Sariputta | Suttapitaka | DADHI-VĀHANA-JĀTAKA Sariputta

DADHI-VĀHANA-JĀTAKA

Dadhi­vāhana­jātaka (Ja 186)

“Manis tadinya rasa mangga,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang persahabatan seorang bhikkhu dengan yang tidak baik.
Cerita pembukanya sama seperti kisah sebelumnya di atas. Kembali Sang Guru berkata: “Para Bhikkhu, sahabat yang tidak baik adalah buruk dan membahayakan; Bukan hanya persahabatan antar manusia dengan yang tidak baik membuahkan hasil yang tidak baik, tetapi di masa lampau, bahkan tanaman juga, sebuah pohon mangga, yang buah manisnya merupakan sajian yang cocok untuk para dewa, menjadi masam dan pahit dikarenakan pengaruh dari sebuah pohon nimba83 yang berbau busuk dan pahit.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, empat brahmana bersaudara, di daerah Kāsi, meninggalkan keduniawian dan menjadi petapa; mereka membangun empat gubuk daun sekaligus untuk mereka sendiri di pegunungan Himalaya dan di sanalah mereka tinggal.
Saudara yang paling tua meninggal dunia dan terlahir sebagai Dewa Sakka. Mengetahui siapa dirinya dalam kehidupan sebelumnya, dia pun sering mengunjungi yang lainnya setiap tujuh atau delapan hari dan menawarkan bantuan kepada mereka.
Suatu hari, dia mengunjungi petapa yang paling tua dan setelah beruluk salam, duduk di satu sisi. [102] “Bhante, apa yang bisa saya bantu?” tanyanya. Petapa yang sedang sakit kuning tersebut menjawab, “Saya menginginkan api.” Sakka memberinya sebuah kapak pisau cukur 84 . “Mengapa,” kata petapa itu, “siapakah yang bisa memberikan kayu bakar untukku dengan ini?” “Jika Anda menginginkan api,” jawab Sakka, “yang harus Anda lakukan adalah pukulkan tanganmu ke kapak itu dan katakan, ‘Ambilkanlah kayu dan buatkan api!’ maka kapak itu akan mengambil kayu dan membuatkan api untukmu.”
Setelah memberikannya kapak pisau cukur itu, dia kemudian mengunjungi saudara kedua dan bertanya kepadanya dengan pertanyaan yang sama—“Apa yang bisa saya bantu, Bhante?” Saat itu ada jejak kaki gajah di dekat gubuknya dan hewan-hewan itu mengganggunya. Maka dia menceritakannya kepada Sakka bahwa dia diganggu oleh gajah-gajah itu dan menginginkan mereka dapat diusir dari sana. Sakka memberinya sebuah genderang. “Jika Anda memukul sisi yang ini, Bhante,” dia menjelaskan, “musuhmu akan lari; tetapi jika Anda memukul sisi yang lainnya, mereka akan menjadi teman akrabmu dan akan mengelilingimu dengan empat kelompok pengawal.” Kemudian dia menyerahkan genderang kepadanya.
Terakhir dia mengunjungi petapa yang paling muda dan bertanya seperti sebelumnya, “Apa yang bisa saya bantu, Bhante?” Dia juga sedang sakit kuning dan apa yang dikatakannya adalah, “Tolong berikanlah dadih kepadaku.” Sakka memberikannya sebuah mangkuk dadih dengan kata-kata berikut: “Balikkanlah mangkuk ini jika Anda menginginkan sesuatu (itu), dan dadih seperti aliran sungai yang besar akan mengucur keluar darinya, dan dapat membanjiri seluruh tempat, bahkan bisa mendapatkan sebuah kerajaan untukmu.” Dengan kata-kata ini, dia pergi.
Setelah kejadian itu, kapak tersebut sering dipergunakan untuk membuat api oleh saudara yang paling tua, oleh yang kedua genderang tersebut sering dipukul di satu sisi sehingga membuat gajah-gajah melarikan diri, dan oleh yang termuda mangkuk tersebut digunakan untuk mendapatkan dadih baginya untuk dimakan.
Kala itu, terdapat seekor babi hutan yang tinggal di sebuah desa yang hancur, menemukan sebuah batu permata yang memiliki kekuatan gaib. Memungut batu permata itu di mulutnya, dia terbang ke angkasa dengan kekuatan gaib batu tersebut. Dari kejauhan dia melihat sebuah pulau di tengah samudera dan di sana dia memutuskan untuk tinggal. Maka setelah turun, dia memilih tempat yang menyenangkan di bawah sebuah pohon mangga, [103] dan di sanalah dia membuat tempat tinggalnya.
Suatu hari dia tertidur di bawah pohon tersebut, dengan batu permata tersebut terletak di depannya. Kala itu, seorang laki-laki dari Desa Kāsi, yang diusir oleh orang tuanya karena dianggap sebagai seorang yang tidak berguna, pergi ke suatu bandar, tempat dia naik kapal sebagai seorang pelaut yang mengerjakan pekerjaan yang membosankan.
