Sariputta | Suttapitaka | KURUDHAMMA-JĀTAKA Sariputta

KURUDHAMMA-JĀTAKA

Garu­dhamma­jātaka (Ja 276)

“Karena mengetahui keyakinan,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang membunuh seekor angsa.

[366] Dua orang bhikkhu, yang merupakan sahabat karib, yang berasal dari Sāvatthi, telah ditahbiskan dan diupasampada, selalu bepergian bersama-sama. Suatu hari, mereka pergi ke Aciravatī. Setelah mandi, mereka berdiri di pasir, berjemur di bawah sinar matahari dan berbincang-bincang.
Kala itu, dua ekor angsa terbang di angkasa melintasi mereka. Salah satu dari kedua bhikkhu muda tersebut mengambil sebuah batu dan berkata, “Saya akan melempar tepat di satu mata dari angsa itu.” “Anda tidak akan mampu melakukannya,” kata bhikkhu yang satunya lagi. “Bahkan bukan hanya itu—saya mampu melempar tepat di mata kiri atau mata kanannya, sesuai keinginanku.” “Anda tidak mampu melakukannya!” kata temannya lagi. “Kalau begitu, lihatlah ini!” kata temannya yang satu lagi itu kembali. Dia mengambil sebuah batu yang bersegi tiga dan melemparkannya ke arah satu angsa tersebut.

Angsa itu memutar kepalanya ketika mendengar suara batu yang terbang melalui udara. Kemudian bhikkhu yang satunya lagi, setelah mengambil sebuah batu bulat, melemparkannya dan mengenai mata yang lebih dekat kepadanya dan membuatnya tercungkil keluar. Dengan suara jeritan yang amat keras, angsa itu pun terhenti dari terbangnya dan jatuh di depan kaki mereka.

Para bhikkhu yang berdiri di sana melihat seluruh kejadiannya dan lari menghampiri bhikkhu itu. “Āvuso, setelah ditahbiskan di dalam ajaran yang mengarah pada pembebasan, adalah sangat tidak patut untuk melakukan suatu pembunuhan makhluk hidup!” Mereka membawanya menghadap Tathāgata.

“Bhikkhu, benarkah apa yang mereka katakan?” tanya Sang Guru, “Apakah Anda telah melakukan pembunuhan makhluk hidup?” “Ya, Bhante,” jawabnya. “Bhikkhu,” kata Beliau, mengapa Anda melakukan pembunuhan makhluk hidup setelah ditahbiskan di dalam ajaran yang mengarah pada pembebasan? Orang bijak di masa lampau, sebelum Buddha muncul, meskipun mereka hidup berumah tangga dan (karenanya) menjalani kehidupan yang tidak suci, tetapi mereka memiliki rasa penyesalan (bersalah) terhadap suatu hal yang sepele. Sedangkan Anda, yang telah menjalani kehidupan suci sebagai seorang pabbajita, tidak memiliki penyesalan. Seorang bhikkhu seharusnya memiliki pengendalian diri dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran.”

Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah.
____________________

Dahulu kala ketika Dhanañjaya (Dhananjaya) adalah Raja Kota Indapatta di Kerajaan Kuru, Bodhisatta terlahir sebagai seorang putra dari permaisuri raja. Seiring berjalannya waktu, dia tumbuh dewasa dan dididik di Takkasilā. Ayahnya kemudian menjadikannya sebagai wakil raja, [367] dan sepeninggalnya, dia pun menjadi raja dan tumbuh dalam norma Kuru, juga menjalankan sepuluh kualitas seorang raja (rajadhamma 248 ).

Norma Kuru yang dimaksudkan adalah lima sila. Ini selalu dijalankan oleh Bodhisatta dan dijaga tetap murni. Seperti yang dilakukan oleh Bodhisatta, demikian juga yang dilakukan oleh ibu suri, permaisuri, adiknya, wakil raja, pendeta kerajaan, para brahmana, tukang nilai tanah, pejabat kerajaan, kusir, saudagar, bendahara, menteri kerajaan, portir, wanita penghibur kelas tinggi dan kelas rendah—semuanya melakukan hal yang sama.

Raja, ibu suri, permaisuri, wakil raja, pendeta kerajaan, tukang nilai tanah, kusir, saudagar, bendahara, portir, wanita penghibur kelas tinggi rendah, semuanya berjumlah sebelas orang,
semuanya menjalankan norma Kuru.

Demikian mereka semuanya ini menjalankan lima sila dan menjaganya agar tetap murni. Raja mendirikan enam balai distribusi dana—satu balai di masing-masing gerbang kota, satu di tengah kota, dan satu lagi di depan rumahnya. Setiap hari, dia memberikan dana sejumlah enam ratus ribu, yang dengan pemberiannya ini menggemparkan seluruh Jambudīpa (India). Kecondongan dan kesenangannya dalam memberikan dana ini tersebar luas.

