Sariputta | Suttapitaka | CULLAKA-SEṬṬHI-JATAKA Sariputta

CULLAKA-SEṬṬHI-JATAKA

Cūḷa­seṭṭhi­jātaka (Ja 4)

[114] “Dimulai dengan kerendahan hati,” dan seterusnya. Kisah mengenai seorang thera yang bernama Cūḷapanthaka ini diceritakan oleh Bhagawan ketika Beliau sedang berada di hutan mangga milik Jīvaka 17 , di dekat Rājagaha. Terdapat sedikit penjelasan mengenai kelahiran Cūḷapanthaka. Dikisahkan, anak perempuan dari seorang saudagar kaya di Rājagaha telah menurunkan martabatnya, menjalin hubungan dengan pelayan lelakinya. Karena khawatir kelakuan buruknya terbongkar, ia berkata kepada pelayan lelakinya, “Kita tidak bisa tinggal di sini lagi, jika sampai orang tuaku mengetahui kesalahan yang telah kita lakukan, mereka akan mencabik tubuh kita. Mari kita pergi dan menetap di tempat yang jauh.” Dengan membawa harta benda, mereka menyelinap keluar dari pintu rumah tersebut dan melarikan diri, mereka tidak peduli bagaimana mereka mendapatkan tempat berlindung yang aman tanpa sepengetahuan sanak keluarga gadis itu. Kemudian mereka menetap di suatu tempat, hingga akhirnya gadis itu mengandung. Ketika waktu untuk melahirkan telah dekat, ia berkata kepada suaminya, “Akan banyak kesulitan bagi kita jika saya melahirkan jauh dari sanak keluarga dan kenalan. Lebih baik kita pulang ke rumah.” Pada awalnya sang suami setuju untuk berangkat hari itu juga, tetapi kemudian ia menunda hingga keesokan harinya. Ia mengulur-ulur waktu hingga hari terus berlalu. Akhirnya putri saudagar itu berpikir, “Si dungu ini menyadari kesalahan besarnya sehingga tidak berani pulang. Orang tua adalah sahabat terbaik bagi anaknya; walaupun ia pergi atau tidak, saya tetap akan pergi.” Saat suaminya sedang tidak berada di rumah, ia membereskan pekerjaan rumahnya, setelah menitipkan pesan kepada tetangganya kemana ia pergi, ia pun meninggalkan rumah. Saat suaminya pulang ke rumah dan tidak menemukan istrinya, ia mendapat kabar dari tetangganya bahwa istrinya telah pulang ke rumah orang tuanya. Ia segera menyusul istrinya, dan menemukannya di tengah perjalanan, di saat dan di tempat itu juga, sang istri melahirkan.
“Apa yang terjadi, istriku?” tanyanya.

“Saya telah melahirkan seorang bayi laki-laki, Suamiku,” jawab istrinya.

Setelah melahirkan, tidak ada lagi alasan baginya untuk meneruskan perjalanan. Mereka kembali ke rumah. Karena anak itu lahir di tengah perjalanan, mereka menamainya ‘Panthaka’.

[115] Selang beberapa waktu, wanita ini mengandung lagi, dan segalanya terulang kembali. Karena anak kedua ini juga lahir di tengah jalan, mereka juga memberinya nama ‘Panthaka’. Untuk membedakan kedua anak itu, anak pertama dipanggil ‘Mahāpanthaka’ dan adiknya dipanggil ‘Cūḷapanthaka’. Kali ini, dengan dua anak, mereka kembali ke rumah.
Saat menetap di tempat itu, anak mereka mendengar cerita anak yang lain tentang paman, kakek dan nenek mereka; maka ia bertanya pada ibunya apakah mereka tidak mempunyai sanak keluarga seperti yang dimiliki oleh anak-anak lain. “Tentu ada, Sayang,” jawab ibunya, “Namun mereka tidak tinggal di sini”. Kakekmu adalah seorang saudagar yang sangat kaya di Rājagaha, ada banyak kerabatmu di sana.” “Mengapa kita tidak pergi ke sana, Bu?” Ia menceritakan alasan mengapa mereka tinggal jauh dari keluarganya. Tetapi karena anak-anak selalu membicarakan hal itu, ia bertanya pada suaminya, “Anak-anak selalu menanyakan masalah sanak keluarga yang tidak pernah mereka temui. Apakah orang tuaku begitu melihat, akan menelan kita? Marilah kita tunjukkan pada anak-anak keberadaan keluarga kakek mereka.” “Baiklah, saya tidak keberatan untuk membawa mereka ke sana; namun saya benar-benar tidak berani menemui kedua orang tuamu.” “Tidak masalah. ‒ Dengan menempuh cara apapun, asalkan anak-anak bisa mengunjungi keluarga kakek mereka,” kata wanita itu.

