Sariputta | Suttapitaka | GHATA-JĀTAKA Sariputta

GHATA-JĀTAKA

Ghaṭa­paṇ­ḍita­jātaka (Ja 454)

“Bangunlah Kaṇha hitam,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang kematian seorang anak laki-laki. Situasi yang menimbulkan cerita ini sama seperti yang ada di dalam Maṭṭha-Kuṇḍali-Jātaka46. Kembali lagi di sini Sang Guru bertanya kepada upasaka tersebut, “Apakah Anda berduka, Upasaka?” Ia menjawab, “Ya, Bhante.” Beliau berkata lagi, “Upasaka, Di masa lampau orang bijak mendengar perkataan dari yang bijaksana dan kemudian tidak berduka lagi atas kematian seorang anak laki-laki.” Dan atas permintaannya, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala, seorang raja yang bernama Mahakansa berkuasa di Uttarāpatha, di wilayah Kaṃsa dalam kota Asitañjanā. Ia mempunyai dua anak laki-laki, Kaṃsa dan Upakaṃsa, dan satu anak perempuan yang bernama Devagabbhā. Di hari ulang tahun putrinya, para brahmana meramalkan kejadian masa depannya: “Anak laki-laki yang dilahirkan oleh wanita ini suatu hari akan menghancurkan negeri ini dan garis keturunan Kaṃsa.” Raja sangat menyayangi putrinya sehingga tidak tega untuk membunuhnya, ia membiarkan saudara-saudaranya yang mengatasi masalah ramalan ini, menjalani sisa hidupnya dan kemudian meninggal. Setelah ia meninggal, Kaṃsa menjadi raja dan Upakaṃsa menjadi wakil raja. Mereka berdua berpikir bahwa akan terjadi protes keras bila mereka membunuh saudara perempuannya, jadi mereka memutuskan untuk tidak menikahkan dirinya kepada pemuda manapun, dan agar rencana ini dapat berjalan dan dapat diawasi, mereka membangun sebuah menara untuk ia tinggal.

Putri tersebut mempunyai seorang pelayan wanita yang bernama Nandagopā, dan suami pelayan wanita tersebut Andhakaveṇhu, yang bertugas menjaganya. Pada waktu itu seorang raja yang bernama Mahāsāgara berkuasa di Upper Madhurā, dan ia mempunyai dua orang putra, Sāgara dan Upasāgara. Setelah ayah mereka meninggal, Sāgara menjadi raja dan Upasāgara menjadi wakil raja. Pemuda ini adalah teman dari Upakaṃsa, besar bersama dengannya dan diajar oleh guru yang sama pula. Akan tetapi ia memiliki hubungan gelap dengan istri abangnya, dan melarikan diri ke wilayah Kaṃsa mencari Upakaṃsa sewaktu hubungannya itu diketahui oleh abangnya. Upakaṃsa memperkenalkannya kepada Kaṃsa,
[80] dan raja memberikannya kedudukan yang tinggi di sana.

Di masa Upasāgara melayani raja, ia mengamati menara tempat Devagabhā. Di saat bertanya siapa gerangan yang tinggal di dalam menara tersebut, ia mengetahui tentang ceritanya dan menjadi jatuh cinta kepada wanita tersebut. Pada suatu hari, Devagabhā melihatnya ketika ia berangkat dengan Upakaṃsa untuk menjumpai raja. Ia bertanya kepada Nandagopā siapa pemuda itu, dan sewaktu diberitahu bahwa itu adalah Upasāgara, putra dari raja agung Sāgara, ia juga menjadi jatuh cinta kepadanya. Upasāgara memberikan sesuatu kepada
Nandagopā sambil berkata, “Saudari, Anda dapat mengatur pertemuanku dengan Devagabhā.” Nandagopā berkata, “Cukup mudah,” dan ia pun memberitahukan putri tentang hal ini. Putri yang memang sudah jatuh cinta kepadanya langsung menyetujuinya. Suatu malam Nandagopā mengatur sebuah janji pertemuan, dan membawa Upasāgara masuk ke dalam menara tersebut; di sana ia tinggal berdua dengan Devagabhā. Dikarenakan hubungan intim terus menerus yang dilakukan mereka, Devagabhā menjadi hamil. Keadaan ini pun segera
diketahui dan kedua saudara laki-lakinya bertanya kepada Nandagopā. Ia membuat mereka berjanji memaafkannya terlebih dahulu, kemudian menceritakan seluk beluk masalah tersebut. Setelah mendengar ceritanya, mereka berpikir, “Kita tidak mungkin membunuh adik. Bila ia melahirkan seorang anak perempuan, kita biarkan ia hidup; tetapi bila ia melahirkan
seorang anak laki-laki, kita akan membunuhnya.” Dan mereka pun menjadikan Devagabhā sebagai istri dari Upasāgara.

