Sariputta | Suttapitaka | TUṆḌILA-JĀTAKA Sariputta

TUṆḌILA-JĀTAKA

Tuṇḍilajātaka (Ja 388)

“Sesuatu yang aneh hari ini,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang takut dengan kematian.

Ia lahir di Sāvatthi (Savatthi) dalam sebuah keluarga yang terpandang dan ditahbiskan dalam keyakinannya terhadap ajaran Buddha, tetapi ia takut dengan kematian.

Ketika ia mendengar tentang patahnya dahan pohon atau jatuhnya kayu atau suara burung ataupun hewan lainnya yang berhubungan dengan hal demikian, ia akan ketakutan dengan kematian dan kabur melarikan diri, gemetaran seperti seekor kelinci yang perutnya terluka.

Para bhikkhu di dalam balai kebenaran mulai membicarakan masalah ini, dengan berkata, “Āvuso, mereka mengatakan ada seorang bhikkhu yang takut akan kematian, kabur melarikan diri, gemetaran bahkan ketika ia hanya mendengar suara kecil. Bagi manusia di alam ini, kematian adalah hal yang pasti, kehidupan adalah hal yang tidak pasti; bukankah seharusnya hal ini dipikirkan dengan bijaksana?”

Sewaktu mengetahui bahwa itu adalah pokok pembicaraan mereka, dan bhikkhu itu mengakui bahwa ia takut dengan kematian, Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, ini bukanlah pertama kalinya ia takut dengan kematian,” dan kemudian menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________

Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam kandungan seekor babi. Dan ketika tiba waktunya, babi betina itu melahirkan dua ekor anak babi jantan.

Suatu hari ia membawa keduanya berbaring di dalam kubangan. Seorang wanita desa tua berjalan pulang dengan menggunakan tongkat dari Benares dengan membawa sebuah keranjang yang penuh dengan kapas yang diambilnya dari ladang kapas. [287] Induk babi yang mendengar suara tongkat itu, dikarenakan rasa takut akan kematian, meninggalkan anak-anaknya dan melarikan diri.

Wanita tua itu melihat anak-anak babi tersebut dan dengan menganggap mereka adalah anak-anaknya sendiri, ia meletakkan mereka di keranjangnya dan membawa mereka pulang ke rumahnya. Kemudian ia memberikan nama Mahātuṇḍila (Moncong Besar) kepada babi yang lebih tua dan Cullatuṇḍila (Moncong Kecil) kepada babi yang lebih muda, dan membesarkan mereka layaknya anak-anaknya.

Babi-babi itu pun tumbuh dewasa dan menjadi gemuk. Ketika diminta untuk menjual mereka, wanita tua itu menjawab, “Mereka adalah anak-anakku,” dan menolak untuk menjual mereka.

Pada satu hari perayaan, beberapa orang cabul sedang meminum minuman keras, dan ketika kehabisan daging, mereka berpikir di tempat mana mereka bisa mendapatkan daging lagi. Mengetahui bahwa ada dua ekor babi di rumah wanita tua itu, mereka mengambil uang dan pergi ke sana, kemudian berkata, “Bu, ambillah uang ini dan berikan kami satu ekor babi itu.” Wanita itu berkata, “Cukup, Anak muda, apakah ada orang yang memberikan anaknya kepada pembeli yang akan memakan dagingnya?” dan menolak permintaan mereka. Para pemuda itu berkata, “Bu, babi tidaklah mungkin bisa menjadi anak manusia, berikanlah mereka kepada kami,” tetapi mereka tidak bisa mendapatkannya meskipun telah meminta berulang-ulang kali.

Kemudian mereka membuat wanita tua itu meminum minuman keras, dan ketika ia mabuk, mereka berkata, “Bu, apalah yang akan Anda lakukan dengan babi-babi ini? Ambil dan pakailah uang ini.” Mereka meletakkan kepingan uang di tangannya. Wanita itu menerima uangnya dan berkata, “Saya tidak bisa memberikan Mahātuṇḍila (Mahatundila) kepada kalian, ambil Cullatuṇḍila (Cullatundila) saja.” “Di mana ia berada?” “Di sana, ia berada di semak itu.” “Panggillah ia.” “Saya tidak ada makanan untuknya.” Mereka mengambilkan nasi sebelanga dengan membelinya. Wanita itu mengambilnya, mengisinya ke palungan yang berada di pintu dan menungguinya. Tiga puluh pemuda berdiri dengan jerat di tangan mereka.

Wanita tua itu memanggilnya, “Datanglah ke sini, Cullatundila, datanglah ke sini.” [288] Mahatundila yang mendengarnya, berpikir, “Selama ini ibu tidak pernah memanggil Cullatundila, ia selalu memanggilku duluan. Bahaya pasti akan menimpa kami hari ini.” Ia memberitahukan adiknya, “Dik, ibu memanggilmu. Keluarlah dan cari tahu ada apa.” Ia keluar, dan ketika melihat mereka semua berdiri di palungan, ia berpikir, “Kematian mendatangi diriku hari ini,” dan dikarenakan takut dengan kematian, ia berbalik arah kembali dengan gemetaran kepada abangnya.