Mereka membawa kedua anak mereka ke Rājagaha, menginap di sebuah penginapan umum dekat pintu masuk kota. Bersama dengan kedua anaknya, wanita itu menyampaikan kedatangan mereka kepada orang tuanya. Mendengar berita itu, orang tuanya berkata, “Benar, sangat aneh rasanya jika tidak mempunyai anak kecuali jika seseorang telah meninggalkan keduniawian untuk mencapai tingkat kesucian Arahat. Namun, kami tidak sudi menerima kunjungan mereka atas kesalahan besar yang mereka lakukan terhadap kami. Berikan uang ini kepada mereka, minta mereka mengambil uang ini dan hidup di tempat yang mereka inginkan. Tetapi berikan kedua anak itu kepada kami.” Putri saudagar itu mengambil uang yang diberikan kepadanya dan mengirim anak-anaknya melalui utusan orang tuanya. Kedua anak itu tumbuh dewasa di rumah kakek mereka. Saat Cūḷapanthaka masih kecil, Mahāpanthaka selalu mengikuti kakeknya mendengarkan khotbah yang dibabarkan oleh Buddha. Karena selalu mendengarkan Dhamma yang disampaikan oleh Buddha sendiri, hati anak muda itu dipenuhi hasrat untuk meninggalkan keduniawian untuk menempuh kehidupan sebagai seorang bhikkhu.

“Dengan persetujuanmu, Kek,” Mahāpanthaka berkata pada kakeknya, “saya akan menjadi seorang bhikkhu.” “Benarkah apa yang saya dengar?” seru kakeknya. “Sungguh lebih besar kebahagiaanku melihat engkau menjadi bhikkhu daripada melihat seisi dunia menjadi bhikkhu. Jadilah seorang bhikkhu jika engkau memang mampu.” Saudagar itu sendiri yang membawa cucunya menghadap Sang Guru.

“Baiklah, Saudagar,” kata Sang Guru, “apakah engkau membawa serta cucumu bersamamu?” “Ya, Bhante, ia adalah cucu saya, yang berkeinginan menjadi bhikkhu.” [116] Sang Guru meminta seorang anggota Sanggha untuk menerima anak itu bergabung dalam Sanggha, anggota Sanggha tersebut mengulang Hukum Ketidakkekalan 18 dan menerima anak tersebut menjadi seorang samanera. Saat khotbah Buddha telah banyak meresap dalam ingatannya dan telah cukup dewasa, ia ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu. Ia berlatih dengan kesungguhan hingga berhasil mencapai tingkat kesucian Arahat, dan ketika menikmati kebahagiaan pencapaian Jalan dan Buah kesucian maupun jhana (jhāna), ia berpikir untuk berbagi kebahagiaan ini dengan Cūḷapanthaka. Maka ia mengunjungi kakeknya, saudagar kaya itu, dan berkata, “Saudagar yang baik, dengan persetujuanmu, saya akan menerima Cūḷapanthaka menjadi anggota Sanggha.” “Saya telah mengharapkan hal itu, Bhante,” jawab sang kakek.

