Sariputta | Suttapitaka | KESAVA-JĀTAKA Sariputta

KESAVA-JĀTAKA

Kesavajātaka (Ja 346)

“Dahulu Anda tinggal dengan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang makanan di antara persahabatan.

Dikatakan, di rumah Anāthapiṇdika (Anathapindika) selalu disediakan makanan bagi lima ratus orang bhikkhu. [142] Rumah itu menjadi seperti tempat peristirahatan untuk makan dan minum bagi rombongan bhikkhu, yang diterangi oleh jubah kuning mereka dan dipenuhi aroma yang wangi.

Pada suatu hari raja berkeliling kota dan melihat rombongan bhikkhu di rumah saudagar itu, dan berpikir, “Saya juga akan memberikan derma makanan kepada rombongan bhikkhu secara terus-menerus.” Ia masuk ke dalam wihara dan setelah memberi penghormatan kepada Sang Guru, ia mengatakan akan memberikan derma makanan secara terus-menerus kepada lima ratus orang bhikkhu.

Sejak saat itu, selalu ada kegiatan pemberian derma makanan di kediaman raja dengan berbagai pilihan makanan dan aroma. Akan tetapi, para pelayan raja yang menyerahkan makanannya, tidak ada seorang pun yang menyerahkannya dengan tangannya sendiri, ataupun menyerahkannya dengan perasaan kasih dan cinta. Dan para bhikkhu yang datang enggan duduk dan memakan makanannya, sebaliknya mereka membawa makanan itu ke rumah keluarga penopang mereka (dayaka) dan memberikannya kepada mereka. Para bhikkhu itu kemudian memakan apa pun yang disiapkan oleh mereka di sana, baik enak mapun tidak.

Suatu hari, terdapat banyak buah yang dibawakan untuk raja. Raja berkata, “Berikan buah-buahan ini kepada rombongan bhikkhu.”

Mereka pergi ke ruang makan, kemudian kembali menghadap raja dan berkata, “Tidak ada satu orang bhikkhu pun di sana.”

“Apa, apakah ini belum waktunya?” kata raja.

“Ya, ini sudah waktunya,” jawab mereka, “tetapi para bhikkhu itu mengambil makanan dari rumahmu, kemudian pergi ke rumah dayaka mereka, memberikannya kepada mereka dan para bhikkhu itu memakan apa pun yang disajikan oleh mereka, baik enak maupun tidak.

Raja berkata, “Makanan kita ini sudah pasti enak. Mengapa mereka tidak mau memakannya dan malah memakan makanan orang lain?” Dan ia berpikir, “Akan kutanyakan ini kepada Sang Guru,” ia pun pergi ke wihara dan menanyakannya kepada Beliau.

Sang Guru berkata, “Makanan yang terbaik adalah makanan yang diberikan dengan rasa kasih (cinta). Disebabkan oleh tidak adanya perasaan kasih dari orang-orang yang menyerahkan makanan itu, maka para bhikkhu hanya menerimanya dan kemudian makan di tempat keluarga dayaka mereka sendiri yang penuh kasih. Tidak ada rasa lain yang dapat menandingi rasa kasih, Paduka. Makanan yang diberikan tanpa kasih, meskipun terdapat empat jenis rasa di dalamnya, tidak akan bisa menandingi makanan berupa hanya nasi putih yang diberikan dengan rasa kasih. Ketika orang bijak di masa lampau sakit, walaupun lima tabib raja menyediakan obat, tetap tidak bisa menyembuhkannya. Tetapi penyakit itu disembuhkan dengan cara seperti ini: kumpul bersama teman-teman akrabnya, memakan sayur-sayuran dan air beras, tanpa garam hanya dengan air, dan ia pun sembuh kembali.”

Dan setelah mengucapkan kata-kata ini, atas permintaan mereka, Beliau menceritakan sebuah masa lampau.
____________________

Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana di Kerajaan Kāsi (Kasi), [143] dan mereka memberinya nama Kappa. Ketika dewasa, ia mendapatkan semua ilmu pengetahuan di Takkasila dan setelahnya, menjalankan kehidupan suci sebagai seorang pabbajita.

Kala itu, terdapat seorang petapa bernama Kesava yang diikuti oleh lima ratus petapa lainnya, ia menjadi guru bagi rombongan petapa itu dan berdiam di daerah pegunungan Himalaya. Bodhisatta mendatanginya dan menjadi siswa senior dari lima ratus siswa lainnya, tinggal di sana dan menunjukkan sikap yang ramah dan penuh dengan cinta terhadap Kesava. Mereka pun menjadi sangat akrab satu dengan yang lainnya.

