Sariputta | Suttapitaka | KUDDĀLA-JĀTAKA Sariputta

KUDDĀLA-JĀTAKA

Kuddālajātaka (Ja 70)

“Penaklukan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang Thera yang bernama Cittahattha-Sariputta (Cittahattha-Sāriputta). Dikatakan semasa mudanya, ia berasal dari sebuah keluarga yang baik di Sawatthi. Suatu hari, saat dalam perjalanan pulang setelah membajak (tanah), ia berkunjung ke wihara. Di sana ia menerima makanan bagus yang lezat dan manis rasanya dari patta 124 seorang bhikkhu sepuh (Thera), yang membuatnya berpikir, “Meskipun siang dan malam saya bekerja keras dengan kedua tangan mengerjakan berbagai macam pekerjaan, belum pernah saya menikmati makanan yang begitu enak. Saya harus menjadi seorang bhikkhu.” Maka ia menjadi anggota Sanggha; tetapi, setelah enam minggu berusaha dengan giat menerapkan perenungan yang mulia, ia dikuasai nafsu dan pergi dari sana. Karena menginginkan makanan bagus, [312] ia kembali menjadi anggota Sanggha sekali lagi, dan mempelajari Abhidhamma.125 Dengan cara seperti itu, ia keluar dan kembali menjadi anggota Sanggha sebanyak enam kali; tetapi, saat untuk yang ketujuh kalinya ia menjadi bhikkhu, ia menguasai keseluruhan tujuh kitab dari Abhidhamma. Dengan membaca lebih banyak Dhamma kebhikkhuan, ia mendapatkan kebijaksanaan dari hasil meditasi dan mencapai kearahatan. Ketika itu rekan-rekannya, sesama bhikkhu, mengejeknya, “Sanggupkah, Awuso Cittahattha, nafsu dilenyapkan dalam batinmu?”
“Awuso,” jawabnya, “mulai sekarang dan seterusnya saya telah melampaui kehidupan duniawi.”
Karena ia telah mencapai kearahatan, timbul perbincangan di Balai Kebenaran: “Awuso, walaupun ia telah sempurna dalam kearahatan, tetapi Yang Mulia Cittahattha-Sariputta pernah meninggalkan Sanggha sebanyak enam kali; sungguh, sangat berbahaya nafsu kehidupan duniawi.”
Setelah kembali ke Balai Kebenaran, Sang Guru bertanya apa yang sedang mereka bicarakan. Setelah mendengar cerita mereka, beliau berkata, “Para Bhikkhu, nafsu duniawi itu sangat halus dan sulit dikekang; benda-benda materi menarik dan mengikat dengan erat; sekali terikat dengan erat, tidak bisa dilepas dalam sekejap mata. Sangat baik mengendalikan pikiran; sekali terkendalikan, akan membawa kegembiraan dan kebahagiaan: —
“Sungguh baik untuk menjinakkan pikiran yang bandel
Dan selalu berubah-ubah,
Oleh pengaruh nafsu. Sekali pikiran terjinakkan,
akan membawa kebahagiaan.”
Karena sifat pikiran yang bandel inilah, demi sebuah sekop yang sangat disayangi yang tidak bisa ia buang, seorang yang bijaksana dan pandai pada kehidupan yang lampau sebanyak enam kali kembali ke dalam kehidupan duniawi oleh pengaruh keserakahan (lobha); tetapi, saat untuk ketujuh kalinya, ia berhasil mencapai jhana dan menaklukkan keserakahannya.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
_____________________
Pada suatu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir kembali dan tumbuh dewasa sebagai seorang tukang kebun. ‘Guru Sekop’ adalah namanya. Dengan sekopnya ia membersihkan sebidang tanah, dan menanam sayuran, labu kuning, kundur, mentimun, dan sayuran lainnya. Setelah menjual semuanya, ia hidup dalam penyesalan. Selain sekop itu, ia tidak mempunyai apa pun di dunia ini. Suatu hari, setelah memutuskan untuk meninggalkan keduniawian dan menempuh kehidupan suci, ia menyembunyikan sekopnya dan menjadi seorang petapa. Tetapi pikiran akan sekop tersebut selalu muncul dan nafsu keserakahan timbul dalam dirinya, sehingga demi sekopnya yang tumpul itu, ia kembali pada keduniawian. [313] Kejadian ini terulang dan terulang lagi; enam kali sudah ia menyembunyikan sekop itu dan menjadi seorang petapa,—hanya untuk meninggalkan sumpahnya lagi. Tetapi, saat untuk ketujuh kalinya, ia berpikir kembali bagaimana sekop tumpul itu menyebabkannya berulang-ulang menyerah. Lalu ia membulatkan tekad untuk membuangnya ke sebuah sungai besar sebelum menjadi seorang petapa lagi. Maka ia membawa sekop tersebut ke tepi sungai itu. Ia memejamkan matanya sebisa mungkin karena khawatir jika ia melihat tempat sekop itu dijatuhkan, ia akan kembali dan berusaha untuk mendapatkannya lagi. Lalu ia memutar sekop itu tiga kali di atas kepalanya dengan menggenggam pegangan sekop itu dan melemparkannya dengan kekuatan seperti seekor gajah tepat di tengah aliran sungai. Kemudian ia berteriak dengan penuh kegembiraan, sebuah teriakan seperti raungan singa, “Saya sudah menaklukkan! Saya sudah menaklukkan!”
