Sariputta | Suttapitaka | KAṆHADĪPĀYANA-JĀTAKA Sariputta

KAṆHADĪPĀYANA-JĀTAKA

Kaṇha­dī­pāyana­jātaka (Ja 444)

“Tujuh hari,” dan seterusnya—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang bhikkhu yang menyimpang ke jalan yang salah.

Situasi cerita ini akan dijelaskan di dalam Kusa-Jātaka14 .

Ketika Sang Guru menanyakan apakah benar laporan berita ini, bhikkhu itu menjawab bahwa hal itu benar.

[28] Beliau berkata, “Bhikkhu, orang bijak di masa lampau, sebelum kelahiran Sang Buddha, bahkan orang-orang yang telah menjalani kehidupan suci selama lebih dari lima puluh tahun tetap menjalaninya tanpa mempedulikan itu, dengan menjaga hiri dan ottappa 15 tidak pernah mengatakan kepada siapapun mereka telah menyimpang ke jalan yang lain. Dan mengapa Anda, yang menganut ajaran yang sama dengan kami, yang menuntun ke arah pembebasan, yang sedang berdiri di hadapan Buddha Yang Mulia, seperti diriku ini, menyatakan bahwa Anda menyimpang di hadapan empat kelompok siswa16 ini? Mengapa Anda tidak menjaga hiri dan ottappa?”
Setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________

Dahulu kala di kerajaan Vamsa, seorang raja bernama Kosambika berkuasa di Kosambī (Kosambi)17.

Pada waktu itu ada dua orang brahmana di sebuah kota yang masing-masing mereka memiliki kekayaan sejumlah delapan ratus juta rupee dan mereka berteman baik. Mereka berdua memberikan dana yang amat besar, meninggalkan kehidupan duniawi di tengah ratapan dan tangisan banyak orang, dan pergi ke pegunungan Himalaya membuat tempat petapaan di sana setelah menyadari penderitaan yang ditimbulkan oleh nafsu. Di sana mereka menjadi hidup sebagai petapa selama lima puluh tahun bertahan hidup dengan memakan buah-buahan dan akar-akar tetumbuhan yang dapat ditemukan di dalam hutan; tetapi mereka tidak dapat mencapai jhana.

Setelah lima puluh tahun berlalu, mereka melakukan perjalanan ke pedesaan untuk memperoleh bumbu garam, sampai mereka tiba di kerajaan Kasi.

Di sebuah kota dalam kerajaan ini hiduplah seorang perumah tangga yang bernama Maṇḍavya, yang menjadi seorang teman awam dalam kehidupan rumah tangganya bagi petapa Dīpāyana. Mereka berdua tersebut datang kepada Maṇḍavya ini, yang ketika melihat mereka ini menjadi gembira, membuatkan mereka gubuk daun, dan menyediakan empat kebutuhan hidup18.

Selama tiga atau empat musim mereka tinggal di sana, dan kemudian berpamitan pergi untuk mengembara ke Benares, dimana mereka tinggal di daerah perkuburan di bawah pohon atimuttaka. Ketika Dīpāyana telah tinggal di sana selama yang diinginkannya, ia kembali ke teman awamnya; sedangkan Maṇḍavya, petapa yang satunya lagi, tetap berada di tempat yang sama19.

Suatu hari seorang pencuri melakukan pencurian di kota dan kembali dengan membawa sejumlah hasil curiannya. Pemilik dan tukang jaga rumah terbangun dan berteriak “Pencuri!” dan pencuri tersebut melarikan diri melalui saluran air bawah tanah sambil dikejar oleh orang-orang. Di saat berlari dengan cepat melewati daerah perkuburan, ia menjatuhkan bundelan hasil curiannya di depan pintu gubuk daun dari petapa tersebut.

Ketika pemiliknya melihat bundelan tersebut, mereka berkata, “Ah, Anda adalah seorang penipu! [29] Anda adalah seorang pencuri di malam hari dan di siang hari Anda berkeliaran dengan kedok seorang petapa!” Maka sambil mencerca dan memukulnya, mereka membawanya ke hadapan raja.