Maka Thera itu menerima Cūḷapanthaka dan memintanya melaksanakan Dasa Sila. Namun Cūḷapanthaka sangat dungu. Walaupun telah belajar selama empat bulan, ia masih belum dapat menghafal syair berikut ini: —

Lihatlah! Laksana sekuntum teratai
yang wangi di waktu fajar;
tertiup oleh angin, menebar semerbak wangi yang murni.
Memandang keagungan Buddha yang terus terpancar;
seperti cahaya matahari bersinar di
bawah naungan langit!
Dikisahkan, pada masa kelahiran Buddha Kassapa, Cūḷapanthaka yang pada masa itu merupakan seorang bhikkhu yang berpengetahuan, mencemooh dengan menertawai seorang bhikkhu dungu yang sedang meresapi satu cerita pendek dalam ingatan. Cemoohannya sungguh mengenai sasaran sehingga bhikkhu tersebut tidak mampu mengingat maupun mengulang cerita pendek itu. Akibatnya, di kehidupan ini, saat ia bergabung menjadi anggota Sanggha, ia sendiri menjadi bhikkhu yang dungu. Setiap ia mengingat satu baris syair yang baru, baris lain yang telah dihafalnya terlupakan. Setelah empat bulan berlalu semenjak ia mulai bergelut merapal syair itu, Mahāpanthaka berkata kepadanya, “Panthaka, engkau tidak sanggup menerima ajaran ini. Selama empat bulan, engkau bahkan tidak mampu meresapi sebuah syair tunggal dalam ingatan. Bagaimana engkau bisa mencapai kebahagiaan sejati dengan cara ini? Tinggalkanlah wihara ini.” Walaupun telah diusir oleh saudaranya, Cūḷapanthaka masih berkeyakinan pada ajaran Buddha sehingga tidak ingin menjadi umat awam.

Pada saat Mahāpanthaka bertugas mengurus pembagian makanan bhikkhu Sanggha, Jīvaka Komārabhacca datang ke hutan mangga miliknya dengan membawa sejumlah wewangian dan bunga untuk Sang Guru. Setelah mempersembahkan barang-barang yang dibawanya dan telah selesai mendengarkan khotbah Dhamma; ia bangkit dari tempat duduknya, memberikan penghormatan kepada Buddha, kemudian menghampiri Mahāpanthaka dan bertanya, “Bhante, berapakah jumlah semua bhikkhu yang berada di sini termasuk Sang Guru?” “Hanya lima ratus orang, Tuan.” “Bersediakah Bhante membawa kelima ratus bhikkhu tersebut bersama Buddha sebagai pemimpin, menghadiri jamuan makan di rumah saya besok?” “Tuan, salah seorang bhikkhu bernama Cūḷapanthaka sangat dungu dan tidak berkembang dalam Dhamma,” kata sang thera, “jadi saya menerima undangan untuk semua bhikkhu, kecuali untuknya.”

[117] Mendengar hal itu, Cūḷapanthaka berpikir, “Dalam menerima undangan jamuan makan untuk semua bhikkhu, thera itu dengan saksama mengecualikannya untuk saya. Hal ini membuktikan sudah tidak ada lagi kasih sayang saudaraku kepada saya. Apa yang harus saya lakukan dengan Dhamma ini? Saya akan menjadi umat awam, melatih kemurahan hati dan perbuatan baik lainnya sebagai sosok perumah tangga.” Keesokan pagi hari, ia pergi untuk seterusnya kembali menjalani kehidupan sebagai perumah tangga.
Pada saat fajar menyingsing, Sang Guru yang sedang mengamati kejadian di dunia ini, mengetahui hal tersebut. Beliau berangkat lebih pagi, berjalan hilir mudik di jalan dekat beranda bilik Cūḷapanthaka. Ketika Cūḷapanthaka keluar dari biliknya, ia melihat Sang Guru, dengan penuh hormat ia menghampiri Beliau. “Akan kemanakah engkau pergi sepagi ini, Cūḷapanthaka?” tanya Sang Guru.

“Saudara saya telah mengusir saya dari Sanggha; saya akan pergi mengembara, Bhante.”