Di tengah laut, kapal itu karam dan dia terapung di atas sebuah papan sampai ke pulau ini. Ketika berkeliling mencari buah-buahan, dia melihat babi hutan tersebut yang sedang tertidur pulas. Dengan diiam-diam dia merangkak, merampas batu permata itu, dan menemukan dirinya dengan gaib terbang ke udara! Dia hinggap di atas pohon mangga itu dan berpikir, “Kekuatan gaib dari batu permata ini telah mengajarkan babi hutan itu bagaimana berjalan di udara. Karena itulah, dia bisa sampai ke sini. Baiklah, saya harus membunuhnya dan menjadikannya sebagai hidangan pertamaku, baru kemudian pergi.” Maka dia mematahkan sebuah ranting, dan menjatuhkannya di atas kepala babi hutan itu. Babi hutan itu terbangun dan melihat batu permatanya telah hilang, lari ke sana dan ke sini dengan gelisahnya. Orang di atas pohon tersebut tertawa. Babi hutan itu memandang ke atas dan karena melihatnya, dia lari dan membenturkan kepalanya ke pohon mangga dan membunuh dirinya sendiri.
Laki-laki itu turun, menyalakan api, memasak babi hutan itu dan menjadikannya sebagai hidangan. Kemudian dia terbang ke angkasa dan berangkat melanjutkan perjalanannya.
Ketika melewati Himalaya, dia melihat tempat tinggal para petapa tersebut. Maka dia turun dan menghabiskan dua atau tiga hari di gubuk petapa yang tertua, dihibur dan dijamu, dan dia mengetahui keunggulan kapak tersebut. Dia memutuskan untuk mendapatkan kapak itu untuk dirinya. Jadi dia menunjukkan keunggulan dari batu permatanya kepada petapa tersebut dan menawarkan untuk menukarnya dengan kapak tersebut.
Petapa itu sudah lama menginginkan bisa berjalan di udara 85 dan setuju dengan tawaran tersebut. Orang itu mengambil kapaknya dan pergi; tetapi sebelum dia pergi terlalu jauh, dia memukul kapak tersebut dan berkata — “Kapak, hancurkanlah kepala petapa itu dan ambilkan batu permata itu untukku!” Maka terbanglah kapak membelah kepala sang petapa dan membawa kembali batu permata tersebut.
Kemudian orang tersebut menyembunyikan kapak itu dan mengunjungi petapa kedua. [104] Bersama dengannya, pengunjung itu tinggal beberapa hari dan segera mengetahui kemampuan dari genderangnya. Seperti sebelumnya, kemudian dia menukar batu permatanya dengan genderang itu, dan sama seperti sebelumnya pula membuat kapak tersebut membelah kepala pemilik genderang tersebut. Setelah itu, dia pergi ke tempat tinggal petapa yang paling muda, mengetahui kemampuan mangkuk dadih itu, memberikan kepadanya batu permata itu untuk ditukar dengan mangkuknya. Dan seperti sebelumnya mengirim kapak itu untuk membelah kepala petapa tersebut. Demikianlah dia menjadi pemilik dari batu permata, kapak, genderang dan mangkuk dadih.
Dia kemudian naik dan terbang di udara. Berhenti di dekat Benares, dia menulis sebuah surat yang dikirimkannya lewat seorang utusan, bahwasanya raja harus bertarung atau menyerah. Setelah menerima pesan, ini raja berangkat untuk menangkap penjahat ini. Dia menabuh sisi genderang yang satunya lagi dan seketika itu juga empat kelompok pengawal mengelilinginya. Ketika melihat raja mengerahkan kekuatannya, dia kemudian membalikkan mangkuk dadih itu dan air susu dadih mengalir deras keluar dari dalamnya seperti aliran sungai yang besar; Banyak sekali orang yang tenggelam di dalam sungai dadih tersebut. Berikutnya dia memukul kapaknya dan, “Ambilkan kepala raja itu untukku!” teriaknya. Kapak itu terbang pergi dan kembali, menjatuhkan kepala raja itu di bawah kakinya. Tidak ada seorang pun yang mampu melawannya.
Maka dengan dikelilingi sejumlah pasukan yang kuat, dia masuk ke dalam kota dan mengangkat dirinya sebagai raja terpilih dengan julukan Raja Dadhivāhana (Dadhivahana), dan memerintah dengan benar.
Suatu hari, ketika raja sedang bersenang-senang dengan melemparkan jala ke dalam sungai, dia mendapatkan sebuah mangga, yang cocok untuk para dewa, yang mengapung turun dari Danau Kaṇṇamuṇḍa. Ketika jala ditarik keluar, buah mangga ditemukan dan ditunjukkan kepada raja. Buah ini sangatlah besar, sebesar baskom, bulat dan berwarna keemasan. Raja menanyakan buah apakah itu: “Mangga,” jawab para penjaga hutan. Dia memakannya dan bijinya ditanam di dalam tamannya, dan disiram dengan air susu.
