Sariputta | Suttapitaka | TITTIRA-JĀTAKA Sariputta

TITTIRA-JĀTAKA

Tittirajātaka (Ja 37)

“Mereka yang menghormati umur,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru dalam perjalanan menuju ke Sawatthi, mengenai Thera Sāriputta yang tinggal di luar kamar di waktu malam.
Saat Anāthapiṇḍika yang membangun sebuah wihara menyampaikan pesan bahwa wihara tersebut telah selesai di bangun, Sang Guru meninggalkan Rājagaha dan pergi ke Vesālī, melanjutkan perjalanan setelah berhenti di Vesālī selama yang Beliau inginkan. Saat itulah keenam bhikkhu bergegas mendahului, sebelum para thera mendapatkan tempat tinggal, mereka memonopoli semua kamar yang ada, yang mereka bagibagikan kepada upajjhāya 77 , ācariya (guru) 78 , dan mereka sendiri. Saat para thera sampai di sana, mereka tidak mendapatkan kamar untuk bermalam. Para siswa Sāriputta juga, setelah melakukan pencarian, tidak dapat menemukan kamar untuk sang thera. Karena tidak mendapatkan kamar, thera tersebut bermalam di kaki sebatang pohon dekat kamar Sang Guru. Ia berjalan, ataupun duduk di kaki pohon tersebut.
Saat fajar tiba, Sang Guru terbatuk ketika berjalan keluar dari kamarnya, thera tersebut juga terbatuk. “Siapakah itu?” tanya Sang Guru. “Saya, Bhante, Sāriputta.” “Apa yang engkau lakukan di sini pada waktu seperti ini, Sāriputta?” Sang thera menceritakan apa yang terjadi kepada Beliau, di akhir penjelasannya, Sang Guru berpikir, “bahkan pada saat ini, saat saya masih hidup, para bhikkhu telah berani bersikap tidak sopan dan berani memandang rendah; apa yang tidak bisa mereka lakukan setelah saya meninggal dan tidak ada lagi?” Pikiran itu membuat Beliau dipenuhi kecemasan atas kenyataan itu. Begitu hari terang, Beliau mengumpulkan semua anggota Sanggha dan bertanya pada mereka, “Benarkah, para Bhikkhu, apa yang saya dengar, bahwa keenam bhikkhu datang lebih dahulu dan membuat para thera di antara bhikkhu-bhikkhu tidak mendapatkan tempat tinggal pada malam harinya?” “Itulah yang terjadi, Bhagawan,” jawab mereka. Karena itu, untuk mengecam keenam bhikkhu tersebut, dan sebagai pelajaran untuk semua bhikkhu, Beliau menegur mereka dengan berkata, “Katakan kepada-Ku siapa yang lebih dahulu berhak untuk mendapatkan kamar, air minum dan makanan (terbaik), para Bhikkhu?”
Beberapa orang menjawab, “Ia yang merupakan keturunan bangsawan sebelum menjadi bhikkhu.” Yang lain berkata, “Ia yang sebelumnya adalah seorang brahmana, atau orang kaya.” Beberapa orang berkata, “Orang yang memahami peraturan Sanggha, dapat menguraikan Dhamma, yang telah mencapai tingkat pertama, kedua, ketiga dan keempat dari (meditasi) jhana.” Sementara itu, beberapa orang berkata, “Orang yang telah mencapai tingkat kesucian Sotāpanna, Sakadāgāmi, Anāgāmi, dan Arahat; yang mengetahui tiga pengetahuan (vijjā)79, yang memiliki enam abhiññā (kemampuan batin luar biasa).”
Setelah para bhikkhu menyatakan beberapa orang yang mereka anggap layak untuk menjadi utama dalam masalah pembagian tempat tinggal dan hal lain yang sejenis, Sang Guru berkata, [218] “Dalam ajaran yang Saya sampaikan, acuan pembagian tempat tinggal dan hal sejenisnya ditentukan, bukan berdasarkan keturunan bangsawan, atau pernah menjadi brahmana, atau merupakan orang kaya sebelum menjadi bhikkhu, acuannya bukan seberapa banyak yang seseorang ketahui tentang peraturan Sanggha, Sutta dan Kitab Metafisika80; juga bukan pencapaian keempat tingkatan jhana, atau pencapaian tingkat kesucian apa pun. Para Bhikkhu, dalam ajaran-Ku, ia yang lebih senior yang berhak (lebih dahulu) mendapatkan rasa hormat dalam kata-kata maupun perbuatan, salam dan semua jenis pelayanan; mereka yang lebih senior seharusnya lebih dahulu mendapatkan tempat tinggal, air minum, dan makanan (terbaik). Inilah acuan yang benar, karena itu bhikkhu senior berhak lebih dahulu mendapatkan hal-hal tersebut di atas. Namun, para Bhikkhu, Sāriputta yang merupakan siswa utama-Ku, yang mengabdikan dirinya memutar Roda Damma, ia yang berhak mendapatkan kamar setelah diri-Ku, malah melewati malam di kaki pohon karena tidak mendapatkan kamar! Jika saat ini saja kalian tidak sopan dan berani memandang rendah, apa yang akan terjadi di masa yang akan datang?”
Sebagai pelajaran lebih lanjut, Beliau berkata, “Di kehidupan yang lampau, para Bhikkhu, bahkan hewan pun dapat menyimpulkan bahwa tidak benar untuk hidup tanpa rasa hormat dan saling memandang rendah satu sama lain; atau tidak mematuhi tata tertib kehidupan; mereka bahkan mencari siapa yang lebih tua di antara mereka, dan menunjukkan segala bentuk penghormatan kepadanya. Mereka mendalami masalah itu, menemukan siapa yang lebih tua, kemudian menunjukkan segala bentuk penghormatan kepadanya. Setelah meninggal, mereka terlahir di alam manusia.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Sekali waktu di sekitar pohon beringin yang besar yang tumbuh di lereng Pegunungan Himalaya, hiduplah tiga sahabat, seekor burung ketitir (tittira), seekor kera dan seekor gajah. Mereka tidak sopan dan saling memandang rendah satu sama lain, tidak mematuhi tata tertib kehidupan. Terlintas di pikiran mereka bahwa cara hidup demikian adalah tidak benar adanya, mereka kemudian memutuskan untuk menemukan siapa yang lebih tua di antara mereka dan memberikan penghormatan kepadanya.
Saat mereka sedang sibuk memikirkan siapa yang lebih tua, satu ide terpikir oleh mereka. Burung ketitir dan kera bertanya kepada gajah saat mereka bertiga sedang duduk di bawah pohon beringin, “Wahai Gajah, berapa besar pohon beringin ini dalam ingatan pertamamu?” Gajah menjawab, “Saat saya masih kecil, beringin ini masih merupakan pohon muda, dulu saya bisa melangkahinya; saat berdiri di atasnya, puncak pohon ini hanya mencapai perut saya saja. Saya mengenal pohon ini sejak ia masih berupa pohon kecil.”
Selanjutnya giliran kera yang mendapat pertanyaan yang sama dari kedua sahabatnya, dan ia menjawab, “Temantemanku, saat masih kecil, [219] saya hanya perlu menjulurkan leher saat duduk di tanah, dan saya bisa mendapatkan tunas yang tumbuh di bagian atas pohon ini. Jadi saya telah mengetahui pohon ini sejak ia masih sangat kecil.”
Setelah itu giliran burung ketitir yang mendapatkan pertanyaan yang sama dari gajah dan kera, dan ia menjawab, “Teman-teman, pada waktu dulu, ada pohon beringin di tempat anu, saya makan bijinya dan buang kotoran di sini. Itulah asal pohon beringin ini, karena itu, saya telah mengetahui pohon ini sebelum ia tumbuh, dan saya lebih tua dari kalian berdua.”
Saat itu, kera dan gajah berkata kepada ketitir yang bijaksana, “Teman, kamulah yang tertua di antara kita, karena itu, kamu layak untuk menerima penghormatan dan pemerolehan, pantas kami sembah dan hormati; kami akan mengikuti nasihatmu. Untuk selanjutnya, kamu kami persilakan untuk memberikan nasihat yang kami butuhkan.”
Sejak itu, ketitir memberikan nasihat kepada mereka, membuat mereka menjaga moralitas, seperti yang dijalankannya. Dengan menjaga moralitas, saling menghormati dan tidak memandang rendah di antara mereka sendiri, serta adanya tata tertib kehidupan yang layak dalam hidup mereka, mereka terlahir kembali di alam bahagia setelah meninggal.

