Sariputta | Suttapitaka | CULLADHANUGGAHA-JĀTAKA Sariputta

CULLADHANUGGAHA-JĀTAKA

Cūḷa­dhanug­gaha­jātaka (Ja 374)

“Karena Anda telah sampai,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang godaan (nafsu) terhadap seorang bhikkhu oleh mantan istrinya (dalam kehidupan berumah tangga).

Ketika bhikkhu itu mengakui bahwa disebabkan oleh mantan istrinya, ia menjadi menyesal, Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini, Bhikkhu, tetapi juga di masa lampau wanita ini menipu Anda, dan bahkan disebabkan karena dirinya kepalamu dipenggal.”

Dan atas permintaan bhikkhu tersebut, Beliau menghubungkannya dengan sebuah kisah masa lampau.
____________________

Dahulu kala di bawah pemerintahan Brahmadatta, Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai Dewa Sakka. Pada waktu itu, ada seorang brahmana yang memperoleh semua ilmu pengetahuan di Takkasila, dan setelah menguasai kemahiran dalam memanah, ia dikenal dengan nama Culladhanuggaha (Pemanah Kecil) yang bijak.

Kemudian gurunya berpikir, “Pemuda ini telah menguasai keahlian yang sama dengan diriku,” dan menikahkan putrinya dengannya. Brahmana itu membawa putrinya dan bermaksud untuk kembali ke Benares. Di tengah perjalanan mereka, seekor gajah berbaring di suatu tempat, dan tidak ada seorang pun yang berani untuk melewati tempat itu.

Culladhanuggaha yang bijak, meskipun orang-orang berusaha menghentikannya, [220] tetap membawa istrinya dan berjalan memasuki hutan itu. Kemudian di saat mereka berada di tengah hutan, gajah itu bangkit untuk menyerang mereka.

Culladhanuggaha melukai dahi gajah dengan sebatang anak panah yang menembus ke belakang kepalanya dan gajah itu terbaring mati di tempat. Setelah mengamankan tempat itu, Culladhanuggaha melanjutkan perjalanan sampai ke hutan berikutnya, di sana terdapat lima belas perampok yang mengerumuni jalan.

Sampai di tempat ini juga, meskipun orang-orang berusaha untuk menghentikannya, tetapi ia tetap berjalan sampai ia menemukan tempat para perampok itu membunuh seekor rusa, memanggang dan memakan dagingnya. Melihat kedatangannya, para perampok itu mendekati istrinya yang berpakaian cantik dan berusaha untuk menangkapnya.

Ketua perampok itu hanya menatapnya sekali, dengan keahliannya membaca karakter seseorang, mengetahui bahwa ia adalah seseorang yang hebat, tidak mau mengambil risiko untuk melawannya meskipun jika ia dalam keadaan tangan kosong. Pemanah bijak itu meminta istrinya mendekati para perampok itu dengan berkata, “Pergi dan mintalah mereka untuk memberikan kita sedikit daging itu, kemudian bawalah ke sini untukku.”

Maka ia pun pergi dan berkata, “Berikanlah sepotong daging kepadaku.” Ketua perampok itu berkata, “Laki-laki itu adalah seorang yang hebat,” dan kemudian meminta mereka untuk memberikannya. Para perampok lainnya berkata, “Apa! Ia ingin memakan daging panggang kita ini?” Dan mereka memberikannya sepotong daging mentah. Pemanah itu, yang merasa dirinya hebat, menjadi murka kepada para perampok dengan pemberian daging mentah itu.

Mereka berkata, “Apa! Apakah ia satu-satunya laki-laki di sini, dan kami ini adalah wanita?” Demikianlah mereka mengancamnya, setelah itu mereka bangkit dan melawannya.

