Sariputta | Suttapitaka | Tapussa Sariputta

Tapussa

Tapussagahapati [Tapussa] (AN 9.41)

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Malla di dekat pemukiman Malla bernama Uruvelakappa. Kemudian pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan memasuki Uruvelakappa untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah berjalan menerima dana makanan di Uruvelakappa, setelah makan, ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan itu, Beliau berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Engkau tetaplah di sini, Ānanda, sementara Aku memasuki Hutan Besar untuk melewatkan hari.”

“Baik, Bhante,” Yang Mulia Ānanda menjawab. Kemudian Sang Bhagavā memasuki Hutan Besar dan duduk melewatkan hari di bawah sebatang pohon.

Kemudian perumah tangga Tapussa mendatangi Yang Mulia Ānanda, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata kepadanya:

“Bhante Ānanda, kami adalah umat-umat awam yang menikmati kenikmatan indria, menyukai kenikmatan indria, bersenang dalam kenikmatan indria, dan bergembira dalam kenikmatan indria. Pelepasan keduniawian tampak seperti jurang bagi kami. Aku telah mendengar bahwa dalam Dhamma dan disiplin ini terdapat para bhikkhu yang sangat muda, yang pikirannya meluncur keluar pada pelepasan keduniawian dan menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, melihatnya sebagai damai. Pelepasan keduniawian, Bhante, adalah garis pembatas antara banyak orang dan para bhikkhu dalam Dhamma dan disiplin ini.”

“Ini, perumah tangga, adalah topik yang harus kita tanyakan kepada Sang Bhagavā. Ayo, mari kita menemui Sang Bhagavā dan melaporkan persoalan ini kepada Beliau. Kita harus mengingat penjelasan dari Sang Bhagavā.”

“Baik, Bhante.” Perumah tangga Tapussa menjawab.

Kemudian Yang Mulia Ānanda, bersama dengan perumah tangga Tapussa, mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, perumah tangga Tapussa ini berkata: ‘Bhante Ānanda, kami adalah umat-umat awam yang menikmati kenikmatan indria … [dan] pelepasan keduniawian tampak seperti jurang bagi kami …

[Tetapi] terdapat para bhikkhu yang sangat muda, yang pikirannya … terbebaskan di dalamnya, melihatnya sebagai damai. Pelepasan keduniawian, Bhante, adalah garis pembatas antara banyak orang dan para bhikkhu dalam Dhamma dan disiplin ini.”

“Demikianlah, Ānanda! Demikianlah, Ānanda!

(1) “Sebelum pencerahanKu, sewaktu Aku masih menjadi seorang bodhisatta, masih belum tercerahkan, Aku juga berpikir: ‘Pelepasan keduniawian adalah baik, kesendirian adalah baik.’ Namun pikiranKu tidak meluncur keluar pada pelepasan keduniawian dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai. Aku berpikir: ‘Mengapakah pikiranKu tidak meluncur keluar pada pelepasan keduniawian dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Aku belum melihat bahaya dalam kenikmatan indria dan belum melatih [pandangan terang] itu; Aku belum memperoleh manfaat dalam pelepasan keduniawian dan belum menekuninya. Oleh karena itu pikiranKu tidak meluncur keluar pada pelepasan keduniawian dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai.’

“Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Jika, setelah melihat bahaya dalam kenikmatan-kenikmatan indria, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan jika, setelah memperoleh manfaat dalam pelepasan keduniawian, Aku menekuninya, maka adalah mungkin bahwa pikiranKu akan meluncur keluar pada pelepasan keduniawian dan menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.’ Beberapa waktu kemudian, setelah melihat bahaya dalam kenikmatan-kenikmatan indria, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan setelah memperoleh manfaat dalam pelepasan keduniawian, Aku menekuninya. Kemudian pikiranKu meluncur keluar pada pelepasan keduniawian dan menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.

“Beberapa waktu kemudian, Ānanda, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. Sewaktu Aku sedang berdiam dalam keadaan ini, persepsi dan perhatian yang disertai dengan nafsu indriawi muncul padaKu dan Aku merasakannya sebagai kesengsaraan. Seperti halnya kesakitan yang muncul pada seorang yang merasakan kenikmatan hanya untuk membuatnya sengsara, demikian pula ketika persepsi dan perhatian itu yang disertai dengan nafsu indriawi muncul padaKu, Aku merasakannya sebagai kesengsaraan.

(2) “Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, biarlah Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua …’ Namun pikiranKu tidak meluncur keluar pada ketiadaan pemikiran dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai. Aku berpikir: ‘Mengapakah pikiranKu tidak meluncur keluar pada ketiadaan pemikiran dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Aku belum melihat bahaya dalam pemikiran dan belum melatih [pandangan terang] itu; Aku belum memperoleh manfaat dalam ketiadaan pemikiran dan belum menekuninya. Oleh karena itu pikiranKu tidak meluncur keluar pada ketiadaan pemikiran dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai.’

“Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Jika, setelah melihat bahaya dalam pemikiran­, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan jika, setelah memperoleh manfaat dalam ketiadaan pemikiran, Aku menekuninya, maka adalah mungkin bahwa pikiranKu akan meluncur keluar pada ketiadaan pemikiran dan menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.’ Beberapa waktu kemudian, setelah melihat bahaya dalam pemikiran, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan setelah memperoleh manfaat dalam ketiadaan pemikiran, Aku menekuninya. Kemudian pikiranKu meluncur keluar pada ketiadaan pemikiran dan menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.

“Beberapa waktu kemudian, Ānanda, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan … Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua …. Sewaktu Aku sedang berdiam dalam keadaan ini, persepsi dan perhatian yang disertai dengan pemikiran muncul padaKu dan Aku merasakannya sebagai kesengsaraan. Seperti halnya kesakitan yang muncul pada seorang yang merasakan kenikmatan hanya untuk membuatnya sengsara, demikian pula ketika persepsi dan perhatian itu yang disertai dengan pemikiran muncul padaKu, Aku merasakannya sebagai kesengsaraan.

(3) “Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Dengan memudarnya sukacita … biarlah Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga …’ Namun pikiranKu tidak meluncur keluar pada ketiadaan sukacita dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai. Aku berpikir: ‘Mengapakah pikiranKu tidak meluncur keluar pada ketiadaan sukacita dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Aku belum melihat bahaya dalam sukacita dan belum melatih [pandangan terang] itu; Aku belum memperoleh manfaat dalam ketiadaan sukacita dan belum menekuninya. Oleh karena itu pikiranKu tidak meluncur keluar pada ketiadaan sukacita dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai.’

“Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Jika, setelah melihat bahaya dalam sukacita, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan jika, setelah memperoleh manfaat dalam ketiadaan sukacita, Aku menekuninya, maka adalah mungkin bahwa pikiranKu akan meluncur keluar pada ketiadaan sukacita dan menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.’ Beberapa waktu kemudian, setelah melihat bahaya dalam sukacita, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan setelah memperoleh manfaat dalam ketiadaan sukacita, Aku menekuninya. Kemudian pikiranKu meluncur keluar pada ketiadaan sukacita dan menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.

“Beberapa waktu kemudian, Ānanda, dengan memudarnya sukacita … Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga …. Sewaktu Aku sedang berdiam dalam keadaan ini, persepsi dan perhatian yang disertai dengan sukacita muncul padaKu dan Aku merasakannya sebagai kesengsaraan. Seperti halnya kesakitan yang muncul pada seorang yang merasakan kenikmatan hanya untuk membuatnya sengsara, demikian pula ketika persepsi dan perhatian itu yang disertai dengan sukacita muncul padaKu, Aku merasakannya sebagai kesengsaraan.

(4) “Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … biarlah Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat …’ Namun pikiranKu tidak meluncur keluar pada ketiadaan kenikmatan dan kesakitan dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai. Aku berpikir: ‘Mengapakah pikiranKu tidak meluncur keluar pada ketiadaan kenikmatan dan kesakitan dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Aku belum melihat bahaya dalam kenikmatan [yang berhubungan dengan] keseimbangan dan belum melatih [pandangan terang] itu; Aku belum memperoleh manfaat dalam ketiadaan kenikmatan dan kesakitan dan belum menekuninya. Oleh karena itu pikiranKu tidak meluncur keluar pada ketiadaan kenikmatan dan kesakitan dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai.’

“Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Jika, setelah melihat bahaya dalam kenikmatan [yang berhubungan dengan] keseimbangan, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan jika, setelah memperoleh manfaat dalam ketiadaan kenikmatan dan kesakitan, Aku menekuninya, maka adalah mungkin bahwa pikiranKu akan meluncur keluar pada ketiadaan kenikmatan dan kesakitan dan menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.’ Beberapa waktu kemudian, setelah melihat bahaya dalam kenikmatan [yang berhubungan dengan] keseimbangan, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan setelah memperoleh manfaat dalam ketiadaan kenikmatan dan kesakitan, Aku menekuninya.

Kemudian pikiranKu meluncur keluar pada ketiadaan kenikmatan dan kesakitan dan menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.

“Beberapa waktu kemudian, Ānanda, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat …. Sewaktu Aku sedang berdiam dalam keadaan ini, persepsi dan perhatian yang disertai dengan kenikmatan [yang berhubungan dengan] keseimbangan muncul padaKu dan Aku merasakannya sebagai kesengsaraan.