Di saat tiba waktunya, ia melahirkan seorang anak perempuan. Kedua saudara laki-lakinya merasa senang sewaktu mendengar kabar ini, dan memberinya nama Putri Añjanā.
Mereka juga memberikan sebuah desa kepada adiknya sebagai tempat tinggal, yang disebut Govaḍḍhamāna. Upasāgara membawa Devagabhā tinggal bersama di desa tersebut.

Tidak lama kemudian Devagabhā hamil lagi, dan Nandagopā juga mengandung. Di saat waktunya tiba, mereka melahirkan anak pada waktu yang sama, Devagabhā melahirkan seorang putra dan Nandagopā melahirkan seorang putri. Tetapi Devagabhā yang merasa takut anak laki-lakinya itu akan dibunuh, mengirimnya kepada Nandagopā dan mengambil anak perempuan Nandagopā sebagai anaknya. Mereka memberitahukan kedua saudara laki-lakinya tentang kelahiran tersebut. “Putra atau putri?” tanya mereka. [81] “Putri,” jawabnya.
“Kalau begitu, besarkanlah anak tersebut,” kata dua saudara itu. Dengan cara yang sama Devagabhā melahirkan sepuluh orang putra dan Nandagopā melahirkan supuluh orang putri. Semua putra tersebut tinggal dengan Nandagopā dan semua putri tersebut tinggal dengan Devagabhā. Tidak ada seorang pun yang mengetahui rahasia ini.

Putra sulung Devagabhā diberi nama Vāsu-deva, yang kedua Baladeva, ketiga Canda-deva, keempat Suriya-deva, kelima Aggi-deva, keenam Varuṇa-deva, ketujuh Ajjuna, kedelapan Pajjuna, kesembilan Ghata-paṇḍita, dan yang kesepuluh Aṁkura. Mereka terkenal sebagai sepuluh putra dari Andhakaveṇhu si pelayan, Sepuluh Saudara Laki-laki.

Seiring berjalannya waktu mereka menjadi tumbuh dewasa, kuat, kejam dan ganas. Mereka berkeliaran merampas barang milik orang lain, mereka bahkan merampas barang yang akan diberikan kepada raja. Orang-orang datang berbondongbondong ke halaman istana raja sambil mengeluhkan, “Putraputra Andhakaveṇhu, Sepuluh Saudara Laki-laki merampas seisi desa!” Maka raja menyuruh pengawal untuk membawa Andhakaveṇhu dan mengecamnya karena membiarkan anakanaknya melakukan perampasan. Tiga atau empat kali dibuat keluhan ini dengan cara yang sama, dan raja mulai mengancam dirinya. Andhakaveṇhu merasa takut kehidupannya yang aman itu akan hilang, memberitahukan rahasianya, bahwasannya mereka itu bukan putra-putranya, melainkan putra-putra dari Upasāgara. Raja menjadi terkejut. “Bagaimana kita dapat melawan mereka?” ia bertanya kepada para menteri di istananya. Mereka menjawab, “Paduka, mereka adalah pegulat. Mari kita adakan sebuah pertandingan gulat di kota, dan ketika mereka masuk ke dalam arena, kita tangkap dan bunuh mereka.” Maka mereka pun memanggil dua orang pegulat, Cānura dan Muṭṭhika, dan membuat pengumuman di seluruh kota dengan membunyikan drum, “bahwasannya akan ada pertandingan gulat di hari ketujuh.”

