Sariputta | Suttapitaka | Pāṭaliya Sariputta

Pāṭaliya

Pāṭaliya (SN 42.13)

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Koliya di mana terdapat sebuah pemukiman Koliya bernama Uttara. Kemudian Pāṭaliya si kepala desa mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Aku mendengar, Yang Mulia: ‘Petapa Gotama mengetahui sihir.’ Aku harap, Yang Mulia, bahwa mereka yang mengatakan, ‘Petapa Gotama mengetahui sihir,’ mengatakan apa yang telah dikatakan oleh Bhagavā dan tidak salah menafsirkan Beliau dengan apa yang berlawanan dengan fakta; bahwa mereka menjelaskan sesuai Dhamma, dan tidak ada konsekuensi logis dari pernyataan mereka yang dapat menjadi landasan bagi kritikan. Karena kami tidak ingin salah memahami Sang Bhagavā, Yang Mulia.”

“Mereka, kepala desa, yang mengatakan, ‘Petapa Gotama mengetahui sihir,’ mengatakan apa yang telah Kukatakan dan tidak salah menafsirkanKu dengan apa yang berlawanan dengan fakta; mereka menjelaskan sesuai dengan Dhamma, dan tidak ada konsekuensi logis dari pernyataan mereka yang dapat menjadi landasan bagi kritikan.”

“Kalau begitu, Yang Mulia, kami tidak mempercayai kebenaran yang disampaikan oleh para petapa dan brahmana yang mengatakan, ‘Petapa Gotama mengetahui sihir.’ Sesungguhnya, Yang Mulia, Petapa Gotama adalah seorang penyihir!”

“Kepala desa, apakah mereka yang mengatakan, ‘Aku mengetahui sihir,’ juga mengatakan, ‘Aku adalah seorang penyihir’?”

“Demikianlah, Bhagavā! Demikianlah, Yang Sempurna!”

“Baiklah, kepala desa, Aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu mengenai persoalan yang sama. Jawablah sesuai dengan apa yang menurutmu benar.

I
(i)
“Bagaimana menurutmu, kepala desa? Tahukah engkau para orang-orang Koliya bayaran dengan ikat kepala berjuntai?”

“Aku tahu, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, kepala desa? Apakah pekerjaan orang-orang Koliya bayaran dengan ikat kepala berjuntai itu?”

“Pekerjaan mereka, Yang Mulia, adalah menangkap pencuri-pencuri dan menyampaikan pesan untuk orang-orang Koliya.”

“Bagaimana menurutmu, kepala desa? Tahukah engkau apakah orang-orang Koliya bayaran dengan ikat kepala berjuntai itu adalah bermoral atau tidak bermoral?”

“Aku tahu, Yang Mulia, bahwa mereka tidak bermoral, berkarakter buruk. Mereka termasuk di antara orang-orang di dunia ini yang tidak bermoral, berkarakter buruk.”

“Apakah seseorang berkata benar, kepala desa, jika ia mengatakan: ‘Pāṭaliya si kepala desa mengetahui orang-orang Koliya bayaran dengan ikat kepala berjuntai, yang tidak bermoral, berkarakter buruk. Pāṭaliya si kepala desa juga tidak bermoral, berkarakter buruk’?”

“Tidak, Yang Mulia. Aku sangat berbeda dengan orang-orang Koliya bayaran dengan ikat kepala berjuntai itu. karakterku sangat berbeda dengan mereka.”

“Jika, kepala desa, dapat dikatakan tentang dirimu, ‘Pāṭaliya si kepala desa mengetahui orang-orang Koliya bayaran dengan ikat kepala berjuntai, yang tidak bermoral, berkarakter buruk, tetapi Pāṭaliya si kepala desa adalah bermoral, tidak berkarakter buruk,’ maka mengapa tidak dapat dikatakan tentang Sang Tathāgata: ‘Sang Tathāgata mengetahui sihir, tetapi Sang Tathāgata bukan penyihir’? Aku memahami sihir, kepala desa, dan akibat dari sihir, dan Aku memahami bagaimana seorang penyihir, dalam pengembaraannya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam yang buruk, di alam rendah, di neraka.

(ii)
“Aku memahami, kepala desa, pembunuhan, dan akibat dari pembunuhan, dan Aku memahami bagaimana seseorang yang membunuh, dalam pengembaraannya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam yang buruk, di alam rendah, di neraka.