“Perbuatan ketiga makhluk ini,” – lanjut Sang Bhagawan – “dikenal sebagai ‘Kehidupan suci burung ketitir’. Jika ketiga hewan ini, para Bhikkhu, dapat hidup bersama dengan penuh hormat dan tidak saling memandang rendah di antara mereka sendiri, bagaimana bisa kalian, yang memeluk keyakinan dengan peraturan yang mengajarkan tentang kebaikan, hidup tanpa rasa hormat dan memandang rendah orang lain? Mulai sekarang, saya tetapkan, para Bhikkhu, bahwa mereka yang lebih senior pantas mendapatkan rasa hormat, baik dalam kata-kata maupun perbuatan, salam dan semua pelayanan; mereka yang senior berhak (lebih dahulu) atas tempat tinggal, air minum, dan makanan (terbaik); tidak akan ada lagi senior yang ditinggalkan di luar oleh mereka yang lebih junior. Siapa pun yang meninggalkan seniornya di luar dinyatakan telah melakukan pelanggaran.”
Pada akhir uraian tersebut, Sang Guru sebagai seorang Buddha, mengulangi syair berikut ini :
Mereka yang menghormati senioritas (umur)
adalah yang paham terhadap kebenaran;
Berbahagia di dalam kehidupan ini dan
juga di kehidupan yang akan datang,
itulah hadiah yang didapatkan.

[220] Saat Sang Guru telah selesai menyatakan tentang kebaikan dari menghormati orang yang lebih tua, Beliau mempertautkan dan menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Moggallāna adalah gajah, Sāriputta adalah kera, dan Saya sendiri adalah ketitir yang bijaksana.”
[Catatan : Lihat kisah ini di Vinaya, Vol.II, hal.161 (diterjemahkan di hal.193 dari Vol.XX dari Sacred Books of the East) dan di Avadānas Vol.II, hal.17 karya Julien. Referensi dibuat untuk Jātaka ini berdasarkan Sumangala-vilāsinī hal.178, karya Buddhagosa;namun kutipannya, walaupun intinya diambil dari Tittira-Jātaka, berasal dari Vinaya. Prof.Cowell telah pernah menelusuri sejarahnya dalam Y Cymmrodor, October 1882.]
Catatan kaki :
77 Guru yang melantik seseorang menjadi bhikkhu, guru pemberi sila kebhikkhuan.
78 Ada empat jenis guru: guru pabbajā, yang menahbiskan seseorang menjadi sāmaṇera; guru upasampadā, yang membacakan mosi/usul dan keputusan dalam upacara upasampadā; guru dhamma, yang mengajarkan bahasa Pali dan kitab suci; guru nissaya, yang kepadanya seseorang hidup bersandar.
79 Tevijja.
80 Yakni ‘Tiga Bagian’, atau ‘Tiga Keranjang’, dari Kitab Suci Agama Buddha.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com