Sariputta | Suttapitaka | KĀKA-JĀTAKA Sariputta

KĀKA-JĀTAKA

Kākajātaka (Ja 140)

“Dalam ketakutan tanpa henti,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru mengenai seorang penasihat yang bijaksana.

Kejadian-kejadiannya akan diceritakan pada Buku Kedua Belas, berhubungan dengan Bhaddasāla-Jātaka220.

__________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir kembali sebagai seekor burung gagak. Suatu hari pendeta kerajaan meninggalkan istana menuju ke sungai, mandi, mengharumkan diri dan memasang untaian bunga pada dirinya, memakai perhiasan yang mencolok dan kembali ke kota. Di bagian bawah atap gerbang kota yang melengkung, duduklah dua ekor burung gagak; seekor gagak berkata kepada temannya, “Saya ingin membuang kotoran di kepala brahmana ini.” “Oh, jangan lakukan hal itu,” kata gagak yang satunya, “karena brahmana ini adalah orang yang mulia, akan merupakan hal yang buruk untuk menimbulkan rasa benci pada orang yang mulia. Jika engkau membuat ia marah, engkau bisa menghancurkan seluruh bangsa kita.” “Saya benar-benar harus,” jawab burung pertama. “Baiklah, engkau pasti akan didapatkannya,” kata gagak yang satunya lagi dan segera terbang pergi. Saat brahmana itu berada tepat di bawah tempat itu, kotoran jatuh menimpanya seperti gagak itu sedang menjatuhkan rangkaian bunga. Sejak itu, brahmana yang merasa murka tersebut membenci semua burung gagak.

Di tempat yang lain, seorang pelayan wanita sedang bertugas di lumbung padi, menyebarkan padi untuk dijemur dekat pintu lumbung tersebut, dan sedang duduk di sana untuk mengawasinya, saat ia akhirnya tertidur. Pada saat itu muncul seekor kambing yang berbulu kasar dan mulai makan padi-padi itu hingga akhirnya gadis itu terbangun dan mengusirnya pergi.

Dua hingga tiga kali kambing itu kembali saat gadis itu jatuh tertidur, dan menyantap padi-padi tersebut. [485] Maka setelah mengusir makhluk itu pergi untuk yang ketiga kalinya, ia berpikir bahwa kedatangan kambing secara terus menerus akan menghabiskan setengah simpanan padinya, dan tindakan itu harus dilakukan untuk menakuti-nakuti hewan tersebut demi kebaikan dan demi menyelamatkannya dari kerugian besar. Maka ia mengambil sebuah obor yang sedang menyala, dan duduk menunggu, berpura-pura tertidur seperti biasanya. Saat kambing itu sedang makan, tiba-tiba ia melompat bangun dan memukul bagian ekor kambing dengan bulu yang kasar itu dengan obornya. Seketika itu juga kulit kambing itu dipenuhi oleh kobaran api, dan untuk menghentikan rasa sakitnya, kambing itu berlari ke dalam gudang jerami yang berada di dekat kandang gajah, dan bergulingan di atas jerami. Maka lumbung itu dilahap api, dan kobaran api menyebar hingga ke kandang-kandang itu. Begitu kandang-kandang itu terbakar, gajah-gajah mulai mengalami penderitaan dan banyak dari gajah-gajah itu yang terbakar parah, di luar kemampuan dokter gajah untuk mengobati mereka.

Ketika hal ini dilaporkan pada raja, ia bertanya kepada pendeta kerajaan apakah ia mengetahui apa yang bisa mengobati gajah-gajah ini. “Tentu saya tahu, Paduka,” jawab pendeta tersebut, dan saat dimintai penjelasan, ia berkata obat ajaibnya adalah lemak burung gagak. Raja memerintahkan agar gagak-gagak dibunuh dan lemak mereka diambil. Sejak saat itu, pembunuhan besar-besaran menimpa burung gagak, namun tidak pernah ada lemak yang ditemukan pada mereka. Sementara orang-orang terus melakukan pembunuhan hingga bangkai gagak menumpuk dimana-mana. Ketakutan besar melingkupi bangsa gagak.