Kala itu di Kota Dantapura, di Kerajaan Kaliṅga, terdapat seorang raja yang bernama Raja Kaliṅga (Kalinga). Hujan tidak turun di kerajaannya, dan dikarenakan kekeringan itu, terjadilah bencana kelaparan di kerajaan tersebut. Para penduduk berpikir bahwa tidak adanya makanan ini akan memunculkan wabah. Jadi terdapat tiga ancaman bahaya di sana: bahaya kekeringan, bahaya kelaparan, dan bahaya wabah. Orang-orang mengembara ke sana ke sini dalam keadaan melarat, sambil menggenggam tangan anak-anak mereka. Semua penduduk kemudian berkumpul bersama dan pergi ke Dantapura, di sana mereka bersuara keras di depan istana raja.

Raja sedang berdiri di dekat jendela ketika mendengar suara ribut itu dan menanyakan mengapa orang-orang membuat suara ribut itu. [368] “Oh, Paduka,” terdengar jawaban, “tiga ancaman bahaya sedang melanda kerajaan kita: bahaya kekeringan, bahaya kelaparan, dan bahaya wabah. Para penduduk yang kelaparan, berpenyakitan, dan melarat mengembara ke sana ke sini sambil menggenggam tangan anak-anak mereka. Turunkanlah hujan untuk kami, wahai Paduka!” Raja berkata, “Apa yang biasa dilakukan oleh raja-raja terdahulu bila hujan tidak turun?” “Para raja terdahulu, wahai Paduka, jika hujan tidak turun (dalam waktu yang lama), akan memberikan derma, menjalankan hari Uposatha, mengamalkan kebajikan (disiplin moralitas), dan berbaring di dalam kamar mereka di atas rumput kusa selama tujuh hari. Maka hujan akan turun.” “Bagus sekali,” kata raja, dan melakukannya.

Meskipun dia telah melakukan demikian, tetapi hujan juga tidak kunjung turun. Raja berkata kepada para pejabatnya, “Saya telah melakukan seperti yang kalian katakan, tetapi hujan tidak turun juga. Apa yang harus saya lakukan?” “Wahai Paduka, di Kota Indapatta, terdapat seekor gajah kerajaan yang bernama Añjanavasabha. Gajah ini adalah milik Dhananjaya, Raja Kuru. Bawalah gajah itu ke sini, kemudian hujan pasti akan turun.” “Tetapi bagaimanakah cara kita melakukannya? Raja dan pasukannya tidaklah mudah untuk dihadapi.” “Paduka, tidaklah perlu bertempur dengannya. Rajanya adalah seorang yang senang memberi, dia suka memberikan dana. Jika diminta, dia akan bersedia untuk memotong kepalanya sendiri dalam segala kebesarannya, atau mencungkil matanya keluar, atau menyerahkan kerajaannya. Tidaklah diperlukan usaha yang keras untuk mendapatkan gajah itu. Dia akan memberikannya tanpa menolaknya.”

Raja kemudian mengutus delapan brahmana dari suatu desa brahmana, dan dengan segala kehormatan dan kebesaran, mengutus mereka untuk meminta gajah tersebut. Mereka mengambil uang dan pakaian untuk perjalanan mereka, tanpa beristirahat di suatu tempat, terus melakukan perjalanan dengan cepat sampai beberapa hari kemudian mereka makan di dalam balai distribusi dana yang terdapat di gerbang kota. Setelah memenuhi kebutuhan jasmani, mereka bertanya, “Kapan saja raja datang ke balai distribusi dananya?” Jawaban yang didapatkan adalah [369], “Tiga hari, pada paruhan bulan—hari keempat belas, kelima belas, dan kedelapan. Besok adalah malam bulan purnama, besok beliau akan datang.”

Maka pada keesokan paginya, para brahmana itu pergi dan masuk melalui gerbang timur. Bodhisatta, setelah mandi dan membersihkan diri, berdandan dan mengenakan pakaian kebesarannya, menunggangi seekor gajah kerajaan yang dihiasi dengan perhiasan mewah, bersama dengan rombongannya datang ke balai distribusi dana di gerbang timur. Sesampainya di sana, dia turun dari gajahnya dan membagikan makanan kepada tujuh atau delapan orang dengan tangannya sendiri. “Lanjutkanlah pemberian dengan cara seperti ini,” katanya, dan setelah menunggangi gajahnya, berangkat ke gerbang selatan. Sewaktu dia berada di gerbang timur, para brahmana itu tidak memiliki kesempatan (untuk mendekatinya) dikarenakan kekuatan dari pengawal kerajaannya. Oleh karenanya, mereka pun bergerak ke gerbang selatan dan mengawasi kedatangan raja. Ketika raja terlihat di jalan, tidak jauh dari gerbang selatan, mereka melambaikan tangan dan menyambut kedatangannya dengan mendoakan semoga beliau tetap berjaya. Raja pun menuntun gajahnya dengan menggunakan angkusa249 ke tempat mereka berada. “Para Brahmana, ada apa?” tanya raja. Kemudian mereka memaparkan kualitas baik dari Bodhisatta dalam bait pertama berikut:

Karena mengetahui keyakinan dan moralitasmu,
wahai Paduka, kami datang ke sini.
Untuk (mendapatkan) hewan ini,
kami menghabiskan kekayaan kami di rumah250.
[370] Bodhisatta memberikan jawabannya, “Para Brahmana, jika memang semua kekayaan kalian telah dihabiskan demi untuk mendapatkan gajah ini, maka tidak apa-apa—saya berikan gajah ini kepada kalian beserta dengan segala kebesarannya.” Demikian menghibur mereka, dia mengulangi dua bait berikut:
Baik kalian hidup dengan memelihara hewan
untuk mendapatkan bayaran maupun tidak,
makhluk apa pun yang datang kepadaku,
seperti yang diajarkan oleh guruku di masa lampau,
semuanya yang datang ke sini haruslah disambut.
Kubawakan gajah ini sebagai hadiah untuk kalian:
Gajah ini adalah gajah kerajaan, pantas untuk seorang raja!
Bawalah dia beserta dengan kebesarannya,
rantai emas, kusir dan semuanya,
pulanglah ke tempat asal kalian.
[371] Demikianlah yang diucapkan oleh Sang Mahasatwa sewaktu berada di atas punggung gajahnya. Kemudian setelah turun dari gajahnya, dia berkata kepada mereka, “Jika ada satu titik pada gajah ini yang tidak terhiasi, saya akan menghiasinya dan baru kemudian memberikannya kepada kalian.”
Tiga kali dia mengelilingi makhluk ini, berkeliling mengarah ke kanan dan memeriksanya, tetapi tidak menemukan satu titik pun yang tidak terhiasi. Kemudian dia menyerahkan belalai sang gajah ke tangan para brahmana tersebut. Raja memercikkan air yang wangi dari sebuah pot emas nan bagus dan menyerahkannya kepada mereka. Para brahmana itu menerima gajah tersebut beserta dengan segala kepunyaannya, dan dengan menunggang di atas punggungnya ke Dantapura, menyerahkannya kepada raja mereka. Walaupun gajah telah tiba di sana, tetapi hujan tetap tidak kunjung turun juga.

Kemudian raja bertanya kembali, “Apa lagi alasannya kali ini?” Mereka berkata, “Dhananjaya, Raja Kuru, menjalankan norma Kuru. Oleh karena itu, di kerajaannya hujan tetap turun dalam setiap sepuluh atau lima belas hari. Itulah kekuatan dari dari kualitas bagus sang raja. Seandainya pun ada kebajikan di dalam diri gajah ini, maka itu pastinya sangatlah kecil!” Kemudian raja berkata, “Bawalah gajah ini, dalam pakaian mewahnya seperti sediakala, dengan segala kepunyaannya, kembalikan kepada rajanya. Tulislah di atas sebuah papan emas norma Kuru yang dijalankannya dan bawalah itu ke sini.” Dengan kata-kata ini, dia mengutus para brahmana dan pejabat kerajaannya pergi.

Para utusan tersebut datang menghadap Raja Kuru, dan kemudian berkata, “Paduka, bahkan ketika gajahmu telah tiba (di kerajaan kami), [372] tidak ada hujan yang turun juga. Orang-orang menyebutkan bahwa Anda menjalankan norma Kuru. Raja kami berkeinginan untuk menjalankannya juga. Dan beliau telah mengutus kami untuk meminta Anda menuliskannya pada satu papan emas dan membawanya kembali untuk dirinya. Beri tahukanlah norma itu kepada kami!”

“Teman-temanku,” kata raja, “sebelumnya saya memang mengamalkan norma itu, tetapi sekarang saya memiliki perasaan bersalah terhadap hal ini. Norma ini tidak lagi terwujudkan di dalam pikiranku. Oleh karenanya, saya tidak bisa memberikannya kepada kalian.”

Anda sekalian mungkin bertanya mengapa moralitas tidak lagi terwujudkan di dalam pikiran raja. Begini, setiap tiga tahun sekali, pada bulan Kattika251 , raja-raja biasanya mengadakan sebuah perayaan yang disebut dengan perayaan Kattika. Dalam perayaan ini, raja-raja berhias diri dalam segala kebesaran mereka dan berpakaian layaknya para dewa; mereka berdiri di hadapan seorang yaksa yang bernama Cittarāja, dan mereka menembakkan ke empat penjuru mata angin panah-panah yang berkalungkan bunga dan dihias dengan beragam warna. Oleh karena itu, raja ini (Raja Kuru), sewaktu merayakan perayaan ini, berdiri di tepi sebuah danau, di hadapan Cittarāja, dan menembakkan panah-panah ke empat penjuru mata angin. Mereka bisa melihat ke mana tiga panah yang ditembakkannya itu pergi, tetapi panah keempat yang ditembakkan di atas air tidak terlihat oleh mereka. Raja kemudian berpikir, “Mungkin panah yang kutembakkan itu mengenai seekor ikan!” Karena perasaan bersalah ini muncul, perbuatannya membunuh makhluk hidup menyebabkan kehancuran dalam moralitasnya. Itulah sebabnya moralitas itu tidak lagi terwujudkan di dalam pikirannya.

Cerita ini diberitahukan oleh raja kepada mereka, dan dia menambahkan, “Teman-temanku, saya sendiri memiliki perasaan bersalah terhadap diriku sendiri, apakah saya menjalankan norma Kuru ini atau tidak. Akan tetapi, ibuku menjalankannya dengan baik. Kalian bisa mendapatkannya dari beliau.” “Tetapi, Paduka,” kata mereka, “Anda tidaklah memiliki niat dalam melakukan pembunuhan itu. Tanpa adanya niat dalam pikiran maka tidak terjadilah pembunuhan itu. Berikanlah kepada kami norma Kuru yang telah Anda jalankan!”