Arena pertandingan itu disiapkan di depan istana raja; dibuat pagar untuk pertandingan tersebut, arenanya dihiasi dengan indah, bendera-bendera kemenangan disiapkan. Seluruh
isi kota sangat berantusias, baris demi baris tempat duduk penuh, deret demi deret juga. Cānura dan Muṭṭhika masuk ke dalam arena dan berkeliling di dalamnya dengan sombong, melompat-lompat, berteriak, menepuk tangan mereka. Sepuluh Saudara tersebut datang juga. Sebelumnya di dalam perjalanan, mereka merampas pakaian tukang cuci dan mengambil jubah yang berwarna cerah, [82] dan mencuri minyak wangi dari toko, kalung bunga dari toko bunga; dengan tubuh mereka yang telah diberi wewangian, kalung bunga di kepala, anting-anting di telinga, mereka berjalan masuk dengan sombong ke dalam arena, melompat-lompat, berteriak, dan menepuk tangan mereka.

Pada waktu itu, Cānura jalan mengitari dan menepuk tangannya. Baladeva yang melihatnya, berpikir, “Saya tidak akan menyentuh orang yang ada di sana dengan tanganku!” maka
dengan mengambil sabuk dari dalam kandang gajah, sambil melompat dan berteriak, ia melemparkannya di sekeliling perut Cānura dan mengikat kedua ujung sabuk tersebut, memegangnya dengan ketat, kemudian mengangkatnya, memutarnya di atas kepala, dan mencampakkannya ke tanah dengan kuat sampai keluar dari arena. Setelah Cānura mati, raja
mengeluarkan Muṭṭhika. Muṭṭhika naik ke dalam arena, melompat-lompat, berteriak dan menepuk tangannya. Baladeva menghantamnya dan menusuk matanya; dan di saat ia berteriak—“Saya bukan seorang pegulat! Saya bukan seorang pegulat!” Baladeva mengunci tangannya sambil berkata, “Pegulat atau bukan, tidak ada bedanya bagiku,” dan dengan kuat mencampakkannya ke tanah, membunuhnya dan melemparnya keluar dari arena.

Muṭṭhika di saat menjelang kematiannya, mengucapkan sebuah permohonan—“Semoga nantinya saya menjadi yakkha dan memakan dirinya!” Dan ia pun menjadi yakkha di sebuah
hutan yang dikenal dengan nama Kāḷamattiya. Raja berkata, “Bawa pergi Sepuluh Saudara tersebut.” Pada saat itu juga, Vāsudeva melemparkan sebuah roda47 , yang menjerat putus
kepala dari dua bersaudara48 itu. Kerumunan orang yang melihat ini menjadi ketakutan, berlutut, dan memintanya menjadi pelindung mereka.

Demikianlah Sepuluh Saudara itu menguasai kota Asitañjanā setelah membunuh kedua paman mereka sendiri, dan membawa orang tuanya pindah ke sana.

Kemudian mereka pergi ke luar dari istana dengan tujuan menguasai seluruh India. Tidak berapa lama berjalan, mereka tiba di kota Ayojjhā, tempat kekuasaan raja Kāḷasena. Mereka mengitari kota ini dan menghancurkan pepohonan di sekitarnya, merobohkan dinding dan menawan raja, serta mengambil alih kedaulatan dari tempat itu. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke Dvāravatī. Kota ini berbatasan dengan laut di satu sisi dan di sisi yang lain adalah pegunungan. Dikatakan bahwa tempat itu ada yakkha-nya. Sang yakkha berjaga-jaga di sana, dan di saat melihat musuh datang, akan mengubah wujudnya menjadi seekor keledai dan mengeluarkan suara ringkikan keledai. [83] Segera, kota itu berada melayang di udara dan menempatkan dirinya di pulau yang ada di tengah laut tersebut dengan kekuatan gaib sang yakkha itu; dan di saat musuh telah pergi, kota itu akan kembali ke tempat semulanya. Kali ini sama seperti biasanya, di saat keledai melihat kedatangan Sepuluh Saudara, ia mengeluarkan suara ringkikan keledai. Kota itupun langsung melayang di udara dan pindah ke pulau di tengah laut itu. Mereka tidak melihat kota apapun dan kembali. Kemudian kota itu kembali ke tempat semulanya. Mereka berbalik kembali—keledai itu juga mengucapkan hal yang sama seperti sebelumnya. Kedaulatan di kota Dvāravatī tidak dapat mereka ambil alih.

