Sariputta | Suttapitaka | DUMMEDHA-JĀTAKA Sariputta

DUMMEDHA-JĀTAKA

Dummedhajātaka (Ja 122)

“Kedudukan yang tinggi,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Weluwana, mengenai Devadatta. Saat para bhikkhu berkumpul bersama di Balai Kebenaran, dan membicarakan bagaimana sekilas pandang pada kesempurnaan Sang Buddha dan semua tanda-tanda Kebuddhaan 201 yang khusus itu membuat Devadatta dipenuhi oleh kemarahan; dan kecemburuannya membuat ia tidak tahan mendengar pujian terhadap kata-kata Sang Buddha yang bijaksana. Masuk ke dalam balai tersebut, Sang Guru menanyakan apa yang menjadi topik pembicaraan mereka. Ketika mereka menyampaikan hal tersebut kepada-Nya, Beliau berkata, “Para Bhikkhu, sama seperti sekarang ini, di kehidupan yang lampau Devadatta juga marah mendengar pujian-pujian yang diberikan kepada Saya.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Sekali waktu ketika Raja Magadha memerintah di Rājagaha pada Kerajaan Magadha, Bodhisatta terlahir kembali sebagai seekor gajah. Ia berwarna putih secara keseluruhan, dan dianugerahi dengan semua bentuk kecantikan yang telah dijelaskan sebelumnya. Karena keindahannya, raja menjadikannya sebagai gajah kerajaan.
Pada suatu perayaan, raja menghias kota menyerupai kota para dewa dan menunggang gajah tersebut dengan segala hiasannya, melakukan sebuah prosesi yang khidmat untuk mengelilingi kota didampingi oleh satu rombongan yang besar. Di sepanjang jalan, orang-orang terpana melihat gajah tanpa tandingan itu, hingga berseru, “Oh, betapa agungnya gaya berjalan itu! Betapa sepadannya! Betapa indahnya! Betapa mulianya! Gajah putih seperti itu senilai dengan kerajaan di seluruh dunia!” Semua pujian itu membuat raja iri dan ia memutuskan untuk membuangnya di tebing yang curam dan membuatnya terbunuh. Maka ia memanggil pelatihnya dan menanyakan apakah seperti itu yang disebut sebagai seekor gajah yang terlatih.
“Ia benar-benar terlatih dengan baik, Paduka,” kata pelatih tersebut. “Tidak, ia sangat tidak terlatih.” “Paduka, ia terlatih dengan baik.” [445] “Jika ia terlatih dengan baik, bisakah kamu membuatnya mendaki puncak Gunung Vepulla?” “Bisa, Paduka.” “Pergilah engkau bersamanya, kalau begitu,” kata raja. Dan raja turun dari punggung gajah, sebagai gantinya, pelatih itu yang menungganginya, dan raja pergi sendiri ke kaki gunung, sementara sang pelatih duduk di punggung gajah menuju ke puncak gunung tersebut. Raja bersama anggota kerajaan juga mendaki gunung tersebut, dan membuat gajah itu berhenti di tepi tebing yang curam. “Sekarang,” katanya kepada lelaki tersebut, “jika ia terlatih dengan baik seperti katamu, buat ia berdiri dengan tiga kaki.”
Pelatih yang berada di punggung gajah hanya menyentuh hewan tersebut dengan tongkatnya untuk memberi tanda dan berkata, “Hai, Gajahku yang cantik, berdirilah dengan tiga kaki.” “Sekarang, buat ia berdiri dengan dua kaki depan,” kata raja. Dan makhluk yang agung itu bertumpu dengan kaki belakangnya dan berdiri dengan kedua kaki depannya saja. “Sekarang berdiri dengan kaki belakang,” kata raja. Gajah yang patuh itu bertumpu dengan kaki depannya hingga ia hanya berdiri dengan kaki belakangnya saja. “Sekarang berdiri dengan satu kaki,” kata raja, dan gajah tersebut berdiri dengan satu kaki saja.
Melihat gajah tersebut tidak jatuh ke dalam tebing yang curam itu, raja kemudian berseru, “Jika kamu bisa, buat ia terbang di udara!”
Pelatih itu berpikir, “Di seluruh India, tidak ada gajah yang bisa menandingi gajah yang terlahir dengan begitu sempurna ini. Pasti raja hanya ingin membuat ia berguling ke dalam tebing yang curam ini dan mengalami kematian.” Maka ia berbisik di telinga gajah, “Anakku, raja hanya ingin agar engkau jatuh dan mati. Ia tidak berharga bagimu. Jika engkau mempunyai kekuatan untuk melayang di udara, melayanglah dengan saya berada di punggungmu dan terbanglah melalui udara ke Benares.”
Makhluk yang agung ini, diberkahi dengan kekuatan yang luar biasa, yang mengalir dari jasa kebaikannya, langsung melayang di udara. Pelatih itu kemudian berkata, “Paduka, gajah ini memiliki kekuatan luar biasa yang mengalir dari jasa kebaikannya, terlalu baik untuk orang bodoh yang tidak berharga seperti dirimu: tidak ada yang lain selain raja yang bijaksana dan penuh kebaikan yang pantas menjadi majikannya. Jika orang yang tidak berharga seperti dirimu mendapatkan gajah seperti ini, yang tidak mengetahui betapa bernilainya gajah ini, akan kehilangan gajah dan semua kejayaan serta kemewahan yang tersisa.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, pelatih itu, duduk di punggung gajah, mengucapkan syair berikut ini: —
Kedudukan yang tinggi memberikan penderitaan
bagi seorang yang dungu,
ia menjadi musuh bagi dirinya sendiri
dan makhluk lain.
[446] “Sekarang, selamat tinggal,” katanya kepada raja setelah mengakhiri ungkapan kemarahannya; terbang di udara, ia menuju ke Benares dan berhenti di tengah-tengah udara diluar halaman istana. Terjadilah kegemparan besar di kota, semua orang berseru, “Lihatlah gajah kerajaan yang datang melalui udara untuk raja kita dan sedang melayang dekat halaman istana.” Dengan tergesa-gesa berita ini disampaikan kepada raja, yang segera keluar dan berkata, “Jika kedatanganmu berhubungan dengan kepentingan saya, maka turunlah.” Bodhisatta turun dari udara. Pelatih itu turun dan memberi hormat kepada raja, dan dalam menjawab pertanyaan raja ia menceritakan seluruh kejadian yang membuat mereka meninggalkan Rājagaha. “Kalian telah berbaik hati,” kata raja, “untuk datang kemari”; dan dalam kegembiraannya, ia meminta agar kota dihiasi dan gajah tersebut ditempatkan di kandang kerajaan. Kemudian ia membagi kerajaannya menjadi tiga bagian, memberi satu bagian untuk Bodhisatta, satu bagian untuk pelatih itu dan satu bagian untuk dirinya sendiri. Dan kekuasaannya semakin berkembang sejak Bodhisatta datang, hingga akhirnya ia menguasai seluruh India. Sebagai raja di India, ia sangat murah hati dan melakukan semua perbuatan baik hingga akhirnya ia meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam bahagia sesuai dengan hasil perbuatannya.

Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Devadatta adalah Raja Benares, Ānanda adalah pelatih itu, dan Saya adalah gajah tersebut.”
Catatan kaki :
201 Lihat Sela Sutta (No.33 dari Sutta Nipāta dan No.92 dari Majjhima Nikāya).

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com