Raja tidak menanyakan apapun, hanya berkata, “Bawa ia pergi, tancapkan ia pada sula!” Mereka membawanya ke daerah perkuburan dan mengangkatnya di atas sebuah sula yang terbuat dari kayu akasia. Akan tetapi, sula itu tidak dapat menusuk tubuh petapa tersebut. Kemudian mereka membawa sula yang yang terbuat dari kayu pohon nimba, tetapi ini juga tidak dapat menusuk tubuhnya; kemudian mereka membawa sula yang terbuat dari besi dan juga sia-sia.

Petapa itu bertanya-tanya sendiri perbuatan apa di masa lampau yang menyebabkan terjadinya hal demikian, dan ia pun mencoba melihatnya untuk mencari tahu. Kemudian dalam dirinya muncul pengetahuan akan kehidupan masa lampau. Dengan ini ia melihat apa yang telah dilakukannya di masa lampau, dan itu adalah—menusuk seekor lalat dengan serpihan kayu kovilāra (kovilara).

Dikatakan bahwasannya di kehidupan yang lampau ia menjadi putra dari seorang tukang kayu. Suatu hari ia pergi ke tempat dimana ayahnya biasa menebang pohon dan ia menusuk seekor lalat dengan serpihan kayu kovilara, bagaikan menusuknya dengan menggunakan sebuah sula. Dan perbuatan ini lah yang menyebabkan ia kebal terhadap jenis kayu lainnya. Ia kemudian berpikir tidak akan bisa terbebas dari kamma buruk di masa lampau, maka ia berkata kepada anak buah raja tersebut, “Jika kalian ingin menusukku, ambillah sebatang kayu kovilara,” Mereka pun menurutinya dan menusuknya dengan kayu kovilara. Setelah menempatkan seorang penjaga untuk mengawasinya, mereka kembali ke istana.

Tukang jaga tersebut mengawasinya dari tempat yang tersembunyi. Waktu itu Dīpāyana berpikir, “Sudah lama saya tidak bertemu dengan temanku, si petapa itu.” Setelah mendengar bahwa temannya digantung seharian di tepi jalan, ia langsung mencarinya; kemudian dengan berdiri di satu sisi, ia bertanya apa yang telah diperbuatnya. “Tidak ada,” jawab teman petapa tersebut. “Dapatkah Anda menjaga diri dari perbuatan jahat atau tidak?” tanya temannya. Ia berkata, “Teman yang baik, jangan pernah melawan orang-orang yang telah menangkapku ataupun melawan raja, dan tidak pernah ada niat jahat yang timbul di dalam pikiranku.”—“Jika memang begitu, tempat berlindung kepada orang yang demikian bajik akan menyenangkan bagiku,” dan dengan kata-kata ini, ia duduk di sisi bawah tiang tersebut.

Kemudian gumpalan darah yang keluar dari badan Maṇḍavya jatuh di atas badannya; Dan darah tersebut yang jatuh di kulit yang berwarna keemasan menjadi kering dan bintik-bintik hitam, yang kemudian mulai dari sana membuatnya mendapatkan nama Kaṇha atau Dīpāyana Hitam. Ia tetap duduk di sana sepanjang malam.

Keesokan harinya, tukang jaga tersebut pergi memberitahukan masalah ini kepada raja. “Saya telah bertindak gegabah,” kata raja. Dengan segera ia pergi ke tempat itu, [30] dan menanyakan Dīpāyana mengapa ia duduk di sana. Ia menjawab, “Raja yang agung, saya duduk di sini untuk menjaganya. Tolong katakan apa yang telah diperbuatnya atau apa yang tidak dikerjakannya sehingga Anda memperlakukan dirinya dengan cara demikian ini?” Raja menjelaskan bahwa sebenarnya permasalahan ini belum diselidiki. Dīpāyana membalasnya dengan berkata, “Raja yang agung, seorang raja seharusnya bertindak dengan hati-hati; seseorang yang hanya menyukai kesenangan bukanlah hal yang bagus, dan seterusnya20,” dan dengan nasehat yang demikian, ia menyampaikan uraian itu kepada raja.