Maka mereka pergi mengunjungi Kaṇha-dipāyana49 dan berkata: “Tuan, kami gagal mengambil alih kerajaan Dvāravatī. Beritahu kami cara untuk menaklukkannya.” Ia berkata, “Di dalam saluran air, di dalam sebuah tempat seperti itu, ada seekor keledai yang berjaga. Ia meringkik di saat melihat musuh, dan kota itu dengan cepat akan melayang di udara. Kalian harus bersujud di kakinya50, itulah caranya untuk menaklukkannya.” Kemudian mereka pamit kepada petapa tersebut dan pergi menjumpai keledai itu. Dengan bersujud kepadanya, mereka berkata, “Tuan, hanya Anda yang dapat membantu kami! Di saat kami datang untuk mengambil alih kota, mohon Anda jangan mengeluarkan suara ringkikan!” Keledai itu menjawab, “Saya tidak dapat menahan suara ringkikanku. Akan tetapi, jika empat dari kalian datang dengan membawa bajak besi yang besar dan menggali lubang untuk tempat tonggak besi di keempat pintu gerbang kota kemudian mengaitkan rantai besi yang diikatkan ke bajak tadi pada tiang itu, ia tidak akan dapat melayang di udara.” Mereka berterima kasih kepada keledai tersebut; dan ia tidak mengeluarkan suara ringkikan di saat mereka mengambil bajak dan meletakkan tiang di dalam lubang yang dibuat di empat pintu gerbang kota, kemudian ia berdiri sambil menunggu. Tidak lama setelah itu, keledai tersebut meringkik dan kota tersebut mulai melayang. Tetapi mereka yang berdiri di keempat gerbang masing-masing dengan bajak besi yang terikat dengan rantai besi yang dikaitkan ke tiang, membuat kota tersebut tidak dapat melayang di udara. Saat itu juga, Sepuluh Saudara tersebut
masuk ke dalam kota, membunuh rajanya dan mengambil alih kerajaan.

Demikian caranya mereka menaklukkan seluruh India, [84] dan di tiga ratus enam puluh ribu kota mereka membunuhpara rajanya dengan roda itu. Dan akhirnya mereka tinggal di
Dvāravatī, dengan membagi kerajaannya menjadi sepuluh bagian, tetapi mereka melupakan adik perempuannya, Putri Añjanā. Maka mereka berkata, “Mari kita membaginya menjadi
sebelas bagian.” Tetapi Aṁkura menjawab, “Berikan saja bagianku kepadanya. Saya akan mengerjakan hal yang lain untuk bertahan hidup; hanya saja kalian harus mengirimkan pajak masing-masing dari kerajaan kalian kepadaku.” Mereka menyetujuinya dan memberikan bagiannya kepada adik perempuan mereka. Dan mereka tinggal Dvāravatī bersama dengannya, sembilan raja, sedangkan Aṁkura melakukan usaha perdagangan.

Seiring dengan berjalannya waktu, mereka dikaruniai dengan putra dan putri. Setelah waktu yang lama berlalu, orang tua mereka pun meninggal. Dikatakan bahwa pada waktu itu,
usia seseorang mencapai dua puluh ribu tahun.

Kemudian satu putra kesayangan dari raja agung Vāsudeva meninggal. Raja yang sedih setengah mati itu tidak mempedulikan lagi hal yang lain, hanya berbaring sambil meratap dengan memegang pinggiran tempat tidurnya. Kemudian Ghatapaṇḍita berpikir dalam dirinya sendiri, “Selain diriku, tidak ada orang lain yang dapat menghilangkan kesedihan abangku. Saya akan mencari cara untuk menghilangkan kesedihannya.” Maka dengan penampilan berlagak tidak waras, ia berjalan mengelilingi kota, melihat ke atas langit dan meneriakkan, “Berikan saya seekor kelinci! Berikan saya seekor kelinci!” Seluruh isi kota menjadi terengah: “Ghatapaṇḍita telah menjadi gila!” Persis saat itu seorang menteri istana yang bernama Rohiṇeyya pergi menjumpai raja Vāsudeva dan memulai pembicaraan dengan mengucapkan bait pertama berikut ini:

“Bangunlah Kaṇha Hitam! Mengapa Anda menutup mata
dan tidur? Mengapa hanya berbaring di sana?
Saudara kandung Anda—lihatlah, pikirannya sudah
menjadi tidak waras,
Kebijaksanaannya telah hilang51! Ghata menyebut Anda
yang memiliki rambut hitam panjang!”