Pemanah itu melukai dan membunuh lima puluh perampok dengan jumlah anak panah yang sama pula, hanya kurang satu. Ia tidak mempunyai anak panah lagi untuk melawan ketua perampok karena hanya ia hanya memiliki lima puluh anak panah. Dengan satu anak panah ia membunuh gajah, dan empat puluh sembilan sisanya telah digunakan untuk menghabisi kawanan perampok.

Maka ia pun berkelahi sampai menjatuhkan ketua perampok itu, dengan duduk di dadanya ia meminta istrinya untuk membawakan pedangnya dengan tujuan untuk memenggal kepalanya. Pada saat itu juga, istrinya memiliki perasaan cinta kepada ketua perampok [221] dan ia menempatkan pangkal pedang di tangan perampok itu dan ujung (sarung) pedang di tangan suaminya. Perampok itu, dengan mencabut pedang, berhasil memotong kepala pemanah tersebut.

Setelah membunuh suaminya, ketua perampok itu membawa istri pemanah tersebut pergi bersamanya, dan di saat mereka berjalan bersama, ia menanyakan asal usul wanita tersebut. “Saya adalah putri dari seorang guru yang terkemuka di Takkasila,” katanya.

“Bagaimana ia bisa menikah denganmu?”
“Ayahku sangat menyukainya karena ia telah memperoleh kemampuan yang sama dengannya, dan ia pun menikahkanku kepadanya. Dan karena saya jatuh cinta kepadamu, saya membiarkan Anda membunuh suamiku.”
Ketua perampok berpikir, “Sekarang wanita ini membunuh suaminya. Ketika ia jatuh cinta kepada laki-laki lain, ia akan memperlakukanku dengan cara yang sama juga. Saya harus menyingkirkannya.”

Dalam melanjutkan perjalanannya, jalan mereka yang biasanya berupa aliran sungai dangkal menjadi banjir penuh dengan banyak air, dan ia berkata, “Sayangku, ada seekor buaya yang ganas di sungai ini. Apa yang harus kita lakukan?”

“Tuanku, bawalah semua perhiasan yang saya kenakan dan ikatlah menjadi bundelan dengan jubahmu, kemudian bawalah ke seberang sungai ini dan kembali lagi membawaku menyeberangi sungai ini juga,” jawab wanita itu.

“Baiklah,” jawabnya, dan ia mengambil semua perhiasannya, pergi ke seberang sungai seperti orang yang sangat tergesa-gesa dan sesampainya di sana ia pun meninggalkan wanita itu dan melarikan diri.

Melihat kejadian ini, wanita tersebut berseru, “Tuanku, Anda pergi seolah-olah seperti meninggalkanku. Mengapa Anda melakukan ini? Kembalilah dan bawa saya bersamamu.” Dengan berkata demikian ia juga mengucapkan bait pertama berikut:

Karena Anda telah sampai di sisi seberang,
dengan semua barangku dalam bundelan,
kembalilah dengan secepat mungkin
dan bawalah saya menyeberang bersamamu.
Perampok itu mengucapkan bait kedua133 berikut setelah mendengar perkataannya:

Kesukaanmu selalu berubah-ubah,
dari kesetiaan yang telah lama (teruji)
sampai ke cinta yang baru bersemi:
[222] Saya juga, akan dikhianati oleh dirimu,
jika tidak melarikan diri.
Ketika perampok itu berkata, “Saya akan pergi jauh dari sini: tetaplah Anda berada di sana.” Wanita itu berteriak dengan keras, sedangkan ia kabur dengan semua perhiasannya. Demikianlah akhir dari orang yang mengambil (jatuh cinta kepada) orang dungu yang malang melaui nafsu yang berlebihan. Dengan putus asa, wanita itu mendekat ke semak-semak gelinggang134 dan duduk menangis di sana.

