Sariputta | Suttapitaka | GANDHĀRA-JĀTAKA Sariputta

GANDHĀRA-JĀTAKA

Gandhārajātaka (Ja 406)

“Enam belas ribu desa yang,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan ini ketika berdiam di Jetavana, tentang peraturan latihan dalam penyimpanan obat-obatan193.

Cerita ini terjadi di Rajagaha.

Ketika Yang Mulia Pilindiyavaccha pergi ke kediaman raja untuk membebaskan keluarga si penjaga taman194, ia membuat istana menjadi emas dengan kekuatan gaibnya, dan orang-orang dalam kegembiraan mereka membawakan kepada sang thera lima jenis obat-obatan.

Ia memberikannya kepada kumpulan anggota Sangha. Maka kumpulan anggota Sangha memiliki banyak obat-obatan, [364] dan setelah menerimanya, mereka memasukkannya ke dalam pot, kendi, dan belanga dengan cara ini dan itu, kemudian meletakkannya.

Orang-orang yang melihat ini berbisik-bisik mengatakan, “Bhikkhu-bhikkhu yang serakah itu sedang menimbun kekayaan di dalam tempat tinggal mereka.”

Sang Guru yang mendengar hal ini, menetapkan peraturan latihan, “Obat-obatan yang diterima untuk bhikkhu-bhikkhu yang sakit harus digunakan dalam kurun waktu tujuh hari.”

Kemudian Beliau berkata, “Para Bhikkhu, bahkan orang bijak di masa lampau, sebelum munculnya Sang Buddha, yang bertahbis menjadi petapa bāhiraka195 dan menjalankan lima latihan moralitas (sila) mencela mereka yang menyimpan garam dan cuka untuk keesokan harinya; sedangkan kalian, yang meskipun telah bertahbis di dalam ajaran yang mengajarkan pembebasan, menimbun (makanan) untuk hari kedua dan ketiga,” dan kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________

Dahulu kala Bodhisatta terlahir sebagai pangeran dari Kerajaan Gandhāra (Gandhara). Sepeninggal ayahnya, ia naik takhta menjadi raja dan memerintah dengan benar.

Kala itu, seorang raja yang bernama Videha memerintah di pusat Kerajaan Videha.

Kedua raja ini tidak pernah bertemu satu sama lain, tetapi mereka adalah teman baik dan saling memercayai.

Pada waktu itu, orang-orang berumur panjang: hidup mereka mencapai empat puluh ribu tahun. Kemudian suatu ketika, pada hari Uposatha di bulan purnama, Raja Gandhara bertekad untuk mengamalkan lima sila, dan di pentas di tengah-tengah tempat duduk kerajaan yang telah dipersiapkan untuknya, dengan melihat ke arah timur dari sebuah jendela yang terbuka, ia duduk sambil memaparkan kebenaran kepada para menterinya.

Pada saat itu, Rāhu196 menutupi cakra bulan yang penuh dan menyinari seluruh langit. Cahaya bulan pun menghilang. Para menteri yang tidak melihat terangnya cahaya bulan memberitahukan raja bahwa bulan dimakan oleh Rāhu. Raja yang melihat ke arah bulan berpikir, “Bulan telah kehilangan sinarnya, dirusak oleh noda (upakkilesa) yang ada di luarnya; sekarang ini rombongan kerajaanku adalah suatu noda, dan saya tidak ingin seperti bulan yang kehilangan cahayanya dikarenakan oleh Rāhu. Saya akan meninggalkan kerajaanku seperti cakra bulan yang bersinar di langit terang dan menjadi seorang petapa. Mengapa saya harus menasihati yang lain? Saya akan pergi mengembara, terpisah dari sanak keluarga, melatih diri sendiri. Itulah tekadku.”

Maka ia berkata, “Lakukanlah [365] sesuka kalian,” dan memberikan kerajaan kepada para menterinya. Ia membagi kerajaannya menjadi dua bagian, Kerajaan Kashmir dan Kerajaan Gandhara. Ia pun menjalani kehidupan suci dan memperoleh kesaktian melalui meditasi jhana, ia melewati masa vassa di daerah pegunungan Himalaya dan terus berlatih meditasi dalam kebahagiaan jhana.

Raja Videha bertanya kepada para saudagar, “Apakah teman saya baik-baik saja?” dan ketika mendengar bahwa ia telah menjadi seorang petapa menjalani kehidupan suci, ia berpikir, “Temanku telah menjalani kehidupan suci, apalah gunanya sebuah kerajaan bagiku?” maka ia pun meninggalkan Kota Mithila, yang luasnya tujuh yojana, dan kerajaannya Videha, yang luasnya tiga ratus yojana, dengan enam belas ribu desa, gudang-gudang harta yang berisi, dan enam belas ribu gadis penari, serta tanpa memikirkan putra dan putrinya, ia pergi ke Himalaya dan menjalani kehidupan suci. Di sana ia hanya memakan buah-buahan, tinggal dalam keadaan yang tenang (kesendirian).