Pada saat itu Bodhisatta menetap di sebuah pemakaman besar, sebagai pemimpin dari delapan puluh ribu ekor gagak. Salah seekor dari mereka membawa berita ini padanya, menceritakan tentang ketakutan yang melanda para gagak. Dan Bodhisatta mengetahui tidak ada yang bisa mencoba menyelesaikan hal itu selain dirinya, memutuskan untuk membebaskan bangsanya dari ketakutan besar mereka.

Merenungkan Sepuluh Kesempurnaan, dan dari sana, menetapkan Cinta Kasih sebagai pegangannya, ia terbang tanpa henti menuju istana raja dan masuk melalui jendela yang terbuka, dan hinggap di kolong singgasana raja. Seorang pelayan langsung berusaha untuk menangkap burung tersebut, namun raja yang masuk ke dalam ruangan melarangnya.

Memulihkan diri sejenak, makhluk yang agung itu mengingat pada cinta kasih, keluar dari singgasana raja dan berbicara seperti ini kepada Raja, “Paduka, seorang raja seharusnya mengingat pepatah bahwa raja tidak boleh digerakkan oleh hasrat dan nafsu jahat lainnya dalam menjalankan kerajaan mereka. Sebelum bertindak, terlebih dahulu harus menguji dan mengetahui keseluruhan masalah itu, dan kemudian, hanya melakukan apa yang bermanfaat. Jika raja melakukan apa yang tidak bermanfaat, mereka memenuhi ratusan makhluk dengan rasa takut yang hebat, termasuk ketakutan terhadap kematian. [486] Dan dalam memberikan resep berupa lemak burung gagak, pendetamu hanya menyarankannya demi membalas dendam melalui kebohongan; karena gagak tidak mempunyai lemak.”

Dengan kata-kata tersebutlah ia memenangkan hati raja, dan ia meminta agar Bodhisatta ditempatkan di sebuah singgasana emas dan diberi upacara pemercikan di bagian sayapnya dengan minyak pilihan dan dijamu dengan daging dan minuman yang dipersiapkan untuk raja sendiri dalam wadah emas.

Setelah makhluk agung itu makan dan telah rileks, raja berkata, “Guru, engkau mengatakan bahwa gagak tidak mempunyai lemak. Mengapa mereka bisa tidak mempunyai lemak?”

“Karena ini,” jawab Bodhisatta dengan suara yang memenuhi seluruh istana, ia mengucapkan kebenaran dalam syair berikut ini : —

Dalam ketakutan tanpa henti,
atas permusuhan dari seluruh umat manusia,
hidup mereka lalui;
karena itulah gagak tidak memiliki lemak.
Setelah memberi penjelasan tersebut, makhluk yang agung itu mengajari raja dengan berkata, “Paduka, raja tidak boleh bertindak tanpa menguji dan mengetahui keseluruhan permasalahan.” Merasa senang, raja memberikan kerajaannya kepada Bodhisatta, namun Bodhisatta mengembalikannya kepada raja, yang menerima lima sila darinya, ia juga memohon pada raja untuk melindungi semua makhluk hidup dari bencana.

Dan raja yang terharu oleh kata-kata tersebut, memberikan kekebalan pada semua makhluk hidup, dan dalam kenyataannya ia terus menerus memberikan hadiah yang berlimpah pada bangsa gagak. Setiap hari ia membuat enam gantang berisikan nasi yang dimasak untuk mereka dengan rasa yang lezat, dan semua itu diberikan kepada gagak. Untuk Bodhisatta sendiri, tersedia makanan seperti apa yang dimakan oleh raja sendiri.

__________________

Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Ānanda adalah Raja Benares di masa itu, dan Saya sendiri adalah raja gagak itu.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com