Pada saat yang sama, Raja Benares yang dalam perjalanan pulang setelah memadamkan pemberontakan di perbatasan, sesudah mandi di sungai itu juga, ketika sedang mengendarai gajahnya dengan segala kemegahannya, ia mendengar teriakan kemenangan Bodhisatta. “Ada seorang pria,” kata raja, “yang menyatakan bahwa ia sudah menaklukkan. Saya ingin tahu siapa yang sudah ia taklukkan. Pergilah dan bawa ia menghadapku.”
Maka Bodhisatta dibawa ke hadapan raja. Raja berkata, “Temanku yang baik, saya adalah seorang penakluk; saya baru saja memenangkan pertempuran dan sedang dalam perjalanan pulang dengan kejayaan. Katakanlah padaku siapa yang sudah Anda taklukkan.” “Maharaja,” jawab Bodhisatta, “seribu, ya, seratus ribu kemenangan seperti yang Anda peroleh adalah tidak ada artinya jika Anda tidak memperoleh kemenangan melawan nafsu dalam dirimu. Dengan menaklukkan keserakahan dalam diriku, maka saya telah menaklukkan nafsuku.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia menatap sungai besar itu; dan saat memusatkan seluruh pikirannya pada objek air, ia mencapai jhana. Kemudian dengan daya supramanusia yang baru ia capai, ia terbang di udara dan duduk di sana, mewejang raja mengenai kebenaran dalam syair berikut ini : —
Penaklukkan melalui kemenangan-kemenangan yang
Harus terus diperjuangkan, atau kita sendiri yang akan
Ditaklukkan pada akhirnya,
Adalah tidak berarti! Penaklukkan yang sejati bisa
Bertahan sepanjang masa!
[314] Mendengar Dhamma ini, cahaya bersinar menerangi kegelapan batin raja, dan nafsu dalam batinnya padam. Batinnya dipenuhi keinginan untuk meninggalkan keduniawian; pada waktu dan di tempat itu juga, nafsu untuk menguasai takhta lenyap dari dirinya. “Ke manakah Anda akan pergi?” tanya raja kepada Bodhisatta. “Ke Pegunungan Himalaya, Maharaja; di sana menjalani kehidupan sebagai seorang petapa.” “Kalau begitu, saya juga akan menjadi seorang petapa,” kata raja; dan ia pergi bersama Bodhisatta. Bersama raja, ikut juga seluruh pasukan, brahmana, perumah tangga, dan semua penduduk lainnya, — dengan kata lain, seluruh rombongan besar yang ada di sana.
Kabar tersebar di Benares bahwa raja mereka, setelah mendengarkan Dhamma yang dibabarkan oleh Guru Sekop, merasa senang untuk menjalani kehidupan sebagai petapa dan meninggalkan kehidupan berumah tangga bersama seluruh rombongannya. “Apa yang harus kita lakukan di sini?” jerit para penduduk Benares. Kemudian, kira-kira sejauh dua belas yojana 126 dari kota, seluruh penduduk itu meninggalkan kehidupan berumah tangga, (sehingga membentuk) sebuah barisan sepanjang dua belas yojana, bersama Bodhisatta menuju ke Pegunungan Himalaya.
Lalu singgasana Sakka, raja para dewa, menjadi panas saat diduduki127 olehnya. Setelah melihat ke luar, ia melihat Guru Sekop sedang memimpin rombongan besar menuju Pelepasan Agung.128 Setelah menghitung jumlah rombongan besar yang mengikutinya, Indra (nama lain dari raja para dewa) berpikir bagaimana membuat pemondokan untuk mereka semua. Untuk itu ia memanggil Wissakamma (Vissakamma), arsitek para Dewa, dan berkata, “Guru Sekop sedang memimpin rombongan besar menuju Pelepasan Agung, [315] dan tempat tinggal harus disediakan untuknya (dan rombongannya). Pergilah Anda ke Pegunungan Himalaya, dan di sana di tanah datar, dengan kekuatanmu yang hebat, buatlah sebuah pertapaan sepanjang tiga puluh yojana dan lebar lima belas.”129
“Akan dilaksanakan, Raja Dewa,” jawab Wissakamma. Maka pergilah ia untuk melaksanakan apa yang diperintahkan.