Kedua orang yang menjalani kehidupan yang tenang ini akhirnya bertemu, tetapi tidak saling mengenal, walaupun demikian, mereka hidup bersama menjalani kehidupan mereka yang tenang dalam keakraban. Petapa Videha melayani Petapa Gandhara.

Pada satu hari di malam bulan purnama, selagi mereka duduk di bawah pohon dan membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan kebenaran, Rāhu menutupi cakra bulan di saat ia bersinar terang di langit. Petapa Videha melihat ke atas dan berkata, “Mengapa cahaya bulan hilang?” dan ketika melihat bahwa itu dirusak oleh Rāhu, ia berkata, “Guru, mengapa ia menutupi bulan dan membuatnya menjadi gelap?” Siswaku, itu adalah noda bulan, namanya Rāhu, ia (selalu) mencegahnya untuk bersinar; Dahulu, saya sendiri, yang melihat cakra bulan dirusak oleh Rāhu, berpikir, ‘Cakra bulan ini menjadi gelap dikarenakan noda dari luar, sekarang ini kerajaan adalah suatu noda bagiku, saya akan menjalani kehidupan suci sehingga kerajaan tidak akan membuatku berada dalam kegelapan, seperti yang dilakukan oleh Rāhu kepada cakra bulan.’ Demikian dengan objek tertutupnya cahaya bulan oleh Rāhu ini, saya meninggalkan kerajaanku dan menjalani kehidupan suci sebagai seorang petapa.” “Guru, apakah Anda adalah Raja Gandhara?” [366] “Ya, benar.” “Guru, saya adalah Raja Videha dari Kerajaan Videha dan Kota Mithila. Bukankah kita adalah teman meskipun tidak pernah bertemu satu sama lain?” “Apa yang membuatmu datang ke sini?” “Saya mendengar bahwa Anda telah menjalani kehidupan suci dan saya berpikir, ‘Pastilah ia telah melihat berkah dari kehidupan tersebut,’ dan menggunakan dirimu sebagai objek, meninggalkan kerajaanku untuk menjalani kehidupan suci sebagai seorang petapa.” Sejak saat itu, mereka menjadi semakin dekat dan akrab, dan mereka hanya memakan buah-buahan.

Setelah tinggal lama di sana, mereka turun dari pegunungan Himalaya untuk memperoleh garam dan cuka, dan mereka datang ke sebuah desa perbatasan. Penduduk desa, yang merasa senang dengan kelakuan mereka, memberikan derma makanan kepada mereka dan, setelah mendapatkan persetujuan, membuatkan tempat tinggal untuk bermalam dan sebagainya di dalam hutan, meminta mereka tinggal di sana, dan membangun sebuah balai di dekat jalan yang digunakan mereka untuk bersantap, di sebuah tempat yang menyenangkan. Setelah berkeliling untuk mendapatkan derma makanan di desa perbatasan itu, duduk dan dan menyantap makanan mereka di dalam balai tersebut dan kemudian kembali ke tempat tinggal mereka.

Orang-orang yang memberikan derma makanan kepada mereka, di satu hari meletakkan garam di daun dan memberikannya kepada mereka, kemudian di hari berikutnya memberikan kepada mereka makanan yang tidak ada garamnya.

Pada suatu hari, penduduk desa memberikan mereka banyak garam di dalam sebuah keranjang daun. Petapa Videha mengambil garam itu dan pergi ke tempat Bodhisatta, memberikan secukupnya kepada Bodhisatta pada saat makan dan mengambil secukupnya pula untuk dirinya, kemudian meletakkan sisanya kembali di dalam keranjang daun dan menyimpannya di rerumputan, sambil berkata, “Ini bisa digunakan pada saat tidak ada garam yang didermakan nantinya.”

Kemudian pada suatu hari ketika mereka memperoleh makanan yang tidak ada garamnya, di saat memberikan jatah makanan kepada Gandhara, Videha mengambil garam dari rerumputan itu dan berkata, “Guru, ambillah garam ini.” “Penduduk desa tidak memberikan garam hari ini, dari mana Anda mendapatkannya?” “Guru, penduduk desa memberikan banyak garam kemarin, kemudian saya simpan sisa yang tidak habis, sembari berkata, ‘Ini bisa digunakan pada saat tidak ada garam yang didermakan nantinya.’ ”

Kemudian Bodhisatta mengecamnya dengan berkata, “Wahai, orang dungu, Anda meninggalkan Kerajaan Videha, tiga ratus yojana luasnya, menjalani kehidupan suci dan memperoleh kebebasan dari kemelekatan, dan sekarang Anda malah memelihara kehausan akan garam dan gula.”