Sesudah kembali, ia tetap tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, terus gemetaran. Mahatundila yang melihatnya berkata, “Dik, kamu gemetaran dan berjalan terhuyung-huyung sambil memerhatikan pintu masuk, ada apa?” Ia menjelaskan apa yang dilihatnya dengan mengucapkan bait pertama berikut:

Sesuatu yang aneh hari ini kutakutkan:
Palungnya penuh dan ada ibu di dekatnya;
Orang-orang, dengan jerat di tangan,
juga berdiri di dekatnya:
Untuk melahap makanannya adalah bahaya.
Kemudian Bodhisatta berkata, “Cullatundila, tujuan dari ibu membesarkan babi selama ini [289] telah membuahkan hasilnya hari ini. Janganlah bersedih,” dan dengan suara merdu dan ketenangan seorang Buddha, ia memaparkan kebenarannya dan mengucapkan dua bait kalimat berikut:

Anda ketakutan, mencari bantuan, dan gemetaran,
Tetapi, tidak berdaya, ke mana Anda bisa lari?
Kita dibesarkan karena daging kita:
Makanlah dengan perasaan gembira, Tundila.
Ceburlah dirimu ke dalam kolam kristal dengan berani,
cuci bersih semua noda keringat:
Anda akan mengetahui kehebatan wewangian kita,
yang aromanya tidak pernah membusuk.
Karena merenungkan sepuluh kesempurnaan, menggunakan kesempurnaan dalam cinta kasih sebagai penuntunnya, ia mengucapkan baris pertama, suaranya terdengar sampai ke Benares di area seluas dua belas yojana.

Pada saat mendengar ini, orang-orang di Benares mulai dari raja dan wakil raja sampai seterusnya ke bawah datang ke sana, dan orang-orang yang tidak bisa datang, berdiri sambil mendengarkan di dalam rumah mereka. Anak buah raja yang memotong semak-semak meratakan tanah dan pasir yang berserakan. Mabuk yang menyelimuti para pemuda cabul itu pun menghilang dan mereka membuang jerat-jerat mereka, berdiri mendengarkan pemaparan kebenaran itu. Wanita tua itu juga menjadi sadar dari mabuknya. Bodhisatta mulai memaparkan kebenaran kepada Cullatundila di tengah kerumunan orang itu.

[290] Cullatundila yang mendengarnya, berpikir, “Abangku berkata demikian kepadaku, tetapi bukanlah kebiasaan kami untuk menceburkan diri ke dalam kolam, mandi untuk membersihkan keringat dari badan kami, dan setelah membersihkan noda itu akan mendapatkan wewangian. Mengapa saudara saya berkata demikian kepadaku?” jadi ia mengucapkan bait keempat berikut:—
Tetapi apa itu kolam kristal,
dan noda keringat apa?
Dan wewangian apa yang luar biasa itu,
yang aromanya tidak pernah membusuk?
Bodhisatta yang mendengar ini, berkata, “Kalau begitu, dengarkanlah dengan penuh perhatian,” dan demikian memaparkan kebenaran itu dengan ketenangan seorang Buddha, ia mengucapkan bait ketiga berikut:

Kebenaran (Dhamma) adalah kolam kristal,
Kejahatan (keburukan) adalah noda keringat:
Moralitas (sila) adalah wewangian luar biasa,
yang aromanya tidak akan membusuk.
Orang yang dapat merelakan hidupnya
adalah orang yang bahagia,
Orang yang tetap mempertahankan hidupnya akan selalu menderita:
Manusia pasti akan mati dan tidak perlu bersedih,
seperti kegembiraan perayaan pertengahan bulan.
[292] Demikian Sang Mahasatwa memaparkan kebenaran itu dengan suara yang merdu dan gaya seorang Buddha. Kerumunan orang yang berjumlah ribuan itu menepuk tangan mereka dan melambai-lambaikan kain, dan suasana di sana dipenuhi dengan suara teriakan, “Bagus, bagus.”
Raja Benares memberikan kehormatan kepada Bodhisatta dengan tempat kerajaan, dan memberikan kejayaan kepada wanita tua itu, kemudian memintanya untuk memandikan kedua babi itu dengan air yang wangi, dan mengenakan jubah kepada mereka, menghiasi mereka dengan permata di leher, dan memberikan mereka kedudukan sebagai putranya di dalam kerajaan; demikian ia mengawal mereka berdua diikuti dengan rombongan besar.

Bodhisatta mengukuhkan raja dalam menjalankan lima sila, dan semua penduduk Benares dan Kasi menjalankan latihan moralitas tersebut. Bodhisatta memaparkan kebenaran kepada mereka pada setiap hari suci (bulan baru dan bulan purnama), memberikan keputusan atas masalah-masalah yang terdapat di ruang pengadilan: Ketika ia berada di sana, tidak ada masalah yang diputuskan dengan tidak adil.

Tidak lama setelah itu, raja meninggal dunia. Bodhisatta memberikan penghormatan terakhir kepadanya: kemudian ia mempelopori ditulisnya buku pengadilan dan berkata, “Dengan mengacu kepada buku ini, kalian akan dapat menyelesaikan semua masalah.” Maka setelah selesai memaparkan kebenaran kepada semua orang dengan penuh kesadaran, ia kembali ke dalam hutan bersama dengan Cullatundila, sementara mereka menangis dan meratap sedih. Ajaran Bodhisatta terus bertahan selama enam puluh ribu tahun.
____________________

[293] Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang takut dengan kematian itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:— “Pada masa itu, raja adalah Ānanda, Cullatuṇḍila adalah bhikkhu yang takut dengan kematian, kerumunan penduduk itu adalah para siswa Buddha, dan Mahātuṇḍila adalah saya sendiri.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com