Pada waktu itu, Dewa Sakka, yang sedang meninjau keadaan dunia (alam manusia), melihat wanita itu yang dikuasai oleh nafsu dan menangis karena kehilangan suami dan kekasih. Dan dengan berpikir untuk pergi menegurnya dan membuatnya merasa malu, ia membawa Mātali dan Pañcasikha135, datang dan berdiri di tepi sungai, kemudian berkata, “Mātali, menjelmalah menjadi seekor ikan; Pañcasikha, menjelmalah menjadi seekor burung, dan saya akan menjelma menjadi seekor serigala. Dengan membawa sepotong daging di mulutku, saya akan berjalan di depan wanita itu. Ketika melihatku di sana, Mātali, kamu harus melompat keluar dari air dan jatuh di depanku. Ketika saya menjatuhkan potongan daging yang tadinya ada di mulutku untuk menerkam ikan, Pañcasikha, kamu harus merampas daging itu dan terbang tinggi ke angkasa, sedangkan kamu, Mātali, lompat dan masuk kembali ke air.”

Demikianlah Dewa Sakka memberikan perintah kepada mereka. Dan mereka berkata, “Baik, Dewa.” Mātali menjelma menjadi ikan, Pañcasikha menjelma menjadi burung, dan Sakka menjelma menjadi serigala.

Dengan membawa sepotong daging di mulutnya, ia berjalan ke depan wanita itu, ikan yang melompat keluar dari sungai itu jatuh di depan serigala. Serigala menjatuhkan daging yang ada di mulutnya untuk menerkam ikan, ikan itu terus melompat sampai akhirnya jatuh kembali ke dalam air dan burung itu merampas dagingnya dan terbang tinggi ke angkasa. Serigala yang kehilangan ikan dan dagingnya itu duduk murung melihat ke arah semak-semak gelinggang.

Wanita itu yang melihat kejadian tersebut berkata, “Dikarenakan terlalu serakah, ia tidak mendapatkan daging ataupun ikan,” [223] dan seolah-olah ia mengetahui maksud dari tipuan ini, ia tertawa dengan keras.

Mendengar perkataannya ini, serigala mengucapkan bait ketiga berikut:

Siapakah yang membuat semak gelinggang bersuara dengan tawa,
walaupun tidak terlihat ada yang menari atau menyanyi,
atau bertepuk tangan, sedang bersenang-senang?
Wahai yang cantik, janganlah tertawa di saat Anda seharusnya menangis.
Mendengar perkataan serigala, ia mengucapkan bait keempat berikut:

Wahai serigala bodoh,
kamu pastinya berharap untuk tidak kehilangan daging dan ikan.
Hewan dungu yang malang!
Kamu bersedih melihat apa yang terjadi disebabkan oleh kebodohanmu.
Kemudian serigala mengucapkan bait kelima berikut:

Kesalahan orang lain mudah sekali dilihat,
tetapi kesalahan diri sendiri sangatlah sulit dilihat.
Menurutku Anda juga harus berharap demikian,
ketika suami dan kekasih hilang.
[224] Mendengar perkataannya, ia mengucapkan bait kelima berikut:
Raja serigala, benar yang kamu katakan,
saya akan pergi ke tempat yang jauh,
dan mencari cinta baruku,
berusaha menjadi seorang istri setia.
Kemudian Dewa Sakka, raja para dewa, yang mendengar kata-kata dari wanita jahat dan tidak suci itu, mengucapkan bait terakhir berikut:

Ia yang mencuri satu kendi tanah liat
akan mencuri yang kuningan suatu hari nanti:
Ia yang merupakan penyebab kematian suaminya
akan menjadi buruk atau lebih buruk lagi nantinya.
Demikianlah Dewa Sakka membuatnya merasa malu dan bertobat, kemudian kembali ke kediamannya sendiri.
____________________

Sang Guru menyelesaikan uraian-Nya sampai di sini dan memaklumkan kebenaran, kemudian mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang tadinya menyesal itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Pada masa itu, bhikkhu yang menyesal adalah Culladhanuggaha, si pemanah, mantan istrinya adalah wanita itu (putri dari guru yang terkemuka di Takkasila), dan saya sendiri adalah Dewa Sakka.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com