“Cūḷapanthaka, engkau mengambil sumpah kepada saya. Mengapa engkau tidak datang pada saya saat engkau diusir oleh saudaramu? Apa yang akan engkau lakukan dengan hidup sebagai perumah tangga? Engkau seharusnya tinggal bersama saya.” Setelah mengucapkan hal itu, Beliau membawa Cūḷapanthaka dan mempersilakan ia duduk di depan pintu kamar-Nya yang wangi (gandhakuṭi). Sang Guru memberi Cūḷapanthaka sepotong kain yang sangat bersih, yang tercipta dari kekuatan gaib-Nya dan berkata, “Hadaplah ke arah Timur, sambil memegang kain ini, ulangi kata-kata — ‘Bersihkan kotoran; Bersihkan kotoran’.” Pada waktu yang telah dijanjikan, Sang Guru disertai dengan para bhikkhu pergi ke rumah Jīvaka, dan duduk di tempat yang telah disediakan untuk-Nya.

Pada saat itu, Cūḷapanthaka menatap ke arah matahari, duduk dan memegang potongan kain itu sambil mengulangi kata, “Bersihkan kotoran; Bersihkan kotoran.” Karena dipegang terus menerus, kain itu menjadi kumal. Melihat itu, ia berpikir, “Kain ini tadinya putih bersih; saya telah mengubah keadaan semula sehingga menjadi kotor. Semua benda adalah tidak kekal adanya.” Saat menyadari tentang Kematian dan Kehancuran, ia mencapai pencerahan. Mengetahui bahwa Cūḷapanthaka telah mencapai pengetahuan menuju Kearahatan, Sang Guru mengirimkan sosok jelmaannya ke hadapan Cūḷapanthaka, sosok jelmaan Beliau duduk dan berkata, “Sudahkah engkau sadari, Cūḷapanthaka, bahwa secarik kain ini menjadi kotor dan penuh noda. Dirimu juga dipenuhi oleh nafsu keinginan dan pikiran-pikiran jahat lainnya. Bersihkanlah semua itu.” Kemudian penjelmaan Beliau mengulangi syair berikut ini: —

Bukan kotoran, melainkan kotoran batin
berupa nafsu keinginan;
nafsu keinginanlah kotoran batin yang sebenarnya.
Wahai Bhikkhu, ia yang mampu menyingkirkannya;
akan hidup dalam kemurnian batin.
[118] Bukan kotoran, melainkan kotoran batin
berupa kebencian;
kebencianlah kotoran batin yang sebenarnya.
Wahai Bhikkhu, ia yang mampu menyingkirkannya;
akan hidup dalam kemurnian batin.
Bukan kotoran, melainkan kotoran batin berupa kegelapan batin;
kegelapan batin merupakan kotoran batin yang sebenarnya
Wahai Bhikkhu, ia yang mampu menyingkirkannya;
akan hidup dalam kemurnian batin.
Saat syair itu selesai diucapkan, Cūḷapanthaka mencapai tingkat kesucian Arahat dengan empat pengetahuan analitik19, langsung memperoleh pemahaman terhadap keseluruhan kitab suci. Menurut cerita yang beredar secara turun temurun, di masa lampau saat menjadi seorang raja, ketika sedang mengelilingi kota dalam suatu prosesi yang khidmat, ia menyeka keringat di keningnya menggunakan kain bersih yang sedang dipakainya; kain itu menjadi kotor. Ia berpikir, “Badan jasmani ini telah menghancurkan kemurnian sejati dan kain putih ini, saya telah mengotorinya. Semua benda adalah tidak kekal adanya.” Saat ia merenungkan tentang ketidakkekalan, terlintas di pikiran bahwa dengan membersihkan kotoran batinlah yang akan membebaskannya.

Saat Jīvaka Komārabhacca memberikan persembahan air20, Sang Guru meletakkan tangannya di atas bejana air itu, dan bertanya, “Masih adakah bhikkhu di wihara, Jīvaka?”

Mahāpanthaka berkata, “Tidak ada lagi bhikkhu di sana, Bhante.” “Masih ada para bhikkhu di wihara, Jīvaka,” kata Sang Guru. “Wahai kamu yang di sana,” kata Jīvaka kepada pelayannya, “pergi dan lihat apakah masih ada bhikkhu di wihara.”

