Sariputta | Suttapitaka | CETIYA-JĀTAKA Sariputta

CETIYA-JĀTAKA

Cetiyajātaka (Ja 422)

“Kebenaran yang dilukai dapat,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berdiam di Jetavana, tentang Devadatta yang ditelan oleh bumi.

Pada hari itu, para bhikkhu sedang membahas di dalam balai kebenaran tentang bagaimana Devadatta telah berkata tidak benar, ditelan bumi dan terlahir di Alam Neraka Avīci.

Sang Guru datang dan ketika mendengar pokok bahasan mereka, Beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya ia ditelan oleh bumi,” dan kemudian Beliau menceritakan kisah masa lampau.
____________________

Dahulu kala, pada kalpa pertama, terdapat seorang raja yang bernama Mahāsammata (Mahasammata) yang usia kehidupannya selama asaṅkheyya224. Putranya bernama Roja, Putra dari Roja bernama Vararoja, kemudian secara berurutan adalah Kalyāṇa, Varakalyāṇa, Uposatha, Mandhātā, Varamandhātā, Cara, Upacara, yang juga dipanggil dengan Apacara.

Raja Mahasammata memerintah Kerajaan Ceti, yang terdapat di Koota Sotthivati. Ia memiliki empat kekuatan gaib—ia dapat berjalan dan melayang di angkasa; ia memiliki empat makhluk dewata di empat penjuru, yang memiliki pedang, untuk menjaganya; badannya mengeluarkan aroma wangi kayu cendana; mulutnya mengeluarkan aroma wangi bunga teratai.

Pendeta kerajaannya bernama Kapila. Adik dari brahmana ini, Korakalamba, dahulu adalah teman main raja dan mereka dididik bersama oleh guru yang sama.

Ketika Apacara masih menjadi pangeran, [455] ia berjanji untuk menjadikan Korakalamba sebagai pendeta kerajaannya jika ia naik takhta menjadi raja. Setelah ayahnya meninggal, ia menjadi raja. Akan tetapi, ia tidak bisa memberhentikan Kapila dari jabatannya sebagai pendeta kerajaan. Dan ketika Kapila datang untuk melayaninya, raja menunjukkan kehormatan yang istimewa kepada dirinya.

Brahmana tersebut mengamati hal ini dan berpikir bahwa raja akan dapat memerintah kerajaannya dengan baik bersama para menteri yang usianya sama dengan dirinya, dan berpikir untuk memohon persetujuan dari raja menjadi seorang petapa, maka ia berkata, “Wahai Paduka, saya sudah tua; saya mempunyai seorang putra di rumah, jadikanlah ia sebagai pendeta kerajaan dan saya akan menjadi seorang petapa.” Ia mendapat persetujuan dari raja, dan putranya menjadi pengganti dirinya. Kemudian ia pergi ke taman raja, menjadi seorang petapa, memperoleh kesaktian melalui meditasi (jhana) dan tinggal di sana, dekat dengan putranya.

Korakalamba memendam dendam terhadap abangnya karena tidak memberikan jabatannya sebagai pendeta kerajaan kepada dirinya. Suatu hari, raja bertanya kepada dirinya dengan pembicaraan yang ramah, “Korakalamba, Anda tidak menjadi pendeta kerajaan?” “Tidak, Paduka, abang saya yang mendapatkannya.” “Bukankah abangmu menjadi seorang petapa sekarang?” “Iya, tetapi ia memberikan jabatannya kepada putranya.” “Kalau begitu, ambil alih saja jabatannya.” “Wahai Paduka, tidaklah mungkin bagi saya untuk menyingkirkan abangku sendiri dan mengambil alih jabatan yang sudah turun temurun.” “Kalau begitu, saya akan menjadikanmu sebagai yang senior (lebih tua) dan yang satunya lagi sebagai yang junior (lebih muda).” “Bagaimana caranya, Paduka?” “Dengan suatu kebohongan225.” “Paduka, apakah Anda tidak tahu bahwa abangku adalah seorang yang suci, yang diberkati dengan kekuatan gaib yang hebat? Ia dapat menipumu dengan ilusinya; ia dapat menghilangkan keempat malaikat pelindungmu; ia dapat membuat seolah-olah aroma yang sangat bau keluar dari badan dan mulutmu; ia akan membuatmu turun dari angkasa dan berdiri di atas tanah; Anda akan menjadi seperti ditelan oleh bumi dan tidak akan dapat melakukan apa yang Anda inginkan.” “Jangan khawatir, saya akan dapat mengatasinya.” “Kapan Anda akan melakukannya, Paduka?” [456] “Pada hari ketujuh, mulai dari hari ini.”