“Aku memahami, kepala desa, tindakan mengambil apa yang tidak diberikan … hubungan seksual yang salah … berkata-kata bohong … mengucapkan kata-kata yang menimbulkan perpecahan … berkata-kata kasar … … bergosip … ketamakan … permusuhan dan kebencian … pandangan salah, dan akibat dari pandangan salah, dan Aku memahami bagaimana seseorang yang menganut pandangan salah, dalam pengembaraannya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam yang buruk, di alam rendah, di neraka.

II
“Ada, kepala desa, beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut ini: ‘Siapa saja yang melakukan pembunuhan, mengalami kesakitan dan kesedihan dalam kehidupan ini. Siapa saja yang mengambil apa yang tidak diberikan … yang melakukan hubungan seksual yang salah … yang berkata-kata bohong, mengalami kesakitan dan kesedihan dalam kehidupan ini.’

(i)
“Seseorang di sini, kepala desa, terlihat mengenakan kalung dan perhiasan, segar setelah mandi dan rapi, dengan rambut dan janggut tercukur, menikmati kenikmatan indria bersama perempuan bagaikan seorang raja. Mereka bertanya kepada seseorang tentangnya: ‘Tuan, apakah yang telah dilakukan orang itu, sehingga ia mengenakan kalung dan perhiasan … menikmati kenikmatan indria bersama perempuan bagaikan seorang raja?’ Mereka menjawab: ‘Tuan, orang ini menyerang musuh raja dan membunuhnya. Raja senang dan menganugerahkan hadiah kepadanya. Itulah sebabnya mengapa orang ini mengenakan kalung dan perhiasan … menikmati kenikmatan indria bersama perempuan bagaikan seorang raja.’

(ii)
“Kemudian, kepala desa, seseorang di sini terlihat dengan tangannya terikat di belakang dengan tali yang kuat, rambutnya dicukur, diarak dari jalan ke jalan, dari lapangan ke lapangan, dengan tabuhan genderang yang mengancam, dan kemudian ia dibawa melalui gerbang selatan dan dipenggal di sebelah selatan kota. Mereka bertanya kepada seseorang tentangnya: ‘Tuan, apakah yang telah dilakukan orang itu, sehingga tangannya terikat di belakang … ia dipenggal di sebelah selatan kota?’ Mereka menjawab: ‘Tuan, orang ini, musuh raja, telah membunuh seorang laki-laki atau perempuan. Itulah sebabnya para penguasa, setelah menangkapnya, menjatuhkan hukuman kepadanya.’

“Bagaimana menurutmu, kepala desa, pernahkah engkau melihat atau mendengar kasus demikian?”

“Aku pernah melihat ini, Yang Mulia, dan aku pernah mendengar ini, dan aku akan mendengarnya [lagi].”

“Di sana, kepala desa, ketika para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini mengatakan: “Siapa saja yang melakukan pembunuhan mengalami kesakitan dan kesedihan di sini dan saat ini,’ apakah mereka berkata jujur atau bohong?”

“Bohong, Yang Mulia.”

“Apakah mereka yang mengocehkan kebohongan adalah bermoral atau tidak bermoral?”

“Tidak bermoral, Yang Mulia.”

“Apakah mereka yang tidak bermoral dan berkarakter buruk mempraktikkan yang benar atau salah?”

“Mempraktikkan yang salah, Yang Mulia.”

“Apakah mereka yang mempraktikkan yang salah, menganut pandangan salah atau pandangan benar?”

“Pandangan salah, Yang Mulia.”

“Layakkah berkeyakinan terhadap mereka yang menganut pandangan salah?”

“Tidak, Yang Mulia.”

(iii)
“Kemudian, kepala desa, seseorang di sini terlihat mengenakan kalung dan perhiasan, segar setelah mandi dan rapi, dengan rambut dan janggut tercukur, menikmati kenikmatan indria bersama perempuan bagaikan seorang raja. Mereka bertanya kepada seseorang tentangnya: ‘Tuan, apakah yang telah dilakukan orang itu, sehingga ia mengenakan kalung dan perhiasan … menikmati kenikmatan indria bersama perempuan bagaikan seorang raja?’ Mereka menjawab: ‘Tuan, orang ini menyerang musuh raja dan mencuri sebuah permata. Raja senang dan menganugerahkan hadiah kepadanya. Itulah sebabnya mengapa orang ini mengenakan kalung dan perhiasan … menikmati kenikmatan indria bersama perempuan bagaikan seorang raja.’

