Sariputta | Suttapitaka | UDAYA-JĀTAKA Sariputta

UDAYA-JĀTAKA

Udayajātaka (Ja 458)

“Anda yang sempurna,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menyimpang ke jalan yang salah.

Situasi cerita ini akan dijelaskan di dalam Kusa-Jātaka62.

Sang Guru bertanya kembali kepada laki-laki tersebut, “Apakah benar, Bhikkhu, bahwa Anda telah menyimpang ke jalan yang salah?” Dan ia menjawab, “Ya, Guru.” Kemudian Beliau berkata, O Bhikkhu, mengapa Anda mundur ke jalan yang salah dari ajaran kita yang demikian, yang menuntun ke arah pembebasan, dan semuanya itu demi kesenangan nafsu duniawi? Orang bijak di masa lampau, yang merupakan raja di Surundha, sebuah kota yang makmur dan luasnya mencapai dua belas yojana, walaupun selama tujuh ratus tahun tinggal di dalam satu ruangan dengan seorang wanita yang secantik peri surga, tidak takluk pada nafsu inderawi, bahkan ia tidak pernah melihatnya dengan nafsu keinginan.”

Setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________

Dahulu kala, raja Kasi berkuasa di negeri Kasi, di kotanya Surundha, tetapi ia tidak memiliki putra maupun putri. Jadi ia meminta istrinya untuk berdoa agar mendapatkan anak.

Kemudian Bodhisatta yang turun dari alam Brahma terlahir di dalam rahim ratu.

Dan dikarenakan kelahirannya, ia menceriakan banyak orang maka ia diberi nama Udayabhadda, atau Selamat Datang.

Di saat anak laki-laki tersebut mulai dapat berjalan sendiri, makhluk lain dari alam Brahma terlahir di alam Manusia tersebut sebagai anak perempuan di dalam rahim istri raja yang lain, dan ia diberi nama yang sama, Udayabhaddā.

Di saat pangeran sudah cukup umurnya, ia menguasai semua cabang ilmu pengetahuan; [105] yang lebih lagi, ia adalah orang yang suci dan tidak mengetahui apapun tentang kesenangan inderawi, bahkan tidak dalam mimpi, ataupun hatinya jatuh pada hal yang jahat. Raja berkeinginan untuk menjadikan putranya sebagai raja, dengan upacara yang khidmat dan mempersembahkan drama demi kegembiraannya dan menurunkan perintah tersebut.

Tetapi Bodhisatta menjawab, “Saya tidak menginginkan kerajaan, dan hatiku tidak terpaut pada perbuatan dosa.” Ia terus-menerus diminta untuk menjadi raja, tetapi akhirnya ia membuat jawaban dengan gambar seorang wanita yang memakai emas merah yang dikirimkan kepada orang tuanya dengan pesan, “Jika saya dapat menemukan wanita seperti gambar ini, saya akan bersedia menjadi raja.”

Mereka mengirimkan gambar tersebut ke seluruh India, tetapi tidak dapat menemukan wanita seperti itu. Kemudian mereka menghiasi Udayabhaddā dengan baik, dan menghadapkannya dengan gambar tersebut; dan kecantikannya melebihi gambar tersebut. Kemudian mereka menikahkan dirinya dengan Bodhisatta, di luar keinginan mereka berdua, adik perempuannya sendiri putri Udayabhaddā, lahir dari ibu yang berbeda, yang menjadikannya sebagai raja.

Kedua orang ini menjalani hidup yang penuh kesucian bersama. Seiring berjalannya waktu, Bodhisatta menjadi pemimpin negeri itu setelah orang tuanya meninggal. Keduanya tinggal di dalam satu kamar, tetapi tidak takluk pada nafsu inderawi, dan tidak pernah melihat satu sama lain dengan nafsu keinginan. Mereka membuat satu janji bahwa siapapun di antara mereka yang duluan meninggal, ia harus kembali ke tempat kelahirannya dan berkata, ‘Di tempat ini saya dilahirkan kembali.’