Saat Cūḷapanthaka mengetahui saudaranya mengatakan tidak ada lagi bhikkhu di wihara, ia memutuskan untuk menunjukkan pada saudaranya bahwa masih ada bhikkhu di wihara, ia memenuhi hutan mangga itu dengan para bhikkhu. Ada yang sedang membuat jubah; ada yang sedang mencelup jubah; sementara yang lain sedang membaca paritta: —Ia menciptakan seribu orang bhikkhu dengan rupa yang berbeda satu sama lain. Melihat kumpulan bhikkhu di wihara, pelayan itu kembali ke rumah Jīvaka dan mengabarkan bahwa wihara dipenuhi oleh para bhikkhu.

Untuk menghormati Thera yang berada di wihara — Panthaka, dengan seribu orang wujud jelmaannya; duduk menunggu, hingga dijemput, di hutan yang menyenangkan itu.

“Sekarang kembalilah ke wihara,” kata Sang Guru kepada pelayan itu, “katakan, Guru mengirimku untuk menjemput bhikkhu yang bernama Cūḷapanthaka.”

Saat pelayan tersebut menyatakan hal itu, mereka menjawab secara bersamaan, “Saya adalah Cūḷapanthaka! Saya adalah Cūḷapanthaka!”

Pelayan itu kembali lagi dan mengatakan, “Mereka semua mengaku sebagai ‘Bhikkhu Cūḷapanthaka’, Yang Mulia.”

“Kalau begitu, kembali lagi ke sana,” kata Sang Guru, “pegang tangan bhikkhu pertama yang mengatakan ia adalah Cūḷapanthaka, [119] maka bhikkhu yang lain akan menghilang.” Pelayan itu mengikuti perkataan Sang Guru, seketika itu juga seribu bhikkhu yang diciptakan oleh Cūḷapanthaka lenyap dari pandangannya.

Saat jamuan makan selesai, Sang Guru berkata, “Jīvaka, ambil patta Cūḷapanthaka, ia akan menyampaikan terima kasih.” Jīvaka melakukan apa yang diminta Sang Guru. Laksana raungan tantangan seekor singa muda, bhikkhu itu menguncarkan paritta-paritta suci sebagai ungkapan terima kasih. Setelah selesai, Sang Guru kembali ke wihara setelah bangkit dari tempat duduknya dan diikuti oleh para bhikkhu. Setelah pembagian tugas oleh bhikkhu Sanggha, Beliau bangkit dari tempat duduknya, berdiri di ambang pintu kamar-Nya yang wangi, membabarkan Dhamma kepada para bhikkhu. Diakhiri dengan pemberian objek perenungan meditasi kepada para bhikkhu, Beliau kemudian membubarkan para Sanggha yang berkumpul di sana, masuk ke dalam kamar-Nya yang wangi dan berbaring beristirahat, laksana seekor singa pada sisi kanan tubuh-Nya.

Pada saat yang sama, para bhikkhu yang memakai jubah jingga dari seluruh penjuru berkumpul di Balai Kebenaran dan memanjatkan pujian pada Sang Guru, seolah-olah mereka membentangkan tirai kain jingga mengelilingi Beliau pada saat mereka duduk.

“Awuso,” mereka berkata, “Mahāpanthaka gagal mengenali kemampuan Cūḷapanthaka. Ia mengusir saudaranya dari wihara karena si dungu tidak mampu menghafal sebuah syair tunggal dalam waktu empat bulan. Melalui Buddha Yang Mahatahu, dengan kesempurnaan Dhamma yang diajarkan-Nya, Cūḷapanthaka mencapai tingkat kesucian Arahat dengan semua pengetahuan gaibnya, bahkan pada saat sebuah jamuan makan berlangsung. Dengan pengetahuan yang dimilikinya, ia menguasai semua paritta suci. Oh! Betapa hebatnya kekuatan yang dimiliki oleh Buddha.”

