Sariputta | Suttapitaka | GIJJHA-JĀTAKA Sariputta

GIJJHA-JĀTAKA

Gijjhajātaka (Ja 427)

[483] “Terbentuk dari kayu-kayu yang besar,” danseterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru tentang seorang bhikkhu yang sulit dinasihati. Dikatakan bahwasanya ia berasal dari keluarga terpandang. Meskipun ia telah ditahbiskan di dalam ajaran yang membawa pembebasan dan selaludinasihati demikian oleh para ācariya (guru)235, upajjhāya236, dan rekan-rekannya sesama siswa yang menapaki kehidupan suci:
“Demikianlah cara Anda untuk maju dan mundur; demikianlah cara melihat objek dan membuangnya; demikianlah cara menjulurkan lengan dan menariknya kembali; demikianlah cara
mengenakan jubah dalam dan jubah luar; demikianlah cara memegang patta, dan ketika Anda telah menerima derma makanan yang cukup untuk mempertahankan kelangsungan
hidup, setelah merenungkannya, demikianlah cara menyantapnya, dengan tetap mengendalikan semua indra;sewaktu makan, Anda harus menunjukkan sikap rendah hati dan melatih kewaspadaan; Anda harus mengetahui kewajiban terhadap para bhikkhu yang datang dan pergi dari dan ke wihara; inilah empat belas khandakavattāni, dan inilah delapan puluh mahāvattāni yang sepatutnya dijalankan; inilah tiga belas latihan dhutaṅga ; semuanya ini harus dilaksanakan dengan saksama.” Akan tetapi, ia adalah orang yang sulit dinasihati dan tidak sabar, tidak menjalankan peraturan dengan hormat, dan tidak mau mendengarkan nasihat mereka, dengan berkata, “Saya tidak mengecam kalian demikian. Mengapa kalian berbicara demikian kepadaku? Saya pasti tahu mana yang baik dan buruk untuk diriku.” Kemudian para bhikkhu yang mendengar tentang sifatnya yang sulit dinasihati ini mulai membicarakan tentangnya di dalam balai kebenaran. Sang Guru datang dan menanyakan mereka apa yang sedang dibicarakan, dan kemudian memanggil bhikkhu itu, bertanya, “Apakah itu benar, Bhikkhu, bahwasanya Anda adalah orang yang sulit dinasihati?” Dan ketika ia menjawab bahwa itu benar adanya, Sang Guru berkata, “Bhikkhu, setelah
Anda ditahbiskan di dalam ajaran yang sangat luar biasa ini, yang membawa pembebasan,

[484] mengapa Anda tidak mau mendengar ucapan dari para ācariyamu? Di kehidupan sebelumnya juga, Anda tidak mematuhi perintah dari orang bijak, dan menjadi hancur berkeping-keping dihantam oleh angin veramba.” Dan berikut ini Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala Bodhisatta terlahir sebagai seekor burung hering di Gunung Gijjhakūṭa. Kala itu, anaknya, Supatta yang merupakan raja dari para burung hering, tumbuh kuat dan sehat,
memiliki pengikut berjumlah ribuan burung hering, dan ia yang memberi makan kepada orang tuanya. Dikarenakan memiliki kekuatan yang demikian, ia terbiasa terbang ke tempat yang
jauh. Jadi ayahnya menasihati dirinya, dengan berkata, “Anakku, Anda tidak boleh pergi melewati tempat-tempat anu.” Ia berkata, “Baiklah,” tetapi pada suatu hari, ketika hari hujan, ia terbang dengan burung hering lainnya, dengan meninggalkan yang lambat di belakang, melewati batas yang telah diperingatkan tersebut dan masuk ke dalam wilayah kekuasaan angin veramba, dan menjadi hancur berkeping-keping.

Sang Guru dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna mengilustrasikan kejadian ini dengan mengucapkan bait-bait kalimat berikut:

Terbentuk dari kayu-kayu yang besar,
sebuah jalan lama menuntun ke tempat yang sangat
tinggi, tempat seekor anak burung hering yang memberi
makan kepada orang tuanya.
Memiliki sayap yang sehat dan kuat,
ia selalu membawakan makanan untuk mereka;

Ketika ayahnya melihat ia terbang tinggi dan berkeliaran ke tempat yang sangat jauh, demikian ia berkata,

“Anakku, ketika Anda tidak bisa melihat dengan
jelas jalanmu bagian bumi bulat yang dibatasi oleh
lautan, janganlah pergi melewatinya,
melainkan cepatlah kembali, saya mohon.”

Kemudian raja dari para burung hering ini semakin
mempercepat terbangnyadan melewati batas itu,
dengan pandangan yang tajam,
ia melihat di bawah hutan dan di atas gunung:
Dan seperti yang dikatakan ayahnya, bumi terlihat
di tengah lautan dalam bentuk belahan yang bulat.

Ketika ia telah terbang melewati batas ini,
meskipun ia adalah seekor burung yang kuat,
hembusan angin yang sangat kuat membuatnya terbang
menuju kematian yang belum waktunya,
tak berdaya mengatasi hantaman angin badai tersebut.

[485] Demikianlah burung itu menunjukkan bahwa
ketidakpatuhan menjadi fatal bagi ia yang mengikuti
keinginannya sendiri:

Demikianlah ia akan mati, yang tidak mendengar ucapan
dari orang bijak di masa lampau, yang tidak
menghiraukan peringatan dari orang bijak,
seperti anak burung hering yang tidak mendengarkan
suara kebijaksanaan, dan tidak menghiraukan batasan
yang telah dibuat, karena kesombongannya.

[486] “Demikianlah, Bhikkhu, janganlah bertindak seperti burung hering tersebut, tetapi laksanakanlah nasihat dari para ācariya.” Dan setelah dinasihati oleh Sang Guru demikian ini, ia
pun menjadi patuh.

Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka setelah menyelesaikan uraian ini:
“Burung hering yang tidak patuh adalah bhikkhu yang sulit dinasihati ini, dan saya sendiri adalah ayah dari burung hering tersebut.

235 Ada empat jenis guru: guru pabbajā, yang menahbiskan seseorang menjadi sāmaṇera;
guru upasampadā, yang membacakan mosi/usul dan keputusan dalam upacara
upasampadā; guru dhamma, yang mengajarkan bahasa Pali dan kitab suci; guru nissaya,
yang kepadanya seseorang hidup bersandar.
236 guru yang melantik seseorang menjadi bhikkhu, guru pemberi sila kebhikkhuan.


Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com