Beritanya tersebar di seluruh kota, “Raja akan menjadikan yang senior sebagai junior (dan sebaliknya) dengan suatu kebohongan, dan akan memberikan jabatan itu kepada yang senior: seperti apakah kebohongan itu? Apakah ia berwarna biru, kuning atau yang lainnya?” Orang-orang berpikir dengan keras akan masalah ini. Dikatakan bahwasanya itu adalah masa ketika dunia (hanya) mengatakan kebenaran; orang-orang tidak tahu apa arti dari kata ‘kebohongan’.

Putra dari pendeta kerajaan itu mendengar berita tersebut dan memberi tahu ayahnya, “Ayah, orang-orang mengatakan bahwa raja akan membuatku menjadi yang junior dan memberikan jabatan ini kepada pamanku.” “Anakku, raja tidak akan bisa mengambil jabatan itu dari kita, bahkan dengan suatu kebohongan. Kapan ia akan melakukannya?” “Pada hari ketujuh, mulai dari hari ini, kata mereka.” “Beri tahu saya di saat waktunya tiba.”

Pada hari ketujuh, rombongan orang banyak berkumpul di halaman istana dengan duduk berbaris-baris, berharap untuk melihat sebuah ‘kebohongan’. Pendeta muda itu pergi memberi tahu ayahnya. Raja telah siap dengan dengan pakaian kebesarannya, ia muncul dan berdiri melayang di halaman istana, di tengah-tengah kumpulan orang banyak itu.

Petapa itu datang melalui angkasa, menebarkan alas duduk kulitnya di hadapan raja, duduk di takhtanya di udara, dan berkata, “Wahai Paduka, kebohongan adalah perusakan yang menyedihkan terhadap kebajikan, kebohongan akan menyebabkan kelahiran kembali di empat alam rendah; seorang raja yang membuat suatu kebohongan akan menghancurkan kebenaran, dan dengan menghancurkan kebenaran, ia juga menghancurkan dirinya sendiri,” dan mengucapkan bait pertama berikut:—

Kebenaran yang dilukai dapat sangat melukai,
dan membalas dengan luka;
Oleh karena itu, kebenaran jangan pernah dilukai,
kalau tidak, keburukan akan menghampirimu.
[457] Menasihatinya lebih lanjut lagi, ia berkata, “Raja yang mulia, jika Anda membuat suatu kebohongan maka keempat kekuatan gaibmu akan hilang,” dan ia mengucapkan bait kedua:—
Kekuatan gaib hilang dan
meninggalkan orang yang berbohong,
aroma yang bau keluar dari mulutnya,
ia tidak dapat melayang di udara:
Ia yang menjawab pertanyaan dengan
kebohongan yang direncanakan.
Mendengar ini, raja dalam ketakutannya melihat kepada Korakalamba. Ia berkata, “Jangan takut, Paduka. Bukankah telah kuberitahukan tentang ini kepadamu dari awal?” dan seterusnya.

Raja tetap mengemukakan pernyataannya meskipun ia mendengar perkataan Kapila, “Tuan, Anda adalah yang lebih muda (junior), dan Korakalambaka adalah yang lebih tua (senior).” Di saat ia mengucapkan kebohongan ini, keempat dewata pelindung itu mengatakan mereka tidak akan melindungi seorang pembohong yang demikian, membuang pedang mereka di bawah kaki raja dan pergi menghilang; mulut raja berbau seperti telur busuk dan aroma tubuhnya seperti saluran selokan air yang terbuka, dan ia terjatuh ke tanah (bumi), demikianlah keempat kekuatan gaibnya lenyap.