Seperti halnya kesakitan yang muncul pada seorang yang merasakan kenikmatan hanya untuk membuatnya sengsara, demikian pula ketika persepsi dan perhatian itu yang disertai dengan kenikmatan [yang berhubungan dengan] keseimbangan muncul padaKu, Aku merasakannya sebagai kesengsaraan.

(5) “Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan menyadari] “ruang adalah tanpa batas,” biarlah Aku masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas.’ Namun pikiranKu tidak meluncur keluar pada landasan ruang tanpa batas dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai. Aku berpikir: ‘Mengapakah pikiranKu tidak meluncur keluar pada landasan ruang tanpa batas dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Aku belum melihat bahaya dalam bentuk-bentuk dan belum melatih [pandangan terang] itu; Aku belum memperoleh manfaat dalam landasan ruang tanpa batas dan belum menekuninya. Oleh karena itu pikiranKu tidak meluncur keluar pada landasan ruang tanpa batas dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai.’

“Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Jika, setelah melihat bahaya dalam bentuk-bentuk, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan jika, setelah memperoleh manfaat dalam landasan ruang tanpa batas, Aku menekuninya, maka adalah mungkin bahwa pikiranKu akan meluncur keluar pada landasan ruang tanpa batas dan menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.’ Beberapa waktu kemudian, setelah melihat bahaya dalam bentuk-bentuk, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan setelah memperoleh manfaat dalam landasan ruang tanpa batas, Aku menekuninya. Kemudian pikiranKu meluncur keluar pada landasan ruang tanpa batas dan menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.

“Beberapa waktu kemudian, Ānanda, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan menyadari] ‘ruang adalah tanpa batas,’ Aku masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Sewaktu Aku sedang berdiam dalam keadaan ini, persepsi dan perhatian yang disertai dengan bentuk-bentuk muncul padaKu dan Aku merasakannya sebagai kesengsaraan. Seperti halnya kesakitan yang muncul pada seorang yang merasakan kenikmatan hanya untuk membuatnya sengsara, demikian pula ketika persepsi dan perhatian itu yang disertai dengan bentuk-bentuk muncul padaKu, Aku merasakannya sebagai kesengsaraan.

(6) “Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan menyadari] “kesadaran adalah tanpa batas,” biarlah Aku masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas.’ Namun pikiranKu tidak meluncur keluar pada landasan kesadaran tanpa batas dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai. Aku berpikir: ‘Mengapakah pikiranKu tidak meluncur keluar pada landasan kesadaran tanpa batas dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Aku belum melihat bahaya dalam landasan ruang tanpa batas dan belum melatih [pandangan terang] itu; Aku belum memperoleh manfaat dalam landasan kesadaran tanpa batas dan belum menekuninya. Oleh karena itu pikiranKu tidak meluncur keluar pada landasan kesadaran tanpa batas dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai.’

“Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Jika, setelah melihat bahaya dalam landasan ruang tanpa batas, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan jika, setelah memperoleh manfaat dalam landasan kesadaran tanpa batas, Aku menekuninya, maka adalah mungkin bahwa pikiranKu akan meluncur keluar pada landasan kesadaran tanpa batas dan menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.’ Beberapa waktu kemudian, setelah melihat bahaya dalam landasan ruang tanpa batas, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan setelah memperoleh manfaat dalam landasan kesadaran tanpa batas, Aku menekuninya. Kemudian pikiranKu meluncur keluar pada landasan kesadaran tanpa batas dan menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.

“Beberapa waktu kemudian, Ānanda, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan menyadari] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ Aku masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Sewaktu Aku sedang berdiam dalam keadaan ini, persepsi dan perhatian yang disertai dengan landasan ruang tanpa batas muncul padaKu dan Aku merasakannya sebagai kesengsaraan. Seperti halnya kesakitan yang muncul pada seorang yang merasakan kenikmatan hanya untuk membuatnya sengsara, demikian pula ketika persepsi dan perhatian itu yang disertai dengan landasan ruang tanpa batas muncul padaKu, Aku merasakannya sebagai kesengsaraan.

(7) “Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan menyadari] “tidak ada apa-apa,” biarlah Aku masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan.’ Namun pikiranKu tidak meluncur keluar pada landasan kekosongan dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai. Aku berpikir: ‘Mengapakah pikiranKu tidak meluncur keluar pada landasan kekosongan dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Aku belum melihat bahaya dalam landasan kesadaran tanpa batas dan belum melatih [pandangan terang] itu; Aku belum memperoleh manfaat dalam landasan kekosongan dan belum menekuninya. Oleh karena itu pikiranKu tidak meluncur keluar pada landasan kekosongan dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai.’

“Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Jika, setelah melihat bahaya dalam landasan kesadaran tanpa batas, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan jika, setelah memperoleh manfaat dalam landasan kekosongan, Aku menekuninya, maka adalah mungkin bahwa pikiranKu akan meluncur keluar pada landasan kekosongan dan menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.’ Beberapa waktu kemudian, setelah melihat bahaya dalam landasan kesadaran tanpa batas, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan setelah memperoleh manfaat dalam landasan kekosongan, Aku menekuninya. Kemudian pikiranKu meluncur keluar pada landasan kekosongan dan menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.

“Beberapa waktu kemudian, Ānanda, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan menyadari] ‘tidak ada apa-apa,’ Aku masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Sewaktu Aku sedang berdiam dalam keadaan ini, persepsi dan perhatian yang disertai dengan landasan kesadaran tanpa batas muncul padaKu dan Aku merasakannya sebagai kesengsaraan. Seperti halnya kesakitan yang muncul pada seorang yang merasakan kenikmatan hanya untuk membuatnya sengsara, demikian pula ketika persepsi dan perhatian itu yang disertai dengan landasan ruang tanpa batas muncul padaKu, Aku merasakannya sebagai kesengsaraan.

(8) “Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, biarlah Aku masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Namun pikiranKu tidak meluncur keluar pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai. Aku berpikir: ‘Mengapakah pikiranKu tidak meluncur keluar pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Aku belum melihat bahaya dalam landasan kekosongan dan belum melatih [pandangan terang] itu; Aku belum memperoleh manfaat dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi dan belum menekuninya. Oleh karena itu pikiranKu tidak meluncur keluar pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai.’

“Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Jika, setelah melihat bahaya dalam landasan kekosongan, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan jika, setelah memperoleh manfaat dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, Aku menekuninya, maka adalah mungkin bahwa pikiranKu akan meluncur keluar pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi dan menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.’ Beberapa waktu kemudian, setelah melihat bahaya dalam landasan kekosongan, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan setelah memperoleh manfaat dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, Aku menekuninya. Kemudian pikiranKu meluncur keluar pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi dan menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.

“Beberapa waktu kemudian, Ānanda, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, Aku masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Sewaktu Aku sedang berdiam dalam keadaan ini, persepsi dan perhatian yang disertai dengan landasan kekosongan muncul padaKu dan Aku merasakannya sebagai kesengsaraan. Seperti halnya kesakitan yang muncul pada seorang yang merasakan kenikmatan hanya untuk membuatnya sengsara, demikian pula ketika persepsi dan perhatian itu yang disertai dengan landasan kekosongan muncul padaKu, Aku merasakannya sebagai kesengsaraan.

(9) “Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, biarlah Aku masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan.’ Namun pikiranKu tidak meluncur keluar pada lenyapnya persepsi dan perasaan dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai. Aku berpikir: ‘Mengapakah pikiranKu tidak meluncur keluar pada lenyapnya persepsi dan perasaan dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Aku belum melihat bahaya dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi dan belum melatih [pandangan terang] itu; Aku belum memperoleh manfaat dalam lenyapnya persepsi dan perasaan dan belum menekuninya. Oleh karena itu pikiranKu tidak meluncur keluar pada lenyapnya persepsi dan perasaan dan tidak menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, walaupun Aku melihatnya sebagai damai.’

“Kemudian, Ānanda, Aku berpikir: ‘Jika, setelah melihat bahaya dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, Aku melatih [pandangan terang] itu, dan jika, setelah memperoleh manfaat dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, Aku menekuninya, maka adalah mungkin bahwa pikiranKu akan meluncur keluar pada lenyapnya persepsi dan perasaan dan menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.’ Beberapa waktu kemudian, setelah melihat bahaya dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, Aku melatih [pandangan terang] itu; dan setelah memperoleh manfaat dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, Aku menekuninya. Kemudian pikiranKu meluncur keluar pada lenyapnya persepsi dan perasaan dan menjadi tenteram, kokoh, dan terbebaskan di dalamnya, karena Aku melihatnya sebagai damai.

“Beberapa waktu kemudian, Ānanda, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi,’ Aku masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodaKu sepenuhnya dihancurkan.

“Selama, Ānanda, Aku belum mencapai dan keluar dari sembilan pencapaian keberdiaman bertahap ini dalam urutan maju dan urutan mundur, Aku tidak mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tiada taranya di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Tetapi ketika Aku telah mencapai dan keluar dari pencapaian keberdiaman bertahap ini dalam urutan maju dan urutan mundur, maka Aku mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tiada taranya di dunia ini bersama dengan … para deva dan manusia. Pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu: ‘Kebebasan pikiranKu tidak tergoyahkan; ini adalah kelahiranKu yang terakhir; sekarang tidak ada lagi penjelmaan baru.’”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com