(iv)
“Kemudian, kepala desa, seseorang di sini terlihat dengan tangannya terikat di belakang dengan tali yang kuat, rambutnya dicukur, diarak dari jalan ke jalan, dari lapangan ke lapangan, dengan tabuhan genderang yang mengancam, dan kemudian ia dibawa melalui gerbang selatan dan dipenggal di sebelah selatan kota. Mereka bertanya kepada seseorang tentangnya: ‘Tuan, apakah yang telah dilakukan orang itu, sehingga tangannya terikat di belakang … ia dipenggal di sebelah selatan kota?’ Mereka menjawab: ‘Tuan, orang ini, musuh raja, telah mencuri sesuatu dari sebuah desa atau hutan, ia melakukan pencurian. Itulah sebabnya para penguasa, setelah menangkapnya, menjatuhkan hukuman kepadanya.’

“Bagaimana menurutmu, kepala desa, pernahkah engkau melihat atau mendengar kasus demikian?”

“Aku pernah melihat ini, Yang Mulia, dan aku pernah mendengar ini, dan aku akan mendengarnya [lagi].”

“Di sana, kepala desa, ketika para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini mengatakan: ‘Siapa saja yang mengambil apa yang tidak diberikan, mengalami kesakitan dan kesedihan di sini dan saat ini,’ apakah mereka berkata jujur atau bohong? … Layakkah berkeyakinan terhadap mereka yang menganut pandangan salah?”

“Tidak, Yang Mulia.”

(v)
“Kemudian, kepala desa, seseorang di sini terlihat mengenakan kalung dan perhiasan, segar setelah mandi dan rapi, dengan rambut dan janggut tercukur, menikmati kenikmatan indria bersama perempuan bagaikan seorang raja. Mereka bertanya kepada seseorang tentangnya: ‘Tuan, apakah yang telah dilakukan orang itu, sehingga ia mengenakan kalung dan perhiasan … menikmati kenikmatan indria bersama perempuan bagaikan seorang raja?’ Mereka menjawab: ‘Tuan, orang ini menggoda istri-istri musuh raja. Raja senang dan menganugerahkan hadiah kepadanya. Itulah sebabnya mengapa orang ini mengenakan kalung dan perhiasan … menikmati kenikmatan indria bersama perempuan bagaikan seorang raja.’

(vi)
“Kemudian, kepala desa, seseorang di sini terlihat dengan tangannya terikat di belakang dengan tali yang kuat, rambutnya dicukur, diarak dari jalan ke jalan, dari lapangan ke lapangan, dengan tabuhan genderang yang mengancam, dan kemudian ia dibawa melalui gerbang selatan dan dipenggal di sebelah selatan kota. Mereka bertanya kepada seseorang tentangnya: ‘Tuan, apakah yang telah dilakukan orang itu, sehingga tangannya terikat di belakang … ia dipenggal di sebelah selatan kota?’ Mereka menjawab: ‘Tuan, orang ini menggoda perempuan-perempuan dan gadis-gadis dari keluarga baik-baik. Itulah sebabnya para penguasa, setelah menangkapnya, menjatuhkan hukuman kepadanya.’

“Bagaimana menurutmu, kepala desa, pernahkah engkau melihat atau mendengar kasus demikian?”

“Aku pernah melihat ini, Yang Mulia, dan aku pernah mendengar ini, dan aku akan mendengarnya [lagi].”

“Di sana, kepala desa, ketika para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini mengatakan: ‘Siapa saja yang melakukan hubungan seksual yang salah mengalami kesakitan dan kesedihan di sini dan saat ini,’ apakah mereka berkata jujur atau bohong? … Layakkah berkeyakinan terhadap mereka yang menganut pandangan salah?”
“Tidak, Yang Mulia.”

(vii)
“Kemudian, kepala desa, seseorang di sini terlihat mengenakan kalung dan perhiasan, segar setelah mandi dan rapi, dengan rambut dan janggut tercukur, menikmati kenikmatan indria bersama perempuan bagaikan seorang raja. Mereka bertanya kepada seseorang tentangnya: ‘Tuan, apakah yang telah dilakukan orang itu, sehingga ia mengenakan kalung dan perhiasan … menikmati kenikmatan indria bersama perempuan bagaikan seorang raja?’ Mereka menjawab: ‘Tuan, orang ini menghibur raja dengan kata-kata bohong. Raja senang dan menganugerahkan hadiah kepadanya. Itulah sebabnya mengapa orang ini mengenakan kalung … menikmati kenikmatan indria bersama perempuan bagaikan seorang raja.’

