Sariputta | Suttapitaka | YUVAÑJAYA-JĀTAKA Sariputta

YUVAÑJAYA-JĀTAKA

Yudhañ­caya­jātaka (Ja 460)

“Saya menyapa Paduka,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang pelepasan kehidupan duniawi yang besar.

Suatu hari para bhikkhu berkumpul di dhammasabhā. “Āvuso,” dikatakan oleh salah satu dari mereka, “Dasabala mungkin telah tinggal di dalam rumah tersebut, Beliau mungkin telah menjadi pemimpin dunia, yang memiliki tujuh benda berharga, berjaya dalam empat indera gaib 67 , yang dikelilingi oleh putra yang lebih dari seribu jumlahnya! Walaupun demikian semua kemegahan ini ditinggalkannya ketika ia mengetahui penyebab bencana terdapat di dalam nafsu keinginan. Di tengah malam, dengan ditemani oleh Channa, ia naik kudanya Kanthaka dan pergi: di tepi sungai Anomā, sungai yang mulia, Beliau meninggalkan kehidupan duniawi, dan selama enam tahun ia menyiksa diri dengan kesederhanaan, dan akhirnya mencapai kebijaksanaan yang sempurna.” Demikianlah mereka membicarakan tentang kebajikan dari Sang Buddha.

Sang Guru ketika masuk ke dalam ruangan itu bertanya, “Apakah yang sedang kalian bicarakan, para bhikkhu?” Mereka memberitahu Beliau.

Beliau berkata, “Ini bukan kali pertama, para bhikkhu, Sang Tathagata melakukan pelepasan yang besar itu, tetapi di masa lampau ia juga meninggalkan kehidupan duniawi dan kerajaan Benares yang luasnya dua belas yojana.”

Setelah berkata demikian, beliau menceritakan kisah masa lampau tersebut.
____________________

Dahulu kala seorang raja yang bernama Sabbadatta berkuasa di kota Ramma. Tempat yang sekarang ini kita sebut Benares dinamakan menjadi Surundhana di dalam cerita Udaya-Jātaka68, dan menjadi Sudassana di dalam cerita Cullasutasoma-Jātaka69, Brahmavaddhana di dalam Soṇandana-Jātaka70, dan Pupphavatī di dalam Khaṇḍāla-Jātaka71: [120] tetapi di dalam Yuvañjaya-Jātaka, namanya menjadi kota Ramma. Demikianlah namanya berubah-ubah pada beberapa keadaan tertentu.

Pada waktu itu raja Sabbadatta memiliki seribu orang anak dan ia memberikan kerajaannya kepada putra sulungnya Yuvañjana.

Suatu hari ia naik keretanya yang bagus sekali dan dalam kemegahan ia bersenang-senang dengannya di taman. Di puncak pepohonan, di ujung rerumputan, di ujung cabang pohon, di sarang laba-laba, di semak-semak ia melihat embun yang bergantung seperti deretan mutiara.

Ia berkata, “Kusir kereta, apa ini?” “Paduka, ini adalah sesuatu yang terjadi pada cuaca dingin, dan orang-orang menyebutnya embun.”

Pangeran itu menghabiskan waktunya bermain di taman sampai seharian. Ketika ia dalam perjalanan pulang di sore harinya, ia tidak melihat satu tetes embun pun yang tersisa. Ia berkata, “Kusir kereta, kemanakah perginya embun-embun tadi? saya tidak melihat satu pun di sini.” “Paduka, di saat matahari terbit dan meninggi, embun akan mencair dan menetes masuk ke dalam tanah.” Setelah mendengar hal ini, pangeran menjadi sedih dan berkata, “Kehidupan kita, manusia, ditunjukkan seperti tetesan embun yang jatuh ke tanah ini. Saya pasti akan hilang dari dunia ini dikarenakan penyakit, usia yang menua, dan kematian; Saya harus meminta izin dari orang tuaku dan meninggalkan kehidupan duniawi.” Maka dikarenakan tetesan embun tersebut, ia merasa tiga alam keberadaan72 seperti berada di dalam api yang membara.

Sesampainya di rumah, ia menjumpai ayahnya yang berada di ruang pengadilan yang megah. Kemudian menyapa ayahnya, berdiri di satu sisi dan mengucapkan bait pertama berikut untuk meminta izinnya agar ia dapat meninggalkan kehidupan duniawi:

“Saya menyapa Paduka dengan teman
dan para menteri istana:
Dunia ini, O raja! akan saya tinggalkan:
mohon Paduka tidak menghalanginya.”
Kemudian raja mengucapkan bait kedua ini untuk membujuknya tidak melakukan hal itu:

“Jika Anda meminta hal yang lain, Yuvañjana,
saya akan memenuhinya:
Jika ada orang yang melukaimu,
saya akan melindungi dirimu:
janganlah Anda menjadi seorang petapa.”
[121] Setelah mendengar ini, pangeran mengucapkan bait ketiga berikut ini:
“Tidak ada seorangpun yang melukai diriku,
yang lain saya tidak inginkan:
Tetapi saya harus mencari tempat perlindungan,
dimana usia tua tidak akan menyerangku.”
Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru mengucapkan setengah bait kalimat berikut ini:

“Sang anak berbicara demikian kepada ayah,
begitu juga sang ayah berbicara demikian kepada anaknya.”
Sisa bait kalimat di atas diucapkan oleh raja:

“Jangan tinggalkan kehidupan duniawi, O pangeran!
demikian suara teriakan dari semua penduduk kota.”
Pangeran kemudian mengucapkan bait kalimat berikut:

“Jangan membuatku menetap dengan kerajaan yang megah
daripada hidup meninggalkan kehidupan duniawi.
Jika tidak, saya akan dimabukkan oleh nafsu keinginan,
yang akan terus dimakan oleh usia!”
Setelah ini diucapkan, raja menjadi ragu. Kemudian ibunya diberitahukan, “Putramu, ratu, sedang meminta izin dari ayahnya untuk dapat meninggalkan kehidupan duniawi.” “Apa yang Anda katakan?”. Hal itu sangat mengejutkan dirinya.

Dengan duduk di dalam tandu emas, ratu pergi dengan cepat menuju ruang pengadilan, dan mengucapkan bait keenam berikut untuk menanyakan:

“Saya memohon kepadamu, anakku tercinta,
tetaplah di sini demi diriku!
Saya berkeinginan untuk dapat melihatmu
dalam waktu yang lama, anakku: O, jangan pergi!”
[122] Ketika mendengar perkataan ibunya tersebut, pangeran membalasnya dalam bait ketujuh berikut ini:
“Seperti embun di rerumputan,
yang akan hilang di saat matahari bersinar,
Begitulah kehidupan manusia yang tidak abadi,
O ibu, jangan menahan diriku!”
Setelah ia berkata demikian, ratu memohon kepadanya lagi, dan jawaban yang diberikan tetap sama. Kemudian Sang Mahasatwa berkata kepada ayahnya dalam bait kedelapan ini:

“Biarkan orang yang membawa tandu ini pergi:
jangan biarkan ibuku menahan
Diriku, raja yang agung! untuk menjalankan kehidupan suci73.”
Di saat raja mendengar perkataan anaknya ini, ia berkata, “Masuklah ke dalam tandumu, ratu, dan kembali ke istana Kebahagiaan Yang Bertumbuh74 kita. Atas perkataan raja ini, ratu pergi ditemani dengan pelayan wanita ke istana tersebut, kemudian berdiri melihat ke arah ruang pengadilan itu sembari bertanya-tanya apa yang akan terjadi kepada anaknya.

Setelah ibunya pergi, Bodhisatta kembali meminta izin dari ayahnya. Raja tidak dapat menolaknya lagi, dan berkata, “Kalau begitu, anakku, pergilah dan tinggalkan kehidupan duniawi ini.”

Ketika izin persetujuan didapatkannya, adik bungsu Bodhisatta, Pangeran Yudhiṭṭhila berkata kepada ayahnya dan meminta hal yang sama untuk dapat menjalankan kehidupan suci. Dan raja pun memberikan persetujuannya.

Abang-adik ini berpamitan dengan ayahnya, kemudian keluar dari ruang pengadilan, yang sudah dikerumuni oleh orang banyak. Ratu yang melihat kepergian anaknya berkata sambil menangis, “Putraku telah meninggalkan kehidupan duniawi, dan kota Ramma akan menjadi hampa!” Kemudian ia mengucapkan dua bait kalimat berikut ini:

“Bergegas dan terberkatilah Anda!
saya yakin Rammaka akan menjadi hampa:
Raja Sabbadatta telah mengizinkan Yuvañjana pergi.
[123] “Yang paling tua dari seribu orang adiknya,
ia kelihatan seperti emas,
Pangeran agung ini meninggalkan kehidupan duniawi
dengan mengenakan jubah warna kuning.”
Bodhisatta tidak langsung menjalani kehidupan suci. Tidak, pertama ia berpamitan terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya; kemudian membawa adik bungsunya bersama dengannya, pangeran Yudhiṭṭhila meninggalkan kota dan menyuruh orang-orang yang mengikutinya untuk kembali; mereka berdua kemudian berjalan menuju daerah pegunungan Himalaya.

Di sana mereka membuat sebuah tempat petapaan di tempat yang menyenangkan, dan menjalankan kehidupan suci.

Mereka bertahan hidup dalam waktu yang lama dengan memakan akar dan buah-buahan yang terdapat di dalam hutan, mereka mengembangkan kebahagiaan bermeditasi dan menjadi terlahir kembali di alam Brahma.
____________________

Masalah ini dijelaskan di dalam bait kalimat dari kebijaksanaan yang sempurna, yang muncul terakhir:

“Yuvañjana, Yudhiṭṭhila bertahan dalam kehidupan suci:
Meninggalkan ayah dan ibu mereka,
mereka terbagi dalam dua rantai kematian.”
Setelah menyampaikan uraiannya, Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kali, para bhikkhu, Sang Tathagata meninggalkan sebuah kerajaan untuk menjalani kehidupan suci, tetapi di masa lampau juga terjadi hal yang sama,” kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini:—“Pada masa itu, anggota keluarga kerajaan itu adalah ayah dan ibunya, Ananda adalah Yudhiṭṭhila dan saya sendiri adalah Yuvañjana.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com