“Kalau begitu, tulislah,” kata raja. Dan dia membuat mereka menulis pada papan emas seperti berikut: “Jangan membunuh makhluk hidup; jangan mengambil apa yang tidak diberikan; [373] jangan berbuat asusila; jangan mengucapkan kata-kata bohong; jangan meminum minuman keras.” Kemudian raja menambahkan, “Tetapi, norma ini masih tidak terwujudkan di dalam pikiranku. Kalian sebaiknya mencari tahu dari ibuku.” Para utusan itu memberi hormat kepada raja dan pergi ke tempat ibu suri. “Ibu Suri,” kata mereka, “orang-orang mengatakan bahwa Anda menjalankan norma Kuru. Beritahukanlah itu kepada kami!” Ibu suri berkata, “Anak-anakku, tadinya saya menjalankan norma ini, tetapi sekarang saya memiliki suatu perasaan bersalah.

Dikatakan bahwasanya ibu suri pada saat itu memiliki dua orang putra; putra sulung menjadi raja dan putra bungsu menjadi wakil raja. Seorang raja anu mengirimkan wewangian berupa cendana yang bagus yang bernilai sebesar seratus ribu keping uang dan sebuah kalung emas yang bernilai seribu keping uang kepada Bodhisatta. Dengan memiliki pemikiran untuk menghormati ibunya, dia pun mengirimkan semua itu kepadanya. Ibu suri berpikir, “Saya tidak (biasa) menggunakan cendana sebagai wewangian dan saya juga tidak (biasa) mengenakan kalung. Akan kuberikan saja ini kepada istri-istri dari putra-putraku.”

Kemudian ini terlintas di dalam benaknya— “Istri putra sulungku adalah seorang wanita pemimpin, dia adalah pemaisuri, kalung ini akan kuberikan kepadanya; sedangkan istri putra bungsuku adalah seorang wanita malang, wewangian cendana ini akan kuberikan kepadanya.” Dan demikianlah dia memberikan kalung kepada permaisuri dan wewangian kepada yang satunya lagi. Setelahnya, dia merenung, “Saya menjaga norma Kuru: apakah orang itu malang atau tidak bukanlah suatu permasalahan. Tidaklah seharusnya saya memberikan hormat yang lebih kepada istri putra sulungku. Karena tidak berbuat sesuai ini, saya telah membuat kesalahan di dalam moralitasku!” Dia pun kemudian mulai merasa bersalah; dan inilah sebabnya mengapa dia berkata demikian seperti sebelumnya di atas.

Para utusan tersebut berkata, “Ketika sesuatu (benda) berada di tanganmu, maka benda itu dapat diberikan sesuka hatimu (kepada siapa pun). Jika Anda memiliki perasaan bersalah atas hal yang sedemikian kecil seperti itu, bagaimana dengan perbuatan buruk lainnya yang pernah Anda lakukan sebelumnya? Moralitas tidaklah hancur hanya dengan hal seperti itu. [374] Berikanlah norma Kuru itu kepada kami!” Dan darinya mereka mendapatkan itu kemudian menuliskannya di atas papan emas. “Semuanya sama, Anak-anakku,” kata ibu suri, “saya tidak berbahagia di dalam norma ini. Akan tetapi, menantuku menjalankannya dengan baik. Tanyakanlah itu kepadanya!”

Mereka kemudian berpamitan kepadanya dengan penuh hormat, bertanya kepada menantunya. Sama seperti sebelumnya, menantunya ini berkata, “Saya tidak bisa memberikannya, karena saya sendiri tidak lagi menjaganya (dengan baik).—Dikatakan bahwasanya pada suatu waktu ketika sedang duduk di dekat sebuah jendela dan memandang ke bawah, dia melihat raja melakukan perjalanan mengelilingi kota; dan di belakangnya, di punggung gajah itu sang wakil raja duduk. Dia jatuh cinta kepadanya, dan berpikir, “Bagaimana kalau saya memulai sebuah persahabatan dengannya, dan ketika abangnya meninggal, dia akan menjadi raja dan menjadikanku sebagai istrinya!”

Kemudian ini terlintas di dalam benaknya—“Saya adalah orang yang menjaga norma Kuru, yang telah bersuami, tetapi saya memandang laki-laki lain dengan perasaan cinta. Ini adalah suatu keburukan di dalam moralitasku!” Dia kemudian memiliki suatu perasaan bersalah. Dan inilah yang diceritakan olehnya kepada para utusan tersebut. Kemudian mereka berkata, “Hanya memikirkannya di dalam pikiran bukanlah suatu perbuatan buruk. Jika Anda memiliki perasaan bersalah atas hal sekecil ini, pelanggaran apa lagi yang pernah Anda perbuat sebelumnya? Hal sekecil ini tidaklah merusak moralitas. Berikanlah kepada kami norma Kuru ini!” Sama dengan yang sebelumnya, dia pun memberitahukannya kepada mereka dan mereka menuliskannya di sebuah papan emas. Tetapi kemudian dia berkata, “Teman-temanku, moralitasku ini tidaklah sempurna. Wakil raja menjaga norma ini dengan baik, pergilah kepadanya dan dapatkanlah darinya.”

