Sariputta | Suttapitaka | SUMAṄGALA-JĀTAKA Sariputta

SUMAṄGALA-JĀTAKA

Sumaṅga­la­jātaka (Ja 420)

“Sadar akan perasaan marah,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan ini ketika berdiam di Jetavana, tentang nasihat kepada seorang raja.

Di dalam kisah ini, atas permintaan raja itu, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________

Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putranya.

Ketika dewasa, ia menjadi raja setelah ayahnya meninggal, dan ia memberikan derma yang berlimpah ruah.

Ia memiliki seorang tukang taman yang bernama Sumaṅgala (Sumangala).

Seorang Pacceka Buddha keluar dari Gua Nandamūla dengan tujuan berpindapata, tinggal di dalam taman kerajaan di Benares.

Keesokan harinya, ia pergi ke kota untuk berpindapata. Raja yang melihatnya, menjadi senang, mempersilakannya masuk ke dalam istana dan duduk di takhta, melayaninya dengan mempersembahkan berbagai jenis makanan lezat, baik makanan utama maupun makanan pendamping, dan mendapatkan ucapan terima kasih darinya.

Merasa senang karena Pacceka Buddha itu akan tinggal di dalam tamannya, ia mendapatkan persetujuannya dan mengantarnya kembali ke sana.

Sehabis menyantap sarapan pagi, raja pergi ke sana sendirian dan mengatur tempat tinggalnya, dan memberikan Sumangala, tukang taman, kepadanya sebagai pelayannya dan kembali ke kota. Setelah itu, Pacceka Buddha tersebut mendapatkan makanannya secara terus-menerus dari istana dan tinggal di sana untuk waktu yang lama, dilayani penuh hormat oleh Sumangala.

Suatu hari ia hendak pergi ke luar dan berkata kepada Sumangala, “Saya akan pergi ke desa anu selama beberapa hari, tetapi saya akan kembali lagi nanti. Beritahukan ini kepada raja.” Sumangala memberi tahu raja.

Setelah beberapa hari tinggal di desa tersebut, Pacceka Buddha itu kembali ke taman pada sore hari di saat matahari terbenam. Sumangala yang tidak mengetahui kedatangannya, sedang pulang ke rumahnya. Pacceka Buddha itu meletakkan patta dan jubahnya, kemudian duduk di batu yang besar setelah berjalan-jalan.

Pada hari itu, beberapa tamu asing datang ke rumah tukang taman itu, dan untuk memberikan mereka makan sup dan kari, Sumangala pergi ke taman untuk berburu rusa. Ia sedang memburu rusa di taman ketika melihat Pacceka Buddha itu dan mengira bahwa ia adalah seekor rusa yang besar. Ia mengarahkan anak panah kepadanya dan memanahnya. Pacceka Buddha membuka penutup kepalanya dan berkata, “Sumangala.”

Dengan sangat terkejut, Sumangala berkata, “Bhante, saya tidak tahu Anda sudah pulang dan memanah Anda, saya mengira Anda adalah rusa. Maafkan saya.” “Baiklah, tetapi apa yang Anda lakukan sekarang? Ayo, cabut anak panah ini.” Ia menurutinya dan mencabut anak panah tersebut. Pacceka Buddha itu merasa sangat kesakitan dan akhirnya parinibbana di sana.

Tukang taman itu berpikir bahwa raja tidak akan memaafkannya jika raja tahu, sehingga ia membawa kabur istri beserta anak-anaknya. Dengan kekuatan gaib, seluruh isi kota mendengar bahwa Pacceka Buddha itu telah parinibbana dan mereka menjadi gelisah.

Keesokan harinya, beberapa orang masuk ke dalam taman, melihat jasad Pacceka Buddha itu dan memberi tahu raja bahwa tukang taman itu melarikan diri setelah membunuhnya. Raja dengan rombongan besarnya memberikan penghormatan selama tujuh hari, kemudian setelah semua upacara itu, ia mengumpulkan tulang belulangnya, membangun cetiya, dan memberikan penghormatan terakhir. Kemudian raja melanjutkan kepemimpinannya dengan benar di kerajaannya.

Setelah satu tahun berlalu, Sumangala bertekad untuk mencari tahu apa yang dipikirkan raja tentang dirinya, ia datang ke sana dan bertanya kepada seorang menteri tentang apa yang dipikirkan raja terhadap dirinya. Menteri itu menjumpai raja dan mengatakan hal yang baik tentang Sumangala di hadapan raja, tetapi raja bertingkah seperti ia tidak mendengarnya. Menteri itu pun tidak mengatakan yang lainnya lagi, ia kemudian mengatakan kepada Sumangala bahwa raja merasa tidak senang dengan dirinya.