Petapa itu berkata, “Paduka, jangan takut. Jika Anda bersedia mengatakan kebenaran, saya akan mengembalikan semuanya,” dan kemudian ia mengucapkan bait ketiga berikut:—

Satu kata kebenaran, dan semua kekuatanmu, wahai raja,
akan Anda dapatkan kembali:
Kebohongan akan membuatmu tetap terbenam
di dalam tanah Kerajaan Ceti.
[458] Ia berkata, “Lihatlah, Paduka, keempat kekuatan gaibmu telah hilang karena kebohonganmu. Pertimbangkanlah, karena masih mungkin untuk mengembalikan semua itu sekarang.” Tetapi raja menjawab, “Anda ingin menipuku dalam hal ini,” dan kemudian ia mengucapkan kebohongan yang kedua, ia pun terbenam masuk ke dalam tanah sampai menutupi mata kakinya. Kemudian brahmana itu berkata sekali lagi, “Pertimbangkanlah, wahai raja yang mulia,” dan mengucapkan bait keempat berikut:—
Kekeringan mendatangi dirinya di waktu hujan,
dan hujan mendatanginya di waktu kering,
ia yang menjawab pertanyaan
dengan kebohongan yang direncanakan.
Kemudian sekali lagi ia berkata, “Dikarenakan kebohonganmu, Anda terbenam masuk ke dalam tanah yang menutupi sampai mata kaki. Pertimbangkanlah kembali, wahai raja yang mulia,” dan mengucapkan bait kelima berikut:—

Satu kata kebenaran, dan semua kekuatanmu, wahai raja,
akan Anda dapatkan kembali:
Kebohongan akan membuatmu tetap terbenam
di dalam tanah Kerajaan Ceti.
Akan tetapi, untuk ketiga kalinya raja berkata, “Anda adalah yang junior dan Korakalamba adalah yang senior,” dan setelah mengucapkan kebohongan ini, ia terbenam ke dalam tanah sampai menutupi lututnya. Sekali lagi brahmana itu berkata, “Pertimbangkanlah kembali, wahai raja yang mulia,” dan mengucapkan dua bait kalimat berikut:—

Wahai raja, lidahnya akan bercabang,
seperti seekor ular yang licik,
ia yang menjawab pertanyaan
dengan kebohongan yang disengaja.
Satu kata kebenaran, dan semua kekuatanmu, wahai raja,
akan Anda dapatkan kembali:
Kebohongan akan membuatmu tetap terbenam
di dalam tanah Kerajaan Ceti.
sambil menambahkan, “Bahkan sekarang semuanya masih dapat dikembalikan.” Raja, yang tidak memedulikan perkataannya ini, mengulangi mengucapkan kebohongan untuk keempat kalinya, “Anda adalah yang junior, Tuan, dan Korakalamba adalah yang senior,” [459] dan setelah kata-kata ini diucapkan, ia terbenam masuk ke dalam tanah sampai menutupi pinggulnya.

Kemudian brahmana itu berkata lagi, “Pertimbangkanlah kembali, wahai raja yang mulia,” dan mengucapkan dua bait kalimat berikut:—

Wahai raja, ia akan menjadi seperti seekor ikan,
dan tidak memiliki lidah,
ia yang menjawab pertanyaan
dengan kebohongan yang disengaja.
Satu kata kebenaran, dan semua kekuatanmu, wahai raja,
akan Anda dapatkan kembali:
Kebohongan akan membuatmu tetap terbenam
di dalam tanah Kerajaan Ceti.
Untuk kelima kalinya raja mengulangi mengucapkan kebohongan itu, dan setelah ia mengucapkannya, ia terbenam masuk lebih dalam lagi sampai menutupi lubang pusarnya.

Brahmana itu sekali lagi memohon kepadanya untuk mempertimbangkannya kembali, dan mengucapkan dua bait kalimat berikut:—

Hanya anak perempuan yang didapatkan olehnya,
tidak akan ada anak laki-laki,
Ia yang menjawab pertanyaan
dengan kebohongan yang disengaja.
Satu kata kebenaran, dan semua kekuatanmu, wahai raja,
akan Anda dapatkan kembali:
Kebohongan akan membuatmu tetap terbenam
di dalam tanah Kerajaan Ceti.
Raja sama sekali tidak memedulikannya, dan dengan mengulangi mengucapkan kebohongan itu untuk keenam kalinya, ia terbenam lebih dalam lagi sampai menutupi dadanya.