Kemudian mereka pergi menjumpai wakil raja, dan sama seperti sebelum-sebelumnya menanyakan kepadanya tentang norma Kuru.—Dikatakan bahwasanya wakil raja ini biasa pergi menjumpai raja pada sore hari untuk memberikan penghormatan. Ketika orang-orang datang ke halaman istananya, dengan berada di atas keretanya, jika dia hendak makan malam bersama raja dan bermalam di sana, maka dia akan melemparkan tali kekang dan galah penghalaunya ke arah kuk-nya, dan itu merupakan pertanda bagi orang-orang untuk pulang, yang kemudian pada keesokan paginya akan datang kembali dan berdiri menunggu kepulangan wakil raja. Begitu juga dengan kusir keretanya [375], dia akan merawat keretanya dan datang kembali bersama dengan keretanya itu pada keesokan paginya, menunggu di depan pintu raja. Tetapi jika dia hendak kembali juga pada hari yang sama, maka dia akan meletakkan tali kekang dan galahnya di dalam kereta dan kemudian masuk ke dalam untuk memberi penghormatan kepada raja. Orang-orang yang memahami pertanda itu bahwa dia akan kembali juga pada hari itu akan berdiri menunggunya di depan istana.

Pada suatu hari, dia melakukannya dan masuk ke dalam untuk memberi penghormatan kepada raja. Tetapi ketika dia berada di dalam istana raja, hari mulai hujan. Karena hujan, raja mengatakan bahwa dia tidak membolehkan wakil raja untuk pulang, sehingga setelah selesai bersantap, dia pun tidur bermalam di sana. Sedangkan kerumunan orang berdiri menunggunya untuk keluar dan mereka tetap berada di sana sepanjang malam dalam keadaan basah kuyup. Keesokan harinya, wakil raja keluar dan ketika melihat kerumunan orang itu basah kuyup berdiri menunggunya di sana, berpikir, “Saya, yang menjaga norma Kuru, telah membuat kerumunan orang ini menjadi begini! Pastinya moralitas diriku telah rusak!” dan dia pun dilanda rasa bersalah. Maka dia berkata kepada para utusan itu, “Sekarang perasaan bersalah melanda diriku jika meskipun saya menjaga norma ini. Oleh karenanya, saya tidak bisa memberikannya kepada kalian,” dan dia pun memberitahukan permasalahannya kepada mereka.

“Tetapi,” kata mereka, “Anda tidak pernah memiliki keinginan untuk membuat mereka sakit demikian. Sesuatu yang dilakukan tanpa niat adalah bukan merupakan perbuatan (buruk). Jika Anda memiliki perasaan bersalah atas hal sekecil ini, pelanggaran apa lagi yang pernah Anda perbuat sebelumnya?” Maka mereka pun mendapatkan norma tersebut darinya dan menuliskannya pada papan emas mereka. “Bagaimanapun juga,” katanya, “norma ini tidaklah sempurna di dalam diriku. Tetapi pendeta kerajaanku menjaganya dengan baik, pergilah dan tanyakanlah kepadanya.”

Kemudian mereka pun pergi menjumpai pendeta kerajaan itu. Dikatakan bahwasanya pada suatu hari ketika hendak pergi memberikan penghormatan kepada raja, di tengah perjalanan, dia melihat sebuah kereta yang dikirim untuk raja dari seorang raja anu, berwarna seperti matahari baru. “Kereta siapakah ini?” tanyanya. “Kereta yang dikirimkan untuk sang raja,” kata mereka. Kemudian dia berpikir, “Sekarang saya sudah tua. Jika raja memberikan kereta ini kepadaku, betapa senangnya diriku bepergian dengan mengendarainya!”

Ketika dia menghadap raja dan berdiri di satu sisi setelah memberikan salam kepadanya dengan mendoakan semoga raja tetap berjaya, [376] mereka menunjukkan kereta tersebut kepada raja. “Itu adalah sebuah kereta yang sangat cantik,” kata raja, “berikanlah kereta itu kepada guruku.” Akan tetapi pendeta kerajaannya tidak mau menerimanya. Dia tetap tidak mau menerimanya meskipun diberikan kepadanya secara berulang-ulang kali. Mengapa demikian? Ini dikarenakan pemikiran berikut terlintas di dalam benaknya—“Saya, yang menjaga norma Kuru, telah mendambakan barang milik orang lain. Pastinya moralitas diriku telah rusak!” Jadi dia menceritakan hal tersebut kepada para utusan itu, dan menambahkan, “Anak-anakku, saya memiliki perasaan bersalah di dalam norma Kuru. Norma ini tidak lagi terwujudkan di dalam pikiranku. Oleh karenanya, saya tidak bisa mengajarkannya kepada kalian.”

Tetapi para utusan itu berkata, “Hanya memikirkannya dengan mendambakan milik orang lain tidaklah membuat moralitas menjadi hancur. Jika Anda memiliki perasaan bersalah atas hal yang sedemikian kecil seperti itu, bagaimana dengan perbuatan buruk lainnya yang pernah Anda lakukan sebelumnya?” Dan darinya juga mereka mendapatkan norma itu dan menuliskannya pada papan emas mereka. “Akan tetapi, tetap saja norma ini tidak lagi terwujudkan di dalam pikiranku sekarang,” katanya, “tukang nilai tanah mengamalkannya dengan baik. Pergilah dan tanyakanlah kepadanya.”