(viii)
“Kemudian, kepala desa, seseorang di sini terlihat dengan tangannya terikat di belakang dengan tali yang kuat, rambutnya dicukur, diarak dari jalan ke jalan, dari lapangan ke lapangan, dengan tabuhan genderang yang mengancam, dan kemudian ia dibawa melalui gerbang selatan dan dipenggal di sebelah selatan kota. Mereka bertanya kepada seseorang tentangnya: ‘Tuan, apakah yang telah dilakukan orang itu, sehingga tangannya terikat di belakang … ia dipenggal di sebelah selatan kota?’ Mereka menjawab: ‘Tuan, orang ini menjatuhkan seorang perumah tangga atau putra seorang perumah tangga dengan kata-kata bohong. Itulah sebabnya para penguasa, setelah menangkapnya, menjatuhkan hukuman kepadanya.’

“Bagaimana menurutmu, kepala desa, pernahkah engkau melihat atau mendengar kasus demikian?”

“Aku pernah melihat ini, Yang Mulia, dan aku pernah mendengar ini, dan aku akan mendengarnya [lagi].”

“Di sana, kepala desa, ketika para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini mengatakan: ‘Siapa saja yang mengucapkan kata-kata bohong, mengalami kesakitan dan kesedihan di sini dan saat ini,’ apakah mereka berkata jujur atau bohong? … Layakkah berkeyakinan terhadap mereka yang menganut pandangan salah?”

“Tidak, Yang Mulia.”

III
“Sungguh menakjubkan, Yang Mulia! Sungguh mengagumkan, Yang Mulia! Aku memiliki sebuah rumah peristirahatan di mana terdapat tempat tidur, tempat duduk, kendi air, dan lampu minyak. Ketika petapa atau brahmana mana pun tinggal di sana, maka aku berbagi dengannya dengan cara-caraku sebatas kemampuanku. Di masa lalu, Yang Mulia, empat guru—yang menganut pandangan berbeda-beda, dengan pendirian yang berbeda-beda, dengan kesukaan berbeda-beda—datang untuk tinggal di rumah peristirahatan itu.

(i)
“Satu guru menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dipersembahkan, tidak ada yang dihadiahkan dalam suatu upacara pemberian; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang dilahirkan secara spontan; tidak ada petapa dan brahmana yang mengembara dan berlatih dengan benar di dunia ini yang, setelah memahami dunia ini dan dunia lain untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, mengajarkannya kepada orang lain.’

(ii)
“Satu guru menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Ada yang diberikan, ada yang dipersembahkan, ada yang dihadiahkan dalam suatu upacara pemberian; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini dan dunia lain; ada ibu dan ayah; ada makhluk-makhluk yang dilahirkan secara spontan; ada petapa dan brahmana yang mengembara dan berlatih dengan benar di dunia ini yang, setelah memahami dunia ini dan dunia lain untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, mengajarkannya kepada orang lain.’

(iii)
“Satu guru menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Ketika seseorang berbuat atau menyuruh orang lain berbuat, ketika seseorang melukai atau menyuruh orang lain melukai, ketika seseorang menyiksa atau menyuruh orang lain menyiksa, ketika seseorang menyebabkan dukacita atau menyuruh orang lain menyebabkan dukacita, ketika seseorang menindas atau menyuruh orang lain menindas, ketika seseorang mengintimidasi atau menyuruh orang lain mengintimidasi, ketika seseorang membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, memasuki rumah dengan paksa, menjarah harta, melakukan perampokan, penyergapan di jalan raya, menggoda istri orang, mengucapkan kebohongan—tidak ada kejahatan yang dilakukan oleh si pelaku. Jika, dengan roda-pisau, seseorang menggilas semua makhluk hidup di bumi ini menjadi suatu tumpukan daging, karena hal ini, tidak ada kejahatan dan tidak ada akibat kejahatan. Jika seseorang pergi ke tepi selatan sungai Gangga, membunuh dan membantai, melukai dan menyuruh orang lain melukai, menyiksa dan menyuruh orang lain menyiksa, karena hal ini, tidak ada kejahatan dan tidak ada akibat kejahatan. Jika seseorang pergi ke tepi utara sungai Gangga, memberi dan menyuruh orang memberi, mempersembahkan dan menyuruh orang lain memberikan persembahan, karena hal ini, tidak ada jasa dan tidak ada akibat dari jasa. Dengan memberi, dengan menjinakkan diri sendiri, dengan pengendalian diri, dengan berkata jujur, tidak ada jasa dan tidak ada akibat dari jasa.’