(Berikut ini hanyalah ringkasan; perinciannya akan diberikan di Hatthipāla-Jātaka,130 yang membentuk satu cerita dengan ini.) Wissakamma mendirikan sebuah pertapaan untuk para petapa; mengusir semua hewan, burung, dan makhluk non manusia yang ribut; membangun jalan setapak yang lebarnya hanya cukup dilewati satu orang untuk sekali jalan pada masingmasing jurusan utama. Setelah selesai, ia kembali ke tempat kediamannya. Guru Sekop bersama rombongannya tiba di Pegunungan Himalaya dan memasuki pertapaan yang diberikan oleh Indra, raja para dewa, dan memanfaatkan rumah serta perabot yang diciptakan oleh Wissakamma untuk para petapa. Mula-mula ia sendiri meninggalkan keduniawian, dan setelah itu ia membuat orang lain juga meninggalkan keduniawian. Lalu Bodhisatta membagi tempat pertapaan tersebut di antara mereka. Mereka meninggalkan semua kekuasaan mereka, yang menyamai kekuasaan Sakka sendiri; dan keseluruhan tiga puluh yojana luas pertapaan tersebut dipenuhi oleh mereka. Dengan menjalankan semua tata cara lainnya131 yang membawa pada pencapaian jhana, Guru Sekop mengembangkan brahma-wihara dalam dirinya. Ia mengajarkan bagaimana cara bermeditasi pada yang lainnya. Dengan cara seperti ini mereka semua memperoleh pencapaian, dan pasti setelah meninggal, mereka akan terlahir kembali di alam brahma; sementara semua yang melayani mereka memenuhi syarat untuk terlahir kembali di alam dewa setelah meninggal.
“Demikianlah para Bhikkhu,” kata Sang Guru, “batin, saat dicengkeram erat oleh nafsu, sangat sulit melepaskan diri darinya. Ketika sifat keserakahan tumbuh dalam batin, sangat sulit diusir; bahkan orang-orang yang sangat bijaksana dan penuh kebaikan seperti cerita-cerita di atas, menyerah tanpa sadar.” Setelah uraian tersebut berakhir, beliau membabarkan Dhamma; dan pada akhir khotbah, sebagian bhikkhu mencapai Sotāpanna, 132 sebagian mencapai Sakadāgāmi, 133 sebagian mencapai Anāgāmi,134 sementara yang lainnya lagi mencapai Arahat. 135 Lebih lanjut, Sang Guru mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut, “Ananda adalah raja pada waktu itu, para pengikut Buddha adalah anggota rombongan itu, dan saya sendiri adalah Guru Sekop.”
Catatan kaki :
124 Mangkuk penampung atau wadah derma makanan.
125 Abhidhamma-Piṭaka, keranjang kitab suci agama Buddha yang ketiga, setelah Vinaya-Piṭaka dan Sutta-Piṭaka. Abhidhamma berisikan tentang uraian mengenai filsafat, metafisika, dan ilmu jiwa.
126 Menurut penjelasan Bhikkhu Thanissaro di Buddhist Monastic Code I, Chapter 7.2, Nissaggiya-Pācittiya, The Silk Chapter, bahwa tiga league (atau yojana) = 48 km = 30 mil. Berarti satu yojana = 16 km = 10 mil. Jadi, 12 yojana = 192 km = 120 mil.
127 Hanya kebajikan dari orang baik yang berjuang melawan bencana yang bisa membuat hal seperti itu timbul di kursi kebaikan Dewa utama itu.
128 Hanya pada saat seorang calon Buddha meninggalkan keduniawian untuk menjalani kehidupan suci, sehingga ’tindakan meninggalkan kehidupan berumah tangga’ itu disebut Pelepasan Agung. Cf. hlm. 61 dari Vol. i. teks Fausböll tentang ‘tindakan meninggalkan kehidupan berumah tangga’ Gotama.
129 Jika satu yojana = 16 km = 10 mil; maka 30 yojana panjangnya = 480 km = 300 mil, dan lebar 15 yojana = 240 km = 150 mil.
130 No. 509.
131 Seperti yang telah dijelaskan di atas, ia telah mencapai jhana saat merenungkan objek air.
132 Sotāpannā, orang yang telah mencapai tingkat kesucian pertama, yang akan terlahir lagi maksimal tujuh kali.
133 Sakadāgāmi, orang yang telah mencapai tingkat kesucian kedua, yang akan terlahir lagi maksimal satu kali.
134 Anāgāmi, orang yang telah mencapai tingkat kesucian ketiga, yang takkan terlahir kembali sebagai manusia.
135 Arahat, orang yang telah mencapai tingkat kesucian keempat, yang tertinggi, yang sudah terbebas dari tumimbal lahir.
136 Nama Latinnya Eusideroxylon zwageri, disebut juga kayu ulin.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com