dan memercikkan segenggam air untuk membasahi pohon tersebut. Tidak lama kemudian, dedaunan yang layu berguguran, muncul kembali dedaunan yang baru, bunga-bunga bermekaran dan berguguran, kemudian buah-buah mangga bermunculan. Buah-buah tersebut sudah matang, manis dan enak. Mereka tumbuh seperti buah dewa, dan jatuh dari pohonnya! Sang Mahasatwa memilih dan memakan buah yang diinginkannya, kemudian ia mengisi keranjang yang tergantung di galahnya. Setelah itu, ia pulang dan menjual buah-buahan tersebut. Demikianlah ia dapat menghasilkan uang untuk menghidupi anak dan istriya.

Waktu itu, seorang brahmana muda melihat Sang Mahasatwa menjual buah mangga di luar musimnya. Ia berpikir, “Tidak diragukan lagi, ini terjadi karena kekuatan daripada suatu
mantera. Orang ini dapat mengajarkan sebuah mantera yang sangat berharga kepadaku.” Ia memperhatikan cara Sang Mahasatwa mendapatkan buah-buah tersebut, dan mengetahui
kebenarannya. Kemudian ia pergi ke rumah Sang Mahasatwa di saat Beliau belum kembali dari hutan, dengan berpura-pura tidak tahu apa-apa, ia bertanya kepada istri orang bijak tersebut, “Dimana Sang Guru?” Istrinya menjawab, “Pergi di dalam hutan.” Ia berdiri menunggu sampai ia melihat Beliau berjalan pulang, kemudian pergi menyambutnya; membawa galang dan keranjangnya masuk ke dalam rumah dan menyusunnya. Sang Mahasatwa melihatnya dan berkata kepada istrinya, “Istriku, pemuda ini datang dengan tujuan mendapatkan mantera itu. Akan tetapi, ia tidak boleh mendapatkannya karena ia bukanlah seorang yang baik.” Tetapi pemuda itu sedang berpikir, “Saya akan mendapatkan manteranya dengan menjadi pelayan Sang Guru,” dan dengan maksud demikian, setiap hari ia melakukan semua pekerjaan rumah: mencari kayu, menghaluskan padi, memasak, menyediakan segala sesuatu yang diperlukan untuk membasuh muka dan kaki.

Suatu hari ketika Sang Mahasatwa berkata kepadanya, “Anakku, tolong ambilkan sebuah bangku kecil untuk menyangga kakiku,” Karena tidak melihat adanya jalan lain, pemuda tersebut bersedia menahan kaki Beliau di pahanya sepanjang malam. Kemudian di saat tiba waktunya, istri Sang Mahasatwa melahirkan seorang putra, dan ia yang melakukan segala sesuatu yang harus dilakukan pada saat seseorang melahirkan. Istri Sang Mahasatwa berkata kepadanya suatu hari:—“Suamiku, walaupun memiliki kasta brahmana, pemuda ini rela melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh orang berkasta rendah, demi mantera tersebut. Berikanlah mantera itu, biarkan saja apakah mantera itu dapat digunakannya atau tidak.” Beliau setuju dengan hal ini. [202] Beliau mengajarkannya mantera tersebut, dan kemudian berkata: “Anakku, mantera ini tidak ternilai harganya. Oleh karenanya, Anda bisa mendapatkan harta kekayaan dan kehormatan. Tetapi ketika raja atau seorang menteri agungnya bertanya kepadamu tentang siapa nama gurumu, jangan tidak menyebutkan namaku; karena jika Anda merasa malu bahwa seorang yang berkasta rendah yang mengajarimu, dan Anda mengatakan bahwa yang mengajarimu adalah seorang brahmana yang terkenal, maka mantera ini tidak akan berguna lagi.” “Mengapa saya harus merahasiakan namamu?” kata pemuda tersebut, “Kapan saja saya ditanya dengan pertanyaan tersebut, saya akan mengatakan bahwa itu guruku adalah Anda.” Kemudian ia memberi salam hormat kepada gurunya dan pergi dari desa yang dihuni orang berkasta rendah tersebut sampai akhirnya tiba di Benares, sambil terus mengingat mantera tersebut. Di sana ia menjual buah mangga dan mendapatkan harta kekayaan yang berlimpah.