(iv)
“Satu guru menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Ketika seseorang berbuat atau menyuruh orang lain berbuat, ketika seseorang melukai atau menyuruh orang lain melukai … … kejahatan dilakukan oleh pelaku. Jika, dengan roda-pisau, seseorang menggilas semua makhluk hidup di bumi ini menjadi suatu tumpukan daging, karena hal ini, maka ada kejahatan dan ada akibat kejahatan. Jika seseorang pergi ke tepi selatan sungai Gangga, membunuh dan membantai, melukai dan menyuruh orang lain melukai, menyiksa dan menyuruh orang lain menyiksa, karena hal ini, ada kejahatan dan ada akibat kejahatan. Jika seseorang pergi ke tepi utara sungai Gangga memberi dan menyuruh orang memberi, mempersembahkan dan menyuruh orang lain memberikan persembahan, karena hal ini, maka ada jasa dan ada akibat dari jasa. Dengan memberi, dengan menjinakkan diri sendiri, dengan pengendalian diri, dengan berkata jujur, ada jasa dan ada akibat dari jasa.’

“Muncul dalam diriku, Yang Mulia, kebingungan dan keraguan: ‘Yang manakah dari para petapa dan brahmana terhormat ini yang mengatakan sebenarnya dan yang mana yang mengatakan kebohongan?’”

“Selayaknyalah engkau bingung, kepala desa, selayaknya engkau ragu. Keraguan telah muncul dalam dirimu sehubungan dengan persoalan yang membingungkan.”

“Aku berkeyakinan pada Sang Bhagavā sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā mampu mengajarkan Dhamma kepadaku sedemikian sehingga aku dapat melepaskan kebingungan ini.’”

IV
“Ada, kepala desa, konsentrasi Dhamma. Jika engkau memperoleh konsentrasi pikiran dalam hal itu, maka engkau dapat melepaskan kebingungan ini. Dan apakah, kepala desa, konsentrasi Dhamma?

(i)
“Di sini, kepala desa, setelah meninggalkan pembunuhan, siswa mulia itu menghindari pembunuhan. Setelah meninggalkan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari mengambil apa yang tidak diberikan. Setelah meninggalkan hubungan seksual yang salah, ia menghindari hubungan seksual yang salah. Setelah meninggalkan berbohong, ia menghindari berbohong. Setelah meninggalkan ucapan memecah-belah, ia menghindari ucapan memecah-belah. Setelah meninggalkan ucapan kasar, ia menghindari ucapan kasar. Setelah meninggalkan bergosip, ia menghindari bergosip. Setelah meninggalkan ketamakan, ia menjadi tidak tamak. Setelah meninggalkan permusuhan dan kebencian, ia memiliki pikiran yang tanpa permusuhan. Setelah meninggalkan pandangan salah, ia menjadi seorang yang berpandangan benar.

“Kemudian, kepala desa, siswa mulia itu—yang hampa dari ketamakan, hampa dari permusuhan, tanpa kebingungan, memahami dengan jernih, senantiasa penuh perhatian—berdiam meliputi satu arah dengan pikiran penuh cinta kasih, demikian pula ke arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke mana-mana, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran penuh cinta kasih, meluas, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan, tanpa kebencian.

“Ia merenungkan sebagai berikut: ‘Guru ini menganut doktrin dan pandangan ini: “Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dipersembahkan … tidak ada petapa dan brahmana yang mengembara dan berlatih dengan benar di dunia ini yang, setelah memahami dunia ini dan dunia lain untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, mengajarkannya kepada orang lain.” Jika kata-kata guru ini benar, bagiku adalah tidak terbantahkan bahwa aku tidak menindas siapa pun baik yang lemah maupun yang kuat. Dalam kedua kasus, aku beruntung: karena aku terkendali dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, dan karena, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, aku akan terlahir kembali di alam yang baik, di alam surga.’ [Ketika ia merenungkan demikian] muncul kegembiraan. Ketika seseorang gembira, maka sukacita timbul. Ketika pikiran bersukacita, maka jasmani menjadi tenang. Seorang yang tenang dalam jasmani, mengalami kebahagiaan. Pikiran seorang yang bahagia menjadi terkonsentrasi.