Maka mereka pun mencari tukang nilai itu dan bertanya kepadanya. Dikatakan bahwasanya kala itu dia sedang mengukur sebuah ladang. Setelah mengikatkan seutas tali pada sebatang kayu, dia memberikan ujung tali yang satu kepada pemilik ladang untuk dipegang dan ujung tali yang satunya lagi dipegang sendiri olehnya. Kayu yang diikatkan pada ujung tali yang dipegang olehnya sampai pada sebuah lubang sarang kepiting.

Dia berpikir, “Jika saya menancapkan kayu ini di dalam lubang itu, kepiting yang ada di dalamnya mungkin saja dapat terluka. Jika saya meletakkan di sisi ini, barang milik raja mungkin jadi hilang; dan jika saya meletakkannya di sisi yang satu lagi, petani itu mungkin akan mengalami kerugian. Apa yang harus kulakukan?” Kemudian dia berpikir kembali, “Seharusnya kepiting ada di dalam lubang ini. Tetapi, jika memang ada kepiting, dia pasti telah menunjukkan dirinya.” Maka dia pun meletakkan kayu itu ke dalam lubang. Kepiting mengeluarkan bunyi klik di dalamnya.

Kemudian dia berpikir, “Kayu ini pasti telah menghantam kepiting itu dan membunuhnya. Saya mengamalkan norma Kuru dan sekarang terdapat satu celah di dalamnya.” [377] Jadi dia memberitahukan ini kepada mereka dan menambahkan, “Sekarang saya memiliki perasaan bersalah terhadap ini, dan saya tidak bisa memberikannya kepada kalian.” Para utusan itu berkata, “Tadinya Anda tidak memiliki niat untuk membunuh kepiting itu. Perbuatan yang dilakukan tanpa adanya niat tidaklah disebut sebagai perbuatan (buruk). Jika Anda memiliki perasaan bersalah atas hal yang sedemikian kecil seperti itu, bagaimana dengan perbuatan buruk lainnya yang pernah Anda lakukan sebelumnya?” Dan mereka mendapatkan norma itu dari mulutnya sendiri sama seperti sebelumnya dan menuliskannya pada papan emas. “Bagaimanapun juga,” katanya, “norma ini tidak lagi terwujudkan di dalam pikiranku. Kusir kerajaan menjalankannya dengan baik. Pergilah dan tanyakanlah kepada dirinya.”

Maka mereka berpamitan dan pergi mencari kusir itu. Dikatakan bahwasanya pada suatu hari, raja mengendarai keretanya masuk ke dalam taman. Di sana raja bersenang-senang selama siang hari dan kembali pada sore hari, dan naik ke keretanya. Tetapi sebelum raja tiba kembali ke kotanya, pada saat matahari terbenam, awan badai muncul. Kusir yang merasa takut kalau-kalau raja akan menjadi basah, mempercepat laju gerak kuda-kudanya dengan menggunakan galahnya: kuda-kuda itu pun melaju dengan cepat ke arah rumahnya.

Sejak saat itu, saat pergi atau pulang dari taman, mulai dari tempat itu (tempat mereka dipacu), kuda-kuda itu akan melaju dengan cepat. Mengapa demikian? Karena kuda-kuda berpikir bahwa ada semacam bahaya di tempat tersebut dan itulah sebabnya sang kusir menyentuh mereka menggunakan galahnya. Dan kusir itu berpikir, “Jika raja menjadi basah atau kering, itu bukanlah salahku. Akan tetapi, saya telah memberikan satu sentuhan galah di luar kebiasaan kepada kuda-kuda yang telah terlatih dengan baik ini sehingga mereka berlari dengan cepat secara terus-menerus sampai mereka kelelahan, semuanya ini dikarenakan perbuatanku. Dan saya menjalankan norma Kuru! Pastinya telah terdapat satu celah di dalamnya!” Cerita ini diberitahukan kepada para utusan tersebut, dan berkata, “Dikarenakan alasan ini saya memiliki perasaan bersalah dan tidak dapat memberikannya kepada kalian.”

“Tetapi,” kata mereka, “Anda tidak berniat untuk membuat kuda-kuda itu kelelahan. Dan perbuatan yang dilakukan tanpa niat bukanlah merupakan suatu perbuatan (buruk). Jika Anda memiliki perasaan bersalah atas hal yang sedemikian kecil seperti itu, bagaimana dengan perbuatan buruk lainnya yang pernah Anda lakukan sebelumnya?” Dan mereka juga mendapatkan norma itu darinya, [378] dan menuliskannya pada papan emas mereka. Kemudian kusir kerajaan itu mengirim mereka untuk mencari saudagar anu, dengan berkata, “Norma ini tidak terwujudkan di dalam pikiranku, sedangkan dia menjaganya dengan baik.”