[85] Setelah ia selesai berbicara, Sang Guru mengetahui bahwa ia telah bangkit, dan dalam kebijaksanaan yang sempurna Beliau mengucapkan bait kedua berikut ini:

“Begitu si rambut panjang Kesava mendengar
perkataan Rohiṇeyya,
Ia pun bangkit menjadi cemas dan bersedih atas
penderitaan Ghata.”

Raja itu bangun dan dengan cepat turun dari ranjangnya dan menjumpai Ghatapaṇḍita, ia memegangnya erat dengan kedua tangan dan berbicara kepadanya dengan mengucapkan
bait ketiga berikut ini:

“Dengan seperti orang gila, mengapa Anda mengelilingi
seluruh isi Dvāraka,
Dan meneriakkan, ‘Kelinci, kelinci!’ Katakan siapa yang
telah mengambil seekor kelinci darimu?”

Atas perkataan raja ini, ia hanya menjawab dengan mengucapkan teriakan yang sama berulang-ulang kali. Akan tetapi, raja mengucapkan dua bait kalimat lagi:

“Apakah ia terbuat dari emas, atau permata yang bagus,
atau kuningan, atau perak, sesuka hatimu katakan52,
Kulit kerang, batu, atau karang, saya katakan
akan saya buat seekor kelinci.

“Dan ada begitu banyak kelinci yang terdapat di dalam
hutan yang luas itu,
Mereka dapat diambil, saya akan menyuruh mereka
menangkapnya; katakan, mana yang Anda inginkan?”

Setelah mendengar perkataan raja akan hal ini, laki-laki bijak tersebut menjawabnya dengan mengucapkan bait keenam berikut ini:

“Saya bukan menginginkan kelinci yang ada di bumi,
tetapi kelinci yang ada di bulan53:
Bawalah ia turun kesini, O Kesava! Saya tidak meminta
yang lainnya lagi!”

“Tidak diragukan lagi saudaraku ini telah menjadi gila,” pikir raja di saat mendengar hal ini. Dalam kesedihan yang mendalam, ia mengucapkan bait ketujuh berikut ini:

[86] “Saudaraku, Anda bisa meninggal jika membuat
permohonan demikian,
Meminta apa yang tidak diminta orang, yaitu kelinci yang
ada di bulan.”

Ghatapaṇḍita berdiri kaku setelah mendengar perkataan raja, dan ia berkata, “Saudaraku, Anda tahu bahwa orang bisa meninggal jika ia menginginkan kelinci yang ada di bulan dan tidak mendapatkannya. Kalau begitu, mengapa Anda meratapi putramu yang telah meninggal?”

“Jika Kaṇha, Anda mengetahui hal ini, dan dapat
menghibur kesedihan orang lain,
Mengapa Anda masih meratapi putramu yang telah
lama meninggal?”

Kemudian ia melanjutkan apa yang dilakukannya dengan berdiri di sana, di jalan—“Dan saya, Saudaraku, hanya meminta sesuatu yang memang ada, sedangkan Anda meratapi sesuatu yang sudah tidak ada.” Kemudian ia mengajarinya dengan mengucapkan dua bait kalimat lagi:

“Putraku lahir, jangan biarkan ia meninggal!” Tidak ada
manusia atau dewa
yang dapat mengabulkan permintaan itu: kalau begitu
mengapa harus meminta sesuatu yang tidak mungkin?

“Mantra ajaib, atau akar ajaib, maupun tumbuhan, atau
dengan menggunakan uang,
Tidak dapat mengembalikan kehidupan roh yang
Anda ratapi.”

Raja yang mendengar ini menjawabnya, “Maksud Anda baik, Saudaraku tercinta. Anda melakukan ini semua untuk menghilangkan masalahku.” Kemudian untuk memberikan pujian
kepada Ghatapaṇḍita, ia mengucapkan empat bait berikut ini:

[87] “Saya memiliki seseorang, yang bijak dan baik sekali
untuk memberikan nasehat yang baik:
Betapa cara yang luar biasa Ghatapaṇḍita gunakan
untuk membuka mataku!

“Saya terbakar, seperti ketika seseorang menuangkan
minyak ke dalam api54;
Anda membawakan air, dan menghilangkan dahaga
atas keinginanku.

