Sariputta | Suttapitaka | KACCHAPA-JĀTAKA Sariputta

KACCHAPA-JĀTAKA

Kacchapajātaka (Ja 215)

“Kura-kura ingin berbicara,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang Kokālika (Kokalika).
Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Mahātakkāri-Jataka129. Di sini kembali Sang Guru berkata: “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, Kokalika dirusak (reputasi)-nya karena berbicara, tetapi dia juga sama seperti sebelumnya.”
Dan kemudian Beliau menceritakan kisah masa lampau.


Dahulu kala Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir di istana, tumbuh dewasa, menjadi penasihat raja dalam segala urusan pemerintahan dan spiritual. Tetapi raja ini sangat suka berbicara; ketika dia berbicara, tidak ada kesempatan untuk yang lainnya mengucapkan sepatah kata pun. [176] Dan Bodhisatta menunggu suatu kesempatan, berharap dapat menghentikan pembicaraannya yang banyak itu.
Kala itu di sana terdapat seekor kura-kura yang menetap di sebuah kolam di daerah Himalaya.
Dua angsa muda liar, ketika sedang mencari makan, bertemu dengan kura-kura ini; lama kelamaan mereka menjadi teman akrab. Suatu hari dua angsa itu berkata kepadanya: “Teman Kura-kura, kami memiliki sebuah rumah yang indah di Himalaya, di atas satu dataran tinggi di Gunung Cittakūta, di dalam sebuah gua emas! Maukah Anda pergi bersama kami?”
“Bagaimana caranya,” katanya, “saya bisa ke sana?” “Oh, kami akan membawamu jika kamu dapat menutup mulutmu, dan tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada siapa pun.”
“Ya, saya dapat melakukan itu,” katanya; “bawalah saya!”
Jadi mereka menyuruh kura-kura menggigit sebuah batang kayu dengan giginya, dan mereka sendiri memegang kedua ujung batang tersebut, mereka terbang ke udara.
Anak-anak desa melihat ini, dan berseru—“Di sana ada dua angsa membawa seekor kura-kura dengan sebatang kayu!”
(Pada saat ini, kedua angsa yang terbang dengan cepat telah sampai di atas istana raja, di Benares).
Kura-kura ingin berteriak—“Ya, dan jika teman-temanku membawaku, apa hubungannya dengan kalian, orang-orang yang jahat?”—ia pun melepaskan gigitannya pada batang kayu itu dan jatuh ke halaman istana, terbelah dua! Betapa ricuhnya keadaan di sana! “Seekor kura-kura jatuh ke halaman istana dan terbelah dua!” teriak mereka. Raja, dengan Bodhisatta, dan semua anggota istananya, datang ke tempat itu, dan ketika melihat kura-kura tersebut, raja menanyakan Bodhisatta sebuah pertanyaan. “Guru yang Bijak, apa yang membuat makhluk ini jatuh?”
“Sekaranglah saatnya!” pikir Bodhisatta. “Untuk waktu yang lama, saya berharap untuk menasihati raja, dan saya telah menunggu-nunggu kesempatan. Tidak diragukan lagi, kenyataannya adalah begini; kura-kura dan kedua angsa menjadi teman; angsa-angsa tersebut pasti berniat untuk membawanya ke Himalaya, dan menyuruhnya memegang sebuah batang di antara giginya dan kemudian mengangkatnya terbang ke udara; kemudian kura-kura tersebut mendengar beberapa perkataan dan ingin untuk menjawabnya; karena tidak sanggup untuk menahan mulutnya, dia pun melepaskan dirinya; [177] dan pasti dia jatuh dari udara dan menemui ajalnya.” Demikianlah yang dipikir Bodhisatta, dan dia menasihati raja demikian: “Oh Paduka, mereka yang terlalu banyak mulut, yang tidak membatasi perkataan mereka, akan menemui kemalangan seperti ini;” dan dia pun mengucapkan bait-bait berikut:—
Kura-kura ingin berbicara dengan keras,
walaupun di antara gigi-giginya,
sebatang kayu digigitnya, tetapi,
walaupun begitu, dia tetap berbicara—
dan akhirnya jatuh ke bawah.
Dan sekarang ingatlah baik-baik,
Anda harus berbicara dengan bijaksana,
harus berbicara tepat pada waktunya.
Jatuh menemui ajalnya sang kura-kura:
Dia berbicara terlalu banyak; itulah sebabnya.
“Dia sedang mengataiku!” pikir raja di dalam hatinya, dan menanyakan Bodhisatta apakah benar demikian.
“Apakah itu Anda, Paduka, ataupun orang lain,” jawab Bodhisatta, “siapa pun yang berbicara di luar batas, akan menemui kesengsaraan seperti ini.” Demikianlah dia membuat hal itu terwujudkan.
Dan sejak itu, raja mengendalikan diri dalam berbicara dan menjadi seorang yang berbicara sedikit.


[178] Uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Pada saat itu, Kokālika (Kokalika) adalah kura-kura, dua mahāthera yang terkenal adalah dua angsa liar, Ānanda adalah raja, dan Aku adalah penasihatnya yang bijaksana.”

Catatan kaki :
128 Fausbøll, Five Jātakas, hal. 41; Dhammapada, hal. 418; bandingkan Benfey’s Pantschatantra, i. hal. 239; Babrius, ed. Lewis, i. 122; Phaedrus, ed. Orelli, 55, 128; Rhys Davids, Buddhist Birth Stories, viii.; Jacobs, Indian Fairy Tales, hal. 100 and 245.
129 Takkāriya-Jātaka, No. 481.
Diposting oleh Thiyan Ika di 18.50

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com