Brahmana memohon kepada dirinya sekali lagi, mengucapkan dua bait kalimat berikut:—

Anak-anaknya tidak akan tinggal bersamanya,
mereka semua akan pergi,
ia yang menjawab pertanyaan
dengan kebohongan yang disengaja.
Satu kata kebenaran, dan semua kekuatanmu, wahai raja,
akan Anda dapatkan kembali:
Kebohongan akan membuatmu tetap terbenam
di dalam tanah Kerajaan Ceti.
Dikarenakan persahabatannya dengan teman yang jahat, ia tetap tidak memedulikan kata-kata itu, dan mengulangi mengucapkan kebohongan yang sama untuk ketujuh kalinya. Dan kemudian bumi terbelah, api dari Alam Neraka Avīci menyembur keluar dan menangkapnya.

[460] Terbukti perkataan dari orang suci,
raja yang tadinya dapat berjalan melayang di udara,
sekarang hilang ditelan bumi di hari penobatannya.
Orang bijak sama sekali tidak menyetujuinya,
di saat nafsu keinginan menguasai hati seseorang:
Ia yang bebas dari kebohongan, yang hatinya bersih,
maka semua yang dikatakannya adalah benar dan pasti.
Itu adalah dua bait kalimat yang diucapkan oleh Ia Yang Sempurna Kebijaksanaan-Nya.

____________________
Kumpulan orang banyak itu dalam ketakutan berkata, “Raja Ceti mencerca orang suci, dan berbohong, maka ia masuk ke Alam Neraka Avīci.” Kelima putra raja mendatangi brahmana itu dan berkata, “Jadilah penolong kami.” Brahmana itu menjawab, “Ayah kalian menghancurkan kebenaran, ia berbohong dan mencerca orang suci. Oleh karena itu, ia masuk ke Alam Neraka Avīci. Jika kebenaran dihancurkan, ia akan hancur. Kalian tidak boleh tinggal di sini.”

Kepada yang paling tua, ia berkata, “Anakku, tinggalkanlah kota ini melalui gerbang timur dan terus berjalan lurus dari sana: Anda akan melihat seekor gajah putih besar yang berbaring menyentuh bumi dengan tujuh tumpuan226: Itu yang akan menjadi tanda bagimu untuk mendirikan sebuah kota dan tinggal di sana, dan nama kota itu akan menjadi Hatthipura.”

Kepada pangeran yang kedua, ia berkata, “Anda pergi melalui gerbang selatan dan lurus terus dari sana sampai Anda melihat seekor kuda besar yang benar-benar putih: Itu yang akan menjadi tanda bagimu untuk mendirikan sebuah kota dan tinggal di sana, dan nama kota itu akan menjadi Assapura.”

Kepada pangeran yang ketiga, ia berkata, “Anda pergi melalui gerbang barat dan lurus terus dari sana sampai Anda melihat seekor singa yang berbulu lebat: Itu yang akan menjadi tanda bagimu untuk mendirikan sebuah kota dan tinggal di sana, dan nama kota itu akan menjadi Sīhapura.

Kepada pangeran yang keempat, ia berkata, “Anda pergi melalui gerbang utara dan lurus terus dari sana sampai Anda melihat sebuah bingkai roda227, yang terbuat dari permata: Itu akan menjadi tanda [461] bagimu untuk mendirikan sebuah kota dan tinggal di sana, dan namanya akan menjadi Uttarapañcāla.”

Kepada pangeran yang kelima, ia berkata, “Anda tidak boleh tinggal di sini, bangunlah sebuah stupa yang besar di kota ini, keluarlah melalui gerbang barat laut dan lurus terus dari sana sampai Anda melihat dua buah gunung yang saling berdempetan dan mengeluarkan suara daddara : Itu akan menjadi tanda bagimu untuk mendirikan sebuah kota dan tinggal di sana, dan nama kota itu akan menjadi Daddapura.”

Kelima pangeran itu berangkat, dan dengan mengikuti petunjuk tanda-tanda tersebut, mereka mendirikan kota dan tinggal di tempat masing-masing.
____________________

Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru berkata, “Demikianlah, Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya Devadatta berbohong dan terbenam masuk ke dalam tanah (bumi),” kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Raja Ceti adalah Devadatta, dan Brahmana Kapila adalah saya sendiri.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com