Sariputta | Suttapitaka | SURĀPĀNA-JĀTAKA Sariputta

SURĀPĀNA-JĀTAKA

Surāpānajātaka (Ja 81)

[360] “Kami minum,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru berkenaan dengan Thera Sāgata, saat Beliau menetap di Taman Ghosita dekat Kosambī.
Setelah menghabiskan musim hujan di Sawatthi, Sang Guru melanjutkan pindapata ke sebuah kota niaga yang bernama Bhaddavatikā, dimana para penggembala sapi, penggembala kambing, para petani dan para pengelana dengan penuh hormat meminta agar Beliau tidak pergi ke Perahu Mangga; “Karena,” kata mereka, “di Perahu Mangga, pada tempat pertapaan para petapa telanjang, tinggal seekor nāga (naga) beracun yang mematikan, yang dikenal sebagai Naga Perahu Mangga, yang dapat mencelakai Bhagawan.” Pura-pura tidak mendengar perkataan mereka, walaupun pemberitahuan itu telah mereka ulangi sebanyak tiga kali, Sang Bhagawan tetap meneruskan perjalanannya. Sementara Sang Bhagawan menetap di Bhaddavatikā dalam sebuah hutan tertentu, Thera Sāgata, yang melayani Sang Buddha, dengan kesaktian tertentu yang dapat dimiliki oleh seorang manusia, pergi ke tempat pertapaan tersebut, menimbun sebuah dipan dari dedaunan di tempat tinggal raja naga itu, dan duduk bersila di sana. Tidak mampu menyembunyikan sifat dasarnya yang jahat, naga tersebut menciptakan gumpalan asap yang besar, demikian juga dengan thera tersebut. Kemudian naga mengeluarkan kobaran api, demikian juga yang dilakukan thera tersebut. Namun, sementara kobaran api dari naga tidak bisa melukai sang thera, kobaran api yang diciptakan oleh thera tersebut telah melukai naga, maka dalam waktu yang singkat sang thera telah menaklukkan naga itu, dan menetapkan perlindungan dan sila kepadanya, setelah itu ia kembali kepada Sang Guru. Dan Sang Guru sendiri, setelah menetap selama yang ia inginkan di Bhaddavatikā, melanjutkan perjalanan ke Kosambī. Cerita mengenai naga yang diubah keyakinannya oleh Sāgata, heboh sampai ke daerah pinggiran desa, dan para penduduk Kosambī menemui Sang Bhagawan, memberi hormat kepada Beliau, kemudian mencari Thera Sāgata dan memberikan hormat kepadanya, berkata, “Katakan pada kami, Bhante, apa yang engkau butuhkan dan kami akan menyediakannya.” Sang thera tetap diam; namun keenam bhikkhu itu (Bhikkhu-bhikkhu Chabbagiyā) menjawab sebagai berikut: — “Tuan-tuan, untuk mereka yang telah meninggalkan keduniawian, arak (minuman keras) putih adalah sangat langka mereka dapatkan. Bisakah kalian mendapatkan sedikit arak putih yang murni untuk sang thera?” “Pasti akan kami dapatkan,” jawab para penduduk, dan mengundang Sang Guru untuk makan bersama mereka keesokan harinya. Kemudian mereka kembali ke kota mereka dan mengatur agar masing-masing rumah menyediakan arak putih yang murni untuk sang thera, dan menempatkannya di dalam gudang. Kemudian mereka mengundang thera tersebut untuk masuk dan memberikan minuman keras padanya, di rumah demi rumah. Begitu hebatnya akibat minuman itu sehingga, dalam perjalanan keluar dari kota tersebut, sang thera tersungkur tak berdaya di gerbang kota dan terbaring di sana sambil cegukan dan mengucapkan omong kosong. Dalam perjalanan kembali setelah menyantap makanannya di kota, Sang Guru menemukan thera tersebut terbaring di sana, meminta para bhikkhu membawa Sāgata pulang, [361] dan melanjutkan perjalanan menuju ke taman. Para bhikkhu membaringkan thera tersebut dengan kepala di kaki Sang Buddha, namun ia berputar, sehingga menjadi berbaring dengan kaki menghadap Sang Buddha. Sang Guru kemudian bertanya, “Para Bhikkhu, apakah Sāgata menunjukkan penghormatan pada saya saat ini seperti yang biasa ia lakukan?” “Tidak, Bhante.” “Katakan pada saya, para Bhikkhu, siapakah yang mengendalikan raja naga dari Perahu Mangga?” “Sāgata, Bhante.” “Menurut kalian, dalam kondisi sekarang ini, mampukah Sāgata mengendalikan ular air yang tidak berbahaya?” “Ia tidak akan mampu, Bhante.” “Baiklah, para Bhikkhu, pantaskah untuk minum hingga, saat mabuk, seseorang kehilangan akal sehatnya?” “Tidak pantas, Bhante.” Setelah memberikan ceramah kepada para bhikkhu dengan mengecam thera tersebut, Sang Bhagawan menetapkan sebuah peraturan bahwa minum minuman keras merupakan pelanggaran pācittiya; setelah itu Beliau bangkit dan berlalu ke dalam kamar-Nya yang wangi.