“Penderitaan atas putraku, seperti tombak yang
menusuk di dalam hatiku;
Anda telah menghibur kesedihan diriku, dan
mengeluarkan tombaknya.

“Tombak itu dikeluarkan, terbebas dari rasa sakit, saya
menjadi tenang dan tentram;
O anak muda, mendengar kata-kata kebenaran Anda,
saya tidak berduka maupun menangis lagi.”

Dan yang terakhir:

“Demikianlah orang yang penyayang, dan demikianlah
orang yang bijak sebenarnya:
Mereka bebas dari penderitaan, seperti Ghata di sini
yang membebaskan penderitaan saudaranya.”

Ini adalah bait dari kebijaksanaan yang sempurna.

Dengan cara ini Vāsudeva terhibur oleh Pangeran Ghata. Setelah waktu yang lama berlalu, di saat ia memerintah kerajaannya, putra dari Sepuluh Saudara tersebut berpikir:
“Katanya, Kaṇhadīpāyana memiliki mata dewa. Mari kita mengujinya.” Maka mereka mencari seorang pemuda dan memakaikan pakaian wanita kepadanya dengan mengikat
sebuah bantal di perutnya, membuatnya kelihatan seolah-olah seperti ia sedang hamil. Kemudian mereka membawanya ke hadapan Kaṇha dan bertanya kepadanya, “Tuan, kapankah
waktunya wanita ini melahirkan?” Petapa itu mengetahui55 bahwa waktunya telah tiba bagi kehancuran Sepuluh Saudara tersebut; kemudian dengan melihat67 batas waktu bagi kehidupannya sendiri, ia mengetahui bahwa ia akan meninggal hari itu juga. Kemudian ia berkata, “Anak muda, apa hubungan pemuda ini dengan kalian?” “Jawab kami terlebih dahulu,” desak mereka. Ia menjawab, “Pemuda ini di hari ketujuh dari sekarang akan mengeluarkan sejenis kayu akasia. Dengan itu, ia akan menghancurkan garis keturunan dari Vāsudeva walaupun kalian mengambil batang kayu itu dan membakarnya serta membuang abunya ke dalam sungai.” “Ah, petapa gadungan!” kata mereka, “Seorang laki-laki tidak akan pernah dapat melahirkan anak!” dan mereka melakukan pekerjaan dengan tali dan benang tersebut, mereka membunuhnya dengan segera. Raja memanggil keempat pemuda tersebut dan menanyakan mengapa mereka membunuh petapa itu. [88] Ketika mereka mendengar semuanya, mereka menjadi ketakutan. Mereka melakukan penjagaan terhadap pemuda tersebut. Dan di hari ketujuh ketika ia mengeluarkan sejenis kayu akasia dari dalam perutnya, mereka membakarnya dan membuang abunya ke dalam sungai. Abu itu terapung-apung di air sungai dan tersangkut di satu sisi dekat pintu gerbang rahasia; dari sana muncullah tanaman eraka.

Suatu hari para raja tersebut mengusulkan agar mereka pergi bersenang-senang dan bermain-main dengan air. Maka mereka datang ke pintu gerbang rahasia tersebut, sebelumnya
mereka telah menyuruh orang untuk membangun sebuah paviliun yang megah. Di dalam paviliun ini mereka makan dan minum. Kemudian dengan bercanda mereka mulai main tangan
dan kaki, dan terbagi menjadi dua kelompok, yang akhirnya menjadi perkelahian. Salah satu dari mereka, yang tidak dapat menemukan benda yang lebih baik lagi untuk dijadikan pemukul, mengambil sehelai daun dari tanaman eraka itu, yang sewaktu dicabut langsung berubah menjadi batang kayu akasia di tangannya. Ia kemudian menggunakannya untuk memukul banyak orang. Yang lainnya pun mengikuti tindakan yang satu ini, dan benda itu sewaktu mereka mencabutnya tetap langsung berubah menjadi batang kayu akasia. Dengan kayu itu, mereka saling memukul sampai akhirnya mereka terbunuh. Di saat mereka ini sedang menghancurkan satu sama lain, hanya empat yang melarikan diri dengan naik ke dalam kereta kuda— Vāsudeva, Baladeva, adik perempuan mereka Putri Añjanā, dan pendeta kerajaan, yang lain semuanya hancur.