Mulai dari waktu Bodhisatta dinobatkan menjadi raja, ia hidup selama tujuh ratus tahun dan kemudian meninggal. Tidak ada raja pengganti, Udayabhaddā kembali menjadi rakyat awam, para menteri istana yang mengurus kerajaan.

Bodhisatta tumimbal lahir menjadi Dewa Sakka di alam Tavatimsa. Dan dikarenakan kekuatannya yang luar biasa, selama tujuh hari ia tidak bisa mengingat masa lalunya. Maka setelah waktu berlalu selama tujuh ratus tahun di alam Manusia63, ia teringat dan berkata kepada dirinya sendiri, “Saya akan pergi menjumpai putri raja, Udayabhaddā, dan saya akan menguji dirinya dengan kekayaan, saya akan berkata dengan suara seperti auman singa dan akan menepati janjiku!”

Dikatakan bahwa pada masa itu, batas usia manusia mencapai sepuluh ribu tahun. Waktu itu, hari sudah malam dan pintu-pintu istana sudah tertutup rapat dan penjaga mulai berjaga-jaga, dan putri raja itu sedang duduk tenang sendirian di dalam kamar yang megah di atas tempat tinggalnya yang bertingkat tujuh, [106] sambil bermeditasi dengan objek perbuatan bajiknya sendiri.

Kemudian Sakka mengambil sebuah piring emas yang diisi dengan koin emas dan di dalam kamar tidurnya, ia muncul di hadapannya dan berdiri di satu sisi, mulai berbicara kepada putri dengan mengucapkan bait pertama berikut ini:

“Anda yang sempurna dalam kecantikan, suci dan cerah,
Anda duduk sendirian di teras yang tinggi ini,
Dalam posisi yang paling anggun, dengan mata seperti peri surga,
Saya memohon kepada Anda, biarkan saya menghabiskan malam ini bersamamu!”
Atas perkataan ini, putri menjawab dalam dua bait kalimat berikut ini:

“Untuk sampai ke puri di kota ini, yang terdapat parit di sekelilingnya,
sangat sulit untuk mendekatinya,
Dimana paritnya itu dan menaranya
dijaga oleh para pengawal.
“Tidak mudah dan bukan tanpa usaha keras
baru dapat masuk kemari;
Katakan—apa yang menjadi alasan mengapa
Anda senang bertemu denganku?”
Kemudian Sakka mengucapkan bait keempat ini:

[107] “Saya adalah yakkha, wanita cantik.
Saya yang ada di hadapanmu ini:
Berikan bantuanmu kepadaku, Nona,
terimalah mangkuk yang berisi penuh ini dariku.”
Ketika mendengar itu, putri membalasnya dengan mengucapkan bait kelima berikut ini:

“Saya tidak menginginkan apapun semenjak Udaya meninggal,
Baik dewa, yakkha, maupun manusia di sampingku:
Oleh karena itu, O yakkha yang agung, pergilah,
Jangan datang lagi kemari, pergilah yang jauh.”
Mendengar jawabannya yang pedas, ia tidak berdiri di sana lagi, langsung pergi dan menghilang. Keesokan harinya pada jam yang sama, ia mengambil mangkuk perak yang diisi dengan koin emas dan kemudian menyapanya dengan mengucapkan bait keenam berikut ini:

“Kegembiraan utama bagi kekasih yang benar-benar diketahuinya,
Yang membuat manusia melakukan banyak perbuatan salah,
Anda tidak memintanya, O Nona, dengan memberikan senyum yang manis:
Lihat, saya membawa sebuah mangkuk perak yang berisi penuh!”
Kemudian putri mulai berpikir, “Jika saya membiarkan dirinya untuk tetap berbicara dan menyombongkan diri, ia pasti akan datang dan datang lagi. Saya tidak tahu lagi harus mengatakan apa kepada dirinya.” [108] Jadi ia tidak berkata sedikitpun. Sakka yang melihat bahwa ia tidak bisa berkata-kata lagi, langsung menghilang dari sana.