“Ini, kepala desa, adalah konsentrasi Dhamma. Jika engkau memperoleh konsentrasi pikiran dalam hal itu, maka engkau akan meninggalkan kebingungan itu.

(ii)
“Kemudian, kepala desa, siswa mulia itu—yang hampa dari ketamakan, hampa dari permusuhan, tanpa kebingungan, memahami dengan jernih, senantiasa penuh perhatian—berdiam meliputi satu arah dengan pikiran penuh cinta kasih … tanpa kebencian.

“Ia merenungkan sebagai berikut: ‘Guru ini menganut doktrin dan pandangan ini: “Ada yang diberikan, ada yang dipersembahkan … ada petapa dan brahmana yang mengembara dan berlatih dengan benar di dunia ini yang, setelah memahami dunia ini dan dunia lain untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, mengajarkannya kepada orang lain.” Jika kata-kata guru ini benar, bagiku adalah tidak terbantahkan bahwa aku tidak menindas siapa pun baik yang lemah maupun yang kuat. Dalam kedua kasus, aku beruntung: karena aku terkendali dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, dan karena, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, aku akan terlahir kembali di alam yang baik, di alam surga.’ [Ketika ia merenungkan demikian] muncul kegembiraan. Ketika seseorang gembira, maka sukacita timbul. Ketika pikiran bersukacita, jasmani menjadi tenang. Seorang yang tenang dalam jasmani, mengalami kebahagiaan. Pikiran seorang yang bahagia menjadi terkonsentrasi.

“Ini, kepala desa, adalah konsentrasi Dhamma. Jika engkau memperoleh konsentrasi pikiran dalam hal itu, maka engkau akan meninggalkan kebingungan itu.

(iii)
“Kemudian, kepala desa, siswa mulia itu—yang hampa dari ketamakan, hampa dari permusuhan, tanpa kebingungan, memahami dengan jernih, senantiasa penuh perhatian—berdiam meliputi satu arah dengan pikiran penuh cinta kasih … tanpa kebencian.

“Ia merenungkan sebagai berikut: ‘Guru ini menganut doktrin dan pandangan ini: “Ketika seseorang berbuat atau menyuruh orang lain berbuat … Dengan memberi, dengan menjinakkan diri sendiri, dengan pengendalian diri, dengan berkata jujur, maka tidak ada jasa dan tidak ada akibat dari jasa.” Jika kata-kata guru ini benar, bagiku adalah tidak terbantahkan bahwa aku tidak menindas siapa pun baik yang lemah maupun yang kuat. Dalam kedua kasus, aku beruntung: karena aku terkendali dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, dan karena, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, aku akan terlahir kembali di alam yang baik, di alam surga.’ [Ketika ia merenungkan demikian] muncul kegembiraan. Ketika seseorang gembira, maka sukacita timbul. Ketika pikiran bersukacita, jasmani menjadi tenang. Seorang yang tenang dalam jasmani, mengalami kebahagiaan. Pikiran seorang yang bahagia menjadi terkonsentrasi.

“Ini, kepala desa, adalah konsentrasi Dhamma. Jika engkau memperoleh konsentrasi pikiran dalam hal itu, maka engkau akan meninggalkan kebingungan itu.

(iv)
“Kemudian, kepala desa, siswa mulia itu—yang hampa dari ketamakan, hampa dari permusuhan, tanpa kebingungan, memahami dengan jernih, senantiasa penuh perhatian—berdiam meliputi satu arah dengan pikiran penuh cinta kasih … … tanpa kebencian.

“Ia merenungkan sebagai berikut: ‘Guru ini menganut doktrin dan pandangan ini: “Ketika seseorang berbuat atau menyuruh orang lain berbuat … Dengan memberi, dengan menjinakkan diri sendiri, dengan pengendalian diri, dengan berkata jujur, maka ada jasa dan ada akibat dari jasa.” Jika kata-kata guru ini benar, bagiku adalah tidak terbantahkan bahwa aku tidak menindas siapa pun baik yang lemah maupun yang kuat. Dalam kedua kasus, aku beruntung: karena aku terkendali dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, dan karena, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, aku akan terlahir kembali di alam yang baik, di alam surga.’ [Ketika ia merenungkan demikian] muncul kegembiraan. Ketika seseorang gembira, maka sukacita timbul. Ketika pikiran bersukacita, jasmani menjadi tenang. Seseorang yang tenang dalam jasmani, mengalami kebahagiaan. Pikiran seorang yang bahagia menjadi terkonsentrasi.

