Sariputta | Suttapitaka | TAṆḌULANĀLI-JĀTAKA Sariputta

TAṆḌULANĀLI-JĀTAKA

Taṇḍu­la­nāḷi­jātaka (Ja 5)

“Berapakah kiranya nilai satu takaran beras?” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Sang Guru ketika berada di Jetawana, tentang Thera Udāyi, yang dipanggil si Dungu.

Pada masa itu, seorang bhikkhu bernama Dabba, dari suku Malla, bertugas mengatur pembagian persediaan bahan makanan untuk Sanggha 21 . Di pagi hari Dabba sedang menentukan beras untuk dibagikan, kadang-kadang beras pilihan dan kadang-kadang beras yang mutunya lebih rendah, yang diberikan kepada Bhikkhu Udāyi. Biasanya saat menerima beras yang mutunya lebih rendah, ia membuat kericuhan di ruang penyimpanan dengan berkata, “Apakah Dabba satu-satunya orang yang mengetahui cara menentukan beras? Bukankah kita semua juga bisa?” Suatu hari, saat ia ricuh, mereka menyerahkan keranjang periksa kepadanya dan berkata, “Ambillah! Mulai hari ini, engkau yang menentukan pembagian beras!” Sejak itu, Udāyi bertugas menentukan pembagian beras kepada bhikkhu Sanggha. Namun, dalam pembagian yang dilakukannya, ia tidak mengetahui perbedaan beras yang mutunya bagus dan beras yang mutunya lebih rendah; ia juga tidak tahu bhikkhu senior 22 dengan kedudukan apa berhak mendapatkan beras dengan kualitas baik maupun beras dengan mutu yang lebih rendah. Karena itu, saat menyusun daftar nama, ia tidak mengetahui kesenioran kedudukan para bhikkhu. Akhirnya, saat para bhikkhu mengambil tempat, ia menandai lantai maupun dinding untuk menunjukkan pemisahan siapa yang berdiri di sini dan siapa yang berdiri di sana. Di kemudian hari, lebih sedikit bhikkhu pada tingkatan tertentu dan lebih banyak bhikkhu tingkatan yang lain; dimana dengan jumlah yang semakin sedikit, tanda itu semakin menurun, dan untuk jumlah yang bertambah banyak, tandanya juga mengalami kenaikan. Namun Udāyi yang tidak mengetahui tentang pemisahan itu, membagikan penentuan beras hanya menurut tanda lama yang ia buat.

Karena itu, para bhikkhu berkata kepadanya, “Awuso Udāyi, tanda yang engkau buat terlalu tinggi atau terlalu rendah; beras yang mutunya baik, diberikan kepada bhikkhu berkedudukan demikian dan beras yang mutunya lebih rendah diberikan kepada bhikkhu dengan kedudukan yang lain.” Namun ia menyanggah dengan alasan, “Tanda itu berada di tempat seharusnya ia berada. Jika bukan tempatmu, mengapa engkau berdiri di sana? Mengapa saya harus percaya padamu? Saya hanya percaya pada tanda yang saya buat.”

Para bhikkhu dan samanera [124] mendorongnya keluar dari tempat penyimpanan itu dan berteriak, “Temanku Udāyi yang dungu, karena pembagian yang kamu lakukan, para bhikkhu tidak mendapat apa yang seharusnya menjadi bagian mereka; kamu tidak cocok untuk melakukan tugas ini; pergilah dari sini!” Kegaduhan pun terjadi di ruang penyimpanan tersebut.

Mendengar keributan itu, Sang Guru bertanya pada Ānanda, “Ānanda, ada kegaduhan di ruang penyimpanan. Keributan apakah itu?”

Thera Ānanda menjelaskan kejadian tersebut pada Buddha. “Ānanda,” kata Beliau, “ini bukan pertama kalinya kebodohan Udāyi membuat ia merampas apa yang menjadi milik orang lain; ia juga melakukan hal yang sama di masa lampau.”

Ānanda meminta Bhagawan menjelaskan, kemudian Beliau menceritakan hal yang selama ini tidak Ananda ketahui dikarenakan kelahiran kembali.

____________________

Suatu ketika di masa lalu, Brahmadatta memerintah di Benares, Negeri Kāsi. Pada masa itu Bodhisattalah penentu harga barang di kerajaan. Ia biasa menentukan harga kuda, gajah dan hewan-hewan lainnya; permata, emas dan barangbarang berharga lainnya; ia juga bertugas membayar barangbarang kepada para pemilik barang dengan harga pantas yang telah ia tentukan.

Tetapi raja adalah orang yang tamak, dan ketamakannya menanamkan pikiran demikian padanya, “Dari cara penentu harga memberi nilai, cepat atau lambat, kekayaanku akan habis; saya harus segera mencari penggantinya.” Ia membuka jendela dan memandang keluar di halaman istana, terlihat olehnya seorang lelaki dengan tampang yang dungu dan tamak melintas, orang itu terlihat cocok baginya untuk menggantikan posisi Bodhisatta. Raja memanggilnya untuk menghadap dan bertanya apakah ia bisa mengisi jabatan itu. “Oh, tentu bisa,” jawabnya. Maka lelaki dungu itu ditunjuk sebagai penentu harga untuk melindungi harta kerajaan. Setelah itu, dalam menilai harga gajah, kuda dan hewan lainnya, ia menentukan harga sesuka hatinya, tanpa memedulikan nilai barang yang sesungguhnya. Namun, karena ia adalah penentu harga kerajaan, harga ditetapkan sesuai dengan apa yang dikatakannya, tanpa bisa dibantah.