Dan demikian mengecamnya, Bodhisatta mengucapkan bait pertama berikut:—

[367] Enam belas ribu desa yang penuh kekayaannya Anda tinggalkan,
berlimpah ruah dalam harta kekayaan.
Tetapi hari ini, Anda menimbunnya kembali di sini!
Videha, yang dikecam demikian, tidak menerima kecaman itu dan menjadi bermusuhan dengannya, kemudian berkata, “Guru, walaupun melihat kesalahanku, tetapi Anda tidak melihat kesalahanmu sendiri. Bukankah Anda meninggalkan kerajaanmu dan menjalani kehidupan sebagai seorang petapa, dengan berkata, ‘Mengapa saya harus menasihati orang lain? Saya akan melatih diri saya sendiri,’ jadi mengapa Anda mengecam saya sekarang ini?”

Demikian ia mengucapkan bait kedua berikut:—

Gandhara dan seluruh wilayah lainnya,
semua kekayaannya, Anda tinggalkan,
dengan tidak lagi memberikan perintah.
Dan hari ini, Anda memberikan perintah kepada diriku!
Mendengarnya berkata demikian, Bodhisatta mengucapkan bait ketiga berikut:—

Kebenaran adalah yang kukatakan,
karena saya tidak menyukai ketidakbenaran:
Kebenaranlah yang kuucapkan setiap kali berkata,
tidak akan kukotori diriku dengan ketidakbenaran.
Petapa Videha, yang mendengar perkataan Bodhisatta tersebut, berkata, “Guru, tidaklah cocok bagi seseorang untuk berbicara untuk membuat orang lain menjadi marah dan kesal, meskipun ia mengatakan kebenarannya: [368] Anda berbicara dengan kasar kepadaku, seolah-olah seperti mencukurku dengan pisau yang tumpul,” dan demikian ia mengucapkan bait keempat berikut:—

Kata-kata apa pun, yang jika diucapkan,
dapat menyebabkan orang lain tersinggung,
maka orang bijak tidak akan mengucapkannya
meskipun besar akibatnya.
Kemudian Bodhisatta mengucapkan bait kelima berikut:—

Biarlah ia yang mendengar ucapanku berkata sesukanya,
atau biarlah ia merasa tersinggung atau tidak,
kebenaranlah yang kuucapkan setiap kali berkata,
tidak akan kukotori diriku dengan ketidakbenaran.
Setelah berkata demikian, Bodhisatta melanjutkan, “Saya tidak bisa setuju denganmu, wahai Ānanda197, seperti seorang kundi198 dengan tanah liat yang mentah: Saya akan selalu memberikan kecaman-kecaman; apa yang menjadi kebenaran, itu yang akan bertahan.” Dan dengan sikap demikian kukuh dalam tindakannya yang seperti kecaman yang diberikan oleh Yang Terberkahi, bagaikan seorang kundi di antara belanga-belanganya, setelah mengolah mereka, tidak hanya mengambil tanah liat yang mentah tetapi juga mengambil belanga yang telah selesai dibuat, demikianlah dengan pemaparan kebenaran dan kecaman-kecaman, ia membuat seseorang menjadi belanga yang selesai dibuat.

Untuk menunjukkan ini kepadanya, ia mengucapkan dua bait kalimat berikut:—

Jika kebijaksanaan dan kebenaran
tidak dilatih untuk berkembang di dalam kehidupan,
maka banyak orang yang akan mengembara tanpa tujuan,
seperti seekor kerbau yang buta.
Tetapi jika kebijaksanaan dan kebenaran
dilatih untuk berkembang di dalam kehidupan,
maka banyak orang yang akan melalui jalan kebajikan,
seperti yang telah dilalui oleh orang-orang suci.
[369] Setelah mendengar ini, Petapa Videha berkata, “Guru, mulai saat ini, teruslah memberikan nasihat (kecaman) kepadaku; Saya telah berbicara dengan perasaan marah dan kesal, maafkanlah saya,” dan setelah memberikan hormat, ia mendapatkan maaf dari Bodhisatta. Kemudian mereka tinggal bersama dalam kedamaian dan kembali ke Himalaya.
Bodhisatta mengajarkan meditasi pendahuluan kasiṇa kepada Petapa Videha. Ia terus melakukannya dan akhirnya memperoleh kesaktian dan pencapaian meditasi. Demikianlah keduanya, dengan tidak terputus dari meditasi, terlahir kembali di alam brahma.
____________________

Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka, “Pada masa itu, Petapa Videha adalah Ānanda, dan Gandhāra (Gandhara) adalah saya sendiri.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com