Bhagawan, mengetahui semua percakapan yang terjadi di Balai Kebenaran dan berpikir untuk bergabung bersama mereka. Maka ia bangkit dari tempat berbaringnya, mengenakan kedua jubah dasarnya, mempersiapkan diri dengan cepat, dan memakai jubah jingganya, jubah seorang Buddha yang lebar. Kemudian Beliau pergi ke Balai Kebenaran dengan keagungan yang tiada tara dari seorang Buddha, Beliau melangkah laksana seekor gajah istana yang penuh semangat. Menaiki singgasana yang berada di tengah-tengah Balai Kebenaran, lalu duduk di tengah singgasana tersebut, memancarkan enam warna cahaya yang menandai seorang Buddha — laksana cahaya matahari yang baru terbit dari puncak Pegunungan YuGandhāra, menerangi hingga samudra terdalam. Begitu Yang Mahatahu memasuki Balai Kebenaran, para bhikkhu menghentikan pembicaraan mereka dan terdiam. Sambil menatap dengan penuh cinta kasih kepada para bhikkhu, Sang Guru berpikir, “Kumpulan ini sangat sempurna. Tidak ada seorang pun yang salah meletakkan tangan maupun kakinya; tidak ada suara, baik suara batuk maupun bersin yang terdengar. Dalam penghormatan dan kekaguman atas keagungan dan kemuliaan Buddha, tidak ada orang yang berani bersuara sebelum Saya angkat bicara, bahkan jika Saya duduk diam di sini sepanjang hidup Saya. Namun ini adalah saat bagi untuk berbicara; Saya akan memulai percakapan ini.” Dengan suara yang sangat merdu, Beliau menyapa para bhikkhu dan berkata,[120] “Apa topik pertemuan ini? Tentang apakah percakapan yang terhenti tadi?” “Bhante,” jawab mereka, “tidak ada pembicaraan yang tidak berguna. Kami sedang membicarakan tentang tindakan Anda yang sangat terpuji.”

Setelah mereka menyampaikan apa yang sedang mereka bicarakan, kata demi kata, Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, berkat bantuanku Cūḷapanthaka berkembang pesat dalam keyakinan; sebagaimana halnya di masa lampau ia memperoleh kekayaan besar juga berkat bantuan yang kuberikan.”

Para bhikkhu memohon Sang Guru menjelaskan maksud perkataan itu; Beliau kemudian menjelaskan hal yang selama ini tidak mereka ketahui dikarenakan kelahiran kembali:

____________________

Suatu ketika di masa lampau, Brahmadatta memerintah di Benares, Negeri Kāsi; Bodhisatta terlahir di keluarga bendaharawan (bhaṇḍāgārika). Ia tumbuh dewasa menjadi seorang bendaharawan yang terkenal dengan sebutan Cullakaseṭṭhi. Ia adalah orang yang bijaksana dan pintar, sangat cermat dalam mengamati tanda-tanda dan gelagat-gelagat. Suatu hari, dalam perjalanan untuk menyambut raja, ia melihat bangkai seekor tikus di tengah jalan; sambil memperhatikan posisi bintang pada saat itu ia berkata, “Cukup dengan memungut tikus ini, siapapun dengan kecerdikannya, memiliki kemungkinan untuk memulai usahanya dan menghidupi seorang istri.”

Ucapannya terdengar oleh seorang pemuda dari keluarga baik-baik yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Pemuda itu bergumam pada dirinya sendiri, “Ia adalah orang yang hanya berbicara jika ada alasan di balik itu.” Menuruti perkataan bendaharawan itu, ia memungut bangkai tikus, lalu menjualnya dengan harga seperempat sen ke sebuah kedai untuk dijadikan makanan bagi kucing di sana.

Dengan uang itu, ia membeli sirup gula dan membawa air minum dalam sebuah kendi. Ia mencari para pemetik bunga yang baru pulang dari hutan, memberikan sedikit sirup gula dan menyendokkan air minum untuk mereka. Setiap orang memberikan seikat bunga kepadanya. Dengan hasil itu, keesokan harinya, ia mengunjungi para pemetik bunga lagi, membawa sirup dan air minum yang lebih banyak dari sebelumnya. Sebelum mereka pergi pada hari itu, para pemetik bunga memberinya tanaman bunga dengan sebagian bunga masih berada di batangnya; dalam waktu singkat ia telah mendapatkan delapan sen.