Pada saat itu, datanglah seorang penjual kuda dari utara 23 membawa lima ratus ekor kuda bersamanya. Raja mengirim penentu harga barunya dan menawar harga kuda milik penjual kuda itu. Harga yang ia berikan untuk lima ratus ekor kuda itu adalah senilai satu takaran beras, kemudian ia diperintahkan untuk membayar penjual kuda itu dan membawa semua kuda ke istal kerajaan [125]. Penjual kuda segera mencari penentu harga yang lama, menceritakan apa yang terjadi padanya dan menanyakan apa yang harus ia lakukan. “Berikan sogokan padanya,” kata mantan penentu harga itu, dan tanyakan pertanyaan ini padanya : ‘Melihat harga kuda-kuda itu hanya satu takaran beras, kami ingin tahu, berapakah nilai dari satu takaran beras itu. Bisakah anda menyatakan nilainya di hadapan raja?’ Jika ia mengatakan bisa, maka bawalah ia menghadap raja, saya juga akan berada di sana nantinya.”

Segera setelah mengikuti petunjuk Bodhisatta, penjual kuda itu menyogok penentu harga baru dan menanyakan pertanyaan tersebut kepadanya. Setelah ia menyatakan kemampuannya untuk menjawab pertanyaan itu, ia pun dibawa ke istana; Bodhisatta dan para menteri mengikuti mereka. Dengan penuh hormat, penjual kuda itu berkata, “Paduka, saya tidak mempersoalkan harga lima ratus ekor kuda adalah senilai dengan satu takaran beras; namun saya mohon Paduka menanyakan pada penentu harga kerajaan, berapakah nilai dari satu takaran beras itu.” Tanpa mempedulikan apa yang terjadi di waktu lalu, raja bertanya kepadanya, “Penentu harga kerajaan, berapakah nilai dari lima ratus ekor kuda?” “Satu takaran beras, Paduka,” jawabnya. “Sangat baik, Temanku. Jika nilai lima ratus ekor kuda setara dengan satu takaran beras, berapakah nilai dari satu takaran beras itu?” “Senilai seisi Benares beserta wilayah sekitarnya,” jawab penentu harga yang dungu itu.

(Maka kita tahu bahwa setelah menilai kuda-kuda itu seharga satu takaran beras, ia menerima sogokan dari penjual kuda untuk menilai satu takaran beras setara dengan seisi Benares beserta wilayah sekitarnya. Luas Benares hingga ke dinding kota adalah dua belas yojana; sementara, luas kota dan wilayah sekitarnya mencapai tiga ratus yojana. Akan tetapi lelaki dungu itu menilai seluruh Benares beserta wilayah di sekitarnya yang begitu luas hanya setara dengan satu takaran beras!)

[126] Mendengar hal demikian, para menteri bertepuk tangan dan tertawa terbahak-bahak. “Kami senantiansa berpikir,” kata mereka sambil mencemooh, “tanah dan daerah kekuasaan tidak dapat dinilai harganya; namun sekarang kami tahu bahwa Kerajaan Benares beserta rajanya hanya bernilai satu takaran beras! Benar-benar penentu harga yang hebat. Bagaimana ia bisa mempertahankan jabatannya begitu lama? Namun, ia benar-benar sesuai dengan dambaan raja.”
Bodhisatta mengucapkan syair24 berikut ini:

Berapakah kiranya nilai satu takaran beras?
Mengapa, seluruh Benares, baik dalam maupun luar;
begitu pula dengan lima ratus kuda, walau sukar dipahami;
persis senilai satu takaran beras yang sama.
Setelah dipermalukan di depan umum, lelaki dungu itu dibebastugaskan dari jabatannya, dan raja mengembalikan jabatan tersebut kepada Bodhisatta. Setelah meninggal, Bodhisatta terlahir kembali di alam sesuai dengan apa yang telah diperbuat.

____________________

Setelah menyampaikan uraian-Nya dan menceritakan kedua kisah itu, Sang Guru mempertautkan kedua kisah tersebut dan memperkenalkan tentang kelahiran itu dengan mengatakan, “Udāyi yang dungu adalah penentu harga yang dungu itu, Saya sendiri adalah penentu harga yang bijak itu.”

Catatan :

21 Lihat Vinaya, Vol.III, hal.158.

22 Bandingkan dengan Vinaya , Vol.II, hal.167, dan komentar (Sāmanta-pāsādikā) mengenai hak para bhikkhu senior, sesuai dengan daftar nama, untuk dilayani terlebih dahulu. Petugas pemeriksa penentuan beras harus memanggil nama sesuai daftar.

23 Di dalam Ceylon R.A.S.J.1884,hal.127, timbul perdebatan tentang penggunaan istilah Uttarā-patha untuk semua wilayah bagian utara kota Benares, muncul dugaan ditulis sebelum abad ketiga Sebelum Masehi, ketika agama Buddha berkembang ke Mysore dan Canara Utara, dan ketika Dakshināpatha masih terkenal.

24 Teks syair ini tidak terdapat di Pali Text karya Fausböll, namun ditampilkan oleh Léon Feer di Jurnal Asiatique. tahun 1876 pada hal.520, ditambahkan pada bagian ‘Koreksi dan Lampiran Tambahan’nya Fausböll. Syair ini awalnya merupakan bagian dari resensi berbahasa Sinhala, diketahui dari kutipan kata-kata pembukaan sebagai ‘slogan’ pada bagian permulaan Jātaka ini. Lihat juga Dickson di Ceylon J.R.A.S. tahun 1884, hal.185.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com