Ketika raja mengetahui bahwa Maṇḍavya tidak bersalah, ia memerintahkan untuk mencabut sula tersebut dari tubuhnya. Tetapi mereka tidak bisa mencabutnya meskipun mereka berusaha sekuat tenaga. Maṇḍavya berkata, “Saya mengalami keadaan mengerikan seperti ini dikarenakan perbuatan masa lampauku. Tidak mungkin sula ini dapat dicabut dari diriku. Tetapi jika Anda berniat untuk mengampuni nyawaku, ambillah sebuah gergaji dan potonglah kayu kovilara ini bersama dengan kulitku.” Maka raja menyuruh orang melakukan hal tersebut, dan bagian kayu yang menancap di tubuhnya tetap berada di sana.

Karena pada kejadian sebelumnya, orang-orang mengatakan bahwa ia mengambil sedikit kepingan berlian dan menusukkannya di pembuluh lalat itu sehingga lalat itu tidak langsung mati, tidak sampai batas usianya habis. Oleh sebab itu, laki-laki ini juga tidak mati, kata mereka.

Mulai saat itu, Maṇḍavya dipanggil dengan nama Maṇḍavya Pasak. Dan ia tinggal di tempat yang dekat dengan raja; sedangkan Dīpāyana kembali teman awamnya, Maṇḍavya si perumah tangga, setelah ia mengobati luka temannya terlebih dahulu.

Di saat penduduk melihatnya masuk ke dalam gubuk daunnya, mereka memberitahukan temannya tersebut. Ketika mendengar kedatangannya, temannya menjadi sangat senang, dengan anak dan istrinya, ia pergi ke gubuk daun itu sambil membawa dupa, kalung bunga, minyak dan gula. Di sana ia memberi salam hormat kepada Dīpāyana, mencuci dan membasuh kaki beliau, dan memberinya minum. Setelah semua itu, ia duduk mendengarkan cerita tentang Maṇḍavya Pasak.

Waktu itu, putranya yang bernama Yañña-datta sedang bermain bola sampai ke ujung jalan. Di sana terdapat seekor ular yang hidup di dalam sebuah sarang kecil. Bola anak laki-laki tersebut berguling masuk ke dalam sarang itu dan mengenai ular di dalamnya. Karena tidak tahu ada ular di dalamnya, anak tersebut memasukkan tangannya ke dalam lubang. Ular yang marah tersebut menggigit tangan anak itu dan ia langsung jatuh pingsan dikarenakan kerasnya bisa ular tersebut.

[31] Sewaktu orang tua anak itu mengetahui ia digigit ular, mereka mengangkatnya dan membawanya kepada sang petapa. Setelah meletakkannya di kaki petapa tersebut, mereka berkata, “Bhante, orang suci tahu akan obat-obatan dan mantra; tolong obati anak kami.”—“Saya tidak tahu tentang obat-obatan, saya tidak memiliki kemampuan gaib seperti mantra.”—“Anda adalah seorang yang suci.” “Bhante, kasihanilah anak ini, dan buatlah pernyataan kebenaran.” “Baiklah,” kata petapa itu, “saya akan membuat satu pernyataan kebenaran.”
Kemudian dengan meletakkan tangannya di atas kepala Yañña-datta, ia mengucapkan bait pertama berikut ini:—

“Tujuh hari dengan hati yang tulus
Saya menjalani hidup suci,
hanya menginginkan kebajikan:
Sejak itu, selama lima puluh tahun ke depan,
Belajar sendiri, saya mengatakannya,
Di sini, saya tinggal dengan terpaksa:
Semoga kebenaran ini membuat Anda
berada dalam keadaan yang baik:
Bisa itu menjadi tawar dan anak ini bangun kembali!”
Tidak lama setelah pernyataan kebenaran ini diucapkan, racun itu keluar dari dada Yañña-datta dan jatuh ke tanah. Anak itu membuka matanya, dan sewaktu melihat orang tuanya, ia berteriak, “Ibu!” kemudian berpaling dan berbaring kaku. Dīpāyana Hitam berkata kepada ayah dari anak itu, “Lihatlah, saya telah menggunakan kekuatanku; sekarang giliranmu.” Ia menjawab, “Jadi saya akan membuat pernyataan kebenaran,” dan dengan meletakkan tangannya di dada anaknya, ia mengucapkan bait kedua berikut ini:

“Jika saya tidak mempedulikan jumlah dalam dana,
Semua kesempatan datang dengan hati terhibur,
[32] tetapi orang baik dan bijak tidak mengetahui
Diriku melakukan pengekangan diri yang ketat;
bahwa saya memberikannya itu dengan terpaksa,
Semoga kebenaran ini membuat Anda
berada dalam keadaan yang baik:
Bisa itu menjadi tawar dan anak ini bangun kembali!”
Setelah membuat pernyataan kebenaran ini, racun tersebut keluar dari punggung anak itu dan jatuh ke tanah. Anak itu duduk, tetapi belum mampu berdiri. Kemudian ayahnya berkata kepada ibunya, “Istriku, saya telah menggunakan kekuatanku, sekarang adalah giliranmu untuk membuat anak kita dapat berdiri dan berjalan kembali.” Ia membalas, “Saya memang mempunyai kebenaran yang ingin diucapkan, tetapi saya tidak dapat melakukannya di hadapanmu.” “Istriku,” katanya, “buatlah anak kita sehat kembali apapun caranya.” Ia menjawab, “Baiklah,” dan pernyataan kebenaran dirinya diucapkan dalam bait ketiga berikut:

“Ular yang menggigitmu hari ini
Di dalam lubang sana, anakku,
Dan ayahmu ini, saya katakan, adalah
Tidak ada bedanya bagi diriku.
Semoga kebenaran ini membuat Anda
berada dalam keadaan yang baik:
Bisa itu menjadi tawar dan anak ini bangun kembali!”
[33] Tidak lama setelah pernyataan kebenaran ini diucapkan, kemudian semua racun dari ular berbisa tersebut keluar dari tubuh anaknya dan jatuh ke tanah. Yañña-datta bangun kembali dengan keadaan tubuh yang telah bersih dari racun ular tersebut, dan ia mulai bermain kembali.
Ketika anaknya telah sehat kembali, Maṇḍavya menanyakan apa yang ada di dalam pikiran Dīpāyana dengan mengucapkan bait keempat berikut ini:

“Mereka, yang hatinya tenang dan terkendali,
meninggalkan kehidupan duniawi,
Menyelamatkan Kaṇha, semuanya dengan tulus;
Apa yang menyebabkan Anda mundur, Dīpāyana, dan mengapa
Tidak mau memasuki jalan menuju ke kesucian?”
Untuk menjawab ini, ia mengucapkan bait kelima berikut:

“Ia meninggalkan kehidupan duniawi,
dan kemudian kembali lagi;
“Seorang yang bodoh, orang dungu!”
sehingga orang mungkin berpikir:—
Ini dan itu yang membuatku mundur,
Demikian saya melewati jalan suci
meskipun kurang akan keinginan,
Alasan mengapa saya dapat berbuat dengan baik, adalah ini—
21Terpujilah orang bijak yang tinggal di kediaman orang baik.”
Setelah demikian menjelaskan pemikirannya sendiri, ia bertanya kepada Maṇḍavya lagi dalam bait keenam berikut ini:

[34] “Rumahmu ini seperti tempat umum22,
Makanan dan minuman tersedia:
Orang bijak, pengembara, brahmana ada di sini
Untuk melegakan dahaga dan rasa lapar.
Apakah ini dikarenakan Anda takut akan sesuatu,
tetap Memberikan dana, tetapi terpaksa?”
Kemudian Maṇḍavya menjelaskan tentang pemikirannya dalam bait ketujuh berikut ini:

“Bhikkhu dan para seniornya adalah orang suci,
Yang memberikan sesuatu secara cuma-cuma
Dan saya hanya mengikuti dengan penuh hati-hati
Cara hidup nenek moyang kami;
Saya menjadi sedikit berkurang moralnya
Saya memberikan sesuatu tidak dengan rela.”
Setelah mengatakan ini, Maṇḍavya menanyakan satu pertanyaan kepada istrinya dalam perkataan bait kedelapan ini:

[35] “Ketika seorang gadis muda,
dengan indera yang belum berkembang,
Saya membawamu pulang
dari rumahmu untuk menjadi istriku,
Anda tidak mengatakan ketidaksukaan apapun saat itu,
Bagaimana Anda menjalani hidup ini tanpa cinta.
Kemudian mengapa, O wanita yang cantik,
Anda tetap berada di sini
Dan tinggal denganku dalam cara
yang tidak menyenangkan ini?”
Dan ia membalasnya dengan mengucapkan bait kesembilan berikut ini:

“Ini bukanlah adat dalam keluarga
Bagi seorang wanita yang telah menikah
untuk memiiki seorang pasangan yang baru,
Tidak akan pernah selamanya; dan adat ini akan Kupatuhi,
kalau tidak saya akan disebut sebagai
orang yang menurunkan moral orang lain.
Itulah rasa takut akan hal yang demikian
yang membuatku Tetap berada di sini
dan tinggal denganmu dalam cara
yang tidak menyenangkan ini.”
[36] Ketika hal ini dikatakan, sesuatu terlintas dalam pikirannya—“Rahasiaku telah kuberitahukan kepada suamiku, rahasia yang sebelumnya tidak pernah diberitahukan! Ia akan menjadi marah dengan diriku: saya akan memohon maafnya di hadapan petapa ini, tempat kami mencurahkan hati.”
Dan untuk terakhir kalinya, ia mengucapkan bait kesepuluh berikut ini:

“Sekarang saya telah mengatakan
apa yang seharusnya tidak kukatakan:
Demi kebaikan anak kita,
mohon maafkanlah diriku.
Tidak ada yang lebih kuat
dari cinta kasih orang tua di sini;
Yañña-datta kita hidup kembali,
yang tadinya sudah mati!”
Maṇḍavya berkata, “Bangunlah, Wanita. Saya memaafkanmu. Mulai saat ini jangan bersikap kasar kepadaku, saya tidak akan membuatmu bersedih.”

Dan Bodhisatta berkata, dengan menyapa Maṇḍavya, “Dalam mengumpulkan hasil dari perbuatan jahat, dan tidak percaya ketika Anda memberi sesuatu secara cuma-cuma, perbuatan itu adalah benih yang nantinya akan berbuah, dalam hal ini lah Anda telah berbuat salah. Untuk masa yang akan datang nantinya, percayalah akan jasa kebajikan dari memberikan dana, dan lakukanlah itu.”

Ia pun berjanji melakukan hal tersebut, dan kemudian ia berkata kepada Bodhisatta, “Bhante, Anda juga telah melakukan kesalahan ketika menerima pemberian kami di saat menjalani jalan kesucian di luar kemauan Anda. Agar perbuatan Anda membuahkan hasil baik yang berlimpah, jalanilah kehidupan suci di masa yang akan datang ini dengan hati yang tenang dan murni, penuh dengan kebahagiaan dalam pencapaian jhana.”

Kemudian mereka meminta izin pergi dari Sang Mahasatwa dan pulang.

Sejak saat itu, sang istri menjadi mencintai suaminya. Maṇḍavya dengan hati yang tenang memberikan dana dengan penuh keyakinan.

Bodhisatta yang menghilangkan ketidaksediaannya, mulai mengembangkan kesaktian melalui pencapaian meditasi jhana, dan muncul di alam Brahma.
____________________

Uraian ini selesai dan Sang Guru memaparkan kebenaran: (Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang tadinya menyimpang ke jalan yang salah tersebut mencapai tingkat kesucian sotapanna:) dan Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini:—“Pada saat itu, Ananda adalah Maṇḍavya, [37] Visākhā adalah istrinya, Rahula adalah anaknya, Sāriputta (Sariputta) adalah Maṇḍavya Pasak, dan saya sendiri adalah si Dīpāyana Hitam.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com