Berkumpul bersama di dalam Balai Kebenaran, para bhikkhu membicarakan kesalahan karena minum minuman keras, dengan berkata, “Betapa besar kesalahan dari meminum minuman keras, Awuso, mengingat hal tersebut dapat membuat seseorang menjadi buta terhadap keunggulan Sang Buddha, bahkan orang yang bijaksana dan berbakat seperti Sāgata.” Memasuki balai tersebut, Sang Guru menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan; dan mereka menceritakannya kepada Beliau. “Para Bhikkhu,” kata Beliau, “ini bukan pertama kalinya ia yang telah meninggalkan keduniawian kehilangan akal sehat karena minuman keras; hal yang sama juga terjadi di kehidupan yang lampau.” Setelah mengatakan hal tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir dalam sebuah keluarga Brahmana dari utara di Kāsi. Setelah dewasa, ia meninggalkan keduniawian untuk menjalani hidup sebagai petapa. Ia memperoleh kemampuan batin luar biasa (kesaktian) dan pencapaian (meditasi), menetap dalam kebahagiaan pencapaian jhana di Pegunungan Himalaya, dengan lima ratus orang siswa di sekelilingnya. Suatu ketika, saat musim hujan tiba, para siswanya bertanya, “Guru, bolehkan kami pergi ke perkampungan manusia dan membawa pulang garam serta cuka?” “Untuk saya pribadi, saya akan tetap disini; sementara kalian boleh pergi demi keselamatan kalian, dan kembalilah setelah musim hujan berlalu.”
“Baik,” jawab mereka, dan dengan penuh hormat pamit kepada guru mereka, menuju ke Benares, dimana mereka mengambil tempat tinggal di taman peristirahatan kerajaan. Keesokan harinya, mereka melakukan pindapata di sebuah desa yang berada di luar gerbang kota, tempat mereka mendapatkan makanan yang berlimpah; hari berikutnya mereka masuk ke dalam kota itu sendiri. Para penduduk dengan ramah memberikan dana kepada mereka; raja segera mendapat kabar bahwa lima ratus orang petapa dari Pegunungan Himalaya telah bermalam di taman peristirahatan kerajaan, dan mereka merupakan petapa yang sangat cermat, menahan diri dari (makan) daging, dan dipenuhi dengan kebaikan. Mendengar karakter mereka yang baik, raja mengunjungi taman peristirahatan dan dengan ramah menerima mereka [362] untuk menetap di sana selama empat bulan lamanya. Sejak saat itu mereka menerima dana makanan dari istana dan bertempat tinggal di taman peristirahatan kerajaan. Suatu hari, sebuah perayaan minuman diselenggarakan di kota, dan raja mempersiapkan sejumlah besar persediaan minuman keras mutu terbaik untuk kelima ratus orang petapa karena mengetahui hal tersebut jarang diperoleh mereka yang telah meninggalkan keduniawian dan segalanya. Para petapa itu meminum minuman keras tersebut dan kembali ke taman peristirahatan kerajaan. Di sana, dalam keriuhan akibat mabuk, beberapa orang menari, beberapa orang bernyanyi, sementara yang lain, bosan menari dan bernyanyi, menendang keranjang beras dan benda-benda lainnya, — setelah itu mereka berbaring untuk tidur. Setelah tidur yang menghilangkan kemabukan mereka, mereka terbangun dan melihat bekas-bekas keriuhan mereka, mereka menangis dan meratap, berkata, “Kita telah melakukan apa yang tidak seharusnya kita lakukan. Kita melakukan keburukan ini karena berada jauh dari guru kita.” Karenanya, mereka meninggalkan taman peristirahatan kerajaan dan kembali ke Pegunungan Himalaya. Setelah meletakkan patta dan benda-benda lainnya di samping, mereka memberi hormat kepada guru mereka dan mengambil tempat duduk. “Baiklah, Anak-anakku,” kata guru mereka, “apakah kalian merasa nyaman tinggal di tengah-tengah perkampungan manusia, dan apakah kalian terhindar dari rasa bosan melakukan perjalanan pindapata? Apakah kalian menetap bersama satu dengan yang lain?”
“Ya, Guru, kami merasa nyaman; namun kami meminum minuman yang terlarang, karenanya, kami kehilangan akal sehat kami dan lupa pada jati diri kami, kami menari dan bernyanyi.”
Untuk menjelaskan masalah itu lebih lanjut, mereka menyusun dan mengulang syair berikut ini: —
Kami minum, kami menari,
kami bernyanyi, kami menangis;
Untungnya sewaktu meminum minuman yang
melemahkan kesadaran itu,
kami tidak berubah menjadi bangsa kera.
“Ini adalah hal yang pasti akan terjadi pada mereka yang tidak tinggal di bawah pengawasan seorang guru,” kata Bodhisatta, menegur para petapa tersebut; dan ia menasihati mereka dengan berkata, “Mulai sekarang, jangan melakukan hal seperti itu lagi.” Ia melanjutkan kehidupannya dengan tanpa putus dari (meditasi pencapaian) jhana, dan terlahir kembali di alam brahma.

[363] Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru menjelaskan tentang kelahiran tersebut (Mulai sekarang, kita akan menghilangkan kata ‘mempertautkan’), dengan berkata, “Para siswa Saya adalah rombongan petapa di masa itu, dan Saya sendiri adalah guru mereka.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com