Sariputta | Suttapitaka | Tergerak (2) Sariputta

Tergerak (2)

Ejā 2 (SN 35.91)

“Para bhikkhu, tergerak adalah penyakit, tergerak adalah tumor, tergerak adalah anak panah. Oleh karena itu, para bhikkhu, Sang Tathāgata berdiam tanpa tergerak, dengan anak panah tercabut. Oleh karena itu, para bhikkhu, jika seorang bhikkhu berkehendak, ‘Semoga aku berdiam tanpa tergerak, dengan anak panah tercabut!’ maka ia tidak boleh menganggap mata … bentuk-bentuk … kesadaran-mata … kontak-mata … dan sehubungan dengan perasaan apa pun yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisi … ia tidak boleh menganggap itu, tidak boleh menganggap di dalam itu, tidak boleh menganggap dari itu, tidak boleh menganggap, ‘Itu adalah milikku.’ Karena apa pun yang dianggap seseorang, para bhikkhu, di dalam apa pun ia menganggap, dari apa pun ia menganggap, apa pun yang dianggapnya sebagai ‘milikku’—itu adalah sebaliknya. Dunia, karena menjadi sebaliknya, melekat pada penjelmaan, mencari kesenangan hanya di dalam penjelmaan.

“Ia tidak boleh menganggap telinga … Ia tidak boleh menganggap pikiran … fenomena-fenomena pikiran … kesadaran-pikiran … kontak-pikiran … dan sehubungan dengan perasaan apa pun yang muncul dengan kontak-pikiran sebagai kondisi … ia tidak boleh menganggap itu, tidak boleh menganggap di dalam itu, tidak boleh menganggap dari itu, tidak boleh menganggap, ‘Itu adalah milikku.’ Karena apa pun yang dianggap seseorang, para bhikkhu, di dalam apa pun seseorang menganggap, dari apa pun seseorang menganggap, apa pun yang dianggap seseorang sebagai ‘milikku’—itu adalah sebaliknya. Dunia, karena menjadi sebaliknya, melekat pada penjelmaan, mencari kesenangan hanya di dalam penjelmaan.

“Sejauh apa pun juga, para bhikkhu, kelompok-kelompok unsur kehidupan itu, unsur-unsur, dan landasan-landasan indria, ia tidak menganggap itu, tidak menganggap di dalam itu, tidak menganggap dari itu, tidak menganggap, ’Itu milikku.’

“Karena ia tidak menganggap apa pun demikian, maka ia tidak melekat pada apa pun di dunia. Dengan tidak melekat, maka ia tidak bergejolak. Karena tidak bergejolak, ia mencapai Nibbāna. Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun.’”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com