Sariputta | Suttapitaka | DHAJAVIHEṬHA-JĀTAKA Sariputta

DHAJAVIHEṬHA-JĀTAKA

Vijjā­dhara­jātaka (Ja 391)

“Wajah yang mulia,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berada di Jetavana, tentang pengembaraan-Nya demi kebaikan seluruh dunia.

Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Mahākaṇha-Jātaka166.

Kemudian Sang Guru berkata, “Āvuso, ini bukan pertama kalinya Sang Tatthagata melakukan pengembaraan demi kebaikan dunia,” dan menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________

Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai Dewa Sakka.

Kala itu, seorang tukang sihir dengan menggunakan kekuatan gaibnya datang pada tengah malam dan mencabuli Ratu Benares. Para pelayan wanitanya mengetahui hal ini. Ratu sendiri pergi menjumpai raja dan berkata, “Paduka, seorang laki-laki memasuki ruang kerajaan di tengah malam dan mencabuliku.” “Bisakah Anda menandainya?” “Bisa.” Maka ratu mengambil sebuah mangkuk berisikan gincu warna merah terang (vermiliun), dan ketika laki-laki itu datang pada tengah malam dan hendak pergi setelah bersenang-senang, ratu membuat tanda dengan lima jarinya di punggungnya, dan pada keesokan paginya memberitahukan raja mengenai hal ini. Raja memerintahkan para pengawalnya untuk pergi mencari ke mana saja dan membawa orang yang memiliki tanda itu di punggungnya.

Setelah melakukan perbuatan tidak senonohnya, tukang sihir tersebut berdiri di suatu daerah pekuburan dengan satu kaki menyembah matahari. Pengawal raja melihatnya dan mengepungnya, tetapi ia yang berpikir bahwa tindakannya telah diketahui mereka, [304] menggunakan kekuatan gaibnya melarikan diri lewat udara.

Raja bertanya kepada pengawalnya ketika kembali, “Apakah kalian melihatnya?” “Ya, kami melihatnya.” “Siapa dia?” “Seorang pabbajita167, Yang Mulia.” Setelah melakukan perbuatan tidak senonohnya di malam hari, ia hidup dengan menyamar menjadi seorang pabbajita di siang hari.

Raja berpikir, “Orang ini berkeliaran di siang hari dengan pakaian seorang pabbajita dan berbuat tidak senonoh di malam hari,” jadi karena marah dengan pabbajita tersebut, ia menganut ajaran titthiya dan mengumumkan dengan tabuhan genderang bahwa semua pabbajita harus keluar dari kerajaannya dan para pengawal kerajaan akan menghukum mereka apabila bertemu dengan mereka.

Semua petapa melarikan diri keluar dari Kerajaan Kasi, yang luasnya tiga ribu yojana, menuju ke kerajaan-kerajaan lainnya. Dan tidak ada siapa pun, baik petapa maupun brahmana yang benar, yang memberikan wejangan (Dhamma) kepada penduduk Kerajaan Kasi sehingga orang-orang menjadi liar, tidak memberikan derma, dan enggan menjalankan latihan moralitas. Setelah meninggal, mereka terlahir di alam-alam rendah untuk menerima hukuman dan tidak pernah terlahir di alam surga.

Dewa Sakka, yang melihat tidak adanya dewa baru yang muncul, memindai untuk mencari tahu penyebabnya, dan mengetahui bahwa penyebabnya adalah pengusiran para pabbajita dari kerajaan oleh Raja Benares yang menganut pandangan salah (titthiya) sebagai dampak kemarahannya terhadap seorang tukang sihir. Kemudian ia berpikir, “Selain diriku, tidak ada orang lain yang dapat menghilangkan pandangan salah raja. Saya akan menjadi penolong bagi raja dan para penduduknya,” maka ia pun pergi ke tempat para Pacceka Buddha di Gua Nandimūla dan berkata, “Bhante, berikanlah padaku seorang Pacceka Buddha yang tua, saya ingin mengubah kembali Kerajaan Kasi.” Ia pun mendapatkan seorang Pacceka Buddha yang senior di antara mereka. Sakka membawakan patta dan jubahnya, ia berjalan di depan dan Sakka berjalan di belakangnya, dengan memberikan penghormatan kepadanya.