Setelah satu tahun berlalu lagi, ia kembali. Dan di tahun ketiga, ia kembali dengan membawa istri serta anak-anaknya.

Menteri itu mengetahui bahwa kemarahan raja telah reda [441], dan dengan meminta Sumangala menunggu di depan istana, ia memberi tahu raja tentang kedatangannya. Raja mempersilakannya masuk dan setelah menyapanya, ia bertanya, “Sumangala, mengapa Anda membunuh Pacceka Buddha itu, orang yang membuatku melakukan perbuatan bajik?” “Wahai Paduka, saya sebenarnya tidak bermaksud membunuhnya, tetapi karena hal ini saya melakukan perbuatan tersebut,” dan menceritakan semuanya.

Raja menyuruhnya agar tidak perlu takut dan meyakinkan dirinya kembali, kemudian menerimanya kembali sebagai tukang taman. Kemudian menteri itu bertanya, “Paduka, mengapa sebelumnya Anda tidak berkata apa pun ketika Anda mendengar sebanyak dua kali tentang perbuatan baik yang dilakukan oleh Sumangala, dan di kali ketiganya mengapa Anda memanggilnya kembali dan memaafkannya?”

Raja berkata, “Tuan, adalah hal yang salah bagi seorang raja untuk melakukan segala sesuatu dengan terburu-buru dalam kemarahannya. Oleh karena itu, saya tidak berkata apa-apa di kali pertama, dan di kali ketiga, ketika merasa tenang, barulah saya memanggil Sumangala,” dan raja mengucapkan bait-bait berikut untuk memaparkan kewajiban seorang raja:—

Sadar akan perasaan marah,
jangan pernah membiarkan raja
mengeluarkan senjatanya:
Hal-hal yang tidak seharusnya terjadi
akan terjadi, karena mengikuti perasaannya.
Sadar akan suasana hatinya yang lebih tenang,
barulah biarkan raja membuat keputusan:
Ketika masalahnya dimengerti,
akan dapat memberikan hukuman yang pantas:
Baik dirinya sendiri maupun orang lain
tidak akan dirugikan,
dengan jelas membedakan yang benar dan salah:
Meskipun ucapannya akan selalu dijalankan,
tetapi kebajikan membuatnya kuat dan merasa yakin.
Kesatria yang bertindak gegabah,
menggunakan senjatanya dengan ceroboh,
hasilnya adalah nama buruk,
dan setelah meninggal akan terlahir di alam neraka,
[442] Mereka yang bertindak sesuai kebenaran,
berbuat, berkata dan berpikir benar,
akan dipenuhi dengan kebaikan,
ketenangan dan ketenaran,
melewati hidup di dua kehidupan dengan selayaknya.
Saya adalah seorang raja, pemimpin dari orang-orangku;
Kemurkaan tidak boleh menguasai tindakanku:
Ketika saya menggunakan pedang untuk berbuat buruk,
akibatnya adalah rasa penyesalan.
[443] Demikianlah raja memaparkan kualitas baiknya di dalam enam bait kalimat di atas. Seluruh isi istana merasa senang dan memuji sifat baiknya dengan berkata, “Kebaikan yang demikian dalam menjalankan moralitas dan sifat sesuai dengan kemuliaanmu.”
Sumangala memberi hormat kepada raja setelah orang-orang di istana berhenti berbicara, dan ia mengucapkan tiga bait kalimat berikut untuk memuji raja:—

Demikian kejayaan dan kekuasaanmu;
Jangan hilangkan itu meskipun hanya satu jam:
Bebas dari rasa marah, bebas dari rasa takut,
pimpinlah kerajaan ini dalam kebahagiaan selama ratusan tahun.
Kesatria, yang dilimpahi dengan semua kebajikan itu,
bertingkah laku sopan dan lembut, tetapi tegas,
memimpin dunia ini dengan benar,
akan terlahir di alam surga
ketika bebas dari kehidupan duniawi ini.
Berkata benar, berbuat benar,
mengambil apa yang menjadi haknya:
Menenangkan penduduk yang bermasalah,
bagaikan awan yang mencurahkan hujan.
____________________

[444] Setelah uraian-Nya yang berhubungan dengan nasihat kepada Raja Kosala ini selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Pccekabuddha tersebut mencapai nibbana, Sumaṅgala (Sumangala) adalah Ānanda, dan raja adalah saya sendiri.”


Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com