Pada suatu hari, tukang kebun memberikan buah mangga yang dibeli dari brahmana muda tersebut kepada raja. Setelah memakannya, raja bertanya dimana ia mendapatkan buah yang demikian bagus. Ia menjawab, “Paduka, ada seorang pemuda yang menjual buah mangga di luar musimnya. Saya membeli buah ini darinya.” Raja berkata, “Beritahu pemuda itu, mulai saat ini, untuk membawa mangga kepadaku.” Tukang kebun itu melakukan sesuai perintah raja; dan mulai saat itu, pemuda tersebut membawa buah mangganya ke dalam istana
kerajaan. Raja menawarkannya untuk bekerja di istana, dan ia menjadi pelayan raja. Dengan memperoleh banyak kekayaan, secara bertahap ia menjadi kepercayaan raja.

Suatu hari raja bertanya kepadanya:—“Anak muda, dari mana Anda mendapatkan buah-buah mangga ini di luar musimnya, yang begitu manis, enak, dan berwarna indah?
Apakah ular atau garuda memberikannya kepadamu, atau dewa, atau apakah ini karena kekuatan gaib?” “Tidak ada seorang pun yang memberikannya kepadaku, O raja yang agung!” jawab pemuda tersebut, “saya memiliki sebuah mantera yang sangat berharga, dan ini semua terjadi dikarenakan kekuatan mantera tersebut.” “Baiklah, bersediakah Anda menunjukkan kekuatan dari mantera tersebut kepadaku?” “Tentu saja, Paduka, saya bersedia.” Keesokan harinya raja pergi bersamanya ke dalam taman dan memintanya untuk menunjukkan kekuatan dari mantera tersebut. Pemuda itu bersedia untuk melakukannya. Dengan berjalan mendekati sebuah pohon mangga dan berdiri sejauh tujuh langkah dari pohon itu, ia mengucapkan manteranya sambil memercikkan air ke pohon tersebut. Dalam sekejap, pohon mangga itu berbuah, sama seperti yang telah diuraikan sebelumnya di atas:

[203] buah-buah mangga berjatuhan, sangat banyak, kerumunan orang menunjukkan kegembiraan mereka dengan melambai-lambaikan sapu tangan mereka; raja memakan buah itu, dan memberikan hadiah yang besar kepada dirinya, kemudian berkata, “Anak muda, siapa yang mengajarkan mantera ini kepadamu?” Waktu itu ia berpikir, “jika saya mengatakan bahwa seorang caṇḍalā berkasta rendah yang mengajariku, saya akan merasa malu dan mereka akan menertawakanku. Saya telah menghapal mantera ini luar kepala dan saya tidak mungkin dapat melupakannya. Baiklah, saya akan mengatakan bahwa ia adalah soerang guru yang termashyur di dunia.” Maka ia berbohong dan berkata, “Saya mempelajarinya di Takkasila, dari seorang guru yang sangat terkenal.” Di saat ia mengatakan ini, dengan tidak mengakui guru sebenarnya, pada saat itu juga manteranya tidak berguna lagi. Tetapi raja kembali bersama dengannya ke kota dengan perasaan sangat gembira.

Di hari berikutnya, raja ingin makan buah mangga. Dengan masuk ke dalam taman dan duduk di tempat duduk batu, yang biasanya digunakan untuk acara kerajaan, raja meminta pemuda itu untuk memberikannya buah mangga. Pemuda itu yang sangat bersedia untuk melakukannya, berjalan ke arah pohon mangga dan berdiri sejauh tujuh langkah darinya,
kemudian mengucapkan mantera tersebut. Akan tetapi, manteranya tidak dapat digunakan. Saat itu, ia mengetahui bahwa ia telah kehilangan kekuatan dari manteranya, dan hanya bisa
berdiri di sana dengan malu. Tetapi raja berpikir, “Sebelumnya, orang ini dapat memberikanku mangga seperti air hujan buah buah mangga itu berjatuhan, bahkan di hadapan orang banyak. Sekarang ia berdiri di sana seperti batang pohon. Ada apa ini?” yang kemudian ditanyakannya dengan mengucapkan bait pertama berikut ini:

“Siswa muda, ketika saya memintamu
melakukannya kemarin,
Anda dapat memberikanku buah mangga, baik yang
kecil maupun yang besar:
Sekarang, brahmana, tidak ada buah yang muncul
di pohon ini,
Meskipun mantera yang Anda ucapkan masih
tetap sama!”