Keempat orang tersebut melarikan diri dengan kereta itu ke hutan Kāḷamattikā. Di sana pegulat Muṭṭhika telah mengalami tumimbal lahir menjadi yakkha, seperti yang dimintanya. Ketika
mengetahui kedatangan Baladeva, ia menciptakan sebuah desa di tempat itu. Kemudian dengan mengubah wujudnya menjadi seorang pegulat, ia berkeliaran di sekitar sana dan melompat lompat sambil meneriakkan, “Siapa yang mau bertarung denganku?” dan membunyikan jari jemarinya. Sewaktu Baladeva melihatnya, ia berkata, “Saudaraku, saya akan mencoba satu pertarungan dengan orang ini.” Vāsudeva berusaha dengan segala daya upaya untuk mencegahnya melakukan hal itu, tetapi ia tidak mendengarkannya, turun dari kereta dan mendekati pegulat itu sembari membunyikan jari jemarinya juga. Pegulat itu langsung memiting kepalanya dan kemudian melahapnya seperti memakan lobak. Vāsudeva yang mengetahui bahwa ia telah mati, langsung pergi dengan adik dan pendeta tersebut, sampai matahari terbit mereka tiba di sebuah desa perbatasan. Ia kemudian berbaring di semak-semak pepohonan, sementara ia menyuruh adik dan petapa itu masuk ke dalam desa, mencari dan membawa makanan kepadanya. Seorang pemburu (namanya adalah Jarā, atau Usia Tua) melihat semak-semak itu bergoyang. “Kemungkinan besar itu adalah babi,” pikirnya. Ia melempar tombaknya dan itu menusuk kaki Vāsudeva. “Siapa yang telah melukaiku?” teriak Vāsudeva. Pemburu tersebut yang baru mengetahui bahwa ia telah melukai seseorang, langsung berusaha untuk lari karena ketakutan. [89] Raja yang mengetahui siapa pelakunya, bangkit dan memanggil pemburu tersebut—“Paman, kemarilah, jangan takut!” Ketika ia kembali—“Anda siapa?” tanya Vāsudeva. “Namaku adalah Jāra, Tuan.” Raja
berpikir, “Ah, Luka yang disebabkan oleh Usia Tua akan mengakibatkan kematian, demikian yang dikatakan pepatah kuno. Tidak diragukan lagi saya akan meninggal hari ini.”

Kemudian ia berkata, “Jangan takut, Paman. Mari tutup lukaku ini.” Luka tersebut kemudian diikat dan ditutup olehnya dan raja membolehkan ia pergi. Rasa sakit yang amat sangat mulai menyerang dirinya. Ia tidak bisa memakan makanan yang dibawakan oleh kedua orang tersebut. Kemudian Vāsudeva berkata kepada mereka: “Hari ini saya akan meninggal. Kalian adalah makhluk yang lembut dan tidak akan pernah dapat mempelajari apapun untuk bertahan hidup; jadi belajar dariku tentang ilmu pengetahuan alam ini.” Setelah berkata demikian, ia mengajarkan ilmu pengetahuan alamnya kepada mereka dan menyuruh mereka pergi. Kemudian ia pun menemui ajalnya. Demikianlah satu per satu dari mereka meninggal, kecuali Putri Añjanā.

Setelah menyampaikan uraiannya, Sang Guru berkata,
“Upasaka, orang-orang itu terbebas dari perasaan berduka atas kematian putranya dengan mendengarkan perkataan orang bijak di masa lampau; jangan pikirkan masalah itu lagi.” Kemudian Beliau memaparkan kebenarannya (di akhir kebenarannya, upasaka tersebut mencapai tingkat kesucian sotapanna) dan akhirnya Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Ananda adalah Rohiṇeyya, Sariputta adalah Vāsudeva, rombongan pengikut Sang Buddha adalah orang-orang lain, dan saya sendiri adalah Gathapaṇḍita.

47 Sejenis senjata.
48 Raja dan saudaranya.
49 No. 444.
50 Memohon kepadanya.
51 ‘gila’.
52 Baris kalimat ini telah muncul sebelumnya di No. 449.
53 Apa yang kita sebut sebagai Orang di bulan, di India disebut Kelinci di bulan, Bandingkan
Vol. III. No. 316.
54 Sudah ada di No.449. hal. 63, bait terakhir.
55 dengan penglihatan gaibnya.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com