Beberapa waktu kemudian, saat hari hujan dan berangin, angin merobohkan sebagian cabang yang telah busuk, ranting dan daun ke taman peristirahatan raja. Tukang kebun istana tidak tahu bagaimana cara membersihkan tempat itu. [121] Pemuda itu muncul dan menawarkan diri membersihkan tempat itu jika ia boleh mengambil ranting dan daun tersebut. Tukang kebun menyetujui hal itu. Kemudian siswa Cullakaseṭṭhi ini mulai membersihkan taman bermain anak-anak. Dalam waktu yang singkat, ia berhasil membuat anak-anak membantunya memungut setiap ranting dan daun yang ada di tempat itu dan menumpuknya di dekat pintu masuk dengan memberi mereka sirup gula. Di saat yang sama, pembuat tembikar kerajaan sedang mencari bahan bakar untuk membuat mangkuk kerajaan. Ia melihat tumpukan kayu itu dan membeli semua kayu-kayu tersebut. Penjualan kayu itu memberikan enam belas sen kepada siswa Cullakaseṭṭhi, ditambah lima buah mangkuk dan bejana. Dengan dua puluh empat sen di tangan, sebuah rencana terpikirkan olehnya. Ia pergi ke arah gerbang kota, membawa kendi air dan menyiapkan minuman untuk lima ratus orang pemotong rumput. Mereka berkata, “Kamu telah berjasa pada kami. Apa yang bisa kami lakukan untukmu?” “Oh, akan saya katakan saat saya membutuhkan pertolongan kalian.” Sewaktu meninggalkan tempat itu, ia menjalin persahabatan dengan seorang pedagang yang melakukan jual beli di daratan dan seorang pedagang yang melakukan jual beli di lautan. Pedagang daratan itu berkata padanya, “Besok, akan datang seorang pedagang kuda ke kota ini dengan membawa lima ratus ekor kuda untuk dijual.” Mendengar berita itu, ia berkata kepada para pemotong rumput, “Saya minta masing-masing dari kalian memberikan seikat rumput padaku hari ini, dan jangan menjual rumput yang kalian miliki sebelum rumput saya habis terjual.” “Baiklah,” jawab mereka, lalu mengirim lima ratus ikat rumput ke rumahnya. Karena tidak bisa mendapatkan rumput untuk kudanya, pedagang kuda itu membeli rumput yang dijual oleh teman kita seharga seribu keping. Beberapa hari kemudian, setelah temannya yang melakukan jual beli di lautan menyampaikan kabar akan kedatangan sebuah kapal besar di dermaga, sebuah rencana lain terpikirkan olehnya. Dengan delapan sen, ia menyewa sebuah kereta kuda yang disewakan dengan hitungan per jam, kemudian bergerak maju dengan penuh gaya ke dermaga. Setelah membeli kapal itu secara kredit dengan memberikan cincin stempelnya sebagai jaminan, ia menempati sebuah paviliun yang susah diberi izin masuk sebagai pangkalan. Saat hendak masuk ke dalam untuk duduk, ia berpesan kepada pelayannya, “Saat para saudagar muncul, biarkan mereka melalui tiga penerima tamu secara berturut-turut sebelum menemuiku.” [122] Mendengar berita bahwa sebuah kapal besar telah berlabuh di dermaga, sekitar seratus orang saudagar datang untuk membeli muatan kapal itu; namun mereka diberitahukan bahwa seorang saudagar yang sangat kaya telah membeli kapal itu. Mereka mendatangi pemuda tersebut, pelayan itu melaksanakan apa yang dipesankan oleh pemuda itu, mereka melewati tiga penerima tamu secara berturut-turut, seperti yang telah diatur. Masing-masing dari seratus saudagar itu memberikan seribu keping uang kepadanya untuk mendapatkan hak kepemilikan kapal, dan tambahan seribu keping per orang untuk membeli bagiannya. Secara keseluruhan, ia membawa dua ratus ribu keping uang saat kembali ke Benares.