Ketika mendengar ini, pemuda tersebut berpikir dalam dirinya sendiri, “Jika ia mengatakan bahwa hari ini tidak ada buah yang dapat dipanen, raja pasti akan menjadi murka.” Oleh
karenanya, ia berpikiran untuk menipu raja, dan mengucapkan bait kedua berikut ini:

“Jam dan masanya tidak cocok: jadi saya menunggu
Pertemuan antara planet-planet di angkasa yang tepat.
[204] Di saat waktu yang cocok tiba nantinya,
Akan saya berikan kepada Anda buah mangga yang
berlimpah ruah.”

“Ada apa ini?” raja bertanya-tanya. “Orang ini tidak menyebut tentang masalah hubungan planet sebelumnya!” Untuk mendapat jawaban atas pertanyaan ini, ia mengucapkan dua bait
kalimat berikut ini:

“Anda tidak mengatakan tentang waktu dan
masa sebelumnya,
Maupun mengenai masalah hubungan planet dengan ini:
Tetapi buah mangga yang wangi, dan enak rasanya,
Berwarna indah, dapat Anda munculkan waktu itu.

“Saat itu, brahmana, Anda dapat dengan baik
Membuahkan pohon itu dengan mengucapkan mantera:
Hari ini Anda tidak dapat melakukannya meskipun telah
mengucapkan manteranya.
Apa arti dari semua perbuatan ini, haruskah saya
memaksa Anda berbicara?”

Setelah mendengar perkataan raja ini, pemuda itu berpikir, “Jangan berbohong lagi kepada raja. Jika ia menghukumku di saat saya memberitahukan kebenarannya, biarlah ia menghukumku. Saya akan memberitahukan kebenarannya.” Kemudian ia mengucapkan dua bait kalimat ini:

“Seorang laki-laki berkasta rendah sebenarnya adalah
guruku, yang mengajarkan
Mantera itu dengan tepat dan baik, bagaimana cara kerja
dari mantera itu:
Ia pernah berpesan, ‘Jika Anda ditanya siapa gurumu,
Jangan menyembunyikan apapun, kalau tidak, mantera
itu tidak akan berguna lagi.’

“Ketika ditanya oleh raja, meskipun saya sudah tahu
dengan baik hal itu,
Tetapi saya tetap menipu Anda, saya mengatakan hal
yang tidak sebenarnya;
‘Itu adalah mantera yang diajarkan oleh seorang
brahmana,’ dengan berbohong kukatakan ini, dan
Sekarang kekuatan mantera itu hilang, saya sangat
menyesali kebodohanku saat itu.”

[205] Setelah mendengar ini, raja berpikir dalam dirinya sendiri, “Laki-laki berdosa ini tidak mampu menjaga harta yang demikian berharganya! Ketika seseorang memiliki harta yang tak
ternilai harganya tersebut, apa hubungannya dengan status kelahiran orang tersebut?” Dan dengan perasaan marah raja mengucapkan bait-bait kalimat berikut:

“Berbagai pohon yang ada, apapun pohon itu126
Dimana ia mencari dan menemukan sarang lebah, ia
akan menganggapnya sebagai pohon yang terbaik.

“Apakah itu Khattiya, Brahmana, Vessa, ia berasal dari
kasta manapun—
Sudda, Caṇḍāla, Pukkusa—tetap adalah orang
yang mulia127.
“Hukum orang tidak tahu adat yang tidak berharga ini,
atau bahkan bunuh,
Jerat lehernya sekarang juga,
Ia yang mendapatkan harta yang tak ternilai dengan
susah payah,
Menghilangkannya hanya karena harga diri yang tinggi!”

Pengawal raja melakukan apa yang dikatakan raja, sambil mengatakan, “Kembalillah kepada gurumu, dan minta maaf darinya. Kemudian, jika dapat mempelajari mantera itu sekali lagi, Anda boleh datang kemari lagi. Tetapi jika tidak dapat melakukannya, Anda tidak pernah boleh terlihat di negeri ini.” Demikianlah mereka mengusirnya.