Pohon tersebut tumbuh dan dalam tiga tahun pohon ini telah berbuah. Persembahan yang banyak diberikan kepada pohon ini; air susu dituangkan di sekitarnya, untaian bunga yang wangi dengan lima aroma digantungkan kepadanya, kalung bunga berbentuk lingkaran dihiaskan kepadanya, pelita selalu tetap menyala dan diisi dengan minyak yang wangi, dan sekelilingnya terdapat sekat kain. Buahnya sangat manis dan berwarna layaknya emas murni.
Raja Dadhivahana, sebelum mengirimkan hadiah buah-buah mangga ini kepada raja-raja lain, [105] biasanya dengan duri menusuk ke dalam bijinya, tempat tunas keluar, karena takut kalau mereka akan menumbuhkan pohon yang sama dengan menanam bijinya. Setelah memakan buahnya, mereka menanam bijinya. Akan tetapi mereka tidak bisa membuat biji ini berakar. Mereka pun mencari tahu apa penyebabnya dan menemukan apa masalahnya.
Terdapat seorang raja yang menanyakan kepada tukang kebunnya apakah dia bisa merusak rasa dari buah ini dan membuatnya menjadi pahit di pohonnya. Orang tersebut mengiyakannya, maka raja memberikan kepadanya uang seribu keping, dan mengirimnya pergi untuk melakukan tugas tersebut.
Demikianlah segera setelah sampai ke Benares, orang tersebut mengirimkan pesan kepada raja bahwa seorang tukang kebun datang. Raja setuju untuk menemuinya. Setelah orang tersebut memberi salam, raja bertanya, “Anda adalah seorang tukang kebun?” “Ya, Paduka,” jawab orang itu dan mulai memuji dirinya sendiri. “Bagus sekali,” jawab raja, “Anda boleh pergi dan membantu penjaga taman saya.” Maka setelah itu, mereka berdua yang menjaga taman kerajaan.
Orang baru itu berhasil membuat taman kelihatan lebih indah dengan memaksa bunga-bunga dan buah keluar di luar musimnya. Hal ini menyenangkan raja, sehingga dia memecat penjaga lamanya dan memberikan seluruh tanggung jawab taman kepada orang baru itu.
Tidak lama setelah orang ini mendapatkan taman di tangannya, dia pun menanam pohon nimba dan tanaman-tanaman menjalar lainnya di sekitar pohon mangga tersebut. Setelah beberapa saat, pohon nimba itu mulai tumbuh. Di atas dan di bawah, akar dengan akar, dan ranting dengan ranting, semua tanaman tersebut melilit pohon mangga itu.
Demikianlah pohon mangga yang buahnya yang manis itu, menjadi pahit seperti pohon nimba yang berdaun pahit, ditambah lagi oleh tanaman-tanaman yang berbau busuk dan masam. Segera setelah tukang kebun itu tahu bahwa buahnya telah menjadi pahit, dia pun pergi melarikan diri.
Raja Dadhivahana berjalan ke taman kerajaannya dan mencicipi buah mangga. Sari buah mangga di dalam mulutnya terasa seperti buah nimba yang tidak enak; dia tidak bisa menelannya, dia memuntahkan dan meludahkannya keluar.
Kala itu, Bodhisatta adalah penasihatnya dalam urusan pemerintahan dan spiritual. Raja bertanya kepadanya. “Pendeta, pohon ini selalu dirawat dengan baik, tetapi buahnya masih saja menjadi pahit. Apa artinya ini?” dan sambil menanyakan pertanyaan ini, dia mengulangi bait pertama:—[106]
Manis tadinya rasa mangga ini,
harum baunya, emas warnanya:
Apakah yang telah menyebabkan rasa pahit ini?
padahal kami merawatnya sama seperti sebelumnya.
Bodhisatta menjelaskan alasannya dalam bait kedua:—
Melilit mengelilingi batangnya,
ranting dengan ranting dan akar dengan akar,
lihatlah tanaman menjalar yang pahit itu;
itulah yang merusak buahmu;
Demikianlah Anda lihat, sahabat yang tidak baik
akan membuat yang lebih baik menjadi sama dengannya.
Setelah mendengar ini, raja memerintahkan semua pohon nimba dan tanaman menjalar itu dibersihkan dan akar-akarnya dicabut; semua tanah yang tercemar itu diangkat dan tanah yang subur ditaruh di tempatnya; dan pohon tersebut, dengan hati-hati, diberi air yang manis, air susu, air yang beraroma wangi.
Kemudian setelah menyerap semua rasa manis itu, buahnya pun kembali tumbuh menjadi manis. Raja memanggil tukang kebun yang lama untuk bertanggung jawab atas taman itu kembali, dan pada akhir hayatnya, raja meninggal menerima buah sesuai dengan perbuatannya.

Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran-Nya:—“Pada masa itu, Aku adalah penasihat bijak tersebut.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com