Didorong oleh keinginan untuk menunjukkan rasa terima kasihnya, pemuda itu mengunjungi ‘Cullakaseṭṭhi’ dengan membawa seratus ribu keping uang. “Bagaimana cara kamu menjadi begitu kaya?” tanya bendaharawan itu. “Dalam empat bulan yang singkat ini, dengan mengikuti petunjuk yang Anda berikan,” jawab pemuda itu. Kemudian ia menceritakan kejadian itu secara lengkap, dimulai dengan bangkai tikus itu. Mendengar cerita itu, Cullakaseṭṭhi berpikir, “Saya harus memastikan anak muda ini tidak jatuh ke tangan orang lain.” Maka ia menikahkan pemuda ini dengan putrinya dan menyerahkan semua harta warisan keluarganya pada pemuda ini. Saat bendaharawan itu meninggal, ia mengambil alih jabatannya. Bodhisatta meninggal dan terlahir kembali di alam sesuai dengan apa yang ia perbuat.

_____________________

[123] Saat uraian itu berakhir, Buddha, Yang Mahatahu, mengulangi syair ini: —
Dimulai dari kerendahan hati dan modal kecil;
ia yang cerdik dan cakap dapat menambah kekayaan
bahkan hembusan nafasnya seakan dapat menjaga nyala api kecil.
Bhagawan juga berkata, “Wahai Bhikkhu, berkat bantuanku Cūḷapanthaka berkembang pesat dalam keyakinan; sebagaimana halnya di masa lampau ia memperoleh kekayaan besar.” Setelah selesai bertutur, Sang Guru mempertautkan kedua kisah kelahiran itu, dan memperkenalkan tentang kelahiran itu dengan ringkasan kata-kata berikut ini, “Cūḷapanthaka adalah siswa dari Cullakaseṭṭhi di masa itu, dan Saya sendiri adalah Cullakaseṭṭhi.”

[Catatan : Kisah perkenalan ini terdapat di Bab VI Buddhaghosha’s Parables karya Capt.T.Rogers, namun ‘Kisah Masa Lampau’ yang diberikan disana sangat berbeda. Lihat ‘Women Leaders of the Buddhist Reformation’ karya Mrs.Bode di J.R.A.S.1893, hal.556. Lihat juga Dhammapada, hal.181, dan bandingkan Bab XXXV. Divyāvadāna, yang diedit oleh Cowell dan Neil, 1886. Keseluruhan Jātaka itu, dalam bentuk singkat, membentuk cerita ‘The Mouse Merchant’ pada hal.33,34 dari volume pertama Kathā Sarit Sāgara yang diterjemahkan oleh Tawney. Lihat juga Kalilah and Dimnah, Bab XVIII. (Knatchbull, hal.358).]
Catatan kaki :

17 Jīvaka adalah seorang umat awam siswa Buddha yang terkemuka, ia merupakan tabib Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha. Keterangan mengenai Jīvaka dapat dilihat di Vinaya (Mahavagga VIII, 1).

18 Ajaran Buddha mengajarkan tentang ketidakkekalan dari semua benda, dan latihan utama pikiran untuk memahami ajaran ini adalah dengan melakukan perenungan terhadap badan jasmani beserta ketiga puluh dua kejijikan terhadap badan jasmani (Lihat Sutta Nipāta I.11, dan catatan dari Jātaka Kedua belas). Dewasa ini, semua samanera di Sri Lanka mengucapkan satu per satu, ketiga puluh dua kejijikan terhadap badan jasmani saat menjalankan upacara upasampada.

19 Keempat pengetahuan analitik tersebut adalah (i) pengetahuan tentang makna kitab-kitab suci,(ii) pengetahuan tentang kebenaran moral, (iii) pengetahuan tentang analisis tatabahasa, logika dan sebagainya ; dan (iv) pengetahuan tentang kecakapan berbicara (ketangkasan).

20 Setelah persembahan diberikan, penderma menuangkan air ke tangan penerima derma. Persembahan yang diberikan Jīvaka adalah makanan untuk anggota Sanggha, seperti yang dijelaskan di Milinda-pañho (hal 118) mengenai cerita ini dalam versinya sendiri.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com