Maka mereka pun menjumpai saudagar tersebut dan bertanya kepadanya. Dikatakan bahwasanya pada satu hari dia pergi ke ladang padinya. Dia melihat sekelompok padi yang berhamburan keluar dari sekamnya, dia pun kemudian mengikat kelompok padi itu dengan tali jerami. Dengan satu tangannya yang penuh dengan padi, dia mengikatkan bagian atas kelompok padi tersebut pada sebuah tiang.

Kemudian ini terlintas di dalam benaknya—“Belum kuberikan hasil dari ladang ini kepada raja, saya sudah mengambil segenggam padinya dari bagian ladangnya! Saya yang menjalankan norma Kuru pastinya telah melanggar norma ini!” Dan masalah ini diceritakan olehnya kepada para utusan tersebut, dengan berkata, “Sekarang saya memiliki perasaan bersalah atas norma ini, sehingga saya tidak bisa memberikannya kepada kalian.” “Tetapi,” kata mereka, “Anda tidak memiliki niat untuk mencuri. Tanpa adanya niat, seseorang tidak bisa dikatakan bersalah atas pencurian. Jika Anda memiliki perasaan bersalah atas hal yang sedemikian kecil seperti itu, kapan Anda pernah mengambil benda milik orang lain?” Dan darinya juga mereka mendapatkan norma itu, dan menuliskannya pada papan emas mereka. Dia kemudian menambahkan, “Saya tidaklah berpuas hati atas masalah ini, sang bendahara menjaga norma ini dengan baik. Pergilah dan tanyakanlah kepadanya.”

Maka mereka pun menjumpai bendahara itu. Dikatakan bahwasanya orang ini, ketika sedang duduk di depan lumbung (kerajaan) dan memerhatikan beras hasil dari upeti raja yang akan dihitung, mengambil segenggam beras dari tumpukan yang belum dihitung dan meletakkannya di bawah sebagai pertanda.

Pada saat itu, hari mulai hujan. Para pengawal menghitung pertanda-pertanda itu, demikian banyaknya, dan kemudian menggabungkan semuanya itu dan meletakkannya di dalam tumpukan yang telah dihitung. Kemudian dengan cepat dia berlari masuk dan duduk di dalam tempat teduhnya. “Apakah tadi saya meletakkan pertanda-pertanda itu ke dalam tumpukan beras yang telah dihitung atau yang belum dihitung?” Dia bertanya-tanya dan pemikiran ini terlintas di dalam benaknya, [379] “Jika saya tadi melemparkannya ke dalam tumpukan yang telah dihitung, maka kekayaan raja akan bertambah dan pemiliknya akan menderita kerugian. Saya adalah orang yang menjalankan norma Kuru dan sekarang telah terdapat celah di dalamnya!” Dia menceritakan ini kepada para utusan tersebut dan menambahkan bahwa oleh karenanya dia memiliki perasaan bersalah dan tidak bisa memberikannya kepada mereka.

Tetapi mereka berkata, “Anda, waktu itu, tidak memiliki niat melakukan pencurian, dan tanpa adanya niat, seseorang tidak bisa dikatakan bersalah atas pencurian. Jika Anda memiliki perasaan bersalah atas hal yang sedemikian kecil seperti itu, kapan Anda pernah mengambil benda milik orang lain?” Darinya juga mereka mendapatkan norma itu dan mereka menuliskannya pada papan emas. “Bagaimanapun juga,” katanya, “moralitas ini tidaklah sempurna kujalankan. Ada seorang penjaga gerbang (portir) yang menjalankannya dengan baik. Pergilah dan dapatkanlah itu darinya.”

Maka mereka pun pergi dan menanyakannya kepada portir tersebut. Dikatakan bahwasanya pada suatu hari, tatkala gerbang harus ditutup, dia meneriakkannya dengan keras sebanyak tiga kali. Seorang laki-laki miskin yang pergi ke dalam hutan untuk mengumpulkan kayu-kayu dan dedaunan bersama dengan adik bungsunya, mendengar suaranya dan berlari ke arahnya bersama dengan sang adik. Portir itu berkata, “Apakah kalian tidak tahu bahwa raja berada di dalam kota? Apakah kalian tidak tahu bahwa gerbang kota ini harus ditutup pada waktunya? Apakah kalian pergi ke dalam hutan untuk bercinta?”

Laki-laki miskin itu berkata, “Tidak, Tuan, dia bukanlah istriku, melainkan adikku.” Kemudian portir itu berpikir, “Betapa tak pantasnya diriku menyebut seorang adik sebagai seorang istri. Dan saya adalah orang yang menjalankan norma Kuru. Pastinya telah terdapat celah di dalamnya!” Cerita ini diberitahukan kepada para utusan tersebut, dengan menambahkan, “Demikianlah saya memiliki perasaan bersalah atas norma ini dan tidak bisa memberikannya kepada kalian.”

Kemudian mereka berkata, “Anda mengatakan itu karena Anda memang berpikiran sebagaimana adanya, [380] ini tidaklah merusak moralitas dirimu. Jika Anda memiliki perasaan bersalah atas hal yang sedemikian kecil seperti itu, bagaimana mungkin Anda mengucapkan kata-kata yang tidak benar dengan bertujuan demikian?” Dan mereka kemudian mendapatkan norma itu darinya, menuliskannya pada papan emas. Kemudian dia berkata, “Moralitas ini tidak lagi terwujudkan sempurna di dalam diriku. Ada seorang wanita penghibur kelas tinggi yang menjalankannya dengan baik. Pergilah dan tanyakanlah kepadanya.”