Pemuda itu merasa sangat sedih. “Tidak ada tempat berlindung bagiku,” pikirnya, “selain guruku. Saya akan pergi menjumpainya dan meminta maaf kepadanya, kemudian mempelajari mantera tersebut kembali.” Maka dengan meratap sedih, ia pergi menuju ke desa tersebut. [206] Sang Mahasatwa mengetahui kedatangannya, menjelaskan kepada istrinya dengan berkata, “Lihatlah, istriku, orang jahat itu datang lagi, dengan manteranya yang tidak berguna lagi!” Pemuda itu mendekat dan menyapanya, kemudian duduk di satu sisi.

“Mengapa Anda datang kemari?” tanya gurunya. “O guru,” kata pemuda itu, “Saya telah berbohong dan tidak mengakui guruku, dan saya menjadi benar-benar hancur sekarang!” Kemudian ia mengucapkan penyesalannya dalam satu bait kalimat berikut,

sambil meminta mantera itu kembali:
“Sering kali orang yang berpikir bahwa batas tanah itu
berada di bawah kakinya,
Jatuh ke dalam sebuah kolam, lubang, jurang,
tersandung oleh akar pepohonan;
Yang lainnya memijak seutas tali, yang ternyata adalah
seekor ular hitam;
Yang lainnya berjalan masuk ke dalam api
karena ia buta:
Saya telah bersalah, dan kehilangan kekuatan
manteraku; tetapi Anda, O guru yang bijak,
Maafkanlah diriku! bantulah diriku sekali lagi!”

Kemudian gurunya menjawab, “Apa yang Anda katakaan, anakku? Dengan memberikan tanda bagi orang buta, ia akan tahu mana yang lubang dan mana yang bukan. Saya telah memberitahumu sebelumnya tentang ini, dan apa yang Anda inginkan lagi di sini sekarang?” Kemudian ia mengucapkan bait-bait kalimat berikut ini:

“Kepadamu dalam keadaan yang sebenarnya telah
kuberitahukan,
Dengan cara yang benar Anda mempelajari mantera itu,
Saya telah menjelaskan dengan lengkap kekuatan
mantera ini:
Ia tidak akan pernah hilang jika Anda bertindak benar.

[207] “Barang siapa yang telah mempelajari sebuah mantera
dengan begitu banyak kerja keras, O orang dungu!
Berguna bagi orang yang tinggal di bumi ini,
Kemudian orang bodoh itu! yang akhirnya mendapat
suatu kehidupan,
Membuang semuanya itu karena ia melakukan
kebohongan,
“Kepada orang bodoh yang demikian tidak bijak, yang
berkata tidak benar,
Tidak tahu berterima kasih, yang tidak dapat
mengendalikan dirinya sendiri,—
Mantera, yang dimintanya! mantera yang demikian tidak
akan diberikan kepadanya lagi:
Oleh karena itu, pergilah, jangan memohon dariku lagi!”

Setelah diusir demikian oleh gurunya, pemuda ini berpikir, “Apa arti kehidupan ini bagiku?” kemudian masuk ke dalam hutan dan meninggal dalam keadaan yang menyedihkan.

Sang Guru selesai menyampaikan uraian ini dan berkata, “Bukan hanya kali ini, para bhikkhu, Devadatta tidak mengakui gurunya dan mengalami kehancuran dirinya sendiri.” Setelah
berkata demikian, Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini:
“Pada masa itu, Devadatta adalah pemuda yang tidak tahu berterima kasih, Ananda adalah raja, dan saya sendiri adalah pemuda berkasta rendah.”

125 Lihat No. 178.
126 Nimb, castor oil, plassey.
127 Ini adalah nama-nama dari enam kasta: Khattiya, Brāhman, Vaiçya, Çūdra, keempat kasta yang terdapat dalam buku-buku sansekerta, ditambah dengan Caṇḍāla dan Pukkaça, dua kasta yang dianggap rendah. Kitab Jātaka memberikan tempat pertama kepada Khattiya, atau Ksatria, bukan Brahmana.


Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com