Kemudian Kesava ditemani oleh para petapa itu pergi ke Benares untuk memperoleh garam dan cuka, dengan bermalam di taman milik raja. Keesokan harinya, mereka pergi ke kota dan akhirnya tiba di depan gerbang istana. Ketika melihat rombongan orang suci itu, raja mempersilakan mereka masuk dan mempersembahkan makanan kepada mereka di rumahnya sendiri. Setelah beruluk salam, raja memberikan tempat menetap sementara di dalam tamannya.

Di saat musim hujan berakhir, Kesava mohon pamit kepada raja. Raja berkata, “Bhante, Anda sudah tua. Tinggallah di sini bersama kami, biarkan para petapa muda itu kembali sendiri ke Himalaya.” Kesava menyetujuinya dan meminta mereka kembali ke Himalaya, dengan dibimbing oleh siswa senior tersebut, meninggalkan dirinya sendirian. Kappa pun pergi ke Himalaya dan tinggal di sana dengan para petapa lainnya. Kesava merasa tidak bahagia sepeninggal Kappa, selalu berkeinginan untuk menjumpainya. Akibatnya, ia tidak bisa tidur dan kemudian menyebabkan makanan yang dimakan tidak bisa dicerna dengan baik. Di perutnya terasa seperti ada gerakan yang berputar-putar disertai dengan rasa yang amat menyakitkan. Raja memerintahkan kelima tabibnya untuk mengobati Kesava, tetapi penyakitnya tak kunjung sembuh.

Kesava bertanya kepada raja, “Paduka, apakah Anda ingin saya meninggal atau sembuh?”

“Sembuh, Bhante,” ia menjawab.

“Kalau begitu, bawalah saya ke Himalaya,” katanya. “Baiklah,” kata raja, dan mengutus seorang menteri yang bernama Nārada (Narada) untuk pergi dengan beberapa penjaga hutan, membawa petapa itu ke Himalaya. Narada membawanya ke sana dan kemudian kembali ke rumah. Dengan hanya melihat Kappa, gangguan pencernaan Kesava menjadi terhenti dan kesedihannya berkurang. [144] Jadi Kappa memberinya makan air beras dan sayuran, tanpa garam dan bumbu-bumbu lain, hanya dengan air. Pada saat itu juga, sakit perutnya93 sembuh. Raja mengutus Narada pergi kembali, dengan berkata, “Pergi dan cari tahu kabar dari Petapa Kesava.” Ia mendatangi Kesava dan ketika melihat ia telah sembuh, ia pun berkata, “Bhante, Raja Benares dengan lima tabib kerajaannya mengobatimu, tetapi tidak bisa membuatmu sembuh. Bagaimana cara Kappa mengobatimu?”

Dan berikut ia mengucapkan bait pertama:

Dahulu Anda tinggal bersama raja,
seseorang yang dapat mengabulkan segala keinginan,
apalah yang menarik dari kediaman Kappa ini
sehingga Petapa Kesava mau berada di sini?
Mendengar perkataan ini, Kesava mengucapkan bait kedua berikut:

Semua yang ada di sini menarik, bahkan pepohonannya juga,
wahai Narada, keinginanku berada di sini,
dan kata-kata Kappa yang selalu menyenangkan (penuh kasih/cinta)
membangkitkan semangat di dalam hatiku.
Setelah mengucapkan perkataan itu, ia lanjut berkata: “Dengan penuh kasih, Kappa memberiku makan air beras dan sayur-sayuran, tanpa garam dan bumbu-bumbu lainnya, hanya dengan air. Dengan semua itulah penyakit di tubuhku ini hilang dan saya menjadi sembuh kembali.”

Narada yang mendengar ini, mengucapkan bait ketiga berikut:

Dahulu Anda selalu mendapatkan makanan
berupa nasi yang dimasak dari beras terbaik,
diberi aroma daging yang tercium enak.
Bagaimana bisa Anda suka mendapatkan makanan
yang demikian hambar, dan sayur-sayuran,
dan beras berkualitas rendah,
berbagi makanan dengan para petapa ini?
[145] Setelah mendengar kata-kata ini, Kesava mengucapkan bait keempat berikut:
Makanannya bisa terasa hambar bisa juga terasa lezat,
bisa sedikit jumlahnya bisa juga banyak jumlahnya.
Akan tetapi jika makanan itu disajikan dengan rasa cinta,
maka itu akan menjadi bumbu terbaik yang dapat ditemukan.
Setelah mendengar ini, Narada kembali menghadap kepada raja dan memberitahukannya, “Kesava mengatakan ini dan itu.”
____________________

Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka setelah menyelesaikan uraian ini: “Pada masa itu, raja adalah Ānanda, Nārada (Narada) adalah Sāriputta, Kesava adalah Bakabrahmā 94, dan Kappa adalah saya sendiri.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com