Dengan menjadi seorang brahmana muda yang berparas elok, ia mengelilingi kota itu dari ujung ke ujung sebanyak tiga kali dan kemudian mendatangi gerbang istana raja dengan berdiri melayang di udara. Mereka memberi tahu raja, “Yang Mulia, ada seorang brahmana muda berparas elok bersama dengan seorang petapa berdiri melayang di udara [305] di depan gerbang istana.” Raja bangkit dari tempat duduknya dan dengan berdiri di dekat jendela, berkata, “Brahmana muda, mengapa Anda, yang berparas elok, berdiri menghormati petapa jelek itu dan membawakan patta dan jubahnya?” dan berbicara demikian kepadanya, raja mengucapkan bait pertama berikut:—

Wajah yang mulia, Anda membungkuk memberi hormat;
Berdiri di belakang seseorang yang kelihatan jelek dan malang:
Apakah ia lebih baik darimu atau sebanding denganmu?
Beritahukanlah kami namamu dan namanya.
Sakka menjawab, “Paduka, petapa selalu menempati kedudukan seorang guru168. Oleh karena itu tidaklah pantas bagi saya untuk menyebutkan namanya, tetapi saya akan memberitahukan namaku kepadamu,” maka ia mengucapkan bait kedua berikut:—

Dewa tidak memberitahukan keturunan dan nama
dari orang suci yang taat dan sempurna dalam ajarannya:
Tetapi bagi diriku sendiri, kusebutkan namaku, Sakka,
raja dewa di Alam Tāvatiṁsā.
Raja yang mendengarnya bertanya dalam bait ketiga berikut mengenai apa berkah dari menghormati seorang petapa:—

Ia yang melihat seorang ariya dengan kebajikan yang sempurna,
dan berjalan di belakangnya dengan membungkuk memberi hormat;
[306] Wahai raja dewa, apa yang diwariskannya,
Berkah apa yang dilimpahkan kepadanya dalam kehidupan berikutnya?
Sakka menjawab dalam bait keempat berikut:—

Ia yang melihat seorang ariya dengan kebajikan yang sempurna,
dan berjalan di belakangnya dengan membungkuk memberi hormat;
Ketenaran (pujian) yang akan diwariskannya
dalam kehidupan ini,
dan di kehidupan berikutnya akan
terlihat jalan menuju ke alam surga.
Raja yang mendengar perkataan Sakka menghilangkan pandangan salahnya, dan dengan perasaan sukacita mengucapkan bait kelima berikut:—

Matahari terbit bersinar kepadaku hari ini,
mata kami telah melihat kemuliaan dewamu:
Orang suci itu terlihat, wahai Sakka,
oleh mata kami, dan banyak kebajikan yang akan kulakukan sekarang.
Sakka, yang mendengarnya memuji gurunya, mengucapkan bait keenam berikut:—

Adalah hal yang baik untuk menghormati yang bijak,
yang dengan pengetahuannya mengajarkan diri kita:
Karena saya dan orang suci telah kembali membuka matamu,
wahai raja, lakukanlah banyak kebajikan.
[307] Mendengar perkataan ini, raja mengucapkan bait terakhir berikut:—
Bebas dari kemarahan, penuh kebaikan dalam setiap pemikiran,
saya akan mendengar bilamana orang datang mengadu:
Akan kuterima nasihatmu dengan baik,
akan kuhilangkan kesombonganku,
dan melayanimu dengan memberikan penghormatan yang layak.
Setelah berkata demikian, raja turun dari istananya itu, memberi hormat kepada Pacceka Buddha dan berdiri di satu sisi. Pacceka Buddha duduk bersila di udara dan berkata untuk memberikan wejangan kepada raja, “Paduka, tukang sihir itu bukanlah seorang petapa: Mulai saat ini, ketahuilah bahwa dunia ini ada nilainya, bahwa ada brahmana dan petapa yang benar, dan oleh karenanya berdanalah, jagalah sila dan laksanakanlah laku Uposatha.”

Demikian halnya juga dengan Sakka, dengan kekuatannya, ia melayang di udara, memberikan wejangan kepada para penduduk, “Mulai saat ini tetaplah waspada,” kemudian ia mengeluarkan pengumuman dengan tabuhan genderang untuk meminta para pabbajita (brahmana dan petapa) yang tadinya lari menyelamatkan diri untuk segera kembali. Kemudian mereka berdua kembali ke kediaman masing-masing. Raja berkukuh dalam menjaga sila dan melakukan kebajikan.

____________________

Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:— “Pada masa itu, Pacceka Buddha mencapai nibanna, raja adalah Ānanda, dan Sakka adalah saya sendiri.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com