“Ini, kepala desa, adalah konsentrasi Dhamma. Jika engkau memperoleh konsentrasi pikiran dalam hal itu, maka engkau akan meninggalkan kebingungan itu.

V
(i)
“Kemudian, kepala desa, siswa mulia itu—yang hampa dari ketamakan, hampa dari permusuhan, tanpa kebingungan, memahami dengan jernih, senantiasa penuh perhatian—berdiam meliputi satu arah dengan pikiran penuh belas kasihan … … dengan pikiran penuh kegembiraan altruistik … dengan pikiran penuh dengan keseimbangan, demikian pula ke arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke mana-mana, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran penuh keseimbangan, meluas, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan, tanpa kebencian.

“Ia merenungkan sebagai berikut: ‘Guru ini menganut doktrin dan pandangan ini: “Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dipersembahkan … tidak ada petapa dan brahmana yang mengembara dan berlatih dengan benar di dunia ini yang, setelah memahami dunia ini dan dunia lain untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, mengajarkannya kepada orang lain.” … Ini, kepala desa, adalah konsentrasi Dhamma. Jika engkau memperoleh konsentrasi pikiran dalam hal itu, maka engkau akan meninggalkan kebingungan itu.

(ii)-(iv)
“Kemudian, kepala desa, siswa mulia itu—yang hampa dari ketamakan, hampa dari permusuhan, tanpa kebingungan, memahami dengan jernih, senantiasa penuh perhatian—berdiam meliputi satu arah dengan pikiran penuh belas kasihan … dengan pikiran penuh kegembiraan altruistik … dengan pikiran penuh dengan keseimbangan … … tanpa kebencian.

“Ia merenungkan sebagai berikut: ‘Guru ini menganut doktrin dan pandangan ini: “Ada yang diberikan, ada yang dipersembahkan … ada petapa dan brahmana yang mengembara dan berlatih dengan benar di dunia ini yang, setelah memahami dunia ini dan dunia lain untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, mengajarkannya kepada orang lain.”’ … Ini, kepala desa, adalah konsentrasi Dhamma. Jika engkau memperoleh konsentrasi pikiran dalam hal itu, maka engkau akan meninggalkan kebingungan itu.

“Ia merenungkan sebagai berikut: ‘Guru ini menganut doktrin dan pandangan ini: “Ketika seseorang berbuat atau menyuruh orang lain berbuat … … Dengan memberi, dengan menjinakkan diri sendiri, dengan pengendalian diri, dengan berkata jujur, maka tidak ada jasa dan tidak ada akibat dari jasa.”’ … Ini, kepala desa, adalah konsentrasi Dhamma. Jika engkau memperoleh konsentrasi pikiran dalam hal itu, maka engkau akan meninggalkan kebingungan itu.

“Ia merenungkan sebagai berikut: ‘Guru ini menganut doktrin dan pandangan ini: “Ketika seseorang berbuat atau menyuruh orang lain berbuat, ketika seseorang melukai atau menyuruh orang lain melukai … … Dengan memberi, dengan menjinakkan diri sendiri, dengan pengendalian diri, dengan berkata jujur, maka ada jasa dan ada akibat dari jasa.” Jika kata-kata guru ini benar, bagiku adalah tidak terbantahkan bahwa aku tidak menindas siapa pun baik yang lemah maupun yang kuat. Dalam kedua kasus, aku beruntung: karena aku terkendali dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, dan karena, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, aku akan terlahir kembali di alam yang baik, di alam surga.’ [Ketika ia merenungkan demikian] muncul kegembiraan. Ketika seseorang gembira, maka sukacita timbul. Ketika pikiran bersukacita, jasmani menjadi tenang. Seseorang yang tenang dalam jasmani, mengalami kebahagiaan. Pikiran seorang yang bahagia menjadi terkonsentrasi.

“Ini, kepala desa, adalah konsentrasi Dhamma. Jika engkau memperoleh konsentrasi pikiran dalam hal itu, maka engkau akan meninggalkan kebingungan itu.”

Ketika ini dikatakan, kepala desa Pāṭaliya berkata kepada Sang Bhagavā: “Bagus sekali, Yang Mulia! … Sejak hari ini sudilah Bhagavā mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com