Mereka pun melakukan demikian. Wanita penghibur itu menolak mereka, sama seperti yang dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Alasannya adalah sebagai berikut: Sakka, raja para dewa, berkeinginan untuk menguji dirinya. Oleh karenanya, dengan menyamar sebagai seorang pemuda, dia memberikan uang seribu keping kepadanya dan berkata, “Saya akan datang pada waktu anu.” Kemudian Sakka kembali ke alam surga dan tidak mengunjunginya kembali dalam waktu tiga tahun.

Dan wanita ini, dikarenakan rasa hormatnya, tidak bersedia menerima uang sepeser pun dari laki-laki lain. Secara berangsur-angsur, dia pun menjadi jatuh miskin, kemudian dia berpikir, “Pemuda yang memberikan uang seribu keping kepadaku sudah tidak datang selama tiga tahun, dan sekarang saya telah jatuh miskin. Tidak bisa lagi kupertahankan jiwa dan ragaku ini. Sekarang saya harus pergi memberitahukan ini kepada hakim pengadilan dan dapat memperoleh penghasilanku seperti sediakala.”

Maka dia pergi ke pengadilan dan berkata, “Tiga tahun yang lalu ada seorang pemuda yang memberikanku uang seribu keping dan kemudian tidak pernah kembali lagi. Saya tidak tahu apakah sekarang dia telah mati atau tidak. Tidak bisa lagi kupertahankan jiwa dan raga ini. Apa yang harus kulakukan, Tuanku?” Hakim itu berkata, “Jikalau dia memang sudah tidak kembali dalam waktu tiga tahun, apa lagi yang bisa Anda lakukan? Carilah penghasilanmu kembali seperti sediakala.”

Begitu dia meninggalkan pengadilan, setelah mendapatkan keputusan itu, datanglah seorang pemuda yang menawarkan uang seribu keping kepadanya. Ketika dia menjulurkan tangannya untuk menerima uang itu, Sakka menunjukkan dirinya. Wanita itu berkata, “Inilah pemuda yang memberikanku uang seribu keping tiga tahun yang lalu. Saya tidak bisa menerima uangmu.” Dan dia menarik kembali tangannya. Kemudian Sakka menunjukkan rupa aslinya dan terbang melayang di udara, bersinar laksana matahari yang baru terbit, dan membuat orang-orang berkumpul bersama.

Sakka, di tengah kerumunan orang tersebut, [381] berkata, “Untuk menguji dirinya, saya berikan kepadanya uang seribu keping tiga tahun yang lalu. Contohlah dirinya dan seperti dirinyalah menjaga kehormatan.” Setelah memberikan nasihat ini, dia mengisi kediaman wanita itu dengan tujuh jenis batu berharga, dan berkata, “Mulai saat ini, waspadalah,” dia menghibur dirinya dan kembali ke alam surga.

Atas alasan ini, dia menolaknya, dengan berkata, “Karena sebelumnya saya telah mendapatkan bayaran dari seseorang, tetapi kemudian saya menjulurkan tangan untuk mengambil dari orang lain, maka moralitasku masih tidak sempurna, dan saya tidak bisa memberikannya kepada kalian.” Para utusan ini membalas, “Hanya dengan menjulurkan tangan keluar bukanlah suatu perusakan terhadap moralitas. Malah moralitas dirimu itulah yang paling sempurna!” Dan darinya, sama seperti orang-orang sebelumnya, mereka mendapatkan norma itu dan menuliskannya pada papan emas. Mereka membawanya bersama mereka kembali ke Dantapura, dan menceritakan kepada raja tentang bagaimana mereka melalui semuanya.

Kemudian raja mereka tersebut mempraktikkan norma Kuru dan menjalankan lima latihan moralitas (sila). Tak lama kemudian, hujan pun turun di Kerajaan Kalinga. Tiga ancaman bahaya itu pun teratasi, tanah kerajaan menjadi subur kembali dan makmur. Sepanjang hidupnya, Bodhisatta memberikan derma dan melakukan kebajikan-kebajikan lainnya, dan kemudian beserta dengan rakyat-rakyatnya terlahir kembali di alam surga.
____________________

Ketika mengakhiri uraian ini, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran lampau ini. Di akhir kebenarannya, beberapa bhikkhu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna, beberapa Sakadāgāmi, dan beberapa Anāgāmi, serta beberapa mencapai tingkat kesucian Arahat.

Dan kisah kelahiran lampau ini dipertautkan sebagai berikut:

Uppalavaṇṇā adalah wanita penghibur itu,
Puṇṇa adalah portir, bendahara adalah Kuccāna;
Kolita adalah tukang nilai tanah,
saudagar kaya adalah Sāriputta;
Kusir kereta adalah Anuruddha,
pendeta kerajaan adalah Thera Kassapa;
Wakil raja adalah Nandapaṇḍita;
Ibunya Rāhula adalah permaisuri,
ibu suri adalah Māyā; dan rajanya adalah Bodhisatta.—
Demikianlah kisah kelahiran ini dipahami.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com