Sariputta | Suttapitaka | Migajāla (1) Sariputta

Migajāla (1)

Migajāla 1 (SN 35.63)

Di Sāvatthī. Yang Mulia Migajāla mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:
“Yang Mulia, dikatakan, ‘seorang yang berdiam sendirian, seorang yang berdiam sendirian.’ Bagaimanakah, Yang Mulia, yang disebut seorang yang berdiam sendirian, dan bagaimanakah yang disebut seorang yang berdiam dengan teman?”
“Ada, Migajāla, bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, yang disukai, indah, menyenangkan, nikmat, memikat indria, menggoda. Jika seorang bhikkhu mencari kesenangan di dalamnya, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya, maka kesenangan muncul. Ketika ada kesenangan, maka ada ketergila-gilaan. Ketika ada ketergila-gilaan maka ada belenggu. Terikat oleh belenggu kesenangan, Migajāla, maka seorang bhikkhu disebut sebagai seorang yang berdiam dengan teman.
“Ada, Migajāla, suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan … fenomena-fenomena pikiran yang dikenali oleh pikiran, yang disukai, indah, menyenangkan, nikmat, memikat indria, menggoda. Jika seorang bhikkhu mencari kesenangan di dalamnya … maka ia disebut sebagai seorang yang berdiam dengan teman.
“Migajāla, walaupun seorang bhikkhu yang berdiam demikian menetap di hutan-hutan, di tempat-tempat terpencil di mana terdapat hanya sedikit suara dan kebisingan, sepi, tersembunyi dari orang banyak, cocok untuk mengasingkan diri, ia tetap disebut seorang yang berdiam dengan teman. Karena alasan apakah? Karena ketagihan adalah temannya, dan ia belum meninggalkannya; oleh karena itu ia disebut seorang yang berdiam dengan teman.
“Ada, Migajāla, bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, yang disukai, indah, menyenangkan, nikmat, memikat indria, menggoda. Jika seorang bhikkhu tidak mencari kesenangan di dalamnya, tidak menyambutnya, dan tidak terus-menerus menggenggamnya, maka kesenangan lenyap. Ketika tidak ada kesenangan, maka tidak ada ketergila-gilaan. Jika tidak ada ketergila-gilaan, maka tidak ada belenggu. Terlepas dari belenggu kesenangan, Migajāla, maka seorang bhikkhu disebut sebagai seorang yang berdiam sendirian.
“Ada, Migajāla, suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan … fenomena-fenomena pikiran yang dikenali oleh pikiran, yang disukai, indah, menyenangkan, nikmat, memikat indria, menggoda. Jika seorang bhikkhu tidak mencari kesenangan di dalamnya … maka ia disebut sebagai seorang yang berdiam sendirian.
“Migajāla, walaupun seorang bhikkhu yang berdiam demikian menetap di dalam lingkungan desa, bergaul dengan para bhikkhu dan bhikkhunī, dengan umat-umat awam laki-laki dan perempuan, dengan raja dan para menteri, dengan para guru sekte lain dan murid-murid mereka, ia tetap disebut seorang yang berdiam sendirian. Karena alasan apakah? Karena ketagihan adalah temannya, dan ia telah meninggalkannya; oleh karena itu ia disebut seorang yang berdiam sendirian.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com