Keesokan harinya, di waktu yang sama, ia membawa sebuah mangkuk besi yang penuh dengan koin dan berkata, “Nona, jika Anda memberkahi diriku dengan cinta kasihmu, saya akan memberikan mangkuk besi ini yang penuh dengan koin kepadamu.” Ketika putri melihatnya, ia mengucapkan bait ketujuh berikut ini:

“Orang yang bermaksud merayu wanita, akan selalu menaikkan dan terus menaikkan
Pemberian emasnya, sampai wanita itu mengikuti kemauannya.
Cara dari dewa berbeda, seperti yang saya lihat pada diri Anda:
Hari ini Anda datang dengan pemberian yang lebih kurang dibanding kemarin.”
Ketika mendengar perkataan ini, Sang Mahasatwa menjawabnya, “Tuan Putri, saya adalah seorang pedagang yang hati-hati. Saya tidak akan menghabiskan barang-barangku untuk hal yang tidak menghasilkan apa-apa. Jika kecantikanmu kian hari kian bertambah, saya juga pasti akan menaikkan nilai pemberianku. Akan tetapi kecantikanmu itu kian hari kian memudar, makanya saya juga memberikan penawaran yang menurun nilainya.”

Setelah berkata demikian, ia mengucapkan bait ketiga berikut ini:

“O wanita! usia muda dan kecantikan akan memudar
di alam Manusia ini, Anda wanita yang berparas cantik.
Dan hari ini Anda menjadi lebih tua dari sebelumnya.
Maka saya juga menawarkan nilai yang lebih berkurang.
“Demikianlah, putri agung dari seorang raja,
di mataku Kecantikanmu memudar dan menghilang
seiring bergantinya siang dan malam.
“Tetapi jika ini membuat Anda menjadi senang,
O putri dari seorang raja yang bijak,
Tetap menjaga agar diri suci dan murni,
Anda akan menjadi lebih cantik!”
[109] Berikut ini putri mengucapkan satu bait kalimat:
“Dewa tidaklah sama dengan manusia,
mereka tidak akan menjadi tua;
Tidak terlihat lipatan kerutan di kulit mereka.
Bagaimana kerangka badan ini tidak berlaku bagi dewa?
Yakkha yang kuat, beritahukanlah ini kepadaku!”
Kemudian Sakka menjelaskan masalahnya dengan mengucapkan satu bait kalimat berikut:

“Dewa tidaklah sama dengan manusia,
mereka tidak akan menjadi tua;
Tidak terlihat lipatan kerutan di kulit mereka:
Bahkan di hari-hari berikutnya
Kecantikan dewanya akan bertambah,
dan ada kebahagiaan yang tidak terhitung.”
[110] Ketika mendengar tentang keindahan di alam Dewa, wanita tersebut menanyakan caranya untuk dapat ke sana dengan mengucapkan satu bait kalimat lagi:
“Apa yang menakutkan begitu banyak manusia di sini?
Saya memohon kepada Anda, Yakkha yang kuat, untuk menjelaskannya
Jalan itu yang beragam penjelasannya:
Apa yang tidak boleh ditakutkan seseorang untuk menuju ke alam Dewa?”
Kemudian Sakka menjelaskan masalah tersebut dalam satu bait kalimat berikut ini:

“Barang siapa yang dapat mengendalikan ucapan dan pikiran,
Yang dengan jasmaninya tidak melakukan perbuatan dosa,
Di dalam rumahnya dapat ditemukan banyak makanan dan minuman,
Ringan tangan, dermawan, memiliki keyakinan yang benar,
Bersedia membantu, bermulut manis, bergembira—
Ia yang demikian orangnya tidak perlu takut apapun untuk berjalan menuju ke alam Dewa.”
[111] Di saat mendengar perkataannya, wanita itu mengucapkan terima kasih dalam satu bait kalimat ini:
“Seperti seorang ibu, seperti seorang ayah,
O Yakkha, Anda menasehati saya:
Sang Mahasatwa, makhluk yang indah, beritahu saya,
beritahu saya siapakah Anda sebenarnya?”
Kemudian Bodhisatta mengucapkan bait berikut ini:

“Saya adalah Udaya, wanita cantik,
memenuhi janjiku untuk datang kepadamu:
Sekarang saya terbebas dari janjiku
karena telah saya ucapkan.”
Putri menarik napas panjang dan berkata, “Anda adalah raja Udayabhadda, Tuanku!” kemudian menangis dan melanjutkan berkata, “Tanpa dirimu, saya tidak bisa hidup! Tuntunlah diriku sehingga saya dapat selalu bersama denganmu!”

Setelah berkata demikian, ia mengucapkan bait kalimat berikut ini:

“Jika Anda adalah Udaya, datanglah kemari untuk janjimu–
benar-benar adalah dirinya–,
Maka tuntunlah diriku,
sehingga kita dapat bersama lagi, O pangeran!”
Kemudian ia mengucapkan empat bait kalimat berikut sebagai penuntun bagi wanita tersebut:

“Masa muda akan cepat terlewati: suatu masa–ini akan berlalu;
Tidak ada tempat berpijak yang kokoh: semua makhluk akan mati
Dan dilahirkan kembali: Kerangka kehidupan ini akan hancur:
Oleh karena itu harus taat menjalankan ajaran kebenaran, jangan lengah.
“Jika bumi beserta isinya dapat menjadi
Dikuasai oleh satu pemimpin tunggal,
Orang suci akan meninggalkannya dalam impiannya:
Oleh karena itu harus taat menjalankan Dhamma, jangan lengah.
[112] Ibu dan ayah, saudara, dan ia
(Istri) yang dapat dibeli dengan harga tertentu,
Mereka pergi, satu per satu meninggalkan yang lain:
Oleh karena itu harus taat menjalankan Dhamma, jangan lengah.
“Ingatlah badan ini akan menjadi makanan
Bagi yang lain; sama halnya dengan kebahagiaan dan penderitaan,
Waktu yang terus berputar, seperti kehidupan yang menggantikan kehidupan:
Oleh karena itu harus taat menjalankan Dhamma, jangan lengah.”
Dengan cara ini lah Sang Mahasatwa memberikan khotbah-Nya. Wanita yang menjadi senang tersebut dengan mendengarkannya, kembali mengucapkan terima kasih dalam perkataan di bait terakhir berikut ini:

[113] “Perkataan yakkha ini manis: singkat sebenarnya hidup yang diketahui oleh manusia ini,
Hidup ini menyedihkan, pendek, dan bersama dengannya selalu timbul penderitaan.
Saya akan meninggalkan kehidupan duniawi: saya akan pergi dari Kasi, dari Surundhana.”
Setelah selesai memberikan khotbah Dhamma kepadanya, Bodhisatta kembali ke tempat kediamannya sendiri.

Keesokan harinya, Putri tersebut mempercayakan para menterinya untuk mengurusi pemerintahan; dan di dalam kota miliknya itu, di sebuah taman yang menyenangkan, ia menjadi petapa yang mengasingkan diri.

Di sana ia hidup sesuai peraturan sampai akhir usianya, dan tumimbal lahir di alam Tavatimsa, sebagai pelayan Bodhisatta.
____________________

Setelah menyampaikan uraian ini, Beliau memaparkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran ini: (Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang tadinya menyimpang ke jalan salah itu mencapai tingkat kesucian sotapanna:)—“Pada masa itu, ibu Rahula adalah putri dan Sakka adalah diri saya sendiri.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com